Negara: Iran

  • Trump Bilang AS Sita Kapal Tanker Sangat Besar di Dekat Venezuela

    Trump Bilang AS Sita Kapal Tanker Sangat Besar di Dekat Venezuela

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan negaranya telah menyita sebuah kapal tanker minyak berukuran sangat besar di lepas pantai Venezuela. Penyitaan kapal tanker itu semakin memperparah ketegangan antara Washington dan Caracas, juga diperkirakan akan memicu kenaikan harga minyak.

    “Kami baru saja menyita sebuah kapal tanker di lepas pantai Venezuela, sebuah kapal tanker besar, sangat besar — yang terbesar yang pernah disita, sebenarnya,” kata Trump saat berbicara di awal pertemuan meja bundar dengan para pemimpin bisnis di Gedung Putih, seperti dilansir AFP, Kamis (11/12/2025).

    “Dan hal-hal lainnya sedang terjadi, jadi Anda akan melihatnya nanti dan Anda akan membicarakannya nanti dengan beberapa orang lainnya,” imbuhnya dalam pertemuan yang digelar pada Rabu (10/12) waktu setempat.

    Trump tidak menjelaskan lebih lanjut soal penyitaan kapal tanker di dekat Venezuela tersebut.

    Jaksa Agung AS Pam Bondi, dalam pernyataan terpisah seperti dilansir Reuters, mengatakan bahwa AS telah mengetahui jika kapal tanker itu digunakan untuk mengangkut minyak yang dikenai sanksi dari Venezuela dan Iran.

    “Selama bertahun-tahun, kapal tanker minyak tersebut telah dikenai sanksi oleh Amerika Serikat karena keterlibatannya dalam jaringan pengiriman minyak ilegal yang mendukung organisasi-organisasi teroris asing,” ucap Bondi dalam pernyataan via media sosial X.

    Dia juga mengonfirmasi bahwa penyitaan itu terjadi di lepas pantai Venezuela.

    Pengumuman ini disampaikan saat pemerintahan Trump semakin meningkatkan tekanan pada Presiden Venezuela Nicolas Maduro, dengan mengerahkan armada kapal perang dan kapal induk terbesar di dunia atas dalih memerangi perdagangan narkoba.

    AS juga melancarkan serangan-serangan mematikan terhadap lebih dari 20 kapal yang diduga menyelundupkan narkoba di kawasan tersebut. Total sedikitnya 87 orang tewas akibat rentetan serangan Washington sejak September lalu.

    Penyitaan kapal tanker ini dinilai menandakan upaya baru dan semakin intensif oleh AS dalam mengejar minyak Venezuela, sumber pendapatan utama negara itu.

    Tiga pejabat AS, yang enggan disebut namanya, seperti dikutip Reuters, mengatakan bahwa operasi penyitaan itu dipimpin oleh Penjaga Pantai AS. Mereka tidak menyebutkan nama kapal tanker yang disita, bendera negara mana yang dikibarkan kapal itu, atau lokasi pasti penyitaan tersebut.

    Namun, kelompok manajemen risiko maritim Inggris, Vanguard, melaporkan bahwa kapal tanker Skipper diyakini telah disita di lepas pantai Venezuela pada Rabu (10/12) pagi waktu setempat. AS telah menjatuhkan sanksi terhadap kapal itu karena, menurut Washington, terlibat dalam perdagangan minyak Iran ketika kapal itu masih bernama Adisa.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/yld)

  • AS Menyontek Drone Milik Iran Shahed-136

    AS Menyontek Drone Milik Iran Shahed-136

    GELORA.CO –  AS dinilai telah ‘menyontek’ model drone milik Iran.Juru bicara Angkatan Bersenjata Iran mengatakan replikasi drone Shahed-136 oleh Washington sama saja sebagai pengakuan atas superioritas Teheran dalam teknologi pesawat tanpa awak.

    “Tidak ada kehormatan yang lebih besar daripada melihat mereka yang mengklaim sebagai kekuatan global berlutut di hadapan Shahed-136 Iran dan mencoba menirunya,” kata Brigadir Jenderal Abolfazl Shekarchi, wakil bidang kebudayaan Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran, di sela-sela kunjungan ke pameran kedirgantaraan IRGC pada Selasa.

    “Angkatan bersenjata Iran – khususnya Angkatan Udara IRGC – adalah duri dalam daging sistem hegemoni global,” katanya.

    Merujuk pada perang 12 hari yang dipaksakan Israel terhadap Iran pada Juni, Shekarchi mengatakan musuh bisa dikalahkan meskipun memiliki sistem pertahanan paling canggih dan dukungan penuh dari Amerika Serikat. Pada akhirnya, mereka berupaya mengakhiri perang melalui ‘permintaan dan pesan.’

    Ia menambahkan bahwa Iran sejak itu telah mengatasi kekurangan, memperkuat kemampuannya, dan sekarang jauh lebih siap daripada pada hari pertama agresi.

    Wall Street Journal melaporkan pekan lalu bahwa Pentagon mengerahkan drone baru ke wilayah Timur Tengah yang merupakan salinan dari versi Iran.

    Industri rudal

    Sementara itu Kementerian Pertahanan Iran mengaku telah berhasil meminimalkan ketergantungan pada negara asing dalam industri rudal sehingga sanksi internasional tidak lagi berdampak signifikan terhadap kemampuan pertahanan Teheran.

    Juru Bicara Kementerian Pertahanan Reza Talaei-Nik menegaskan bahwa teknologi rudal Iran kini semakin mandiri.

    “Sanksi tidak akan memengaruhi pertumbuhan teknologi kekuatan rudal Iran karena ketergantungan industri rudal pada negara asing telah diminimalkan berkat teknologi yang sepenuhnya diindigenisasi,” ujarnya seperti dikutip kantor berita Mehr awal pekan ini.

    Ia menekankan bahwa proses kemandirian tersebut dicapai melalui pengembangan teknologi lokal yang berlangsung selama bertahun-tahun, termasuk penguatan kapasitas produksi dalam negeri untuk sistem pertahanan strategis.

  • Iran Adili Pria Asal Eropa yang Dituduh Jadi Mata-mata Israel

    Iran Adili Pria Asal Eropa yang Dituduh Jadi Mata-mata Israel

    Teheran

    Otoritas kehakiman Iran mengatakan seorang pria asal Eropa, yang memiliki kewarganegaraan ganda, menjalani persidangan atas tuduhan menjadi mata-mata untuk Israel. Pria asing itu ditangkap otoritas Teheran saat perang selama 12 hari berkecamuk melawan Israel pada Juni lalu.

    Kantor berita Mizan Online, yang dikelola otoritas kehakiman Iran, seperti dilansir AFP, Senin (8/12/2025), tidak menyebutkan nama terdakwa. Hanya disebutkan bahwa terdakwa merupakan “seseorang dengan kewarganegaraan ganda yang tinggal di sebuah negara Eropa” dan ditangkap selama perang pada Juni lalu.

    Disebutkan juga bahwa pengadilan Iran telah mulai menyidangkan kasusnya, di mana dia dituduh melakukan “kerja sama intelijen dan spionase untuk kepentingan rezim Zionis”.

    Menurut laporan Mizan Online, terdakwa memasuki wilayah Iran sekitar satu bulan sebelum perang terjadi, di mana Israel melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Iran. Rentetan serangan Israel menghantam situs-situs militer dan nuklir Teheran, serta kawasan permukiman.

    Serangan itu memicu perang selama 12 hari, dengan Iran melancarkan serangan drone dan rudal sebagai balasan terhadap Israel, dan kemudian menyaksikan Amerika Serikat (AS) bergabung dengan Tel Aviv dalam menyerang situs nuklir Teheran.

    Mizan Online melaporkan bahwa penyelidikan menunjukkan terdakwa telah melakukan kontak dengan Mossad, badan intelijen Israel, dan telah mendapatkan pelatihan sebagai agen di “ibu kota beberapa negara Eropa dan wilayah pendudukan”.

    “Peralatan spionase dan intelijen canggih ditemukan pada saat penangkapannya dan di vila tempat dia menginap,” tambah Mizan Online dalam laporannya.

    Selama perang berkecamuk, otoritas Iran mengumumkan setidaknya tiga penangkapan warga Eropa, termasuk Lennart Monterlos, seorang pesepeda berkewarganegaraan Prancis-Jerman berusia 19 tahun, yang kemudian dibebaskan.

    Pada Oktober lalu, Iran mengesahkan undang-undang yang memperberat hukuman bagi mereka yang terbukti menjadi mata-mata untuk Israel dan AS.

    Kantor berita resmi IRNA melaporkan pada saat itu bahwa “semua bantuan yang disengaja dikutuk sebagai korupsi di muka Bumi” — salah satu tuduhan paling serius di Iran, yang memiliki ancaman hukuman mati.

    Sejak perang terjadi, Iran bersumpah untuk segera mengadili mereka yang ditangkap karena dicurigai bekerja sama dengan Israel, mengumumkan sejumlah penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai menjadi mata-mata Israel, dan mengeksekusi mati beberapa orang yang terbukti bersalah atas tuduhan itu.

    Lihat juga Video ‘Alasan Iran Masih Ogah Kerja Sama dengan AS’:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Ada Hari Apa Saja yang Diperingati Setiap 8 Desember? Yuk Cari Tahu!

    Ada Hari Apa Saja yang Diperingati Setiap 8 Desember? Yuk Cari Tahu!

    Berdasarkan catatan Liputan6.com, Uni Soviet memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, dengan wilayah kekuasaan dari Laut Baltik dan Finlandia di barat, Samudera Pasifik hingga mendekati Alaska di timur, Laut Kaspia dan Iran di selatan, serta melewati lingkaran Arktik di utara.

    Namun, pada dekade ketujuh, kerajaan poliglot terakhir di muka bumi itu runtuh dan akhirnya dibubarkan pada 1991, dikutip dari Chicago Tribune. Keputusan pada Minggu, 8 Desember 1991 oleh Rusia, Ukraina, dan Belarusia untuk membentuk persemakmuran negara-negara merdeka (commonwealth) mengakhiri kekaisaran itu.

    Sebenarnya, Uni Soviet telah ‘sekarat’ selama setengah dekade sebelumnya, sejak reformasi Presiden Mikhail Gorbachev melonggarkan otoritas pusat yang memegang tempat-tempat beragam seperti Latvia dan Uzbekistan, Ukraina, dan Tadzhikistan secara bersamaan.

    Negara adikuasa (superpower) yang menjadi musuh Perang Dingin Barat adalah sebuah bangsa yang disatukan — sering kali dengan paksaan dan intimidasi — dan disebut Rusia sebagai Tsar (kekaisaran).

    Negara yang dikenal sebagai Union of Soviet Socialist Republics (USSR) lahir pada 30 Desember 1922, dengan penandatanganan perjanjian membentuk konfederasi Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Republik Kaukasia — Azerbaijan, Armenia, dan Georgia.

    Dibangun oleh sistem komunis yang berakar pada gagasan Bolshevik tentang revolusi dunia, inti negara itu berkembang dengan cepat hingga mencakup republik-republik Asia Tengah di Uzbekistan, Kazakhstan, Tadzhikistan, Turkmenia, dan Kirgizia di akhir tahun 1920-an.

    Terlepas dari ukurannya, Uni Soviet mencakup wilayah yang lebih sedikit daripada kekaisaran Tsar dari Dinasti Romanov yang mendahuluinya ketika didirikan.

    Vladimir Lenin, pendiri negara Soviet, juga sempat memberikan kemerdekaan atau kehilangan kendali atas Finlandia, Estonia, Latvia, Lituania, wilayah kekaisaran Polandia, bagian barat Ukraina dan Belarusia, serta Bessarabia di tempat yang sekarang disebut Moldavia.

    Selama dua dekade berikutnya, dekade di mana diktator Josef Stalin dengan kejam memaksakan visinya pada serikat pekerja, negara pun berkembang.

     

     

     

  • Presiden Lebanon Tegaskan Tak Ingin Perang dengan Israel

    Presiden Lebanon Tegaskan Tak Ingin Perang dengan Israel

    Jakarta

    Presiden Lebanon Joseph Aoun mengatakan kepada delegasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa negaranya tidak menginginkan perang dengan Israel. Hal ini ia katakan beberapa hari setelah perwakilan sipil dari kedua belah pihak mengadakan perundingan pertama mereka dalam beberapa dekade.

    Dilansir AFP, Sabtu (6/12/2025), pimpinan Hizbullah Naim Qassem, yang kelompok militannya menolak untuk melucuti senjata, mendukung upaya diplomasi Lebanon. Tetapi ia menyebut keterlibatan perwakilan sipil dalam perundingan dengan Israel sebagai “kesalahan langkah”.

    Dalam pertemuan Aoun dengan para duta besar Dewan Keamanan PBB, ia mengatakan bahwa Lebanon “tidak menginginkan perang lagi, rakyat Lebanon telah cukup menderita dan tidak akan ada jalan kembali”, menurut pernyataan kepresidenan.

    Aoun meminta para utusan untuk mendukung upaya tentara Lebanon untuk melucuti senjata kelompok-kelompok non-negara. Tentara berharap dapat menyelesaikan tahap pertama dari rencana yang disetujui pemerintah pada akhir tahun.

    “Tentara Lebanon akan memainkan perannya sepenuhnya… Komunitas internasional harus mendukung dan membantunya,” kata Aoun.

    Meskipun gencatan senjata pada November 2024 seharusnya mengakhiri lebih dari setahun permusuhan antara Israel dan Hizbullah yang didukung Iran, Israel terus melancarkan serangan terhadap Lebanon dan juga mempertahankan pasukan di lima wilayah Lebanon selatan yang dianggap strategis.

    (azh/azh)

  • ‘Pesan’ Iran ke Kapal-kapal AS di Balik Latihan Perang

    ‘Pesan’ Iran ke Kapal-kapal AS di Balik Latihan Perang

    Jakarta

    Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menggelar latihan perang yang melibatkan angkatan laut di perairan Teluk. Latihan perang ini memberi ‘pesan’ peringatan untuk kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) yang berada di kawasan tersebut.

    Dirangkum detikcom, Jumat, (5/12/2025), latihan perang yang digelar secara besar besaran tersebut memberi peringatan bagi kapal perang AS yang berada di kawasan tersebut. Latihan perang IRGC ini digelar lebih dari lima bulan setelah perang selama 12 hari antara Iran dan Israel, yang turut menyeret AS, berlangsung.

    Televisi pemerintah Iran, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (5/12/2025), melaporkan bahwa latihan perang tersebut menunjukkan “pengorbanan dan semangat perlawanan” dari Angkatan Laut IRGC “untuk menghadapi ancaman apa pun” terhadap Iran setelah perang sengit pada Juni lalu.

    Dalam perang itu, rentetan serangan Israel, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk sejumlah komandan senior IRGC, telah mendorong Iran untuk membalas dengan serangan pesawat tak berawak dan rudal yang menewaskan puluhan orang di Israel.

    Laporan televisi pemerintah Iran menyebut bahwa unit-unit angkatan laut dalam latihan perang itu “mengeluarkan peringatan kepada kapal-kapal Amerika yang berada di kawasan tersebut, menyampaikan pesan tegas mereka”.

    Namun, isi “pesan” tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Sejauh ini belum ada komentar dari pasukan militer AS di kawasan Teluk.

    Kawasan Teluk, dan Selat Hormuz yang strategis di titik pertemuannya yang mengarah ke Laut Oman, menyalurkan sekitar 20 persen ekspor minyak dunia setiap tahun.

    Wakil Panglima IRGC Ali Fadavi, pada Rabu (3/12), menegaskan bahwa “tidak ada negara yang dapat meremehkan peran Selat Hormuz”. Fadavi juga berjanji akan melindungi jalur perairan strategis tersebut.

    Keamanan Teluk, sebut Fadavi seperti dikutip kantor berita IRNA, merupakan “garis merah”. Dia menyebut musuh-musuh Iran, seperti AS dan Israel, sebagai “pendorong utama ketidakamanan global”.

    IRGC telah berulang kali menyita kapal tanker berbendera asing yang berlayar di kawasan Teluk, atas apa yang disebut otoritas Iran sebagai penyelundupan bahan bakar.

    Tonton juga video “Alasan Iran Masih Ogah Kerja Sama dengan AS”

    (yld/yld)

  • Arab Saudi Vs UEA: Rivalitas yang Kian Memanas

    Arab Saudi Vs UEA: Rivalitas yang Kian Memanas

    Jakarta

    Hubungan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) kembali diuji. Penyebabnya adalah perbedaan dukungan terhadap faksi-faksi yang bertempur di kawasan.

    Dalam kunjungan terbarunya ke Washington, putera mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) disebut meminta Presiden AS Donald Trump menekan Abu Dhabi, karena diduga ikut menyuplai senjata bagi milisi Rapid Support Forces (RSF) di Sudan.

    Ketika perang saudara meletup pada April 2023, Arab Saudi berada di kubu Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), yang berperang melawan RSF. Kini, Riyadh beralih menjadi mediator antara kedua pihak yang bertikai.

    Konflik Sudan telah berkembang menjadi bencana kemanusiaan dan krisis pengungsian terbesar di dunia. Kendati marak dugaan kejahatan perang, UEA dituding masih terus memasok senjata kepada RSF, tuduhan yang dibantah Abu Dhabi.

    Namun, alih-alih mengecam manuver Saudi melalui Trump, Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) memilih diam di ruang publik, sekaligus menegaskan kembali bahwa UEA tidak terlibat dalam perang itu.

    “Yang terjadi adalah evolusi alami hubungan dua kekuatan regional yang semakin percaya diri,” ujar Kristian Alexander, peneliti senior Rabdan Security and Defense Institute di Abu Dhabi, kepada DW. Kedua negara, menurut dia, tengah menjalankan agenda transformasi nasional yang ambisius dan semakin otonom dalam kebijakan luar negeri.

    “Perbedaan-perbedaan seperti ini sesekali muncul di permukaan,” kata Alexander.

    Akar sejarah Saudi – UEA

    “MBZ mendukung MBS dalam perjalanannya menuju posisi putra mahkota dan pemimpin de facto pada 2018,” ujar Bianco. Namun hubungan yang terlalu dekat juga membuat perbedaan kecil tampak membesar.

    Sejak 2018, Bianco mencatat sejumlah momen ketika ketegangan di antara kedua tokoh memuncak. “Tapi setiap kali hampir meledak, kedua pihak berusaha menahan diri agar tidak berubah menjadi krisis penuh,” katanya.

    Yaman, minyak, dan politik yang tak sejalan

    Riak pertama muncul pada kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi oleh agen Saudi pada tahun 2018. Ketika MBS mendapat kecaman global setelah skandal di Istanbul, dia berharap UEA akan pasang badan. Namun Abu Dhabi justru bergeming, tak ingin terseret badai reputasi.

    Di Yaman, koalisi pimpinan Saudi sejak 2015 juga tidak berjalan mulus. UEA, kata Bianco, tidak sepenuhnya mengikuti haluan Riyadh dan menjalankan agenda sendiri. Abu Dhabi, misalnya, mendukung Southern Transitional Council yang ingin memisahkan diri dari wilayah utara yang dikuasai Houthi. Riyadh, sebaliknya, menginginkan Yaman tetap bersatu dan belakangan tidak menutup pintu bagi dominasi Houthi.

    Perbedaan lain muncul pada 2021 ketika UEA menolak imbauan Saudi untuk mengurangi produksi minyak OPEC demi stabilitas pasar. Abu Dhabi malah meningkatkan kapasitasnya sendiri. Alexander menyebut perselisihan itu cepat diselesaikan lewat dialog. Kedua negara kembali sinkron dalam kebijakan pemangkasan produksi yang lebih besar setelahnya.

    Persaingan dua strategi nasional

    Baik Riyadh maupun Abu Dhabi kini menjalankan rencana jangka panjang untuk mengurangi kebergantungan pada minyak. Kedua negara berambisi menjadi pusat teknologi serta AI. Saudi dengan Vision 2030 dan UEA dengan UAE 2031. Diduga, persaingan ekonomi antara Riyadh dan Dubai sebagai pusat keuangan dunia, akan semakin ketat.

    Namun menurut Michael Stephens dari Royal United Services Institute, persaingan bisnis tidak lantas akan melahirkan konfrontasi. “Kawasan terlalu tidak stabil untuk risiko seperti itu,” katanya.

    Bianco sependapat. Dari sudut geopolitik, Saudi dan UEA justru perlu bersatu menghadapi aktor lain, termasuk Iran dan juga Israel. UEA menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020, sementara Riyadh menghentikan pembicaraan setelah serangan Hamas 7 Oktober 2023 dan perang Gaza yang berkepanjangan.

    UEA tidak ingin keluar dari kesepakatan Abraham Accords dan berharap keadaan kembali normal. Sementara Saudi menolak melanjutkan negosiasi tanpa jalan menuju solusi dua negara bagi Palestina dan Israel. Sejauh ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap menolak pembentukan negara Palestina merdeka.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Trump Ancam Pecat Ketua The Fed di Forum Investasi Arab Saudi”

    (ita/ita)

  • ‘Pesan’ Iran ke Kapal-kapal AS di Balik Latihan Perang

    Iran Gelar Latihan Perang, Beri Peringatan ke Kapal-kapal AS

    Teheran

    Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menggelar latihan perang yang melibatkan angkatan lautnya di perairan Teluk. Latihan perang ini dimaksudkan sebagai peringatan untuk kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) yang ada di kawasan tersebut.

    Latihan perang IRGC ini digelar lebih dari lima bulan setelah perang selama 12 hari antara Iran dan Israel, yang turut menyeret AS, berlangsung.

    Televisi pemerintah Iran, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (5/12/2025), melaporkan bahwa latihan perang tersebut menunjukkan “pengorbanan dan semangat perlawanan” dari Angkatan Laut IRGC “untuk menghadapi ancaman apa pun” terhadap Iran setelah perang sengit ada Juni lalu.

    Dalam perang itu, rentetan serangan Israel, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk sejumlah komandan senior IRGC, telah mendorong Iran untuk membalas dengan serangan pesawat tak berawak dan rudal yang menewaskan puluhan orang di Israel.

    Laporan televisi pemerintah Iran menyebut bahwa unit-unit angkatan laut dalam latihan perang itu “mengeluarkan peringatan kepada kapal-kapal Amerika yang berada di kawasan tersebut, menyampaikan pesan tegas mereka”.

    Namun, isi “pesan” tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Sejauh ini belum ada komentar dari pasukan militer AS di kawasan Teluk.

    Media pemerintah Iran lainnya menambahkan bahwa IRGC mengerahkan sistem pertahanan udara dalam kondisi perang elektronik yang “mampu mendeteksi target udara dan maritim menggunakan kecerdasan buatan”.

    Kawasan Teluk, dan Selat Hormuz yang strategis di titik pertemuannya yang mengarah ke Laut Oman, menyalurkan sekitar 20 persen ekspor minyak dunia setiap tahun.

    Wakil Panglima IRGC Ali Fadavi, pada Rabu (3/12), menegaskan bahwa “tidak ada negara yang dapat meremehkan peran Selat Hormuz”. Fadavi juga berjanji akan melindungi jalur perairan strategis tersebut.

    Keamanan Teluk, sebut Fadavi seperti dikutip kantor berita IRNA, merupakan “garis merah”. Dia menyebut musuh-musuh Iran, seperti AS dan Israel, sebagai “pendorong utama ketidakamanan global”.

    IRGC telah berulang kali menyita kapal tanker berbendera asing yang berlayar di kawasan Teluk, atas apa yang disebut otoritas Iran sebagai penyelundupan bahan bakar.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • AS Kaji Perluas Larangan Perjalanan untuk 30 Negara

    AS Kaji Perluas Larangan Perjalanan untuk 30 Negara

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk memperluas jumlah negara yang tercakup dalam daftar larangan perjalanan. Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, menyebut lebih dari 30 negara bisa masuk ke daftar larangan perjalanan ke AS.

    “Saya tidak akan menyebutkan jumlahnya secara spesifik, tetapi jumlahnya lebih dari 30 (negara), dan Presiden (Donald Trump) terus mengevaluasi negara-negara yang ada,” kata Noem dalam wawancara dengan Fox News, seperti dilansir Anadolu Agency, Jumat (5/12/2025).

    Dalam wawancara pada Kamis (4/12) itu, Noem mempertanyakan mengapa AS harus mengizinkan masuk orang-orang dari negara tanpa “pemerintahan yang stabil”, yang tidak dapat “menopang dirinya sendiri” atau membantu memeriksa individu-individu yang ingin masuk ke wilayah AS.

    Noem, dalam pernyataan sebelumnya pada Senin (1/12), mengatakan bahwa dirinya merekomendasikan “larangan perjalanan sepenuhnya untuk setiap negara terkutuk yang telah membanjiri negara kita dengan pembunuh, lintah darat, dan pecandu hak”.

    Belum diketahui secara jelas negara mana saja yang akan terdampak larangan perjalanan yang diusulkan Noem tersebut, atau kapan larangan perjalanan itu akan mulai diberlakukan. Kementerian Dalam Negeri AS (DHS) mengatakan kepada media terkemuka Inggris, BBC, bahwa mereka akan segera mengumumkan daftarnya.

    Perdebatan mengenai larangan perjalanan semakin intensif setelah Trump pada 28 November lalu mengancam akan menghentikan migrasi secara permanen dari “negara-negara dunia ketiga”.

    Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan kepada Fox News pada Senin (1/12) malam bahwa Trump telah mengumumkan larangan perjalanan beberapa bulan lalu untuk negara-negara “dunia ketiga dan negara gagal”.

    Dikatakan juga oleh Leavitt bahwa rekomendasi Noem akan “memperluas” larangan perjalanan tersebut hingga mencakup lebih banyak negara.

    Pemerintahan Trump, pada Selasa (2/12), mengumumkan penghentian sementara semua permohonan imigrasi, termasuk green card dan pemrosesan kewarganegaraan AS, yang diajukan oleh para imigran dari 19 negara non-Eropa, untuk alasan keamanan nasional dan keselamatan publik.

    Daftar negara yang terdampak kebijakan itu mencakup Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Yaman, Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

    Kebijakan baru ini menangguhkan permohonan yang tertunda, dan mewajibkan semua imigran dari negara yang ada dalam daftar itu untuk “menjalani proses peninjauan ulang yang menyeluruh, termasuk wawancara potensial dan, jika perlu, wawancara ulang, untuk menilai secara menyeluruh semua ancaman terhadap keamanan nasional dan keselamatan publik”.

    Memorandum resmi yang menguraikan kebijakan baru itu mengutip penembakan terhadap sejumlah anggota Garda Nasional AS di Washington DC pekan lalu, di mana seorang pria Afghanistan telah ditangkap sebagai tersangka. Satu personel Garda Nasional tewas, sedangkan satu lainnya luka parah.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Ups, Irak Keliru Masukkan Hizbullah-Houthi ke Daftar Pembekuan Aset

    Ups, Irak Keliru Masukkan Hizbullah-Houthi ke Daftar Pembekuan Aset

    Baghdad

    Pemerintah Irak akan menghapus nama kelompok Hizbullah dan Houthi dari daftar pembekuan aset teroris yang dirilisnya. Otoritas Irak menyebut kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Iran itu, telah secara keliru dimasukkan ke dalam daftar yang dipublikasikan sebelumnya, yang memicu kebingungan dan kritikan.

    Buletin resmi Kementerian Kehakiman Irak, bulan lalu, mempublikasikan daftar kelompok dan entitas yang dananya akan diblokir, dengan mencantumkan nama Hizbullah yang bermarkas di Lebanon dan Houthi yang bermarkas di Yaman.

    Langkah itu sebenarnya akan disambut baik oleh Amerika Serikat (AS), dan di sisi lain, akan meningkatkan tekanan terhadap Iran.

    Namun, sebuah surat dari pelaksana tugas (Plt) Wakil Gubernur Bank Sentral Irak, seperti dilansir Reuters, Jumat (5/12/2025), meminta Komite Pembekuan Dana Teroris untuk menghapus klausul yang memuat nama kedua kelompok tersebut.

    Perintah penghapusan itu diungkapkan oleh dua sumber Bank Sentral yang dikutip Reuters dalam laporannya.

    Perdana Menteri (PM) Irak Mohammed Shia al-Sudani mengatakan bahwa pemerintahannya telah menyetujui pembekuan hanya aset-aset entitas dan individu yang terkait kelompok radikal Islamic State (ISIS) dan Al-Qaeda, sebagai tanggapan atas permintaan dari Malaysia.

    Dia juga mengumumkan bahwa dirinya telah memerintahkan penyelidikan segera atas kesalahan tersebut “untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab”.

    Al-Sudani menambahkan bahwa posisi politik dan kemanusiaan Irak terkait “agresi terhadap rakyat kami di Lebanon atau di Palestina” bersifat “prinsip dan tidak boleh dilebih-lebihkan”.

    Kritikan atas kekeliruan itu datang dari seorang anggota parlemen Irak yang mewakili blok yang berafiliasi dengan Kataeb Hizbullah, Hussain Mouanes, yang menyebutnya sebagai tindakan “tidak bertanggung jawab”.

    Dia menuduh pemerintah sebagai “otoritas bawahan yang tidak memiliki martabat untuk mewakili rakyatnya atau membela kedaulatan Irak”.

    Komite Irak, dalam penjelasannya. menyebut daftar yang dipublikasikan tanggal 17 November itu dimaksudkan hanya untuk mencakup individu dan entitas yang terkait dengan ISIS dan Al-Qaeda, sesuai Resolusi Dewan Keamanan PBB 1373.

    Beberapa kelompok yang tidak terkait ikut dimasukkan, menurut Komite Irak, karena daftar itu dirilis sebelum revisi akhir selesai dilakukan. Komite Irak mengatakan bahwa versi yang telah diperbaiki akan muncul dalam buletin resmi negara.

    Belum ada tanggapan dari Hizbullah maupun Houthi terhadap kekeliruan tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)