Negara: Israel

  • Israel Klaim Pulihkan Gencatan Senjata Usai Serang Gaza

    Israel Klaim Pulihkan Gencatan Senjata Usai Serang Gaza

    Jakarta

    Israel dan Hamas saling tuduh satu sama lain pada Minggu (19/10) atas pelanggaran kesepakatan gencatan senjata yang diperantarai Amerika Serikat. Serangan mematikan pada hari Minggu (19/10) merupakan intervensi terbesar Israel sejak gencatan senjata disepakati sembilan hari lalu.

    Otoritas Gaza yang dijalankan Hamas melaporkan bahwa setidaknya 33 orang tewas akibat serangan tersebut.

    Militer Israel mengatakan serangan itu dilakukan sebagai respons terhadap “teroris yang menembaki pasukan (Israel),” dengan target di wilayah Rafah. Serangan juga terjadi di Muwasi, Khan Younis, dan kamp pengungsi Nuseirat di Gaza tengah.

    Sebelumnya, pada Minggu pagi (19/10), dua tentara Israel tewas di Gaza, sementara tiga lainnya terluka. Salah satu dari tiga tentara yang terluka itu “parah,” kata IDF, dan telah dievakuasi ke rumah sakit untuk perawatan. Sejauh ini, lebih dari 900 tentara Israel telah tewas dalam perang di Gaza.

    Awal mula bentrok di Rafah

    Militer Israel menyebutkan serangan terjadi setelah “teroris menembakkan rudal anti-tank dan tembakan ke arah pasukan IDF yang sedang beroperasi untuk membongkar infrastruktur teroris.” IDF menambahkan bahwa “tindakan teroris ini merupakan pelanggaran nyata terhadap kesepakatan gencatan senjata, dan IDF akan menanggapi dengan tegas.”

    Sementara itu, sayap bersenjata Hamas menyatakan bahwa mereka “tidak mengetahui insiden atau bentrokan yang terjadi di wilayah Rafah, karena ini adalah zona merah di bawah kendali penjajah, dan kontak dengan kelompok-kelompok kami yang tersisa di sana telah terputus sejak perang dimulai kembali pada Maret tahun ini.”

    Serangan pada hari Minggu merupakan serangan besar pertama Israel sejak gencatan senjata diberlakukan sembilan hari lalu. IDF menegaskan bahwa langkah ini adalah bagian dari upaya untuk “menegakkan” kesepakatan gencatan senjata sesuai arahan pemerintah Israel.

    Militer Israel mengatakan bahwa mereka kembali “menegakkan” kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, setelah serangkaian apa yang disebutnya “serangan signifikan” terhadap kelompok militan Palestina.

    Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa langkah ini sesuai dengan arahan dari pemerintah Israel. IDF memperingatkan bahwa mereka akan “menanggapi dengan tegas” setiap pelanggaran gencatan senjata.

    Netanyahu hentikan bantuan kemanusiaan

    Menyusul perkembangan terakhir, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memerintahkan penghentian semua pasokan bantuan kemanusiaan ke Gaza “sampai pemberitahuan lebih lanjut,” menurut beberapa media Israel. Langkah ini muncul saat Israel dan Hamas saling menuduh melanggar gencatan senjata. Israel bersumpah untuk “menanggapi dengan kekuatan” setiap pelanggaran oleh kelompok militan tersebut.

    Netanyahu juga memerintahkan militer untuk mengambil “tindakan keras … terhadap target teroris,” menuduh Hamas melakukan pelanggaran gencatan senjata. Pengumuman dari Kantor Perdana Menteri ini muncul setelah Netanyahu bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dan “kepala-kepala badan keamanan [Israel]” pada Minggu.

    Dalam pernyataan terpisah, Katz mengatakan bahwa organisasi militan Palestina “akan membayar harga mahal” untuk setiap pelanggaran gencatan senjata, memperingatkan bahwa serangan Israel akan meningkat jika “pesan itu tidak dipahami.”

    Sementara itu, otoritas Hamas melaporkan bahwa lebih dari 68.000 warga Palestina telah tewas sejak Israel melancarkan kampanye militer di Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, termasuk setidaknya 33 orang yang tewas pada Minggu (19/10).

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga video “Gencatan Senjata, Korban Tewas di Gaza Bertambah Jadi 68.159” di sini:

    (ita/ita)

  • Trump Usulkan Pembagian Donbas untuk Akhiri Invasi Rusia di Ukraina

    Trump Usulkan Pembagian Donbas untuk Akhiri Invasi Rusia di Ukraina

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Minggu (19/10) mengatakan bahwa Ukraina dan Rusia seharusnya menghentikan pertempuran di garis depan dan mulai bernegosiasi untuk mengakhiri perang, meski artinya harus melepas wilayah timur Donbas yang saat ini berada di bawah pendudukan Moskow.

    “Kami berpikir bahwa yang seharusnya mereka lakukan adalah menghentikan perang di garis tempat mereka berada, garis terdepan, pulang, berhentilah membunuh orang, dan selesai,” kata Trump kepada wartawan di atas pesawat kepresidenan Air Force One dalam perjalanan dari Florida ke Washington.

    Trump menambahkan bahwa sekitar “78 persen wilayah tersebut telah diambil oleh Rusia,” dan bahwa sisanya “sangat sulit untuk dinegosiasikan.” Ia menegaskan, “Biarkan saja seperti sekarang. Wilayah ini toh sudah terpecah. Mereka bisa bernegosiasi lagi di kemudian hari.”

    Pernyataan itu muncul dua hari setelah pertemuannya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih pada Jumat (17/10). Ketika ditanya apakah ia meminta Zelensky menyerahkan Donbas kepada Rusia, Trump membantah. “Tidak. Kami tidak pernah membicarakannya,” ujarnya.

    Trump diduga desak Zelensky serahkan Donbas

    Namun, Financial Times, mengutip sumber anonim, melaporkan bahwa Trump diduga mendesak Zelensky untuk menyerahkan seluruh wilayah Donbas sebagai bagian dari usulan penghentian perang, langkah yang akan memberikan keuntungan strategis besar bagi Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Sebelumnya, wilayah industri Donbas, yang mencakup Donetsk dan Luhansk, menjadi salah satu wilayah paling diperebutkan dalam konflik Rusia-Ukraina karena kaya akan sumber daya alam dan pusat industri berat Ukraina. Wilayah ini memiliki cadangan batu bara, bijih besi, serta infrastruktur pabrik besar yang menjadi tulang punggung ekonomi Ukraina timur, sehingga pendudukan Donbas menjamin kendali terhadap sumber daya strategis.

    Zelensky siap hadiri pertemuan puncak di Budapest

    Presiden Zelensky pada Senin pagi (20/10) mengatakan bahwa ia siap bergabung dengan Trump dan Putin dalam pertemuan puncak yang direncanakan di Budapest, Hungaria, jika mendapat undangan resmi.

    “Jika saya diundang ke Budapest, baik dalam format pertemuan bersama atau diplomasi shuttle, kami akan setuju,” kata Zelensky kepada wartawan di Kyiv.

    Trump dan Putin sebelumnya menyatakan bahwa mereka akan bertemu di ibu kota Hungaria dalam beberapa minggu mendatang. Pertemuan tersebut diharapkan menjadi bagian dari upaya baru Trump untuk menengahi kesepakatan damai guna mengakhiri perang Rusia, Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022.

    Zelensky kembali ke negaranya pada Minggu malam (19/10), setelah melakukan kunjungan tiga hari ke Washington. Setibanya di Kyiv, ia menegaskan bahwa Ukraina “tidak akan pernah memberikan imbalan apa pun kepada teroris atas kejahatan mereka.”

    “Kami mengandalkan mitra kami untuk menjunjung tinggi posisi ini,” tulis Zelensky di media sosial, merujuk pada koalisi sukarela 33 negara untuk keamanan Ukraina, yang mencakup Inggris, Prancis dan Jerman. Ia mendesak negara sekutu untuk “tidak menuruti atau berusaha menenangkan Rusia” dan menyerukan “langkah-langkah tegas” dari Eropa serta Amerika Serikat.

    Zelensky pulang dengan tangan kosong?

    Zelensky bertolak ke Washington pada Jumat (17/10) untuk bertemu dengan Presiden AS Donald Trump. Kunjungan ini dilakukan setelah lobi selama berminggu-minggu dari Ukraina untuk memperoleh pasokan rudal jarak jauh Tomahawk dari Washington. Namun, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil, karena Trump ingin lebih fokus mencari solusi kebuntuan di Ukraina melalui “terobosan diplomatik baru,” yang diyakini terinspirasi dari kesepakatan damai Gaza sepekan sebelumnya.

    Setelah pertemuan tersebut, Trump menulis di media sosial bahwa pembicaraannya dengan Zelenskyy “sangat menarik dan bersahabat,” namun ia menambahkan, “Saya mengatakan kepadanya, seperti yang juga saya sarankan dengan tegas kepada Presiden Putin, bahwa sudah waktunya untuk menghentikan pembunuhan, dan membuat PERJANJIAN!”

    Sebelumnya, Trump telah memperingatkan Rusia bahwa AS mungkin akan mengirimkan misil Tomahawk ke Ukraina jika konflik tidak segera diselesaikan. Namun, dalam pertemuan itu, ia tidak memberikan jaminan pengiriman senjata dan justru mengusulkan agar Ukraina dan Rusia menghentikan pertempuran di garis depan saat ini, lalu menyelesaikan perselisihan teritorial kemudian, pendekatan yang tidak disambut baik oleh Ukraina.

    Sementara itu, serangan udara Rusia terus menargetkan infrastruktur energi Ukraina, termasuk rumah sakit di Kharkiv yang terpaksa mengevakuasi pasien akibat serangan tersebut. Zelenskyy menekankan kebutuhan mendesak akan sistem pertahanan udara tambahan dari AS dan sekutunya untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur penting.

    Meskipun ada penurunan signifikan dalam bantuan militer dari AS pada Juli dan Agustus, hingga kini belum ada langkah konkret untuk memenuhi permintaan Ukraina. Secara keseluruhan, meskipun ada upaya diplomatik antara AS dan Ukraina, hasilnya terbatas, sementara kekhawatiran Ukraina mengenai kurangnya dukungan militer signifikan dari AS terus berlanjut.

    Rusia kembali melancarkan serangan terhadap pasokan energi Ukraina pada Jumat malam hingga Sabtu, menyusul pembicaraan di Washington yang bertujuan mengakhiri perang, menegaskan bahwa konflik masih jauh dari selesai.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga video “Israel Serang Gaza, Trump Sebut Gencatan Senjata Masih Berlaku” di sini:

    (ita/ita)

  • AS Bilang Israel Harus Bantu Palestina Usai Perang Gaza

    AS Bilang Israel Harus Bantu Palestina Usai Perang Gaza

    Washington DC

    Utusan Amerika Serikat (AS) Jared Kushner mengatakan bahwa Israel harus membantu Palestina untuk “berkembang” jika ingin mencapai integrasi regional setelah perang Gaza berakhir. Kushner menegaskan Washington terus mengupayakan agar Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan dalam damai.

    Kushner, yang juga merupakan menantu Presiden Donald Trump, seperti dilansir AFP, Senin (20/10/2025), turut terlibat dalam upaya mediasi gencatan senjata Gaza antara Israel dan Hamas.

    Dia juga membantu menengahi kesepakatan-kesepakatan penting selama masa jabatan pertama Trump, yang memungkinkan beberapa negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel.

    “Pesan terbesar yang kami coba sampaikan kepada para pemimpin Israel sekarang adalah bahwa setelah perang berakhir, jika Anda ingin mengintegrasikan Israel dengan Timur Tengah yang lebih luas, Anda harus mencari cara untuk membantu rakyat Palestina berkembang dan menjadi lebih baik,” kata Kushner dalam wawancara dengan CBS News, yang ditayangkan pada Minggu (19/10).

    Wawancara itu dilakukan sebelum serangan terbaru Israel menghantam Jalur Gaza pada Minggu (19/10) waktu setempat, menyusul tuduhan yang dilontarkan Tel Aviv bahwa Hamas telah melanggar gencatan senjata dengan menyerang tentara-tentaranya.

    Dalam wawancara dengan CBS News, Kusher mengatakan bahwa situasinya masih “sangat sulit”, tetapi dirinya mengupayakan “keamanan bersama dan peluang ekonomi” untuk menjamin agar warga Israel dan Palestina “dapat hidup berdampingan secara damai dan berkelanjutan”.

    Kushner, pada Senin (20/10), kembali ke Israel bersama Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, dalam kunjungan yang diperkirakan akan diwarnai pertemuan dengan para pejabat pemerintah Tel Aviv.

    Merujuk pada situasi di Jalur Gaza sejak gencatan senjata dimulai pada 10 Oktober lalu, Kushner mengatakan: “Hamas saat ini sedang melakukan persis seperti yang diperkirakan dari sebuah organisasi teroris, yaitu mencoba membangun kembali (kelompoknya) dan merebut kembali posisi mereka.”

    Namun dia berpendapat jika ada “alternatif yang layak” muncul, maka “Hamas akan gagal, dan Gaza tidak akan menjadi ancaman bagi Israel di masa depan.”

    Ketika ditanya mengenai prospek negara Palestina — yang kini diakui oleh sebagian besar negara di seluruh dunia tetapi tidak diakui oleh AS dan Israel, Kushner mengatakan “masih terlalu dini untuk mengatakannya”.

    Tonton juga video “Israel Serang Gaza, Trump Sebut Gencatan Senjata Masih Berlaku” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Heboh WhatsApp Disusupi Mata-mata Israel, AS Buka Suara

    Heboh WhatsApp Disusupi Mata-mata Israel, AS Buka Suara

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengadilan Amerika Serikat (AS) memberikan perintah terkait kasus penyusupan mata-mata Israel pada WhatsApp. AS melarang spyware Pegasus milik perusahaan NSO Group untuk menargetkan platform milik Meta itu.

    Hakim Pengadilan Distrik AS Phyllis Hamilton menjatuhkan perintah pengadilan permanen untuk upaya pembobolan NSO Group. Selain itu memberikan keringanan pada ganti rugi dari US$167 juta (Rp 2,7 triliun) menjadi hanya US$4 juta (Rp 66,3 miliar) saja.

    Pihak Meta juga telah buka suara terkait keputusan tersebut. Mereka mengapresiasi keputusan dari kasus yang sudah berjalan selama enam tahun.

    “Keputusan hari ini melarang pembuat spyware NSO menargetkan WhatsApp dan pengguna global kami lagi,” kata kepala WhatsApp Will Cathcart, dikutip dari Reuters, Senin (20/10/2025).

    “Kami mengapresiasi keputusan yang muncul setelah enam tahun ligitasi yang meminta pertanggungjawaban NSO pada tindakan yang menargetkan masyarakat sipil,” dia melanjutkan.

    Pegasus milik NSO merupakan software yang digunakan untuk memata-matai para korbannya. Selama bertahun-tahun, alat ini dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

    Keputusan ini akan berdampak buruk pada NSO yang menjadikan WhatsApp sebagai salah satu target terbesarnya. Sebelumnya, perusahaan pernah mengatakan perintah larangan menargetkan WhatsApp bisa membahayakan dan bahkan memaksa perusahaan gulung tikar.

    NSO sendiri menyambut baik pengurangan ganti rugi sebesar 97%. Perusahaan juga akan meninjau keputusan dan menentukan langkah selanjutnya.

    Mereka menambahkan produknya memerangi kejahatan serius dan teorisme. Keputusan pengadilan juga disebut tidak akan berdampak pada pelanggan yang akan terus menggunakan teknologinya membantu melindungi keselamatan publik.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Teleponan, Putra Mahkota Arab Saudi-Macron Bahas Gaza

    Teleponan, Putra Mahkota Arab Saudi-Macron Bahas Gaza

    Jakarta

    Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berbicara melalui telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk membahas situasi di Jalur Gaza. Keduanya juga membahas upaya-upaya yang lebih luas untuk memajukan perdamaian Timur Tengah.

    Kantor berita Arab Saudi, Saudi Press Agency (SPA) melaporkan bahwa kedua pemimpin “membahas perkembangan terbaru di Jalur Gaza dan upaya yang dilakukan untuk mengakhiri perang di wilayah tersebut serta meningkatkan keamanan dan stabilitas di Timur Tengah.”

    Mereka “menekankan perlunya segera meringankan penderitaan kemanusiaan rakyat Palestina dan mencapai penarikan penuh Israel,” lapor SPA, dilansir Al Arabiya, Senin (20/10/2025).

    Mereka juga sepakat tentang pentingnya mengambil langkah-langkah praktis menuju “perdamaian yang adil” berdasarkan solusi dua negara.

    SPA menambahkan bahwa percakapan telepon pada Minggu (19/10) waktu setempat tersebut juga membahas kerja sama Saudi-Prancis yang sedang berlangsung di berbagai bidang dan isu-isu lain yang menjadi kepentingan bersama.

    (ita/ita)

  • Israel Ancam Hamas Akan ‘Bayar Mahal’ Jika Serang Tentaranya di Gaza

    Israel Ancam Hamas Akan ‘Bayar Mahal’ Jika Serang Tentaranya di Gaza

    Tel Aviv

    Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, memperingatkan bahwa kelompok Hamas akan “membayar harga mahal” jika melancarkan serangan terhadap pasukan Israel di Jalur Gaza.

    Katz, seperti dilansir AFP dan The Times of Israel, Senin (20/10/2025), menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata Israel (IDF), atau militer Israel, akan merespons dengan tegas jika Hamas melancarkan serangan-serangan yang melanggar gencatan senjata Gaza.

    “Hamas akan belajar hari ini dengan cara yang sulit bahwa IDF bertekad untuk melindungi tentara-tentaranya dan mencegah bahaya apa pun terhadap mereka,” kata Katz dalam pernyataannya pada Minggu (19/10) waktu setempat.

    Peringatan itu disampaikan Katz setelah serangan mematikan melanda pasukan Israel yang ada di area Rafah, Jalur Gaza bagian selatan, pada Minggu (19/10). Militer Israel melaporkan dua tentaranya tewas dan tiga orang lainnya luka-luka akibat serangan tersebut.

    Tel Aviv menyalahkan Hamas sebagai dalang di balik serangan tersebut, yang disebut sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap kesepakatan gencatan senjata”. Namun Hamas menyebut serangan itu terjadi di area yang berada di bawah kendali Israel, di mana mereka mengaku tidak ada kontak dengan anggota mereka selama berbulan-bulan.

    Katz mengatakan bahwa dirinya telah menginstruksikan militer Israel untuk “bertindak tegas terhadap target-target teror Hamas di Gaza”. Israel telah menggempur area Rafah pada Minggu (19/10) pagi, dengan menurut sumber militer setempat, lebih dari 20 target telah diserang oleh pasukan Tel Aviv.

    “Hamas akan membayar harga yang mahal untuk setiap tembakan dan setiap pelanggaran terhadap gencatan senjata,” tegas Katz dalam pernyataannya.

    “Jika pesan ini tidak dipahami, respons kami akan semakin parah,” ujarnya memperingatkan Hamas.

    Militer Israel, pada Minggu (19/10), seperti dilansir CNN, melancarkan rentetan serangan di wilayah Jalur Gaza setelah menuduh Hamas melancarkan serangan yang menewaskan dua tentara IDF di wilayah tersebut. Kedua tentara Israel yang tewas diidentifikasi sebagai Mayor Yaniv Kula dan Sersan Staf Itay Yavetz.

    Kematian itu menandai pertama kalinya tentara Israel tewas di Jalur Gaza sejak gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober lalu.

    Serangan-serangan terbaru Israel itu, menurut data sejumlah rumah sakit di Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 44 orang di beberapa wilayah Jalur Gaza pada Minggu (19/10) waktu setempat.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Houthi Tahan 20 Staf PBB dalam Penyerbuan di Yaman

    Houthi Tahan 20 Staf PBB dalam Penyerbuan di Yaman

    Jakarta

    Kelompok Houthi kembali menahan staf Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kantor PBB di Yaman mengatakan bahwa kelompok pemberontak itu masih menahan 20 stafnya setelah mereka menyerbu kantor badan dunia tersebut di Sanaa, ibu kota Yaman, sehari sebelumnya.

    Sebelumnya pada hari Sabtu (18/10) lalu, kantor PBB mengatakan pasukan keamanan Houthi telah “masuk tanpa izin” ke kompleksnya.

    “Lima staf nasional dan lima belas staf internasional masih ditahan di dalam kompleks tersebut,” kata Jean Alam, juru bicara koordinator PBB di negara itu, dilansir kantor berita AFP, Senin (20/10/2025).

    PBB telah menghubungi otoritas di Sanaa, negara-negara anggota terkait, dan pemerintah Yaman “untuk menyelesaikan situasi serius ini secepat mungkin, mengakhiri penahanan semua personel, dan memulihkan kendali penuh atas fasilitasnya di Sanaa”, imbuh juru bicara tersebut.

    Pada Minggu malam, seorang pejabat PBB, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan kepada AFP bahwa perwakilan UNICEF di Yaman, Peter Hawkins, termasuk di antara mereka yang ditahan.

    Dua sumber keamanan Houthi mengonfirmasi bahwa Hawkins termasuk di antara mereka yang ditahan.

    Para pemberontak sebelumnya juga telah menyerbu kantor PBB di Sanaa pada 31 Agustus, menahan lebih dari 11 karyawan, menurut PBB.

    Para karyawan tersebut dicurigai menjadi mata-mata untuk Amerika Serikat dan Israel, ujar seorang pejabat senior Houthi kepada AFP saat itu dengan syarat identitasnya dirahasiakan.

    Dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, mengatakan: “Kami akan terus menyerukan diakhirinya penahanan sewenang-wenang terhadap 53 rekan kami.”

    Ia pun menanggapi pidato yang disiarkan televisi pada hari Kamis lalu oleh pemimpin Houthi, Abdelmalek al-Huthi.

    Ia mengklaim pasukannya telah membongkar “salah satu sel mata-mata paling berbahaya”, yang katanya “terkait dengan organisasi kemanusiaan seperti Program Pangan Dunia dan UNICEF”.

    Dujarric menyebut tuduhan tersebut “berbahaya dan tidak dapat diterima”.

    Penyerbuan Houthi ke kantor PBB pada hari Sabtu tersebut terjadi bersamaan dengan penangkapan puluhan personel PBB yang telah terjadi dalam beberapa bulan terakhir di wilayah yang dikuasai oleh kelompok yang didukung Iran tersebut.

    Sejak 31 Agustus 2025, 21 personel PBB telah ditangkap, selain 23 anggota dan mantan anggota LSM internasional yang telah ditahan, menurut PBB.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Serangan Baru Israel ke Gaza Tewaskan 45 Orang

    Serangan Baru Israel ke Gaza Tewaskan 45 Orang

    GELORA.CO -Pasukan Israel kembali melancarkan serangan udara ke wilayah selatan Jalur Gaza pada Minggu, 19 Oktober 2025. Serangan ini dilakukan sebagai balasan atas tembakan roket dan peluncur granat dari kelompok bersenjata Palestina di kota Rafah.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, segera menggelar rapat darurat dengan para pejabat keamanan. Ia memerintahkan militer untuk mengambil langkah tegas terhadap setiap pelanggaran gencatan senjata. Namun, Netanyahu menegaskan bahwa langkah ini tidak berarti Israel akan kembali berperang secara penuh.

    Sementara itu, badan pertahanan sipil Gaza yang dikelola Hamas dan rumah sakit setempat melaporkan bahwa serangan udara tersebut menewaskan sedikitnya 45 orang. Jumlah korban ini memperbarui data sebelumnya yang sudah cukup tinggi akibat rentetan serangan selama beberapa hari terakhir.

    “Setidaknya 45 orang tewas akibat serangan udara Israel di berbagai wilayah Jalur Gaza,” kata Mahmud Bassal, juru bicara badan pertahanan sipil Hamas, dikutip dari Times of Israel, Senin, 20 Oktober 2025.

    Israel kini mengancam akan menutup perlintasan Rafah di perbatasan Gaza–Mesir sampai Hamas menyerahkan sisa jenazah 28 sandera yang diyakini telah tewas. Dalam sepekan terakhir, Hamas telah menyerahkan 13 jenazah, sebagian besar sudah diidentifikasi sebagai sandera Israel. Sebaliknya, Israel juga mengembalikan sekitar 150 jenazah warga Palestina ke Gaza, meski banyak di antaranya sulit dikenali karena kondisi tubuh yang rusak parah.

    Dalam tahap pertama kesepakatan gencatan senjata, kedua pihak telah menukar 20 sandera hidup dengan sekitar 1.900 tahanan Palestina. Tahap berikutnya akan membahas pelucutan senjata Hamas, penarikan pasukan Israel dari beberapa wilayah Gaza, serta pembentukan pemerintahan sementara yang didukung komunitas internasional untuk mengelola wilayah yang porak poranda akibat perang.

    Sementara itu, Hamas menolak tuduhan Amerika Serikat yang menuding kelompok tersebut berencana melancarkan serangan baru terhadap warga Gaza sendiri. Hamas menyebut tuduhan itu sebagai “fitnah politik” dan balik menuduh Israel justru mendukung kelompok bersenjata di wilayah yang dikuasai militernya. Pejuang Hamas juga dilaporkan mengeksekusi sejumlah orang yang dituduh menjarah bantuan dan bekerja sama dengan Israel

  • Trump Sebut Gencatan Senjata Israel-Hamas Masih Berlaku Usai Serangan di Gaza

    Trump Sebut Gencatan Senjata Israel-Hamas Masih Berlaku Usai Serangan di Gaza

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan gencatan senjata antara Israel dan Hamas masih tetap berlaku. Hal itu disampaikan Trump usai militer Israel melakukan serangan mematikan di Gaza atas dugaan pelanggaran gencatan senjata oleh kelompok bersenjata Palestina tersebut.

    “Ya, memang,” kata Trump kepada wartawan di Air Force One ketika ditanya apakah gencatan senjata masih berlaku.

    Ia juga menyatakan bahwa pimpinan Hamas tidak terlibat dalam dugaan pelanggaran apa pun. Trump justru menyalahkan “beberapa pemberontak di dalamnya.”

    “Bagaimanapun, ini akan ditangani dengan benar. Ini akan ditangani dengan tegas, tetapi dengan benar,” tambah Trump.

    Trump berharap gencatan senjata yang ia bantu mediasi akan tetap berlaku. “Kami ingin memastikan bahwa gencatan senjata akan berlangsung sangat damai dengan Hamas,” katanya.

    “Seperti yang Anda ketahui, mereka cukup ribut. Mereka telah melakukan beberapa penembakan, dan kami pikir mungkin para pemimpin tidak terlibat dalam hal itu.”

    Sesaat sebelum komentar Trump, Wakil Presiden AS, JD Vance, meremehkan kekerasan yang kembali terjadi di Gaza, mengatakan kepada para wartawan bahwa akan ada ‘kejang-kejang’ dalam gencatan senjata.

    “Hamas akan menyerang Israel. Israel harus merespons,” ujarnya.

    “Jadi, kami pikir Hamas memiliki peluang terbaik untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Namun, bahkan jika itu terjadi, akan ada banyak tantangan, dan kami harus memantau situasinya,” lanjutnya.

    Vance juga meminta negara-negara Teluk Arab untuk membangun “infrastruktur keamanan” guna memastikan Hamas dilucuti senjatanya, yang merupakan bagian penting dari kesepakatan damai.

    “Negara-negara Teluk Arab, sekutu kami, belum memiliki infrastruktur keamanan yang memadai untuk memastikan Hamas telah dilucuti,” ujarnya.

    Sementara itu, Israel mengatakan telah melanjutkan penegakan gencatan senjata Gaza setelah menyerang dan menuduh kelompok Hamas menargetkan pasukannya dalam kekerasan paling serius sejak gencatan senjata sembilan hari dimulai.

    45 Orang Tewas

    Badan pertahanan sipil Gaza, yang beroperasi di bawah otoritas Hamas, mengatakan setidaknya 45 orang tewas di seluruh wilayah tersebut dalam serangan Israel. Militer Israel mengatakan sedang menyelidiki laporan korban jiwa.

    Halaman 2 dari 2

    (yld/isa)

  • Video Israel Tuding Hamas Langgar Kesepakatan Gencatan Senjata

    Video Israel Tuding Hamas Langgar Kesepakatan Gencatan Senjata

    Israel menuding Hamas melanggar gencatan senjata dengan terlebih dahulu melakukan penyerangan. Israel klaim menyerang Gaza sebagai bentuk serangan balasan.

    Militer Israel menyebut Hamas menembakkan rudal anti-tank dan senjata ke pasukan yang beroperasi di wilayah Rafah. PM Israel, Benjamin Netanyahu lalu menginstruksikan agar bertindak tegas terhadap Hamas.