Negara: Israel

  • Aktivis Beberkan Perlakuan Buruk Israel | Jumlah Korban Ponpes Roboh Terus Bertambah

    Aktivis Beberkan Perlakuan Buruk Israel | Jumlah Korban Ponpes Roboh Terus Bertambah

    Y

    OlehYoga NugrahaDiperbaharui 07 Okt 2025, 14:10 WIB

    Diterbitkan 06 Okt 2025, 17:17 WIB

    Sejumlah aktivis internasional yang sebelumnya ditahan oleh pasukan Israel setelah kapal Global Sumud Flotilla dihadang, mulai mengungkapkan kesaksian mengenai perlakuan buruk Israel yang mereka alami selama di penjara.

    Sementara itu, jumlah korban jiwa akibat runtuhnya bangunan musala di Pondok Pesantren Al Khoziny terus bertambah. Hingga Senin pagi, tercatat sedikitnya 54 jenazah telah ditemukan dari total 167 korban.

    Simak selengkapnya di News Flash Liputan6.com.

  • 2 Tahun Perang Gaza, AS Kucurkan Bantuan Militer Rp 359 T ke Israel

    2 Tahun Perang Gaza, AS Kucurkan Bantuan Militer Rp 359 T ke Israel

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan mantan Presiden Joe Biden dan Presiden Donald Trump telah mengucurkan setidaknya US$ 21,7 miliar, atau setara Rp 359,3 triliun, dalam bentuk bantuan militer kepada Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memulai perang tanpa henti di Jalur Gaza.

    Angka tersebut, seperti dilansir Associated Press, Selasa (7/10/2025), diungkapkan dalam studi akademis terbaru dari proyek Costs of War di Watson School of International and Public Affairs pada Universitas Brown yang dirilis pada Selasa (7/10), bertepatan dengan peringatan dua tahun dimulainya perang Gaza.

    Laporan utama menyebutkan bahwa AS memberikan bantuan militer US$ 17,9 miliar (Rp 296,4 triliun) kepada Israel pada tahun pertama perang — ketika Biden masih menjabat — dan bantuan sebesar US$ 3,8 miliar (Rp 62,9 triliun) pada tahun kedua.

    Menurut laporan itu, sebagian bantuan militer itu telah dikirimkan, sedangkan sisanya akan dipasok dalam beberapa tahun mendatang.

    Sebuah studi lainnya yang juga dirilis proyek tersebut menyatakan bahwa AS telah menghabiskan sekitar US$ 10 miliar lebih banyak untuk bantuan keamanan dan operasi di Timur Tengah yang lebih luas dalam dua tahun terakhir.

    Laporan tersebut disusun bekerja sama dengan Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berbasis di Washington. Institut ini telah dituduh oleh beberapa kelompok pro-Israel sebagai penganut isolanionis dan anti-Israel. Tuduhan tersebut telah dibantah oleh organisasi itu.

    Meskipun sebagian besar mengandalkan materi sumber terbuka untuk temuannya, laporan tersebut menawarkan beberapa perhitungan paling komprehensif tentang bantuan militer AS kepada sekutu dekatnya, Israel, dan perkiraan biaya keterlibatan militer langsung Amerika di kawasan Timur Tengah.

    Departemen Luar Negeri AS belum memberikan komentar langsung mengenai jumlah bantuan militer yang diberikan kepada Israel sejak Oktober 2023. Gedung Putih meminta pertanyaan tersebut diberikan kepada Pentagon, yang hanya mengawasi sebagian dari bantuan tersebut.

    Laporan tersebut, yang sangat kritis terhadap Israel, menyatakan bahwa tanpa bantuan AS, Israel tidak akan mampu mempertahankan operasi militer melawan Hamas di Jalur Gaza. Laporan itu mencatat bahwa pendanaan puluhan miliar dolar Amerika di masa depan untuk Israel diproyeksikan berdasarkan berbagai perjanjian bilateral.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Setiap tahun, Yonatan Shamriz dan keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun putrinya, yang tahun ini menginjak empat tahun.

    Sebisa mungkin ia berusaha membuat hari ulang tahun putrinya, yang bernama Yali, terasa normal.

    Yali lahir pada 7 Oktober 2021. Dua tahun kemudian, komunitas tempat keluarga Shamriz tinggal, Kfar Aza, mendapat serangan dari kelompok Hamas.

    Enam puluh dua orang dari kawasan tersebut tewas pada hari itu.

    Saudara laki-laki Yonatan, Alon, termasuk di antara warga Israel yang disandera.

    Alon tak pernah kembali ke rumah, dan justru tewas tertembak oleh militer Israel (IDF) di Gaza pada Desember 2023 setelah berhasil melarikan diri dari penyanderaan Hamas.

    “Itu adalah momen terberat dalam hidup saya,” kata Yonatan kepada ABC.

    “Saudara saya melakukan segalanya. Mereka berhasil melarikan diri.

    “Sangat sulit mendengar kalau IDF keliru mengidentifikasinya sebagai teroris.”

    Dua tahun setelah peristiwa itu, kehidupan Yonatan masih belum tenang.

    “Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri, tidak punya rumah, tinggal di sebuah mobil trailer di pusat Israel,” ujarnya.

    “Saya tidak berada di zona nyaman. Saya tidak punya saudara laki-laki.”

    Meski dihantui trauma, Yonatan mencurahkan energinya untuk organisasi Kumu, yang mendukung keluarga-keluarga yang terdampak serangan dua tahun lalu.

    Organisasi ini menjadi tuan rumah satu-satunya acara peringatan resmi pada 7 Oktober di salah satu taman terbesar di Tel Aviv.

    “Kita bisa lihat keluarga yang berduka dan warga yang paling menderita, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi apa yang hilang dari mereka,” katanya.

    “Sebagian tidak sanggup melakukan apa pun. Sebagian lain justru berusaha melakukan sesuatu dengan segala cara.”

    “Saya merasa harus melakukannya. Saya merasa jika hanya duduk diam dan santai, malah akan tenggelam ke dalam lubang.”

    Luka yang mendalam

    Seperti banyak warga Israel lainnya, Yonatan sadar kalau warga Israel sudah berubah dalam dua tahun sejak serangan Hamas.

    Setelah menyusup ke Israel, kelompok militan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang, yang sebagian besar warga sipil, serta menyandera 250 orang, hingga memicu perang di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.

    Israel mengatakan tujuan serangan ke Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

    Namun, seiring waktu, cara Israel melakukannya semakin menuai kritik.

    Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan di Gaza.

    Tindakan Israel juga dilabeli sebagai genosida oleh komisi penyelidikan independen dari PBB dan berbagai organisasi lainnya.

    Militer Israel atau IDF kini menguasai lebih dari 75 persen wilayah Gaza, dan lebih dari 2 juta penduduknya terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    Meski tidak bisa dibandingkan, beban perang juga dirasakan Israel.

    Banyak warga Israel yang mendukung perang, tetapi tidak sedikit pula yang merasa ketakutan.

    Semakin banyak tentara cadangan Israel yang menolak untuk bertugas di Gaza.

    Dalam berbagai aksi unjuk rasa tahun ini, ribuan orang turun ke jalan di Yerusalem dan Tel Aviv untuk menyerukan diakhirinya perang di Gaza.

    Meski ada harapan untuk kesepakatan damai, Yonatan mengatakan babak sejarah ini meninggalkan luka yang dalam di Israel.

    “Saya pikir rakyat Israel berbeda dengan para pemimpinnya,” ujarnya.

    “Kebanyakan orang ingin ada komite nasional untuk menyelidiki apa yang terjadi pada 7 Oktober, kebanyakan orang ingin ada pemilu, kebanyakan orang ingin perang berakhir dan para sandera dipulangkan.”

    “Dan selama dua tahun, tak satu pun dari itu yang kami dapatkan.”

    Perubahan ke kanan

    Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.

    Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.

    “Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.

    “Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”

    “Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”

    Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.

    “Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.

    “Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”

    ‘Menguasai’ Gaza jadi tujuan sebagian pemimpin

    Semua itu, kata Dr Persico, mempermudah para “fundamentalis” seperti menteri keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich dan menteri keamanan nasional Itamar Ben-Gvir, untuk memperluas pengaruh mereka di pemerintahan dan di kalangan masyarakat.

    Australia sudah menjatuhkan sanksi terhadap kedua politisi Israel tersebut karena “retorika ekstremis yang mendorong pemindahan paksa warga Palestina dan pembangunan permukiman Israel baru”.

    “Mereka punya visi untuk menduduki Jalur Gaza dan menempatkan orang Yahudi di sana, serta membersihkan Gaza dari warga Palestina secara etnis,” kata Dr Persico.

    “Itulah rencana mereka, itulah visi mereka. Mereka percaya Tuhan memerintahkan hal itu.”

    “Untuk visi itu, mereka rela memperpanjang perang, mengorbankan tentara, dan mengancam PM Netanyahu jika dia menyimpang sedikit saja dari rencana itu, mereka akan menggulingkan pemerintahannya.”

    Dr Persico menegaskan meski masyarakat bergeser ke kanan, bukan berarti mereka mendukung pemerintahan koalisi Netanyahu.

    “Paradoksnya, ada pergeseran ke kanan di kalangan rakyat, tetapi juga ada sikap antagonis terhadap pemerintahan yang paling sayap kanan yang pernah berkuasa di Israel,” katanya.

    “Ada banyak kritik di Israel tentang apa yang dilakukan Israel di Gaza saat ini, tentang kenyataan perdana menteri kami, [Benjamin] Netanyahu, dianggap … berusaha menghindari setiap peluang untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas demi memulangkan para sandera dan mengakhiri perang ini.”

    “Jika pemilu diadakan hari ini, mereka tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan di Israel.”

    Dr Persico percaya akan ada perubahan besar di masa depan, lebih dari sekadar pemilu.

    “Setelah perang ini berakhir, trauma akan sedikit mereda dan saya pikir akan ada masa pertanggungjawaban,” katanya.

    “Saya pikir masyarakat Israel akan melalui masa refleksi dan penyesalan atas apa yang kami izinkan atau apa yang terjadi di Gaza, apa yang dilakukan pemerintah di Gaza.

    “Dan saya pikir orang-orang akan merasa malu dengan apa yang terjadi dan saya pikir seseorang akan harus disalahkan, karena begitulah cara kerja manusia.”

    Aksi-aksi protes digelar setiap pekannya selama dua tahun, menuntut pemerintah menerima kesepakatan untuk mengakhiri perang.

    Meski fokus utama demonstrasi adalah nasib para sandera Israel yang ditahan di Gaza, dalam beberapa bulan terakhir semakin banyak orang yang menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.

    Di antara kelompok itu ada yang benar-benar peduli pada penderitaan warga Palestina, dan ada pula yang khawatir dampaknya terhadap Israel dan reputasi negaranya di mata internasional.

    Kebanyakan warga Israel ingin perang berakhir

    Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi.

    Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.

    Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.

    Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.

    Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.

    Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.

    Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.

    Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.

    Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.

    Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.

    Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel.

    Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel.

    Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.

    ‘Orang-orang sudah lelah’

    Jalan-jalan di Yerusalem jauh lebih sepi dibandingkan sebelum 7 Oktober 2023. Turis masih datang ke Yerusalem, tapi jumlahnya tidak sebanyak sebelum perang.

    Saat turis asing, yang menjadi sumber pemasukan utama kota itu, menjauh, beberapa pemilik usaha menilai warga lokal juga kini jauh lebih tertutup dibandingkan sebelumnya.

    “Orang-orang sudah lelah. Orang-orang tidak lagi percaya situasinya akan menjadi lebih baik,” kata Meir Micha.

    Meir menjalankan restorannya di pusat distrik komersial Yerusalem selama lebih dari 50 tahun.

    “Saya melihat pelanggan. Mereka tidak lagi tersenyum seperti dulu, tidak lagi bicara soal pertandingan sepak bola, mereka datang hanya untuk makan,” ujar Meir.

    “Saat perang, semua orang pada akhirnya menginginkan perdamaian. Itu tergantung bagaimana kita menemukan perdamaian itu. Tidak ada yang mau berperang sepanjang hidupnya.”

    Eli Katz termasuk yang menikmati hummus yang disajikan di restoran milik Meir.

    “Perang hanya berjarak 50 mil dari kami, bom meledak dan gedung-gedung hancur, dan kemudian … saya duduk di restoran, di kafe, makan,” katanya.

    “Benar-benar membuat bingung, tetapi saya pikir saat ini kebanyakan orang hanya ingin perang segera berakhir.”

    Eli mengatakan tanggapan komunitas internasional terhadap perang di Gaza, serta tindakan Israel, memengaruhi suasana para warga.

    “Mengakui Palestina atau meninggalkan Netanyahu saat pidato di PBB, saya rasa justru membawa dampak sebaliknya, membuat semua orang semakin keras kepala,” ujarnya.

    “Pada akhirnya, alih-alih berkata kita punya teman dan bisa bekerja sama dan … kita bisa menghentikan perang karena orang-orang akan membantu kita, saya pikir perasaan warga secara umum adalah kami merasa sendirian, jadi kami tidak bisa mempercayai siapa pun, sehingga kami harus terus berperang.”

    Dari ‘bersatu’ menjadi ‘terpecah’

    Tak jauh dari sana, penata rambut Effi Hazuot menonton saluran TV sayap kanan Israel, Channel 14, di salonnya.

    Saluran nasionalis yang bahkan mengkritik beberapa jenderal IDF karena dianggap tidak cukup sayap kanan ini jarang menampilkan dampak kemanusiaan perang di Gaza.

    Ini adalah salah satu sumber berita paling banyak ditonton di Israel.

    “Di awal perang, publik Israel sangat bersatu,” kata Effi.

    “Tetapi saat perang terus berlanjut, bulan demi bulan, sekarang sudah dua tahun, ada perpecahan antara kubu kanan dan kiri.”

    “Dan sekarang warga berhaluan sayap kiri di Israel, menjadi sangat ekstrem. Mereka ingin perang ini segera diakhiri dengan cara apa pun. Mereka bahkan tidak peduli jika kita tidak memenangkan perang, dan itu sayangnya sangat menyedihkan.”

    Ia bersikeras perang harus terus dilanjutkan sampai Israel “menghancurkan Hamas”.

    “Orang-orang yang tinggal boleh dibiarkan, tidak masalah,” ujarnya.

    “Tetapi organisasi ini [Hamas], mereka adalah pembunuh.”

    Effi mengatakan kritik internasional terhadap Israel hanyalah manuver politik untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di sejumlah negara, seperti imigrasi.

    Effi juga membantah peringatan dari kebanyakan organisasi kemanusiaan soal kelaparan di Gaza.

    “Dunia mengatakan orang-orang di Gaza kelaparan. Tidak ada yang kelaparan di sana,” katanya.

    “Saya punya teman, dia di Gaza. Dia seorang komandan [militer] dan saya menanyakannya soal itu.”

    “Dia bilang itu banyak kebohongan.”

    Pernyataan itu bertentangan dengan peringatan PBB dan berbagai lembaga lain mengenai krisis kelaparan yang parah di Gaza.

    ‘Perpecahan bangsa’

    Di pasar yang tak jauh dari sana, Miri Ben Amram membela IDF dan pemimpin negaranya.

    “Kami punya tentara terbaik di dunia, dan seorang perdana menteri, diplomat terbaik di dunia,” katanya.

    “Netanyahu nomor satu.”

    “Kami ingin damai, saya ingin damai, hanya damai.”

    Meski begitu, Miri yang kehilangan putranya yang bertugas bersama militer Israel beberapa tahun lalu, mengakui perang telah memecah belah negara.

    “Ada perpecahan bangsa … kami ingin bersatu tetapi mustahil,” katanya.

    “Partai-partai politik, politik, telah menghancurkan segalanya, dan dunia tidak memandang kami dengan baik.”

    “Tapi lihat apa yang mereka lakukan kepada kami [pada 7 Oktober]. Itu pembantaian. Itu holocaust kedua. Ini tidak mudah.”

    “[Dunia] menekankan jika kami melakukan genosida, dan itu tidak benar. Mereka yang membunuh kami. Mereka meneror kami.”

    Pandangan itu dipegang banyak warga Israel yang merasa dunia telah berpaling dari penderitaan mereka setelah dua tahun perang.

    Namun, meraih kembali dukungan internasional adalah hal yang, menurut orang-orang seperti Yonatan Shamriz, sulit dicapai.

    “Dengan kepemimpinan saat ini, saya pikir itu mustahil,” katanya.

    “Saya pikir satu-satunya orang yang benar-benar melakukan advokasi di media internasional adalah warga sipil seperti saya.”

    “Kebanyakan negara yang dulu menjadi sekutu Israel kini mengakui negara Palestina, sehingga mereka bisa membantai kami dan mereka mendapatkan hadiah berupa negara Palestina.”

    “Sangat, sangat membuat frustrasi bahwa kepemimpinan Israel tidak mendengarkan rakyat Israel dan tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkan kepentingan Israel di dunia.”

  • Turki Tangkap 2 Orang Diduga Mata-mata Mossad

    Turki Tangkap 2 Orang Diduga Mata-mata Mossad

    Ankara

    Otoritas Turki menangkap dua orang yang diduga melakukan praktik spionase atau menjadi mata-mata untuk badan intelijen Israel, Mossad. Dua orang yang berprofesi sebagai detektif swasta dan pengacara itu dituduh telah menjual informasi kepada agen-agen intelijen Israel.

    Penangkapan ini, seperti dilansir kantor berita Anadolu Agency, Selasa (7/10/2025), dilakukan dalam operasi gabungan yang dilakukan oleh Organisasi Intelijen Nasional (MIT), Kantor Jaksa Penuntut Umum Istanbul, dan Departemen Kepolisian Istanbul.

    Kedua orang yang ditangkap itu diidentifikasi sebagai Serkan Cicek, yang dituduh bekerja langsung untuk Mossad, dan Tugrulahan Dip, yang diduga menjual informasi kepada detektif yang terkait dengan Mossad.

    Cicek merupakan seorang detektif swasta, sedangkan Dip berprofesi sebagai seorang pengacara.

    Setelah diinterogasi oleh jaksa, kedua tersangka dirujuk ke pengadilan pidana perdamaian, yang kemudian memerintahkan penahanan mereka atas dakwaan “memperoleh informasi rahasia negara untuk spionase politik atau militer”.

    Otoritas Turki menyebut Cicek, yang juga dikenal sebagai Muhammet Fatih Kelas, menjalankan sebuah kantor detektif swasta dan melakukan pengintaian di Istanbul terhadap seorang aktivis Palestina atas permintaan agen Mossad.

    Disebutkan oleh otoritas Ankara bahwa Cicek diduga menerima bayaran sebesar US$ 4.000 (Rp 66 juta) dalam bentuk mata uang kripto untuk penugasan tersebut.

    Sementara Dip, menurut otoritas Turki, memberikan data pribadi dari catatan publik kepada para detektif demi keuntungan finansial. Dip juga dituduh mendukung aktivitas spionase Cicek dan mata-mata lainnya.

    Ditambahkan oleh otoritas Ankara bahwa Cicek sebelumnya pernah bekerja bersama seseorang bernama Musa Kus, yang telah dinyatakan bersalah menjadi mata-mata Israel dan dijatuhi hukuman 19 tahun penjara.

    Tonton juga Video: Dokumen Rahasia AS Bocor, Berisi Informasi Perang Ukraina-Mossad

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Video: Israel Serang Lebanon Lagi, 2 Tokoh Hizbullah Tewas

    Video: Israel Serang Lebanon Lagi, 2 Tokoh Hizbullah Tewas

    Jakarta, CNBC Indonesia – Israel kembali melancarkan serangan udara ke Lebanon Selatan. Serangan terjadi Senin malam waktu setempat dan menewaskan 2 orang termasuk seorang anggota Senior Hizbullah bersama istrinya.

    Simak informasi selengkapnya dalam program Profit CNBC Indonesia (Selasa 07/10/2025) berikut ini.

  • Lagi-lagi, Houthi Tahan 9 Staf PBB di Yaman

    Lagi-lagi, Houthi Tahan 9 Staf PBB di Yaman

    Jakarta

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam keras penahanan sewenang-wenang sembilan staf PBB di Yaman oleh kelompok pemberontak Houthi, beserta penyitaan aset dan fasilitas di wilayah-wilayah yang dikuasai Houthi.

    “Baru-baru ini, otoritas de facto Houthi menahan sembilan lagi personel PBB, sehingga jumlah total staf PBB yang ditahan secara sewenang-wenang menjadi 53 orang sejak 2021,” kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan, dilansir kantor berita AFP, Selasa (7/10/2025).

    “Tindakan-tindakan ini menghambat kemampuan PBB untuk beroperasi di Yaman dan memberikan bantuan penting,” imbuh Dujarric dalam pernyataan tersebut.

    Bulan lalu, PBB merelokasi koordinator kemanusiaan utamanya dari ibu kota Yaman, Sanaa yang dikuasai Houthi, ke kota Aden yang dikuasai pemerintah.

    Pemerintah Yaman yang diakui secara internasional mendirikan kantor pusatnya di kota Aden di Yaman selatan setelah kelompok Houthi mengusir mereka dari Sanaa pada tahun 2014.

    Langkah ini diambil setelah PBB pada bulan Agustus lalu menyatakan bahwa pemberontak Houthi yang didukung Iran, telah menangkap setidaknya 11 pegawainya sebagai bagian dari gelombang penahanan setelah serangan Israel menewaskan perdana menteri Houthi.

    (ita/ita)

  • Warga Australia yang Ikut Perahu ke Gaza Diperlakukan Kasar oleh Israel

    Warga Australia yang Ikut Perahu ke Gaza Diperlakukan Kasar oleh Israel

    Anda sedang menyimak rangkuman berita-berita utama dari sejumlah negara yang terjadi dalam 24 jam terakhir.

    Dunia Hari Ini edisi Selasa, 7 Oktober 2025, kita awali dari upaya mengirim bantuan ke Gaza.

    Warga Australia mengaku diperlakukan kasar oleh Israel

    Aktivis Australia, yang bergabung dalam armada perahu ke Gaza dan ditangkap oleh otoritas Israel, mengaku mendapat perlakuan buruk seperti pemukulan fisik di dalam penjara.

    Pengakuan ini muncul setelah Israel menahan awak perahu armada Sumud Global, dengan 171 aktivis lainnya dideportasi keluar Israel, termasuk Greta Thunberg.

    ABC sudah memperoleh ringkasan laporan yang disusun diplomat Australia di Israel, setelah mereka bertemu dengan beberapa warga Australia yang ditahan di penjara Ketziot, dekat perbatasan Israel-Mesir di Gurun Negev.

    Kementerian Luar Negeri Australia mengatakan: “Pemerintah Australia sudah menegaskan kepada Israel harapan kami bahwa para tahanan akan menerima perlakuan manusiawi sesuai dengan norma-norma internasional.”

    PM Prancis harus cari jalan keluar dari krisis

    Presiden Prancis Emmanuel Macron menugaskan PM Prancis Sebastien Lecornu untuk mengadakan perundingan dengan partai-partai politik lain untuk mencari jalan keluar dari krisis, sebelum ia mengundurkan diri.

    Macron mengatakan siap untuk “mengambil alih tanggung jawabnya” jika gagal, seperti dikatakan pejabat kepresidenan, yang mungkin merujuk pada penyelenggaraan pemilihan legislatif baru.

    Lecornu diangkat sebagai perdana menteri pada bulan September, kemudian mengumumkan kabinet barunya pada hari Minggu (05/10), waktu setempat.

    Namun, ia mengumumkan pengunduran dirinya hanya 14 jam kemudian, setelah pertemuan dengan berbagai partai di Majelis Nasional Prancis gagal membuahkan hasil.

    “Syarat-syarat tidak terpenuhi bagi saya untuk menjalankan fungsi saya sebagai perdana menteri,” kata Lecornu, Senin kemarin.

    Badai salju Gunung Everest memakan korban

    Seorang pendaki tewas dan ratusan lainnya diselamatkan setelah hujan salju lebat terjadi di dekat Gunung Everest dan di Dataran Tinggi Tibet, demikian laporan media CCTV.

    Pendaki yang meninggal dunia diketahui akibat hipotermia, sementara lebih dari 130 orang lainnya dievakuasi dari wilayah yang sama setelah ratusan penyelamat dan dua drone dikerahkan, tambahnya.

    Salju dan hujan lebat yang mengguyur Himalaya selama akhir pekan ini juga mendorong penduduk desa setempat dan tim penyelamat untuk mencoba menjangkau para pendaki yang diduga masih terjebak.

    Dalam beberapa hari terakhir para pendaki berbondong-bondong ke kawasan tersebut karena hari libur nasional delapan hari di China, meski berakhir dengan terjebak dalam cuaca ekstrem.

    Di perbatasan Nepal dan India, pejabat setempat menyebut tanah longsor dan banjir sudah menewaskan lebih dari 70 orang, sementara petugas penyelamat terus berupaya menjangkau masyarakat yang terisolasi di daerah pegunungan terpencil.

    Waktu terbaik untuk melihat ‘supermoon’

    Australia akan menyaksikan bulan purnama super, atau ‘supermoon’, yang pertama di tahun 2025.

    Meskipun ‘supermoon’ bukanlah istilah astronomi, fenomena terjadi saat bulan berada dalam jarak 90 persen dari titik terdekatnya dengan Bumi, yang juga dikenal dengan istilah “perigee.”

    Meskipun ‘harvest moon’ di bulan Oktober menjadi ‘supermoon’ yang pertama, tapi bukan menjadi yang terakhir untuk tahun ini, karena ada dua bulan purnama lagi yang digolongkan sebagai “super” yang akan terjadi pada bulan November dan Desember.

    Bulan akan terlihat paling penuh pada malam hari ini, Selasa, 7 Oktober. Namun jika Anda melewatkannya, jangan khawatir. Bulan akan tetap terlihat spektakuler pada hari Rabu malam besok, 8 Oktober.

  • Selamat dari Ledakan Pager, Pria di Lebanon Tewas Digempur Israel

    Selamat dari Ledakan Pager, Pria di Lebanon Tewas Digempur Israel

    Beirut

    Serangan udara Israel yang menghantam wilayah Lebanon pada Senin (6/10) waktu setempat, menewaskan sedikitnya dua orang. Salah satu korban tewas merupakan seorang pria yang selamat tapi kehilangan penglihatannya, akibat ledakan pager Israel yang menargetkan Hizbullah tahun lalu.

    Militer Israel mengatakan serangan terbarunya di Lebanon itu menargetkan seorang anggota Hizbullah.

    Israel terus melancarkan serangan-serangan terhadap Lebanon, yang biasanya diklaim menargetkan Hizbullah, meskipun gencatan senjata masih berlaku sejak November tahun lalu. Tel Aviv juga masih menempatkan pasukan militernya di sebanyak lima area di wilayah Lebanon bagian selatan yang dianggap strategis.

    Dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (7/10/2025), militer Israel mengatakan telah menewaskan Hassan Atwi, yang mereka gambarkan sebagai “seorang teroris kunci dalam unit pertahanan udara Hizbullah di wilayah Nabatiyeh”, pada Senin (6/10).

    Istri Atwi, Zainab Raslan, yang mengemudikan kendaraan yang ditumpangi suaminya, menurut laporan media pemerintah Lebanon, National News Agency (NNA), juga tewas dalam serangan Israel tersebut.

    Militer Israel, dalam pernyataannya, menuduh Atwi telah “memimpin upaya pembentukan kembali dan mempersenjatai kembali” unit tersebut, dan “menjalin kontak dengan dan membeli peralatan dari para pemimpin unit tersebut di Iran”.

    Laporan NNA menyebut Atwi mengalami luka-luka dan kehilangan penglihatannya ketika Israel meledakkan ratusan pager dan walkie-talkie yang digunakan oleh para anggota Hizbullah di berbagai wilayah Lebanon tahun lalu.

    Kementerian Kesehatan Lebanon juga melaporkan serangan Israel pada Senin (6/10). Disebutkan bahwa sedikitnya dua orang tewas dan satu orang mengalami luka-luka ketika “serangan drone Israel menargetkan sebuah mobil di jalan Zebdine di distrik Nabatiyeh” di wilayah Lebanon bagian selatan.

    Militer Israel juga mengatakan bahwa pasukannya telah menyerang “kompleks militer… yang digunakan Hizbullah untuk pelatihan” di wilayah Bekaa, Lebanon bagian timur. Sementara NNA melaporkan “dua serangan udara” lainnya melanda wilayah Provinsi Hermal di timur laut negara tersebut.

    Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memverifikasi kematian 103 warga sipil di Lebanon sejak gencatan senjata berlaku pada November tahun lalu. PBB menuntut penghentian penderitaan warga sipil yang sedang berlangsung.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/nvc)

  • Hamas Setujui Hal-hal Sangat Penting dalam Rencana Damai Gaza

    Hamas Setujui Hal-hal Sangat Penting dalam Rencana Damai Gaza

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan keyakinannya bahwa kesepakatan damai Gaza akan tercapai. Trump menyebut kelompok Hamas telah menyetujui hal-hal yang “sangat penting” seiring dimulainya perundingan dengan Israel.

    “Saya memiliki garis merah, jika ada hal-hal tertentu yang tidak terpenuhi, kita tidak akan melakukannya,” kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval Gedung Putih saat ditanya apakah dirinya memiliki prasyarat, termasuk persetujuan Hamas untuk melucuti senjata mereka.

    “Tapi saya pikir kita melakukannya dengan sangat baik dan saya pikir Hamas telah menyetujui hal-hal yang sangat penting,” ujar Trump seperti dilansir AFP, Selasa (7/10/2025).

    Dia tidak menjelaskan lebih lanjut soal “hal-hal sangat penting” yang dimaksudnya tersebut.

    Trump mengatakan dirinya optimis tentang peluang tercapainya kesepakatan damai, ketika delegasi Hamas dan Israel memulai kembali perundingan tidak langsung di Mesir untuk mengakhiri perang Gaza, berdasarkan 20 poin rencana perdamaian yang diajukannya baru-baru ini.

    “Saya pikir kita akan mencapai kesepakatan. Sulit bagi saya untuk mengatakannya ketika selama bertahun-tahun mereka telah berusaha mencapai kesepakatan,” ucapnya.

    “Kita akan mencapai kesepakatan Gaza, saya cukup yakin, ya,” kata Trump.

    Lebih lanjut, Trump membantah laporan yang menyebut Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu bersikap negatif terhadap perundingan dengan Hamas tersebut. Dia menegaskan bahwa Netanyahu “sangat positif terhadap kesepakatan tersebut”.

    Pada Senin (6/10) waktu setempat, juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan bahwa pembicaraan teknis sedang berlangsung di Mesir untuk membahas kesepakatan gencatan senjata Gaza.

    Leavitt mengatakan bahwa Trump ingin perang Gaza berakhir secepat mungkin.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Jakarta

    Serangan 7 Oktober 2023 membuat Israel lengah. Pada hari itu, pejuang Hamas dan milisi bersenjata lainnya berhasil menembus perbatasan yang dijaga ketat di Gaza dan melancarkan serangan ke wilayah Israel, menewaskan hampir 1.200 orang serta menyandera 251 lainnya. Pengalaman ini meninggalkan trauma mendalam yang masih dirasakan hingga kini di Israel.

    Pada 8 Oktober 2023, pemerintah Israel melancarkan serangan ke Gaza. Dua tahun kemudian, penderitaan besar menimpa warga Palestina di wilayah itu. Operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menewaskan sedikitnya 66.000 orang, sekitar 80% di antaranya warga sipil, dan melukai sekitar 169.000 orang, menurut estimasi konservatif dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Lembaga internasional memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

    Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 90% rumah di Gaza telah hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari 2,1 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Karena “blokade total” yang diberlakukan Israel, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kelaparan parah yang telah menewaskan sedikitnya 450 orang, termasuk 150 anak-anak.

    Tujuan perang Israel belum tercapai

    Setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menetapkan dua tujuan utama perang di Gaza: membebaskan semua sandera dan menghancurkan Hamas. Dua tahun berlalu, keduanya belum tercapai. Dari 251 sandera yang dibawa ke Gaza, 148 telah dikembalikan hidup-hidup, delapan diselamatkan oleh IDF dan 140 dibebaskan Hamas melalui pertukaran tahanan. Jenazah beberapa sandera yang tewas juga telah dikembalikan.

    Menurut pemerintah Israel, 48 sandera masih ditahan, dan hanya 20 yang diyakini masih hidup.

    Hamas, yang oleh Israel, Uni Eropa, dan AS dikategorikan sebagai organisasi teroris, masih bertahan di Gaza meski banyak anggotanya tewas. Beberapa pemimpinnya, termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, telah terbunuh. Namun, organisasi itu tetap beroperasi.

    Pada akhir September 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza yang menyerukan pembebasan seluruh sandera dan perlucutan senjata Hamas, dengan amnesti bagi para pejuang yang bersedia hidup damai dengan Israel, yang berarti akhir dari Hamas sebagai milisi bersenjata.

    Musuh-musuh Israel melemah

    Israel melancarkan serangan terhadap semua kelompok tersebut, termasuk membunuh pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah lewat ledakan di Beirut dan puluhan pejuang Hezbollah melalui serangan alat elektronik yang diledakkan pada September 2024. Serangan udara di Lebanon selatan semakin melemahkan Hezbollah.

    Angkatan udara Israel juga menyerang Iran selama beberapa hari, merusak fasilitas nuklir, dan membunuh Ismail Haniyeh di pusat kota Teheran, yang mempermalukan rezim Iran.

    Runtuhnya pemerintahan Bashar Assad di Suriah oleh pemberontak pada akhir 2024 juga membuat Iran kehilangan sekutu penting. Akibatnya, lawan-lawan Israel di Iran, Suriah, Lebanon, dan Gaza mengalami kemunduran besar, memperkuat dominasi militer Israel di kawasan.

    Israel dituduh lakukan genosida

    Cara Israel menjalankan perangnya di Gaza memicu kecaman internasional. Selama dua tahun, Israel mengebom rumah sakit, kamp pengungsi, dan sekolah, menewaskan ribuan perempuan dan anak-anak, serta banyak jurnalis, petugas penyelamat, dan pekerja kemanusiaan. Israel juga berulang kali menghalangi bantuan kemanusiaan dengan alasan untuk mencegahnya jatuh ke tangan Hamas.

    Tindakan ini memunculkan tuduhan bahwa Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Komisi HAM PBB, Asosiasi Internasional Cendekia Genosida, dan organisasi HAM Israel seperti B’Tselem serta Physicians for Human Rights menuduh hal serupa. Pemerintah Netanyahu membantahnya, menyatakan bahwa tidak ada bukti dan Israel berhak membela diri.

    Pada Desember 2023, Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas pelanggaran Konvensi Genosida PBB. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel menolak tuduhan itu, dan Hungaria bahkan menarik diri dari ICC.

    Pengakuan negara Palestina

    Kondisi kemanusiaan di Gaza mendorong dukungan bagi pengakuan negara Palestina. Sebelum 7 Oktober 2023, sekitar 140 negara telah melakukannya. Dua tahun kemudian, 20 negara tambahan, termasuk Prancis, Inggris, Spanyol, Australia, dan Kanada, juga resmi mengakui Palestina.

    Langkah ini menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, yakni kemerdekaan Palestina berdampingan dengan Israel. Netanyahu menilai pengakuan itu akan “menghadiahi Hamas,” namun negara-negara tersebut menegaskan bahwa Hamas tidak akan memiliki peran dalam negara Palestina yang merdeka.

    Sejumlah negara juga menangguhkan ekspor senjata ke Israel dan memberlakukan sanksi, seperti yang dilakukan Kolombia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Uni Eropa sedang membahas sanksi ekonomi, termasuk pembekuan perjanjian asosiasi UE-Israel, pembatasan perjalanan bebas visa bagi warga Israel, dan pelarangan impor dari pemukiman di Tepi Barat. Namun, Jerman dan beberapa negara anggota UE lainnya menolak langkah tersebut.

    Perpecahan di dalam Israel

    Di dalam negeri, masyarakat Israel terbelah soal apakah perang di Gaza harus diteruskan. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dari kelompok sayap kanan mendukung operasi militer berlanjut, bahkan menyarankan aneksasi penuh Tepi Barat, yang berarti mengakhiri peluang solusi dua negara.

    Namun, kelompok keluarga sandera, veteran militer, dan warga Arab Israel telah berbulan-bulan menggelar demonstrasi, menuntut gencatan senjata dan solusi negosiasi. Mereka merasa diabaikan oleh pemerintah.

    Menurut survei yang dirilis Juli 2025, lebih dari 60% warga Israel mendukung gencatan senjata.

    Jika rencana perdamaian Trump untuk Gaza diterapkan, senjata mungkin akan terdiam untuk sementara, namun luka yang ditinggalkan perang ini mungkin memerlukan waktu puluhan tahun untuk sembuh.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)