Negara: Israel

  • Cerita Dokter Amerika Tak Bisa Melupakan Kengerian di Gaza

    Cerita Dokter Amerika Tak Bisa Melupakan Kengerian di Gaza

    Jakarta

    Sam Attar mengaku bahwa dia meninggalkan sebagian jiwanya di Gaza. Bagian dari dirinya yang melihat begitu banyak penderitaan dan tidak bisa dia lupakan.

    Sudah tiga minggu Attar pulang ke Chicago, AS, usai memberikan bantuan kesehatan sebagai dokter di Gaza. Tapi, dia merasa seperti baru terjadi kemarin.

    Waktu terus berputar tapi wajah-wajah dari Gaza terus membayanginya.

    Salah satu wajah yang tidak dia lupakan adalah Jenna, seorang gadis kecil yang terbaring lemah, terlihat pucat pasi di ranjang rumah sakit. Ibu Jenna menunjukkan kepada Sam sebuah video pada ponselnya yang merekam ulang tahun terakhir sang bocah.

    Itu adalah hari-hari bahagia Jenna sebelum malapetaka terjadi.

    Peringatan: Artikel ini berisi detail dan gambar yang mungkin mengganggu sebagian pembaca.

    Sam juga masih mengingat jelas seorang ibu lain yang kehilangan putranya yang masih berusia 10 tahun.

    Lalu ada pria berusia 50-an tahun di sebuah sudut ruangan. Kedua kakinya telah diamputasi.

    “Dia kehilangan anak-anaknya, cucu-cucunya, rumahnya,” kenang Sam.

    “Dan dia sendirian di sudut rumah sakit yang gelap ini, belatung keluar dari luka-lukanya dan dia berteriak: ‘Cacing-cacing itu memakanku hidup-hidup, tolong bantu aku.’ Itu hanya satu saja dari Saya tidak tahu, saya berhenti menghitung.”

    “Tapi itulah orang-orang yang masih saya pikirkan karena mereka masih di sana.”

    Sam adalah pria sensitif yang berusia 40-an. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai dokter. Sam lahir dan besar di Chicago dan bekerja sebagai ahli bedah di rumah sakit Northwestern.

    Selama memberikan pertolongan di Gaza, dia membuat video harian dan merekam pengalamannya.

    Selama dua minggu pada Maret dan April atas nama LSM Palestinian American Bridge ia bekerja di rumah sakit Gaza yang sangat kekurangan segalanya kecuali pasien yang terluka parah.

    Pada hari dia memasuki Gaza kali ini, dia langsung dihadapkan pada krisis kelaparan.

    “Kami hanya dikerumuni orang yang menggedor-gedor mobil, ada yang mencoba melompat ke atas mobil. Mereka tidak berhenti karena jika berhenti maka orang-orang akan melompat ke dalam mobil. Mereka tidak mencoba untuk menyakiti kami. Mereka hanya meminta makanan.”

    ReutersSebagian besar wilayah Gaza hancur dan sangat sedikit bantuan yang mencapai wilayah utara.

    Sam menceritakan pengalamannya dengan tenang, seperti yang mungkin Anda harapkan dari seorang pria yang terlatih untuk membuat pasien merasa nyaman.

    Sam berkata, setiap hari ada tekanan tanpa henti untuk melakukan triase, memutuskan siapa yang bisa diselamatkan, siapa yang tidak.

    Sam mengenang saat pasien terbaring di lantai rumah sakit dikelilingi oleh darah dan perban yang terlepas, udara dipenuhi tangisan kesakitan dan kerabat yang berduka.

    Tidak ada yang bisa menghapus kengerian seperti itu – sekalipun seorang dokter yang sangat terlatih dengan pengalaman di zona perang seperti Ukraina, Suriah dan Irak.

    “Saya masih memikirkan semua pasien yang saya rawat,” katanya,

    “Semua dokter yang masih ada di sana. Ada sedikit rasa bersalah dan malu saat keluar karena masih banyak yang harus dilakukan. Kebutuhannya sangat besar. Dan Anda menjauh dari orang-orang yang masih ada dan masih menderita.”

    Perjalanan terakhirnya yang ketiga ke Gaza sejak perang dimulai membawanya bergabung dengan tim medis internasional pertama yang ditempatkan di sebuah rumah sakit di Gaza utara di mana malnutrisi berada pada tingkat paling akut.

    Misi tersebut diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan.

    Sekitar 30% anak-anak di bawah usia dua tahun dilaporkan mengalami kekurangan gizi akut, dan 70% penduduk di Gaza utara menghadapi apa yang disebut PBB sebagai “bencana kelaparan”.

    Baca juga:

    Bulan lalu ketua Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menuduh Israel berpotensi melakukan kejahatan perang karena krisis pangan di Gaza.

    “Besarnya pembatasan yang dilakukan Israel terhadap masuknya bantuan ke Gaza, serta cara mereka terus melakukan peperangan, mungkin sama saja dengan menggunakan kelaparan sebagai metode perang,” katanya.

    Israel menyangkal hal ini dan menyalahkan PBB serta badan-badan bantuan atas lambatnya atau tidak memadainya pengiriman bantuan.

    Pemerintah Israel mengatakan perhitungan PBB mengenai kelaparan didasarkan pada “berbagai kelemahan faktual dan metodologi, beberapa di antaranya serius.”

    Pemerintah Israel juga mengeklami telah menelusuri laporan media bahwa pasar makanan di Gaza, termasuk wilayah utara, memiliki persediaan yang melimpah.

    “Kami langsung menolak tuduhan apa pun yang menyatakan bahwa Israel sengaja membuat penduduk sipil di Gaza kelaparan,” kata sebuah pernyataan dari COGAT Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah tersebut.

    Sam Attar mengenang seorang perempuan berusia 32 tahun yang menderita gizi buruk. Dia mengalami itu bersama dengan putranya, ibu dan ayahnya.

    Dia menjalani CPR upaya untuk memacu jantungnya yang berhenti tetapi tidak dapat diselamatkan.

    “Saya harus menyebut itu,” kata Sam. Ibu muda itu terbaring di bangku, lengan kirinya menjuntai ke lantai, mata menatap ke atas pada saat kematiannya.

    Di seberang ruangan, seorang perawat menghibur ibu dari perempuan itu yang menangis.

    Lalu ada seorang anak perempuan kecil, Jenna Ayyad, berusia tujuh tahun.

    Kondisi kesehatannya seperti “hanya tinggal kerangka dan tulang”. Ibunya berharap untuk pergi ke selatan di mana tersedia fasilitas medis yang lebih baik.

    Jenna mengalami trauma akibat perang dan terlihat sangat kekurangan gizi. Dia menderita fibrosis kistik, yang membuat pencernaannya lebih sulit.

    Kondisinya diperburuk oleh perang dan dia juga menderita trauma.

    Dalam rekaman yang diambil oleh juru kamera BBC, pandangan Jenna tampak kosong dan kini hanya berbicara kepada ibunya.

    “Apa yang bisa saya lakukan? Dia tidak bisa diobati,” kata Nisma Ayyad.

    “Kondisi mentalnya sangat sulit. Dia tidak berbicara sama sekali setiap ada orang yang berbicara dengannya. Situasinya buruk, dan sebagai seorang ibu, saya tidak dapat melakukan apa pun.”

    Dr Attar mengatakan bahwa saat timnya bersiap untuk kembali ke Gaza selatan, ibu Jenna mendekatinya.

    “Ibu Jenna mendatangi saya dan berkata, ‘Saya pikir kami akan ikut bersamamu apa yang terjadi? Mengapa kamu pergi dan kami tetap di sini?”

    Sam harus menjelaskan bahwa konvoi ke selatan hanya disetujui untuk pengiriman bahan bakar dan makanan, bukan untuk membawa pasien.

    Namun sebelum berangkat Sam dan rekan-rekannya mengisi surat-surat yang diperlukan untuk memindahkan Jenna. Prosesnya akan memakan waktu berhari-hari tetapi mereka akan memastikan dokumennya sampai ke kantor yang tepat.

    Ketika Sam pergi untuk berbicara dengan ibu Jenna, ibu-ibu lain memperhatikan.

    “Ruangannya terbuka dan digunakan bersama, mungkin ada 10 pasien dalam satu ruangan. Jadi ketika semua ibu lain melihat saya berbicara dengannya, mereka semua mengerumuni saya.”

    Jenna dipindahkan dan sekarang dirawat di rumah sakit Korps Medis Internasional dekat Rafah.

    Menurut perkiraan PBB bulan lalu, mayoritas korban tewas dalam perang tersebut adalah perempuan dan anak-anak: 13.000 anak-anak, 9.000 perempuan.

    Perang kini memasuki bulan ketujuh.

    Negosiasi untuk gencatan senjata dan pembebasan sandera terhenti.

    Setiap siang dan malam, korban luka dan kekurangan gizi tiba di beberapa rumah sakit yang masih berfungsi.

    WHO mengatakan hanya 10 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi.

    Bepergian di Gaza bisa sangat berbahaya bagi pekerja kemanusiaan. Seperti kematian tujuh pekerja kemanusiaan, termasuk tiga warga Inggris, ketika militer Israel menyerang konvoi mereka dengan serangan rudal pada tanggal 1 April.

    Sam juga menggambarkan antrean berjam-jam di pos pemeriksaan Israel.

    “Kami sering menunggu satu hingga empat jam tergantung berapa lama waktu yang dibutuhkan Israel untuk menyetujui jalur tersebut karena mereka sedang melakukan operasi militer.”

    Dokter berwarga negara AS ini berharap adanya upaya terpadu untuk memberikan lebih banyak bantuan ke wilayah utara Gaza.

    “Wilayah utara memerlukan lebih banyak akses, lebih banyak makanan, lebih banyak bahan bakar, lebih banyak air, jalan-jalan perlu dibuka Dan ada begitu banyak pasien yang perlu dievakuasi dari utara ke selatan dan masalahnya wilayah selatan juga sibuk. Maksud saya, rumah sakit di sini meledak.”

    Sam mengaku akan kembali. Segera, demikian harapannya.

    Ada ikatan persahabatan yang memanggilnya untuk kembali ke Gaza.

    Paramedis Nabil, yang Sam lihat setiap hari, membawa korban luka untuk berobat, hingga akhirnya dia sendiri menjadi korban dan harus ditarik dari reruntuhan oleh rekan-rekannya. Dia masih hidup tetapi tidak akan bisa meninggalkan Gaza.

    Lalu ada seorang dokter yang putrinya terbunuh namun dia bermurah hati untuk menghibur seorang ibu yang putranya masih balita menderita cedera otak akibat pecahan bom.

    Dan, ada pasien dan keluarga mereka yang melihat dokter, perawat dan paramedis bukan hanya mencari kemungkinan bantuan kesehatan praktis, namun juga sorotan kesopanan manusia di tempat yang penuh teror dan kerusakan.

    Mereka adalah orang-orang yang ada dalam benak Sam Attar. Mereka semua.

    Laporan tambahan oleh Alice Doyard, Annie Duncanson, Haneen Abdeen, dan Nik Millard

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Menlu AS Temui Pangeran MBS, Bahas Keamanan hingga Pasca-Perang di Gaza

    Menlu AS Temui Pangeran MBS, Bahas Keamanan hingga Pasca-Perang di Gaza

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken bertemu dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di Riyadh. Keduanya membahas terkait serangan Israel ke Gaza, Palestina.

    Dilansir Reuters, Selasa (30/4/2024) Kementerian Luar Negeri AS mengatakan Blinken membahas tentang perlunya mempertahankan peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza, gencatan senjata, pembebasan sandera dan mencegah kemungkinan penyebaran konflik lebih lanjut.

    Blinken berada di Arab Saudi sebagai bagian dari perjalanan ke Timur Tengah yang bertujuan untuk berdiskusi dengan mitra-mitra Arab di Gaza pascaperang dan untuk menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu agar mengambil langkah-langkah yang diminta Presiden AS Joe Biden bulan ini untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza.

    Sebelumnya, Blinken juga bertemu Pangeran Faisal bin Farhan, menteri luar negeri Arab Saudi, dan para menteri luar negeri dari lima negara Arab lainnya. Setelah itu, Blinken akan melakukan perjalanan ke Yordania dan Israel pada Selasa (30/4).

    (whn/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • AS Minta Hamas Setujui Proposal Gencatan Senjata di Gaza

    AS Minta Hamas Setujui Proposal Gencatan Senjata di Gaza

    Jakarta

    Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan Hamas telah menerima proposal dari Israel terkait gencatan senjata di Gaza. Blinken mendesak Hamas untuk segera memutuskan dengan cepat dan tepat.

    “Saat ini, satu-satunya penghalang bagi rakyat Gaza dan gencatan senjata adalah Hamas,” kata Blinken dalam pertemuan khusus World Economic Forum di Riyadh dilansir AFP, Selasa, (30/4/2024).

    “Mereka harus mengambil keputusan-dan mereka harus mengambil keputusan dengan cepat. Saya berharap mereka akan membuat keputusan yang tepat,” sambungnya.

    Delegasi dari Hamas dijadwalkan pada hari Senin (29/4) di Mesir, yang bersama Qatar berusaha menjadi perantara kesepakatan yang akan menghentikan serangan Israel dan membebaskan para sandera.

    Blinken juga membahas proposal gencatan senjata di Riyadh dengan Menteri Luar Negeri Hakan Fidan dari Turki, tempat Hamas berkantor dan pemimpin militan Ismail Haniyeh sering berkunjung.

    Lihat juga Video: Korban Tewas Serangan Israel di Gaza Capai 34 Ribu Orang

    (whn/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Anak Muda Korsel Siap Perang Jika Korut Menyerang

    Anak Muda Korsel Siap Perang Jika Korut Menyerang

    Jakarta

    Anak muda di Korea Selatan (Korsel) telah menyiapkan diri jika perang pecah dengan Korea Utara (Korut). Salah satunya dilakukan oleh Kim Jung-ho yang telah menyiapkan perlengkapan bertahan hidup di rumahnya.

    Pria berusia 30 tahun itu merasa perlengkapannya cukup untuk bertahan selama 72 jam saat keadaan darurat.

    Selain air dan makanan darurat seperti nasi kering, Kim juga menyiapkan peta dan kompas kalau-kalau infrastruktur dasar seperti jaringan telepon seluler dan transportasi publik gagal berfungsi.

    Kim bahkan mengemas rompi pelindung dan masker gas. Kim berpikir lebih baik dia menyiapkan diri jika saja peralatan pelindung militer Korea Selatan tidak cukup. Apalagi, Kim adalah satu dari 3,1 juta orang pasukan cadangan militer.

    “Saya tinggal di jantung kota Seoul. Membayangkan semuanya bisa hilang dalam sekejap hanya dengan satu misil membuat bulu kuduk ini merinding,” ujar mahasiswa pasca sarjana itu.

    Diketahui, Ibu kota Korsel terletak 30 mil atau sekitar 48 kilometer di utara zona demiliterisasi yang didirikan tahun 1953 ketika perjanjian gencatan senjata Perang Korea ditandatangani.

    Akan tetapi, ketegangan di Semenanjung Korea belakangan ini kian meningkat. Korea Utara yang bersenjata nuklir sudah melakukan empat uji coba rudal balistik untuk tahun ini saja.

    Pada April, Korut mengeklaim berhasil menguji coba rudal hipersonik berbahan bakar padat baru yang dapat mencapai Guam.

    Simak halaman selanjutnya>>

    Lihat juga Video: Seusai Diprotes Netizen, Bea Cukai Serahkan Alat Belajar Hibahan ke SLB

    Kim termasuk ke dalam sekelompok kecil anak muda Korsel yang sudah mempersiapkan diri di tengah potensi perang dengan Korut. Meski kecil, jumlah kelompok ini terus bertambah.

    Sekitar 900 orang sudah bergabung ke setidaknya empat grup di Kakao, aplikasi pesan instan paling populer di Korsel.

    Secara terpisah, komunitas persiapan perang “The Survival School Daum Cafe” yang sudah ada sejak tahun 2010 saat ini jumlah anggotanya lebih dari 25.000 orang.

    Meningkatnya jumlah orang Korsel yang siap berperang baru-baru ini menyoroti berkembangnya kegelisahan tentang hubungan antar-Korea seiring kian agresifnya Korut.

    Januari silam, pemimpin Korut Kim Jong-un melabeli Korsel sebagai musuh utama mereka. Kim Jong-un pun menyatakan bahwa reunifikasi damai kedua Korea menjadi mustahil.

    Nam Sung-wook, dosen ekonomi politik di Universitas Korea, menyebut hal ini “belum pernah terjadi sebelumnya”. Ini berarti Korut bisa jadi menggunakan senjata nuklir terhadap Korsel karena negara itu tak lagi dipandang sebagai saudara seetnis.

    Survei dari Institut Kajian Media Publik KBS menunjukkan lebih dari 75% responden merasa cemas atas situasi keamanan saat ini. Angka ini meningkat 19% dari tahun 2021 saat survei dimulai.

    Berbagai konflik global seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas juga membuat anak muda Korea lebih peka terhadap berkembangnya risiko geopolitik, imbuh Woo Seong-yeop yang menjadi admin “The Survival School – Daum Cafe”.

    Salah satu grup chat yang disebut di awal artikel dibentuk ketika perang Ukraina pecah. Jumlah anggotanya meningkat 10 kali lipat menjadi 500 orang dalam kurun dua tahun.

    “Sebelumnya tidak terbersit di benak saya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau perang pecah. Tapi lihatlah keadaan dunia sekarang. Sejumlah perang sudah terjadi,” ujar Park Hwi bin, seorang instruktur kebugaran.

    Sebagian anggota ingin meninggalkan negara sebelum konflik pecah dengan Korut. Beberapa strategi mereka demi mengamankan tempat tinggal di negara-negara yang lebih aman antara lain belajar bahasa asing, menabung, dan melatih keterampilan baru.

    “Saya dengar kita bisa dapat izin tinggal permanen di Paraguay dengan biaya sebesar 10 juta won (sekitar Rp117 juta),” tulis seorang anggota grup.

    Sebagian besar warga Korea menilai orang-orang “siap perang” ini terlalu sensitif. Bahkan Ibu Kim sendiri mengomeli putranya karena “buang-buang uang” untuk perlengkapan bertahan hidup.

    “Walaupun hubungan antara Korea Utara dan Selatan saat ini tidaklah bagus, saya tidak pernah khawatir soal perang dan menjalani hidup seperti biasa,” cetus Lee Young-ah, seorang staf pemasaran berusia 28 tahun kepada BBC.

    Korsel kini berkembang menjadi negara demokrasi yang makmur dan hidup, sekalipun dua Korea secara teknis masih berperang.

    Woo berpendapat bahwa karena sudah berpuluh-puluh tahun hidup dengan damai, kebanyakan orang Korsel “apatis terhadap perang” yang dapat berujung ke “sikap masa bodoh”.

    Dia pun menambahkan bahwa sikap khalayak umum terhadap orang-orang yang “siap perang” perlahan-lahan berubah akibat meningkatnya tensi geopolitik.

    Kim pun membela diri: “Kalau Anda naik pesawat, mereka menyiapkan alat-alat keamanan, kan? Nah, membeli perlengkapan keamanan sama saja seperti mengencangkan tali sabuk pengaman.”

    Park menganalogikan persiapan untuk perang seperti membeli produk asuransi. Namun, seperti halnya banyak bentuk asuransi, tidak ada yang mau menggunakannya.

    Halaman 2 dari 2

    (dwia/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kata Saudi soal Dunia Bikin Kecewa Gaza

    Kata Saudi soal Dunia Bikin Kecewa Gaza

    Jakarta

    Arab Saudi memberikan pernyataan bahwa masyarakat dunia telah membuat kecewa Gaza. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan.

    Dilansir The New Arab dan AFP, Pangeran Faisal menyampaikan hal ini saat berbicara dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Riyadh, Senin (29/4/2024). Adapun isu perang Hamas dan Israel di Jalur Gaza turut menjadi pembahasan.

    “Situasi di Gaza jelas merupakan bencana dalam segala hal — bersifat kemanusiaan, tapi juga merupakan kegagalan total dari sistem politik yang ada untuk mengatasi krisis tersebut,” ujar Pangeran Faisal.

    Laporan terbaru otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 34.000 orang tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza. Serangan bertubi-tubi ini dalam rangka membalas serangan Hamas pada Oktober tahun lalu.

    Serangan Hamas terhadap Israel tahun lalu dilaporkan menewaskan sekitar 1.200 orang, kebanyakan warga sipil, dan membuat lebih dari 250 orang lainnya disandera di Jalur Gaza. Hamas menyebut serangannya itu menjadi pembalasan atas pendudukan dan agresi Israel selama puluhan tahun terhadap Palestina.

    Israel Gempur Rafah

    Serangan udara Israel menghantam tiga rumah warga di kota Rafah, Jalur Gaza bagian selatan. Sedikitnya 13 orang tewas dan banyak orang lainnya mengalami luka-luka akibat gempuran terbaru militer Tel Aviv tersebut.

    Seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Senin (29/9), media afiliasi Hamas melaporkan jumlah korban tewas akibat serangan udara Israel di Rafah mencapai sedikitnya 15 orang.

    Di Gaza City, yang ada di bagian utara Jalur Gaza, serangan pesawat tempur Israel menghantam dua rumah warga setempat hingga menewaskan dan melukai beberapa orang.

    Serangan udara terhadap Rafah, yang menjadi tempat berlindung bagi satu juta warga Palestina yang menghindari pengeboman Israel selama berbulan-bulan, terjadi beberapa jam sebelum Mesir dijadwalkan menjadi tuan rumah bagi pemimpin Hamas untuk membahas prospek gencatan senjata dengan Israel.

    Baca selengkapnya di halaman selanjutnya..

    AS Bangun Dermaga Bantuan di Pantai Gaza

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa dermaga buatannya yang bertujuan khusus untuk meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza akan mulai beroperasi dalam beberapa minggu ke depan.

    Namun Washington menegaskan bahwa dermaga untuk penyaluran bantuan via lautan itu tidak akan bisa menggantikan penyaluran bantuan via jalur darat dengan truk-truk, yang dianggap sebagai cara terbaik untuk mendistribusikan makanan kepada warga Palestina yang dilanda perang di Jalur Gaza.

    Demikian seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Senin (29/4/2024).

    Perang yang berkecamuk selama enam bulan terakhir antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza telah memicu krisis kemanusiaan. Tel Aviv juga semakin didesak untuk mengizinkan lebih banyak pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bencana kelaparan segera terjadi.

    Pekan lalu, Pentagon mengatakan bahwa militer AS telah mulai membangun dermaga khusus di lepas pantai Gaza, yang dimaksudkan untuk mempercepat penyaluran bantuan kemanusiaan via jalur laut.

    Halaman 2 dari 2

    (azh/azh)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kekerasan dan Perdamaian di Negara-negara Muslim

    Kekerasan dan Perdamaian di Negara-negara Muslim

    Surabaya (beritajatim.com) – Kelompok Islamis melakukan tiga per lima dari 204 pengeboman teroris di dunia antara 1994-2008. Pada 2009, terdapat 6 perang dan 30 konflik kecil, sebagian melibatkan Muslim. Faktor lainnya adalah penjajahan Barat dan hubungan Islam dengan kekerasan.

    Penjajahan dan Pendudukan Barat

    Kolonialisme Barat disalahkan atas kekerasan di masyarakat Muslim. Kolonialisme Prancis di Aljazair mendorong penggunaan kekerasan dalam perjuangan kemerdekaan.

    Intervensi Barat di Timur Tengah termasuk penyebaran ideologi Salafi oleh Arab Saudi. Salafisme menolak pembaruan dan penafsiran mistis dalam Islam. Salafi juga menentang Sufi dan mengklaim dirinya mengikuti teladan Islam dari awal.

    Inggris berperan penting dalam mempromosikan penafsiran Islam yang puritan di Makkah dan Madinah setelah mengusir Kesultanan Osmani dari Arab. Pengaruh kolonial Barat memperburuk ketegangan etnis dan agama, seperti konflik Arab-Israel. Mayoritas negara Muslim pasca kolonial rentan terhadap perang saudara dan terorisme.

    Perang Islam

    Beberapa sarjana berpendapat bahwa Islam memiliki ciri mendasar yang berkaitan dengan kekerasan. Namun, kekerasan bukanlah masalah eksklusif pada Islam karena berbagai kelompok etno-religius juga melakukan kekejaman sepanjang sejarah. Agama juga bisa digunakan untuk membenarkan kekerasan, meskipun tidak semua agama mendukung kekerasan.

    Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa Islam bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri, tetapi bom bunuh diri bukanlah asal-usul atau karakteristik Islami. Tafsiran Qur’an oleh ulama juga perlu dianalisis dalam konteks kekerasan.

    Peran Ulama

    Perdebatan Islam tentang perdamaian dan kekerasan melibatkan dua penafsiran yang berbeda. Pengaruh politik dan pengalaman masa lalu mempengaruhi pendukung kekerasan. Ulama kontemporer cenderung menjaga tradisi daripada mengembangkan perspektif baru.

    Dalam pandangan zaman pertengahan, orang Muslim dapat dihukum jika tidak beribadah. Pemahaman konservatif modern telah menyebar dalam masyarakat Muslim saat ini. Banyak Muslim menentang hukuman mati untuk murtad meskipun mereka sendiri menghadapi risiko.

    Ulama memiliki otoritas dalam penafsiran agama, menghasilkan kurangnya kreativitas pada ulama muda. Konservatisme adalah alasan utama mengapa umat Islam tidak siap menanggapi klaim jihadis Al-Qaeda dan ISIS. Gagasan radikal yang dipengaruhi oleh pandangan pribadi terkait dengan pengalaman Quthb. Ulama bisa memainkan peran dalam memperkuat argumen terhadap pemikiran Jihadi-Salafi.

    Negara Otoriter

    Negara-negara demokratis cenderung tidak berperang satu sama lain karena norma dan lembaga demokrasi memperkuat sikap saling pengertian. Di Asia Timur, proses demokratisasi telah terjadi, sedangkan di Timur Tengah masih didominasi oleh negara otoriter yang menyebabkan terorisme dan konflik sipil.

    Ulama Sunni dan Syiah serta rezim sekuler dan Islamis yang otoriter juga berperan dalam eskalasi sektarianisme dan konflik di Timur Tengah. Faktor lain seperti warisan kolonial dan faktor sosioekonomi juga mempengaruhi konflik tersebut.

    Kesimpulannya ialah Muslim berpartisipasi dalam kekerasan selama tiga dasawarsa terakhir. Kekerasan tidak dapat dijelaskan dengan hanya merujuk pada ciri-ciri esensial Islam. Kekerasan dipengaruhi oleh kolonialisme Barat dan adanya kesenjangan antara teologi dan praktik manusia.

    Ada juga penafsiran tertentu tentang Islam, seperti Jihadi-Salafisme, yang dikaitkan dengan terorisme. Kesulitan melawan propaganda dan ambisi ulama untuk memonopoli tafsir Islam juga mempengaruhi. Masalah otoritarianisme juga menjadi faktor penting dalam kekerasan di masyarakat Muslim. [beq]

    Judul Buku: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
    Bab: Masa Kini (Kekerasan dan Perdamaian)
    Penulis: Ahmet T. Kuru
    Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
    Tahun Terbit: Januari 2022, cetakan keempat.

  • Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus Elite AS, Iran Bilang Gini

    Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus Elite AS, Iran Bilang Gini

    Teheran

    Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran, Hossein Amir-Abdollahian, mengecam penindakan keras terhadap para demonstran pro-Palestina dalam aksi protes yang marak dan meluas di kampus-kampus elite Amerika Serikat (AS). Amir-Abdollahian bahkan mendesak Washington untuk segera menghentikan dukungan terhadap Israel.

    Seperti dilansir Press TV, Jumat (26/4/2024), kecaman Amir-Abdollahian itu disampaikan dalam pernyataan via media sosial X pada Kamis (25/4) waktu setempat. Dia menyebut polisi AS telah melakukan “penindasan dan perlakuan kasar” terhadap para profesor dan mahasiswa yang memprotes perang Israel di Jalur Gaza.

    “Penindasan dan perlakuan kasar oleh polisi dan pasukan keamanan Amerika terhadap para profesor dan mahasiswa, yang memprotes genosida dan kejahatan perang rezim Israel, di berbagai universitas sangat mengkhawatirkan dan dibenci oleh opini publik dunia,” sebut Amir-Abdollahian dalam komentarnya.

    “Penindasan ini sejalan dengan berlanjutnya dukungan penuh Washington terhadap rezim Israel, dan secara jelas menunjukkan standar ganda dan perilaku kontradiktif pemerintah Amerika terhadap kebebasan berekspresi,” ujarnya.

    Amir-Abdollahian kemudian menyinggung soal apa yang disebutnya sebagai “genosida terhadap puluhan ribu perempuan dan anak-anak Palestina, terutama setelah ditemukannya kuburan massal orang-orang sakit dan terluka serta staf medis di area sekitar Rumah Sakit Nasser di Jalur Gaza”.

    “Gelombang rasa jijik secara global terhadap rezim Israel dan para pendukungnya tidak bisa disembunyikan,” ucapnya.

    “Gedung Putih harus segera berhenti mendukung kejahatan perang rezim Israel, dan dimintai pertanggungjawaban,” cetus Amir-Abdollahian.

    Kepolisian AS dilaporkan menangkap ratusan demonstran pro-Palestina di berbagai lokasi, saat aksi memprotes perang Israel di Jalur Gaza semakin meningkat di kampus-kampus AS.

    Dalam penindakan keras terbaru, sekitar 108 penangkapan dilakukan di Emerson College di Boston. Sebelumnya sedikitnya 93 orang ditangkap atas tuduhan masuk tanpa izin di University of Southern California (USC) di Los Angeles.

    Para demonstran dan polisi juga terlibat bentrokan di Universitas Texas di Austin, dengan sekitar 34 orang ditangkap di sana.

    Universitas-universitas di berbagai wilayah AS tengah menjadi lokasi aksi pro-Palestina, dengan semakin banyak mahasiswa yang melakukan walkout dari ruang kuliah atau berusaha mendirikan perkemahan untuk memprotes operasi militer Israel di Jalur Gaza.

    AS telah memberikan dukungan militer dan intelijen secara maksimal terhadap Israel sejak 7 Oktober ketika perang berkecamuk di Jalur Gaza usai serangan mematikan Hamas. Washington juga menggunakan hak veto terhadap beberapa resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza.

    Dalam aksinya, para demonstran pro-Palestina di AS menyerukan gencatan senjata dan menuntut pihak universitas untuk melepaskan aset atau melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel. Mereka juga berupaya menekan pemerintah AS untuk mengendalikan serangan Israel terhadap warga sipil Palestina.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Misteri Kematian Warga Palestina di Penjara Israel, Tulang Rusuk Patah

    Misteri Kematian Warga Palestina di Penjara Israel, Tulang Rusuk Patah

    Jakarta

    Beberapa hari setelah serbuan tak terduga Hamas ke Israel yang memicu perang di Gaza, telepon Umm Mohamed yang tinggal di Tepi Barat berdering. Di ujung sana, terdengar suara putranya yang dipenjara di Israel.

    “Bu, mohon doanya,” kata Abdulrahman Mari.

    “Keadaannya semakin keras. Mungkin mereka tidak akan mengizinkan kita bicara lagi.”

    Itu adalah yang terakhir kalinya Umm Mohamed mendengar suara sang buah hati.

    Komisi Tahanan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat menyebut kondisi para tahanan Palestina di Israel memburuk setelah 7 Oktober 2023. Pada tanggal itu, Hamas tiba-tiba melancarkan serangan mematikan ke komunitas Israel yang tinggal dekat Jalur Gaza.

    Sejak insiden berdarah itu, 13 orang Palestina menghembuskan napas terakhir di penjara Israel.

    “Mayoritas dari mereka mati karena dipukuli atau tidak diberi obat,” ujar Ketua Komisi, Qadoura Fares, kepada BBC.

    Semasa hidupnya, dia bekerja sebagai tukang kayu di desa Qarawat Bani Hassan. Dalam perjalanan pulang dari Ramallah pada Februari tahun lalu, Abdulrahman ditangkap di sebuah pos pemeriksaan keliling.

    Dia kemudian menjadi tahanan administratif Israel dapat menahan orang tanpa batas waktu yang ditentukan tanpa penuntutan di penjara Megiddo.

    Saudara laki-laki Abdulrahman, Ibrahim, mengatakan pasal yang dikenakan otoritas sebenarnya minor seperti ambil bagian dalam demonstrasi atau membawa senjata.

    Namun, Abdulrahman juga dituduh sebagai anggota Hamas meski tidak ada penuntutan secara spesifik mengenai aktivitas di dalam kelompok milisi itu.

    Ibrahim masih berusaha mengulik bagaimana saudaranya itu bisa sampai mati. Dia harus bergantung kepada kesaksian mantan rekan satu sel Abdulrahman dan berita persidangan.

    Salah satu rekan satu sel Abdulrahman bersedia berbicara kepada BBC secara anonim.

    “Setelah 7 Oktober, kami mengalami penyiksaan secara total. Kami dipukuli tanpa alasan yang jelas. Mereka juga memeriksa kami tanpa alasan. Bahkan cara Anda melihat seseorang bisa dinilai salah,” ujarnya.

    Mantan tahanan yang meminta agar identitasnya disamarkan ini menggambarkan bagaimana Abdulrahman ditonjoki habis-habisan di depannya dan tahanan lain.

    “Pada jam 9 pagi, mereka masuk ke sel kami dan mulai menghajar kami. Salah satu penjaga mulai menghina orang tua Abdulrahman. Dia tidak terima dan mulai melawan.

    “Mereka menaboknya dengan parah. [Abdulrahman] dibawa ke ruang tahanan di lantai atas selama satu pekan. Suaranya terdengar melolong kesakitan.”

    Sumber ini mengaku kabar kematian Abdulrahman baru diterimanya setelah dia keluar dari penjara sepekan kemudian.

    Petugas penjara Israel tidak secara langsung menjawab pertanyaan BBC mengenai kematian Abdulrahman ataupun kematian 12 orang Palestina lain yang disebutkan Komisi Tahanan.

    “Kami tidak familier dengan klaim-klaim yang digambarkan dan sejauh pengetahuan kami ini tidak benar.”

    Baca juga:

    Profesor Danny Rosin, anggota Ikatan Dokter untuk Hak Asasi Manusia, ambil bagian dalam pemeriksaan jenazah Abdulrahman Mari. Pernyataan Rosin menguatkan apa yang dikatakan rekan satu sel Abdulrahman dan saudaranya kepada BBC.

    Laporan Prof Rosin menyebut luka memar terlihat di dada kiri Abdulrahman. Beberapa tulang rusuk almarhum juga patah. Memar luar terlihat di bagian punggung, pantat, tangan dan paha kiri, juga bagian kanan kepala dan leher tanpa adanya kerusakan di bawah permukaan kulit.

    Laporan Prof Rosin juga mengutip laporan tambahan kepolisian yang menyebut “penahanan paksa” diterapkan terhadap Mari pada enam hari sebelum kematiannya.

    Dalam laporannya, Profesor Rosin mengatakan meski tidak ada temuan penyebab kematian spesifik, “dapat diasumsikan bahwa kekerasan yang dialami almarhum terbukti nyata dari banyak memar dan tulang rusuk patah yang berkontribusi atas kematiannya”.

    Getty ImagesIsrael menahan ribuan orang Palestina di Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.

    Dia menambahkan bahwa “detak jantung yang tidak normal” atau “serangan jantung” juga bisa terjadi akibat cedera seperti ini tanpa adanya bukti fisik yang terlihat jelas.

    Israel saat ini menahan lebih dari 9.300 tahanan dengan pengamanan maksimum. Menurut kelompok HAM Israel, HaMoked, mayoritas dari jumlah ini adalah orang Palestina termasuk 3.600 tahanan administratif.

    Jumlah ini tidak termasuk tahanan dari Jalur Gaza yang berada di fasilitas terpisah di militer Israel.

    Qadoura mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi setelah 7 Oktober 2023 “berdampak terhadap segala aspek dari kehidupan para tahanan.”

    Dia mengeklaim banyak tahanan sengaja dibuat lapar dan haus dan sebagian yang menderita penyakit kronis tidak diberikan obat-obatan. Pemukulan semakin sering terjadi dan tingkatnya kian brutal.

    “Saya bertemu dengan seorang tahanan yang berat badannya turun 20 kilogram dalam tiga bulan,” ujarnya.

    “Seolah-olah perang di Gaza juga menjadi perang terhadap tahanan orang Palestina. Semuanya adalah bentuk pembalasan dendam.”

    BBC sebelumnya telah mendengar dari para tahanan Palestina yang menjelaskan bagaimana mereka dihantam dengan kayu dan anjing yang moncongnya dikerangkeng dilepas ke arah mereka. Baju, makanan, dan selimut mereka juga diambil.

    Semua ini terjadi dalam pekan-pekan setelah 7 Oktober.

    Dinas pelayanan tahanan Israel menyanggah telah terjadi penganiayaan.

    “Semua tahanan diperlakukan sesuai hukum termasuk menghormati hak dasar mereka di bawah pengawasan staf yang profesional dan berkeahlian,” kata mereka.

    Dinas menambahkan bahwa mereka masuk ke dalam “mode darurat” setelah perang pecah dan “memutuskan untuk mengurangi kondisi hidup tahanan berkeamanan tinggi”.

    Contohnya seperti menyingkirkan peralatan elektronik, memutus aliran listrik ke sel-sel, dan mengurangi aktivitas tahanan di sayap-sayap fasilitas.

    BBCArafat Hamdan meninggal dua hari setelah ditangkap.

    Di desa Beit Sira di Tepi Barat, ayahanda Arafat Hamdan menunjukkan pintu rumahnya yang didobrak polisi Israel pada jam 4 pagi tanggal 22 Oktober 2023 demi mencari putranya.

    Polisi menutup muka Arafat Hamdan dengan kain hitam yang tebal dan mengikatnya di bagian leher dengan tali. Ayah Arafat Hamdan mencium bau yang keras dari kain itu buah hatinya terlihat sulit bernapas.

    “Saya terus berusaha menenangkannya,” Yasser Hamdan berkisah ke BBC.

    “Tidak apa-apa. Mereka tidak punya kasus terhadapmu. Mereka tidak punya kasus terhadap kita. Saya terus mengatakan ini selagi dia diikat di luar rumah. Mereka kemudian membawanya.”

    Dua hari kemudian, telepon Yasser Hamdan berdering. Arafat ditemukan tewas di selnya di penjara Ofer di Tepi Barat.

    Otoritas Israel tidak menjelaskan bagaimana Arafat meninggal. Arafat menderita diabetes Tipe 1 dan kadang dia mengalami gula darah rendah.

    Yasser mengatakan salah satu anggota kepolisian yang menangkap Arafat menyuruhnya membawa obat-obatan. Namun, tidak jelas apakah dia sebenarnya sempat membawanya.

    BBC mendapat berkas laporan dari Dr Daniel Solomon, ahli bedah yang hadir saat otopsi Arafat Hamdan setelah diminta Ikatan Dokter untuk Hak Asasi Manusia.

    Dr Solomon mengatakan otopsi dilakukan di Israel pada 31 Oktober 2023. Namun, dia menambahkan kondisi jenazah yang lama dimasukkan ke dalam peti pendingin mempersulit pembuktian penyebab kematian.

    Dia juga memperhatikan tidak adanya catatan apa pun yang memperlihatkan apakah obat diabetes Arafat diberikan berikut dosisnya.

    Laporan ini juga menyebut dibutuhkannya tes lain yang melampaui otopsi untuk menentukan penyebab kematian.

    “Sampai sekarang kami tidak tahu bagaimana dia meninggal. Tidak ada yang jelas,” ujar Yasser Hamdan.

    Jenazah Arafat dan Abdulrahman belum juga dikembalikan ke keluarga mereka. Orang-orang terdekat yang ditinggalkan ingin mengadakan otopsi mereka sendiri, menggelar pemakaman, dan mengucapkan selamat jalan untuk yang terakhir kalinya.

    “Dia darah daging saya. Kemudian dia lenyap,” ujar Yasser Hamdan.

    Foto-foto Arafat memenuhi tiap sudut apartemen Yasser.

    Umm Mohamed memperlihatkan foto-foto Abdulrahman di ponselnya.

    “Lihatlah dia,” tunjuk Umm ke satu foto Abdulrahman. “Ceria betul dia.”

    Abdulrahman, menurut Umm Mohamed, lambat laun menjadi pemimpin para tahanan yang dekat dengannya.

    “Lewat telepon, dia bercerita bagaimana dia menyiapkan sarapan untuk disantap bersama saat mereka tidur. Dia selalu yang paling aktif. Dia tidak pernah duduk santai, anak saya itu.”

    Tangis Umm Mohamed pecah.

    “Bawa dia pulang ke saya. Saya ingin melihatnya satu kali lagi. Sekali lagi saja.”

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kesaksian Mahasiswa Indonesia Soal Protes Perang Gaza di Kampus AS

    Kesaksian Mahasiswa Indonesia Soal Protes Perang Gaza di Kampus AS

    Jakarta

    Kepolisian Amerika Serikat (AS) telah menangkap ratusan pengunjuk rasa di berbagai lokasi di Amerika, seiring demonstrasi menentang perang di Gaza meluas di kampus-kampus elite dan universitas.

    Sejumlah mahasiswa Indonesia turut dalam aksi demonstrasi tersebut. Salah satu di antara mereka merasa berkewajiban untuk membela Palestina, sementara yang lain memilih untuk tidak terlibat secara langsung karena statusnya sebagai mahasiswa internasional penerima beasiswa.

    Seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di New York mengungkapkan sejumlah kawan mahasiswa dan dosen di kampusnya ditahan oleh aparat kepolisian.

    Perempuan tersebut yang meminta BBC untuk tidak mengungkap namanya dengan alasan keamanan mengungkapkan alasan mengapa dia turut dalam aksi demonstrasi, kendati berisiko terhadap dirinya yang berstatus sebagai mahasiswa internasional.

    “Yang membuat aku ikut dalam aksi, mungkin karena aku sendiri banyak belajar tentang apa yang terjadi di Palestina sekarang dan sudah melihat banyak human rights violations yang terjadi di Palestina,” ujarnya, Jumat (26/04).

    “[Saya] merasa punya personal obligation untuk amplify perubahan dalam bentuk protes ini,” katanya kemudian.

    Baru-baru ini, sekitar 108 penangkapan dilakukan di Emerson College, kata polisi Boston kepada mitra BBC AS, CBS News. Sebelumnya, 93 orang di Universitas Southern California (USC) di Los Angeles ditahan atas tuduhan masuk tanpa izin.

    Para pengunjuk rasa dan polisi juga bentrok di Universitas Texas di Austin. Pihak berwenang menyebut 34 orang telah ditangkap.

    Universitas-universitas di Amerika telah menyaksikan semakin banyak mahasiswa keluar dari kelas atau mencoba mendirikan tenda-tenda sebagai bentuk solidaritas terhadap tenda-tenda pengungsian yang ada di Palestina untuk memprotes aksi militer Israel di Gaza.

    Penangkapan terbaru ini menyusul penangkapan-penangkapan sebelumnya di Universitas Columbia, Yale dan New York.

    ‘Human chain’ untuk melindungi mahasiswa yang akan ditangkap

    Sejumlah mahasiswa asal Indonesia turut dalam aksi demonstrasi membela Palestina dan menentang perang di Gaza dalam gelombang demonstrasi mahasiswa baru-baru ini di AS.

    Salah satu dari merekayang menolak mengungkap identitasnya atas alasan keamananmengatakan ia sempat turut dalam demonstrasi dan protes di New York setelah penangkapan mahasiswa terjadi di salah satu kampus lain.

    “Salah satu [demonstrasi] yang terbesar, mungkin yang terjadi di kampusku, ada encampment, ketika para protester membangun tenda-tenda dan tenda-tenda ini sebagai bentuk solidaritas tenda-tenda pengungsian yang ada di Palestina,” ujarnya.

    Ketika dia datang, akunya, banyak orang yang telah berkumpul di sekitar tenda-tenda sambil melakukan orasi. Pada saat yang sama, pihak pengamanan kampus tampak berjaga di sekitar lokasi demonstrasi.

    ReutersMahasiswa di New York terus melakukan protes di tenda-tenda, sebagai solidaritas terhadap pengungsi Palestina di Gaza.

    “Satpam kampus ini kemudian membatasi orang-orang yang bukan organizer atau mereka-mereka yang bukan dari kampus enggak boleh lewat ke area tenda-tenda dan tidak bisa melakukan aksi protes di area tenda,” terangnya.

    Dia kemudian menjelaskan bahwa di seberang area tenda-tenda yang didirikan peserta demonstrasi, ada demonstrasi tandingan yang dilakukan oleh sejumlah orang pro-Israel yang membawa bendera Israel.

    “Saya kebetulan tidak sampai malam, karena ternyata setelah malam hari situasi semakin memanas dan kebetulan waktu itu dosen-dosen sudah ikut terlibat.”

    “Kemudian mereka membangun human chain, bergandengan tangan, untuk melindungi mahasiswa yang waktu itu posisinya sudah diancam akan ada penangkapan oleh polisi kalau tidak bubar,” kata dia.

    ReutersKepolisian New York berjaga di sekitar lokasi demonstrasi mendukung Israel di luar kampus Universitas Columbia, di tengah protes mahasiswa yang mendukung Palestina, 25 April 2024.

    Akan tetapi, situasi makin memanas sehingga kepolisian setempat mengeluarkan tembakan gas paper spray. Dalam insiden itu sekitar 120 orang, baik mahasiswa dan dosen, ditangkap pihak berwenang.

    Penangkapan itu tidak menyurutkan niat untuk melakukan demonstrasi membela Palestina. Hingga Kamis (25/04) demonstrasi terus berlangsung

    “Sampai hari ini demonstrasi terus berlangsung tiap hari dan dilakukan di beberapa titik di sekitar kampus dan sekitar kota NYC,” akunya.

    Dia menegaskan, keterlibatan dalam demonstrasi tersebut karena dia merasa terpanggil untuk membuat perubahan atas apa yang terjadi terhadap warga Palestina.

    “Rasanya aku punya personal obligation sebagai orang yang cukup privilege, dalam artian tidak terefek langsung dari konfliknya atau genosidanya. [Saya] merasa punya personal obligation untuk amplify perubahan dalam bentuk protes ini,” katanya.

    Kendati begitu, sejumlah mahasiswa Indonesia yang lain memilih untuk tidak terlibat secara langsung karena statusnya sebagai mahasiswa internasional penerima beasiswa.

    Mahasiswa Indonesia di Universitas New York, Nafasya Ramadini Maura, berkata penangkapan yang dilakukan terhadap pendemo baru-baru ini membuatnya harus berpikir dua kali untuk mengikuti aksi demonstrasi.

    “Memang semuanya bentuk protes, sebagai bentuk tuntutan justice untuk Palestina, tapi kalau sebagai stance mahasiswa internasional, aku menilai masih ada cara lain untuk menyuarakan ini,” jelas Nafasya, yang menempuh studi public relations and corporate communication di Universitas New York sejak 2023 silam.

    ‘Bebaskan Palestina’

    Sementara itu, penangkapan di USC, Los Angeles dilakukan ketika para mahasiswa berkumpul di Taman Alumni tempat upacara wisuda di universitas tersebut dijadwalkan berlangsung bulan depan.

    Petugas polisi yang mengenakan perlengkapan antihuru-hara membersihkan perkemahan pro-Palestina di pusat kampus, mencegah para demonstran berkumpul.

    Siswa mendapat peringatan 10 menit dari helikopter polisi untuk membubarkan diri. Mereka yang menolak, ditangkap atas tuduhan masuk tanpa izin.

    Protes tersebut awalnya dilaporkan berlangsung damai, namun kemudian berubah memanas dengan kehadiran polisi yang terus berlanjut.

    Ketika polisi mencoba menahan seorang perempuan, pengunjuk rasa melemparkan botol air ke arah mereka dan meneriakkan, “Lepaskan dia!”

    ReutersPolisi menangkap seorang pengunjuk rasa pro-Palestina di kampus USC di Los Angeles, California, pada 25 April 2024, seperti terlihat dalam tangkapan layar yang diperoleh dari sebuah video.

    Para pengunjuk rasa berkumpul di sekitar aparat polisi, menenggelamkan peringatan polisi dengan nyanyian “bebaskan Palestina”.

    Para pelajar, beberapa di antaranya mengenakan kaffiyeh, memegang tanda “zona pembebasan”, sambil menabuh genderang.

    Di tempat lain di negara itu, polisi Boston mengatakan kepada CBS bahwa tiga petugas terluka dalam demonstrasi di kota itu salah satunya dalam kondisi serius.

    Tidak ada pengunjuk rasa yang terluka, tambah polisi.

    Para siswa dikatakan telah berkemah sejak Minggu, diduga mengabaikan peringatan untuk pergi.

    Emerson College belum mengomentari penangkapan tersebut. Dalam pernyataan sebelumnya, mereka mengatakan mereka mendukung hak untuk melakukan demonstrasi damai sambil mendesak para aktivis untuk mematuhi hukum.

    EPAMahasiswa dan anggota masyarakat dalam solidaritas pro-Palestina di USC, Los Angeles, California, pada 24 April 2024

    Kekacauan di Universitas Texas

    Sebelumnya, terjadi kekacauan di kampus Universitas Texas di Austin ketika ratusan polisi lokal dan negara bagian menunggang kuda sambil memegang pentungan, membubarkan pengunjuk rasa.

    Gubernur Greg Abbott mengerahkan Garda Nasional untuk menghentikan para demonstran yang bergerak melintasi kampus, dengan mengatakan, mereka “pantas dipenjara”.

    Rekaman video yang diunggah di media sosial menunjukkan petugas mendorong ke arah kerumunan, sambil memperingatkan para demonstran melalui pengeras suara untuk meninggalkan lokasi atau menghadapi penangkapan.

    “Saya perintahkan Anda atas nama rakyat negara bagian Texas untuk membubarkan diri,” demikian bunyi pengumuman tersebut.

    Sebanyak 34 orang ditangkap, kata para pejabat.

    Seorang fotografer Fox News 7 Austin terlihat terjatuh ke tanah dengan kameranya saat dikepung oleh polisi anti huru hara. Outlet media AS tersebut kemudian mengonfirmasi bahwa juru kameranya telah ditangkap.

    Pengunjuk rasa lainnya terlihat dikepung oleh polisi anti huru hara. Namun segera setelah itu sekitar 300 demonstran berkumpul kembali, duduk di rumput di bawah menara jam ikonik sekolah dan meneriakkan “bebaskan Palestina”.

    Dinodai dugaan antisemitisme

    Gelombang demonstrasi mahasiswa dinodai oleh dugaan insiden antisemitisme, yang dikecam oleh Gedung Putih.

    Demonstrasi serta perdebatan sengit mengenai perang Israel-Gaza dan kebebasan berpendapat telah mengguncang kampus-kampus AS sejak serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, yang memicu serangan balik Israel. Perang di Gaza terus berkecamuk hingga kini.

    Di AS, terjadi pelonjakan insiden antisemitisme dan Islamofobia sejak saat itu, menurut sejumlah mahasiswa dari kedua pihak.

    Ketika ditanya tentang demonstrasi pada Senin (22/04), Presiden AS Joe Biden mengatakan dia mengutuk “demonstrasi antisemitisme” serta “mereka yang tidak memahami apa yang terjadi dengan rakyat Palestina”.

    Gerakan protes ini menjadi sorotan pekan lalu setelah polisi Kota New York dipanggil ke Universitas Columbia dan menangkap lebih dari 100 demonstran.

    Getty ImagesDemonstrasi mahasiswa menentang perang di Gaza di Universitas New York

    Demonstrasi telah meluas sejak saat itu. Selain NYU dan Yale, mahasiswa yang berdemonstrasi telah mendirikan kemah-kemah di Universitas California di Berkeley, Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Universitas Michigan, Emerson College, dan Tufts.

    Seperti kawan-kawan mereka di universitas lain, para pengunjuk rasa di NYU menyerukan institusi pendidikan mereka untuk melepaskan sokongan “finansial dan dana abadi terhadap produsen senjata dan perusahaan yang berkepentingan dengan pendudukan Israel”.

    Seorang mahasiswa, Alejandro Tanon, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa AS berada pada “momen kritis”, menyamakan protes tersebut dengan demonstrasi bersejarah menentang Perang Vietnam dan apartheid di Afrika Selatan.

    “Kami mendukung Palestina dan kami mendukung pembebasan semua orang,” kata seorang pengunjuk rasa kepada mitra BBC di AS, CBS News.

    Sementara itu, seseorang yang berdiri di seberang jalan lokasi demonstrasi menentang perang di Palestina digelar, sambil mengibarkan bendera Israel berkata: “Ada satu sisi di sini dan satu sisi sejarah. Sisi yang benar ada di sini.”

    NYU mengungkapkan sekitar 50 orang terlibat dalam aksi demonstrasi di luar kampus tersebut. Mereka menggambarkan protes tersebut tidak sah dan mengganggu aktivitas perkuliahan.

    Polisi mulai menangkap mereka pada Senin (22/04) malam; jumlah pasti mereka yang ditahan hingga kini belum diketahui.

    Beberapa jam sebelumnya, hampir 50 pengunjuk rasa ditangkap di Universitas Yale di New Haven, Connecticut. Pihak berwenang mengatakan ratusan orang telah berkumpul; banyak dari mereka menolak seruan untuk membubarkan demonstrasi.

    EPASiswa mendengarkan pembicara pada protes di Emerson College

    Pada Senin (22/04), kepala Universitas Columbia, Dr Minouche Shafik, meminta mahasiswa untuk menjauh dari kampus, dengan alasan adanya insiden “perilaku yang mengintimidasi dan melecehkan”. Sebagai gantinya, kelas diadakan secara virtual.

    Dr Shafik mengatakan ketegangan di kampus telah “dieksploitasi dan diamplifikasi oleh individu-individu yang tidak berafiliasi dengan Columbia yang datang ke kampus dengan agenda mereka sendiri”.

    Pihak berwenang di NYU juga menyatakan bahwa pengunjuk rasa yang tidak memiliki hubungan dengan universitas telah bermunculan.

    Mereka melaporkan adanya insiden antisemitisme pada Senin (22/04) hari pertama hari raya Paskah Yahudi dan menjadi lembaga terbaru yang melaporkan hal tersebut.

    Video terbaru yang diunggah di dunia maya menunjukkan beberapa pengunjuk rasa di dekat Univesitas Columbia menyatakan dukungannya akan serangan Hamas terhadap Israel, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Anggota Kongres dari Partai Demokrat, Kathy Manning, yang mengunjungi Universitas Columbia pada Senin, mengatakan dia melihat pengunjuk rasa di sana menyerukan kehancuran Israel.

    Chabad, kelompok Hasid di Universitas Columbia mengatakan mahasiswa Yahudi diteriaki dan dijadikan sasaran retorika yang merugikan mereka.

    Sementara itu, seorang rabi yang terafiliasi dengan universitas tersebut dilaporkan memperingatkan mahasiswa Yahudi untuk menghindari kampus sampai situasinya membaik.

    Anggota kelompok pendemo yang memberikan pernyataan publik telah membantah tudingan antisemitisme yang ditujukan kepada mereka, dengan alasan bahwa kritik mereka ditujukan untuk negara Israel dan para pendukungnya.

    Mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Columbia Students for Justice in Palestine bilang mereka “dengan tegas menolak segala kebencian dan kefanatikan” dan mengkritik “individu yang tidak mewakili kami”.

    EPAMahasiswa yang berkemah di MIT

    Dalam sebuah pernyataan, Dr Shafik mengatakan sebuah kelompok kerja telah dibentuk di Columbia untuk “mencoba membawa krisis ini ke sebuah resolusi”.

    Pekan lalu, Dr Shafik memberikan kesaksian di hadapan komite kongres mengenai upaya Columbia untuk mengatasi antisemitisme.

    Dia menghadapi tekanan dari berbagai pihak, termasuk kemungkinan kecaman dari senat universitas atas penangkapan massal di kampus yang terjadi sehari setelah kesaksiannya.

    Sekelompok anggota parlemen federal, yang dipimpin oleh Perwakilan Partai Republik di New York, Elise Stefanik, juga telah menandatangani surat yang memintanya untuk mundur karena “kegagalan dalam mengakhiri gerombolan mahasiswa dan agitator yang menyerukan tindakan terorisme terhadap mahasiswa Yahudi” .

    EPADemonstrasi mahasiswa mendukung Palestina di Universitas Cambridge, pada 22 April 2024.

    Partai Demokrat juga telah meminta Columbia untuk memastikan bahwa pelajar Yahudi merasa aman dan diterima.

    Staf kampus bahkan bersikap kritis terhadap penanganan protes tersebut.

    Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke BBC pada Senin (22/04) malam, Knight First Amendment Institute di Columbia menyerukan “koreksi arah yang mendesak” dan mengatakan pihak berwenang di luar negeri hanya boleh terlibat ketika ada “bahaya yang jelas dan nyata” terhadap orang atau properti.

    Serangan terhadap Israel spada tanggal 7 Oktober menyebabkan sekitar 1.200 warga Israel dan orang asing sebagian besar warga sipil terbunuh dan 253 lainnya disandera di Gaza, menurut penghitungan Israel.

    Israel menanggapinya dengan melancarkan perang paling intens yang pernah terjadi di Gaza, dengan tujuan menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

    Lebih dari 34.000 warga Palestina di Gaza kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan perempuan tewas dalam konflik tersebut, kata kementerian kesehatan yang dikelola Hamas di wilayah tersebut.

    Mayoritas warga Amerika kini tidak menyetujui tindakan Israel di Gaza, menurut survei Gallup baru-baru ini, setelah terjadi pergeseran opini sejak pecahnya konflik saat ini.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • AS Mulai Bangun Dermaga Bantuan Kemanusiaan di Lepas Pantai Gaza

    AS Mulai Bangun Dermaga Bantuan Kemanusiaan di Lepas Pantai Gaza

    Washington DC

    Pentagon atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa militernya mulai membangun dermaga khusus di lepas pantai dekat wilayah Jalur Gaza. Dermaga khusus ini dimaksudkan untuk meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan warga Palestina di Jalur Gaza.

    Seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Jumat (26/4/2024), Pentagon menyebut dermaga untuk bantuan kemanusiaan itu akan mulai beroperasi pada bulan Mei mendatang.

    Pembangunan dermaga khusus itu diumumkan langsung oleh Presiden Joe Biden pada Maret lalu saat menyampaikan pidato kenegaraan tahunan. Pembangunan itu diputuskan saat para pejabat organisasi kemanusiaan menyerukan kepada Israel untuk memudahkan akses bantuan ke Jalur Gaza melalui jalur darat.

    Apakah dermaga itu pada akhirnya akan berhasil meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, masih belum jelas. Terlebih para pejabat internasional telah memperingatkan risiko bencana kelaparan di wilayah Jalur Gaza bagian utara.

    “Saya bisa memastikan bahwa kapal-kapal militer AS, termasuk USNS Benavidez, telah mulai membangun tahap awal dermaga sementara dan jalan lintasan di lautan,” tutur juru bicara Pentagon, Mayor Jenderal Patrick Ryder, saat berbicara kepada wartawan.

    Rentetan serangan militer Israel selama lebih dari enam bulan terakhir terhadap Jalur Gaza, untuk membalas serangan Hamas, telah memicu kehancuran dan menjerumuskan 2,3 juta jiwa penduduk Gaza ke dalam bencana kemanusiaan.

    Seorang pejabat senior AS pada pemerintahan Biden, yang berbicara kepada wartawan tanpa menyebut nama, mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan yang datang dari dermaga khusus itu harus melewati pos pemeriksaan Israel di darat.

    Padahal bantuan itu telah diperiksa oleh Israel di Siprus sebelum dikirim ke Jalur Gaza. Tel Aviv ingin mencegah bantuan apa pun mengalir ke tangan Hamas yang bisa meningkatkan upaya perang mereka.

    Prospek pos pemeriksaan Israel di darat itu memicu pertanyaan soal kemungkinan penundaan, bahkan setelah bantuan kemanusiaan itu mencapai pantai Gaza. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah sejak lama mengeluhkan hambatan dalam membawa masuk dan menyalurkan bantuan ke seluruh wilayah Gaza.

    Sementara itu, kekhawatiran soal risiko pasukan AS terjebak dalam perang Israel-Hamas semakin terlihat pada Kamis (25/4) waktu setempat, ketika serangan mortir menghantam area di dekat lokasi dermaga dibangun. Tidak ada tentara AS di daratan, dan Biden telah memerintahkan pasukan AS untuk tidak menginjakkan kaki di pantai Gaza.

    Washington mengatakan serangan yang diduga didalangi militan yang berbasis di Gaza itu menargetkan personel militer Israel di area tersebut, dan tidak ada aset AS yang mengalami kerusakan.

    Ryder menegaskan kepada wartawan bahwa serangan semacam itu “sama sekali tidak akan” menunda pembangunan dermaga, yang masih dalam proses penyelesaian pada bulan depan. Menurut Ryder, jalan lintasan dan dermaga yang dibangun militer AS itu berada jauh di luar jangkauan mortir.

    Dermaga khusus ini awalnya akan menangani 90 truk bantuan setiap harinya, namun jumlahnya bisa meningkat menjadi 150 truk bantuan setiap hari jika sudah beroperasi penuh. Menurut pejabat senior AS yang enggan disebut namanya, sekitar 1.000 tentara AS akan mendukung upaya militer itu, dalam koordinasi dengan Siprus dan Israel.

    Pihak ketiga, sebut pejabat senior AS itu, akan mengemudikan truk-truk menyusuri dermaga menuju ke pantai Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini