Negara: Iran

  • Bak di Film Children Of Heaven, Kakak Beradik di Parung Gantian Seragam dan Sepatu untuk ke Sekolah

    Bak di Film Children Of Heaven, Kakak Beradik di Parung Gantian Seragam dan Sepatu untuk ke Sekolah

    GELORA.CO –  Kisah kakak beradik di Parung, Kabupaten Bogor bernama Haikal (18) dan Haezar (15) sangat mirip dengan cerita di film Children of Heaven.

    Children of Heaven adalah sebuah film asal Iran yang tayang pada tahun 1997.

    Film yang masuk ke dalam nominasi Academy Awards tersebut ditulis dan disutradarai oleh Majid Majidi. 

    Film Children of Heaven menceritakan soal kakak beradik bernama Ali dan Zahra yang berasal dari keluarga kurang mampu, mereka terpaksa bergantian memakai satu pasang sepatu untuk berangkat ke sekolah.

    Kisah serupa Children of Heaven ternyata terjadi di dunia nyata.

    Bertukar Seragam dan Sepatu

    Hailkal dan Haezar harus bergantian dalam menggunakan seragam pramuka serta sepatu untuk bersekolah.

    Sang adik, Haezar harus cepat-cepat pulang ketika pelajaran sudah selesai karena seragam pramuka yang dipakainya akan digunakan oleh kakaknya.

    Pelajar kelas IX SMP itu mengaku melakukan hal tersebut setiap hari Kamis karena diwajibkan menggunakan seragam pramuka.

    Terlebih, ia dan kakaknya yakni Haikal bersekolah di satu yayasan yang sama di wilayah Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor.

    Kebiasaan menggunakan seragam secara bergantian itu sudah dilakukannya sejak keduanya masih duduk di bangku kelas satu SMP dan SMK.

    “Kemarin Aa (Haikal) masuk siang, Haezar pagi. Aa masuk siang jam 12, Haezar pulang jam setengah 11,” ujarnya saat dijumpai TribunnewsBogor.com, Kamis (18/9/2025).

    Ayah Meninggal Ibu ODGJ

    Haikal dan Haezar, berasal dari keluarga kurang mampu dan tinggal di sebuah rumah kontrakan petakan yang jauh dari kata mewah.

    Lebih pilu dari kisah Ali dan Zahra yang masih memiliki orang tua lengkap.

    Di dalam rumah tersebut Haikal dan Haezar tinggal bersama ibu yang mengalami gangguan jiwa, nenek yang sudah sepuh, dan adik perempuan yang masih bersekolah kelas 3 SD.

    Sedangkan ayahnya, telah berpulang kepangkuan sang Ilahi sejak lima tahun silam, tepatnya pada tahun 2020 lalu.

    “Mereka tidurnya sama nenek sama mamanya, ayahnya udah meninggal,” ujar tante pelajar tersebut, Dika Yuniasari, Kamis (18/9/2025).

    Sementara itu, setiap bulannya pengeluaran yang sudah pasti dikeluarkan untuk membayar sewa kontrakan sekitar Rp700 ribu.

    Pengeluaran tersebut belum termasuk kebutuhan lainnya seperti untuk makan dan uang jajan sekolah ketiganya.

    Selama ini kebutuhan-kebutuhan tersebut dicukupi oleh pihak keluarga besar untuk meringankan beban.

    “Ya kami bekerjasama, sama abang saya, terus dari bantuan juga gitu,” ungkapnya.

    Meski begitu, setelah video tersebut viral Haikal dan Haezar tak lagi harus bergantian dalam menggunakan seragam pramuka.

    Pasalnya, keduanya kini mendapat bantuan dari berbagai pihak mulai dari relawan hingga pemerintah.

    “Alhamdulillah udah dibantu dari seragam sekolah, sepatu, alat tulis sama biaya sekolah sudah dibantu udah dibayar,” kata Dika Yuniasari. 

  • Arab Saudi Ratifikasi Pakta Pertahanan dengan Adidaya Nuklir Pakistan

    Arab Saudi Ratifikasi Pakta Pertahanan dengan Adidaya Nuklir Pakistan

    Riyadh

    Pakta pertahanan antara Arab Saudi dan Pakistan menggariskan, bahwa setiap serangan terhadap salah satu negara mewajibkan dukungan militer demi menjamin keutuhan teritorial. Langkah ini diambil menyusul serangan Israel ke Qatar awal bulan ini.

    Kerajaan Saudi sejak lama memiliki ikatan ekonomi, religius, dan keamanan yang erat dengan Pakistan—termasuk, seperti yang ramai dilaporkan, memberikan dukungan finansial bagi program senjata nuklir Islamabad.

    Selama bertahun-tahun, analis maupun sejumlah diplomat Pakistan menyebut kemungkinan Arab Saudi berlindung di bawah “payung nuklir” Islamabad, terlebih saat ketegangan meningkat terkait program atom Iran.

    Pesan kepada Israel?

    Momentum penandatanganan pakta juga dipahami sebagai isyarat langsung kepada Israel, yang lama dicurigai sebagai satu-satunya negara bersenjata nuklir di Timur Tengah, dan kini tengah menjalankan operasi militer luas sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

    Operasi yang dilancarkan Israel menjalar ke Iran, Lebanon, wilayah lain Palestina, Qatar, Suriah, hingga Yaman.

    Pemerintah di Tel Aviv sejauh ini belum menanggapi perjanjian tersebut. Amerika Serikat—selama ini penjamin keamanan tradisional negara-negara Teluk—juga belum memberikan komentar.

    Putra Mahkota Saudi yang berkuasa, Mohammed bin Salman, menandatangani pakta pertahanan dengan Pakistan pada Rabu (17/) bersama Perdana Menteri Shehbaz Sharif.

    Perjanjian itu tidak menyebut senjata nuklir secara spesifik, tetapi menegaskan: “Setiap agresi terhadap salah satu negara akan dianggap sebagai agresi terhadap keduanya,” menurut pernyataan bersama Kementerian Luar Negeri Pakistan dan Kantor Berita Saudi.

    “Perjanjian ini bertujuan mengembangkan aspek kerja sama pertahanan kedua negara dan memperkuat daya tangkal bersama terhadap setiap agresi,” demikian isi pernyataan itu.

    Sejarah panjang ikatan militer

    Komitmen Pakistan bagi pertahanan Arab Saudi sudah tertanam sejak puluhan tahun, terutama untuk melindungi kedua kota suci Mekkah dan Madinah. Pasukan Pakistan pertama kali dikirim ke Saudi pada akhir 1960-an, saat muncul kekhawatiran atas perang Mesir di Yaman.

    Pertalian itu makin erat setelah Revolusi Islam Iran 1979, yang meluapkan ketakutan dinasti al-Saud terhadap rejim Syiah di Teheran.

    Pakistan sendiri mengembangkan senjata nuklir untuk menandingi India. Kedua negara bertetangga itu telah berulang kali bentrok, termasuk saling serang setelah serangan pembunuhan terhadap turis di Kashmir India pada April lalu. Menurut Bulletin of Atomic Scientists, India diperkirakan memiliki 172 hulu ledak nuklir, sementara Pakistan punya 170.

    Pada Kamis(18/9), Kementerian Luar Negeri India menyebutkan, pihaknya terus memantau pertalian baru Saudi-Pakistan. New Delhi menyatakan akan “mempelajari implikasi perkembangan ini bagi keamanan nasional serta stabilitas regional dan global.” Saudi sendiri juga memiliki hubungan dekat dengan India.

    Dukungan pada program Pakistan

    Dalam bukunya Eating Grass: The Making of the Pakistani Bomb, pensiunan Brigadir Jenderal Feroz Hassan Khan menulis betapa Saudi sejak awal telah memberikan “dukungan finansial besar” untuk program nuklir Pakistan.

    Sebuah kabel diplomatik AS tahun 2007 yang dipublikasikan WikiLeaks menyebut diplomat Pakistan di Riyadh sempat mengusulkan kemungkinan keterlibatan kerajaan Saudi dalam program pengembangan senjata nuklir.

    “Menurut para pejabat ini, mereka memahami bahwa Arab Saudi ingin melindungi diri maupun kawasan. Karena beberapa negara lain—khususnya Mesir—tak mampu mengembangkan sistem senjata nuklir akibat kendala finansial, maka logis jika Saudi mengambil peran sebagai ‘pelindung fisik’, sama seperti perannya kian besar sebagai mediator perdamaian di berbagai konflik kawasan,” demikian isi kabel diplomatik tersebut.

    Baik Pakistan maupun Saudi tidak menjawab pertanyaan Associated Press yang diajukan Kamis (18/9), soal apakah pakta ini mencakup arsenal nuklir Islamabad.

    Benang merah menuju Teheran

    Arab Saudi sebelumnya sempat meminta bantuan AS untuk mengembangkan program nuklir sipil, sebagian melalui rencana normalisasi diplomatik dengan Israel sebelum serangan Hamas 2023. Program itu bisa membuka peluang Saudi memperkaya uranium di dalam negeri—hal yang membuat gusar pakar nonproliferasi, karena pengayaan uranium juga bisa mengarah ke pengembangan senjata nuklir.

    Putra Mahkota MBS pernah berkata, kerajaan akan berusaha mengembangkan senjata nuklir jika Iran dibiarkan memiliki bom atom. Saat ini Saudi diyakini sudah memiliki program rudal balistik domestik, yang berpotensi menjadi sistem pengantar hulu ledak nuklir.

    Meski begitu, Saudi masih menjadi anggota Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) dan belum diketahui mengambil langkah untuk mengembangkan bom sendiri.

    Sebelum pakta pertahanan diteken, Iran sempat mengirim Ali Larijani untuk berkunjung ke Riyadh. Dia adalah tokoh senior sekaligus sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi. Boleh jadi langkah itu membuka kesempatan bagi kerajaan untuk menjelaskan kepada Teheran, yang sejak 2023 menjalin komunikasi melalui mediasi China.

    Editor: Agus Setiawan

    Lihat juga Video: India Minta IAEA Awasi Ketat Senjata Nuklir Pakistan

    (nvc/nvc)

  • AS-Arab Saudi Gelar Latihan Militer Gabungan untuk Tangkal Serangan Drone

    AS-Arab Saudi Gelar Latihan Militer Gabungan untuk Tangkal Serangan Drone

    Riyadh

    Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi telah menyelesaikan latihan militer gabungan yang digelar di kawasan Timur Tengah pekan ini. Latihan gabungan ini melibatkan latihan tembak langsung dalam upaya menangkal sistem udara tak berawak (UAS) atau serangan drone.

    Latihan gabungan kedua negara yang bersekutu ini menggarisbawahi urgensi yang semakin meningkat untuk mempertahankan diri dari ancaman drone yang terus berkembang.

    Komando Pusat AS atau CENTCOM, seperti dilansir Al Arabiya, Kamis (18/9/2025), menyebut latihan gabungan ini sebagai latihan “Red Sands” yang paling ambisius sejauh ini, dengan mempertemukan 20 sistem kontra-drone dalam latihan tembak langsung di Lapangan Latihan Shamal-2 di wilayah timur laut Saudi.

    Latihan ini disebut fokus pada pengintegrasian radar, sensor, dan senjata untuk mendeteksi, melacak, serta menghancurkan ancaman udara modern dengan cepat, termasuk kawanan drone.

    Di antara kemampuan yang diuji coba, pasukan AS dan Saudi mengintegrasikan sistem komando dan kontrol, serta penembak yang mampu menghancurkan kawanan drone. Hal serupa telah berhasil dilakukan militer Ukraina dalam melumpuhkan pertahanan udara Rusia.

    CENTCOM menyebut bahwa “Drone Defeat Rounds” atau DDR ditembakkan dari senapan kaliber-12, setiap peluru melepaskan 729 pelet tungsten yang lebih padat daripada pelet timah yang menghasilkan energi kinetik yang jauh lebih besar.

    Pesawat jenis rotary-wing dan fixed-wing juga dilibatkan dalam latihan gabungan tersebut, bersama dengan pesawat AC-130 dan helikopter Apache AH-64, serta jet-jet tempur Saudi jenis F-15, AH-64 dan Typhoon.

    Laksamana Brad Cooper, yang melakukan kunjungan regional pertamanya sejak menjabat Komandan CENTCOM, mengawasi langsung latihan gabungan itu bersama Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Saudi, Jenderal Fayyadh Al-Ruwaili, dan mengunjungi Pusat Eksperimen Terpadu Red Sands.

    Cooper juga melakukan pertemuan dengan Menteri Pertahanan Saudi, Pangeran Khalid bin Salman.

    “Dalam pertemuan tersebut, kami meninjau aspek-aspek kerja sama pertahanan dan membahas perkembangan terbaru di kawasan, serta upaya bersama dalam mengatasinya dengan cara yang menjaga perdamaian dan keamanan internasional,” kata Pangeran Khalid merujuk soal pertemuannya dengan Cooper.

    Dalam pernyataannya, Cooper menyebut AS dan Saudi “bahu-membahu” untuk “berinovasi dan beradaptasi” dalam menghadapi ancaman yang muncul.

    “Ancaman yang ditimbulkan oleh maraknya penggunaan drone canggih merupakan tantangan yang mendesak,” sebutnya.

    “Bekerja sama bahu-membahu dengan mitra-mitra regional untuk berinovasi dan beradaptasi menjadi lebih penting dari sebelumnya,” cetus Cooper.

    AS dan Saudi juga menggelar serangkaian latihan keamanan maritim bersama pada awal tahun ini, yang menandai langkah maju lainnya dalam memperdalam kemitraan militer antara kedua negara.

    CENTCOM juga menekankan bahwa Iran dan proksinya telah meluncurkan ribuan drone dan rudal tempur di kawasan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • AS Sanksi Iran, Sasar Jaringan Perbankan Bayangan yang Sokong IRGC

    AS Sanksi Iran, Sasar Jaringan Perbankan Bayangan yang Sokong IRGC

    JAKARTA – Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sanksi baru terkait Iran yang menargetkan individu dan entitas yang menurut Washington mendanai militer Teheran, termasuk beberapa di Hong Kong dan Uni Emirat Arab.

    Mereka yang menjadi sasaran disebut AS membantu mengoordinasikan transfer dana, termasuk dari penjualan minyak Iran, yang menguntungkan pasukan militer Iran, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC)-Pasukan Quds dan Kementerian Pertahanan dan Logistik Angkatan Bersenjata (MODAFL).

    “Jaringan ‘perbankan bayangan’ Iran seperti ini—yang dijalankan oleh fasilitator keuangan gelap tepercaya—menyalahgunakan sistem keuangan internasional, dan menghindari sanksi dengan mencuci uang melalui perusahaan-perusahaan bayangan di luar negeri dan mata uang kripto,” demikian pernyataan Departemen Keuangan AS dilansir Reuters.

    Sanksi AS umumnya melarang individu dan perusahaan Amerika untuk terlibat dalam transaksi bisnis apa pun dengan pihak-pihak yang menjadi target.

  • Iran Hukum Gantung Pria yang Dituduh Jadi Mata-mata Mossad

    Iran Hukum Gantung Pria yang Dituduh Jadi Mata-mata Mossad

    Teheran

    Otoritas Iran telah menghukum gantung seorang narapidana pria yang dinyatakan bersalah atas tuduhan menjadi mata-mata untuk badan intelijen Israel, Mossad, sejak tahun 2022.

    Otoritas peradilan Iran, seperti dilansir AFP, Rabu (17/9/2025), mengumumkan hukuman gantung telah dilaksanakan terhadap seorang narapidana bernama Babak Shahbazi pada Rabu (17/9) pagi waktu setempat.

    “Babak Shahbazi… telah dieksekusi mati dengan hukuman gantung pagi ini setelah menjalani proses hukum yang semestinya dan penguatan hukumannya oleh Mahkamah Agung,” demikian pernyataan otoritas peradilan Iran seperti dilaporkan situs web Mizan Online yang mereka kelola.

    Tidak disebutkan lebih lanjut soal kapan Shahbazi ditangkap. Namun Mizan Online menyebut dia dijatuhi hukuman mati atas pelanggaran hukum berat, yang dikategorikan sebagai “korupsi di Bumi” dan “mengobarkan perang melawan Tuhan”.

    Laporan Mizan Online menyebut bahwa Shahbazi terlibat dalam perancangan dan pemasangan sistem pendingin industri untuk perusahaan-perusahaan terkait organisasi dan fasilitas militer, keamanan, dan telekomunikasi di Iran.

    Akses yang dimilikinya, sebut Mizan Online, memungkinkan Shahbazi untuk “memberikan informasi kepada Mossad dengan imbalan uang dan izin tinggal di negara asing”.

    Sejak terlibat perang sengit dengan Israel selama 12 hari pada Juni lalu, Iran telah bersumpah untuk menindak tegas orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan musuh bebuyutannya tersebut.

    Pada Agustus lalu, otoritas Teheran mengeksekusi mati seorang pria bernama Roozbeh Vadi, yang bekerja di anak perusahaan Organisasi Energi Atom Iran (IAEA). Eksekusi mati dilaksanakan setelah Vadi divonis bersalah telah memberikan informasi mengenai fasilitas nuklir Iran dan para ilmuwan nuklir mereka.

    Akhir Juli lalu, badan intelijen Iran mengumumkan penangkapan “20 mata-mata, agen operasional, dan pendukung Mossad, serta elemen-elemen yang terkait dengan para perwira intelijen rezim (Israel) di Teheran” serta beberapa provinsi lainnya.

    Iran, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, merupakan negara pelaksana eksekusi mati paling produktif kedua di dunia setelah China.

    Lihat juga Video: Dokumen Rahasia AS Bocor, Berisi Informasi Perang Ukraina-Mossad

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • China Kumpulkan Sekutunya, Bentuk Tatanan Global Saingi AS

    China Kumpulkan Sekutunya, Bentuk Tatanan Global Saingi AS

    Beijing

    Forum Xiangshan adalah pertemuan keamanan internasional tahunan pertama di Beijing, yang digelar sejak dimulainya masa jabatan kedua Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Acara ini menjadi bagian dari rencana China untuk memperkuat proyeksi kekuatan barunya dalam “menegakkan tatanan internasional.”

    Forum yang digelar pada 17–19 September 2025 tersebut, secara luas dianggap sebagai respons China atas Dialog Shangri-La, sebuah forum keamanan tahunan bergengsi di Asia yang digelar di Singapura. Dialog Shangri-La biasanya dihadiri pejabat setingkat menteri dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan sekutunya.

    “AS lebih suka Dialog Shangri-La. China lebih suka Forum Xiangshan,” kata Raymond Kuo, seorang pakar politik senior yang fokus dalam topik Asia Timur di lembaga penelitian RAND, AS. “Preferensi itu terlihat dari siapa yang mereka kirim.”

    Pada Forum Xiangshan tahun 2025 ini, Amerika Serikat hanya mengirim atase pertahanan dari kedutaannya di Beijing. Perwakilan ini merupakan tingkat delegasi yang lebih rendah dibanding tahun 2024, ketika pemerintahan Trump mengirim wakil asisten menteri pertahanan.

    Pada Juni 2025, Menteri Pertahanan China Dong Jun absen dari Dialog Shangri-La. Ini merupakan kali pertama sejak tahun 2019, pejabat pertahanan tertinggi Beijing tidak hadir di forum tersebut.

    Kepada DW, Raymond Kuo mengatakan bahwa China melakukan semacam “forum shopping”, berupaya menciptakan sistem terpisah dan mengajak negara lain untuk bergabung.

    Level pejabat yang dikirim AS dan China ke forum-forum tersebut, kata Raymond Kuo, menunjukkan seberapa penting negara-negara lain menilai forum itu, di tengah meningkatnya rivalitas dua ekonomi terbesar dunia ini.

    Niat China bentuk tatanan global alternatif

    Menurut kantor berita Xinhua, sekitar 1.800 perwakilan dari 100 negara, termasuk pejabat, militer, dan akademisi hadir dalam Forum Xiangshan 2025.

    Topik utama dalam agenda resmi mencakup soal “tata kelola keamanan global, kerja sama keamanan Asia-Pasifik, menjaga tatanan internasional pascaperang, dan pembangunan perdamaian regional.”

    Narasi tersebut sejalan dengan upaya Beijing untuk memperluas pengaruhnya lewat sejumlah ajang internasional belakangan ini, yang digelar di wilayah China, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi Shanghai Cooperation Organization (KTT SCO) dan parade militer besar pada awal September 2025 ini.

    Di KTT SCO awal September 2025, Presiden Xi Jinping bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri India Narendra Modi, sebelum kemudian menjamu Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam parade militer. Tampilnya kerja sama keamanan antara China dan sekutu utamanya diperkirakan juga akan terlihat di Forum Xiangshan.

    “Xi Jinping akan menekankan persatuan dengan Rusia, Korea Utara, dan mungkin Iran untuk menyampaikan pesan bahwa ada kelompok yang mampu melawan pengaruh global AS,” kata Elizabeth Freund Larus, seorang peneliti senior di Pacific Council.

    Cari dukungan “Global South” dan contohkan India

    Narasi Beijing soal tatanan dunia baru utamanya ditujukan ke negara-negara Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Brasil, dan Nigeria. Negara-negara tersebut mengirim perwakilan pertahanan dengan jabatan lebih tinggi ke Forum Xiangshan.

    Raymond Kuo mengatakan Xi Jinping berusaha menampilkan citra China sebagai “mediator yang dapat dipercaya” untuk negara-negara Selatan dan menjadikan hubungannya dengan India sebagai contoh.

    Terlepas dari hubungan China dan India yang memburuk sejak bentrokan perbatasan mematikan pada 2020, pertemuan Modi dengan Xi Jinping di KTT SCO awal September 2025 ini bisa menguntungkan Beijing.

    “Pada titik tertentu, China sudah mengatakan: ‘Ya, kita mungkin punya perbedaan, bahkan konflik wilayah, tetapi kita tetap bisa menangani dan menyelesaikan isu keamanan regional lebih baik daripada Amerika Serikat’,” papar Raymon Kuo.

    Namun, meski menekankan multilateralisme, para pengamat menilai China masih lebih menyukai perjanjian bilateral dengan negara-negara Selatan. China, kata Raymond Kuo, mungkin akan meluncurkan inisiatif atau memberi rincian proposal dari KTT SCO, tetapi kesepakatan nyata tampaknya terbilang kecil.

    Rivalitas AS-China di Asia

    Forum Xiangshan juga memberi gambaran tentang cara AS dan China dalam menjalankan diplomasi militer di masa depan.

    Menurut Freund Larus, pilihan delegasi AS “menunjukkan bahwa diskusi sebenarnya terjadi lewat jalur belakang, bukan di depan kamera.”

    Menjelang Forum Xiangshan, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth berbicara lewat telepon dengan Menteri Pertahanan China Dong Jun. Mereka menekankan pentingnya menjaga saluran komunikasi militer terbuka dan menegaskan kepentingan nasional masing-masing.

    Dalam percakapan itu, Dong Jun memperingatkan bahwa “upaya penahanan atau pencegahan terhadap China tidak akan berhasil”, serta menentang campur tangan AS di Laut China Selatan dan Taiwan, sebuah negara demokrasi yang punya pemerintahan sendiri tapi diklaim Beijing sebagai wilayahnya.

    Pete Hegseth menegaskan kalau AS “tidak mencari konflik dengan China”, tetapi menekankan bahwa negaranya memiliki “kepentingan strategis di Asia-Pasifik.”

    “Jika ada dialog bilateral dengan Beijing, Washington tidak merasa perlu masuk ke China untuk melakukannya,” kata Ying-Yu Lin, seorang profesor di Universitas Tamkang, Taiwan.

    Pada September 2025, kapal induk terbaru China, Fujian, terlihat melintas di Selat Taiwan menuju Laut China Selatan. Mobilisasi ini kemudian disebut Beijing sebagai “bagian dari latihan penelitian dan pelatihan.”

    Sementara itu, AS dan Jepang menggelar latihan militer bersama, termasuk pengerahan sistem rudal jarak menengah, Typhon, di Jepang. Kemudian, latihan militer ini dikritik China dan Rusia karena dianggap meningkatkan ketegangan militer di kawasan tersebut.

    Para pengamat memperkirakan Beijing akan terus menggunakan forum seperti ini untuk mempromosikan narasi perdamaian, mulai dari perang Ukraina hingga Laut China Selatan dan Taiwan.

    “Ini garis narasi yang sama yang terus digunakan pejabat China,” kata Larus. “Jangan berharap ada terobosan di sini.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

    Editor: Tezar Aditya

    (nvc/nvc)

  • Makin Panas! Israel Bombardir Pelabuhan Yaman yang Dikuasai Houthi

    Makin Panas! Israel Bombardir Pelabuhan Yaman yang Dikuasai Houthi

    Sanaa

    Militer Israel menyerang pelabuhan Hodeida yang dikuasai kelompok Houthi di Yaman pada Selasa (16/9) waktu setempat. Tel Aviv mengklaim serangannya menargetkan infrastruktur yang digunakan oleh kelompok yang didukung Iran tersebut.

    Laporan Al-Masirah TV yang dikelola oleh Houthi, seperti dilansir AFP, Rabu (17/9/2025), menyebut belasan serangan melanda area pelabuhan tersebut.

    “Sebanyak 12 serangan udara musuh Israel menargetkan pelabuhan Hodeida,” sebut Al-Masirah TV dalam laporannya.

    Juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, dalam pernyataan terpisah menyebut pertahanan udara kelompoknya menghadapi “pesawat musuh Israel yang melancarkan agresi terhadap negara kami”.

    Beberapa waktu terakhir, Israel semakin meningkatkan serangan terhadap Houthi, dengan salah satu serangannya bulan lalu telah menewaskan Perdana Menteri (PM) Ahmed Ghaleb Nasser Al-Rahawi dari pemerintahan Houthi dan hampir separuh kabinetnya.

    Serangan terpisah Tel Aviv pekan lalu, yang disebut menargetkan operasi media Houthi, telah menewaskan puluhan orang.

    Militer Israel merilis peringatan yang mengimbau warga sipil di sekitar Hodeida untuk mengungsi sebelum serangan menghujani area pelabuhan tersebut. Diklaim oleh militer Israel dalam pernyataannya bahwa mereka menyerang “infrastruktur militer milik rezim teroris Houthi” di pelabuhan Hodeida.

    “Beberapa waktu lalu, IDF (Angkatan Bersenjata Israel) menyerang lokasi infrastruktur militer milik rezim teroris Houthi di pelabuhan Hodeida di Yaman,” sebut militer Israel dalam pernyataannya.

    Dalam pernyataannya itu, militer Israel menuduh Houthi menggunakan pelabuhan tersebut “untuk mentransfer senjata yang dipasok oleh rezim Iran, untuk melancarkan serangan terhadap negara Israel dan sekutu-sekutunya”.

    Seorang sopir truk di pelabuhan Hodeida mengatakan kepada AFP bahwa dirinya telah meninggalkan tempat kerjanya setelah peringatan Israel tersebut.

    “Warga-warga sipil lainnya yang bekerja di sana juga telah pergi,” katanya.

    Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz, melontarkan peringatan via media sosial X bahwa Houthi akan “terus menerima pukulan dan membayar harga yang mahal atas setiap upaya menyerang negara Israel”.

    Militer Israel, dalam pernyataan lanjutan, mengatakan pihaknya telah mencegat sebuah rudal yang diluncurkan dari Yaman yang telah memicu sirene serangan udara di area Yerusalem dan di beberapa area lainnya.

    Houthi mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, dengan mengatakan mereka telah menembakkan sebuah rudal balistik yang menargetkan area Jaffa di dekat Tel Aviv. Saree dalam pernyataannya juga mengklaim bahwa serangan drone dilancarkan ke bandara Ramon di wilayah Israel bagian selatan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Bagaimana Gerakan Perempuan Iran 3 Tahun Pasca Mahsa Amini?

    Bagaimana Gerakan Perempuan Iran 3 Tahun Pasca Mahsa Amini?

    Jakarta

    Tiga tahun sudah sejak Jina Mahsa Amini meninggal dunia di ruang tahanan polisi moral di Teheran. Usianya baru 22, seorang perempuan Kurdi yang tubuhnya ditarik dari jalanan karena tak berjilbab, lalu tak kembali.

    Kematian perempuan berusia 22 tahun itu pada 16 September 2022 memicu protes antipemerintah besar-besaran di seluruh negeri. Dari sana, lahirlah teriakan yang bergema: “Zan, Zendegi, Azadi,” Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.

    Otoritas Iran menindak brutal letupan protes perempuan Iran, hingga kini sudah menewaskan sedikitnya 500 orang, serta menangkap lebih dari 20.000 orang, menurut kelompok hak asasi manusia.

    Meski rezim teokrasi di Teheran berhasil menyintasi amarah publik, kematian Amini dipandang sebagai titik balik bagi Iran.

    Apa yang berubah sejak kematian Amini?

    Kini, tiga tahun kemudian, rezim masih berdiri. Tapi perempuan-perempuan muda terlihat lebih sering berlalu lalang di jalanan dengan kepala tak berselubung jilbab, menantang ancaman dan todongan.

    Atefeh Chaharmahaliyan, penulis dan aktivis hak asasi manusia asal Iran terpaksa mencari suaka di Jerman, usai ditangkap saat gelombang protes 2022 dan dipenjara lebih dari 70 hari.

    “Tuntutan rakyat sekarang melampaui kebebasan berpakaian,” katanya kepada DW.

    “Masyarakat Iran — terutama generasi muda — memahami dengan jelas bahwa tuntutan ekonomi dan kebebasan adalah dua pilar dari satu bangunan; tanpa yang satu, yang lain runtuh.”

    Noktah hitam bagi kepemimpinan Iran

    Peringatan kematian Amini datang pada saat genting bagi kepemimpinan Iran, yang masih berusaha pulih setelah perang 12 hari melawan Israel pada Juni lalu, serta serangan terhadap infrastruktur nuklirnya oleh Israel dan Amerika Serikat.

    Sejak serangan itu, krisis ekonomi pun semakin parah, memperdalam kekecewaan publik dan menyingkap disfungsi di jantung Republik Islam.

    Situasi ini membuat rezim merasa semakin tidak aman, kata seorang aktivis masyarakat sipil di Teheran.

    “Sejak perang dengan Israel, jumlah penangkapan melonjak, dan laju eksekusi meningkat secara mengerikan,” kata aktivis itu kepada DW dengan syarat anonim demi keamanan.

    “Pemerintah melancarkan tekanan bertubi-tubi untuk menakut-nakuti rakyat agar tidak kembali ke jalanan.”

    Namun, dia menambahkan, semangat rakyat Iran untuk kebebasan dan keadilan tetap utuh. “Tuntutan ini justru semakin mengakar dan lebih disadari.”

    Akankah lahir gerakan baru?

    Helen Nosrat, aktivis perempuan Iran yang hidup di Jerman, ragu bahwa protes besar-besaran anti-pemerintah akan bisa muncul dalam waktu deat.

    “Meski gerakan Mahsa meninggalkan luka yang bertahan lama dan ikut melemahkan kewajiban berjilbab, kecil kemungkinan gerakan serupa akan muncul setelah perang dengan Israel,” ujarnya.

    “Situasi perang telah menciptakan masalah jauh lebih besar bagi rakyat. Sebagian besar kini harus berusaha bertahan hidup — melindungi diri dan keluarga — ketimbang merobohkan rejim.”

    Behnam Daraeizadeh, pengacara sekaligus peneliti di Center for Human Rights in Iran (CHRI) yang berbasis di AS, punya pandangan serupa.

    “Perkembangan regional dan konfrontasi militer Iran dengan Israel dan Amerika Serikat tidak otomatis memicu protes demokratis. Justru bisa menahan atau melumpuhkan,” katanya.

    “Perang memperkuat persepsi bahwa masa depan ada di tangan aktor militer dan diplomatik, bukan rakyat. Dan saat ketegangan militer meningkat, pemerintah memperkeras represi terhadap aktivis sipil.”

    Rakyat Iran menanggung beban krisis ekonomi

    Chaharmahaliyan mengatakan konflik dengan Israel telah “memperparah rantai krisis jangka panjang di Iran.”

    “Kombinasi kesulitan ekonomi dan tuntutan kebebasan menciptakan kondisi serius bagi gelombang protes baru,” tambahnya.

    Pengamat menilai krisis ekonomi yang menggigit menjadi perhatian utama rakyat Iran.

    Ekonomi Iran telah lama tertekan akibat sanksi keras AS sejak pembatalan sepihak perjanjian nuklir pada 2018, di masa pemerintahan pertama Presiden Donald Trump. Saat kembali berkuasa pada Januari, Trump menghidupkan kembali kampanye sanksi “tekanan maksimum” terhadap Teheran.

    Saat ini Iran bergulat dengan inflasi tinggi, daya beli yang menyusut, pengangguran genarasi muda, dan meningkatnya kemiskinan.

    Daraeizadeh menyebut, setiap gerakan protes baru kemungkinan besar akan dipicu oleh tuntutan ekonomi, krisis yang semakin dalam, ketimpangan parah, serta kemarahan kelompok miskin dan termarjinalkan — terutama di kota kecil dan wilayah kurang beruntung.

    Chaharmahaliyan menegaskan, setiap pemberontakan baru “sangat mungkin lebih dalam dan lebih radikal dibanding gerakan tiga tahun lalu.”

    “Semakin besar tekanan di wilayah perbatasan, daerah miskin, dan kelompok ekonomi rentan, semakin besar pula kemungkinan etnis minoritas, penduduk provinsi perbatasan, dan sektor buruh akan bergabung, serta aksi mogok akan lebih luas dan terorganisasi dibanding tiga tahun lalu,” tegasnya.

    Nosrat menambahkan, “gerakan protes berikutnya mungkin akan lebih menekankan isu ekonomi, keadilan sosial, dan keamanan. Mungkin kata ‘kehidupan’ akan bergema lebih kuat dibanding ‘kebebasan.’”

    Artkel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    Lihat juga Video: Lagi! Iran Hukum Mati 3 Pengunjuk Rasa Kematian Mahsa Amini

    (ita/ita)

  • Pemimpin Arab Serukan Tinjau Ulang Hubungan dengan Israel!

    Pemimpin Arab Serukan Tinjau Ulang Hubungan dengan Israel!

    Doha

    Para pemimpin Arab dan Muslim menyerukan untuk meninjau ulang hubungan dengan Israel menyusul serangan mematikan Tel Aviv menargetkan pemimpin Hamas di Doha, ibu kota Qatar, pekan lalu.

    Seruan itu, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (16/9/2025), disampaikan saat pertemuan darurat oleh Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Doha pada Senin (15/9) waktu setempat.

    Pertemuan gabungan yang mempertemukan hampir 60 negara itu, berupaya mengambil tindakan tegas setelah Israel melancarkan serangan mengejutkan di Doha, yang diklaim menargetkan pemimpin senior Hamas, saat perundingan gencatan senjata berproses.

    Pernyataan bersama yang dihasilkan pertemuan itu mendesak “semua negara untuk mengambil semua langkah hukum dan efektif yang memungkinkan untuk mencegah Israel melanjutkan tindakannya terhadap rakyat Palestina”, termasuk “meninjau kembali hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara tersebut, dan memulai proses hukum terhadapnya”.

    Negara-negara Teluk lainnya, seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain, bersama dengan Mesir, Yordania, dan Maroko, termasuk di antara negara-negara yang hadir dalam pertemuan darurat itu yang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

    Pernyataan bersama tersebut juga mendesak negara-negara anggota untuk “mengkoordinasikan upaya-upaya yang bertujuan untuk menangguhkan keanggotaan Israel di Perserikatan Bangsa-Bangsa”.

    Qatar telah menyerukan respons regional yang terkoordinasi setelah serangan Israel mengejutkan negara yang biasanya damai tersebut.

    Pertemuan darurat di Doha ini bertujuan untuk meningkatkan tekanan terhadap Israel, yang menghadapi seruan yang semakin meningkat untuk mengakhiri perang dan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

    Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, menuduh Israel berupaya menggagalkan perundingan gencatan senjata dengan membombardir negosiator Hamas yang ada di Qatar.

    Hamas mengatakan bahwa para pejabat tinggi mereka selamat dari serangan Israel di Doha, yang menewaskan lima anggota Hamas dan satu personel keamanan Qatar. Gelombang kritikan juga menghujani Tel Aviv usai serangan tersebut, termasuk dari sekutu dekatnya Amerika Serikat (AS).

    “Siapa pun yang bekerja dengan tekun dan sistematis untuk membunuh pihak yang sedang bernegosiasi dengannya, bermaksud untuk menggagalkan negosiasi tersebut,” kata Al Thani dalam pertemuan darurat di Doha.

    Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman termasuk di antara pemimpin yang hadir dalam pertemuan darurat tersebut. Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Perdana Menteri (PM) Irak Mohammed Shia al-Sudani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga hadir.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Apa yang Berubah 5 Tahun Setelah Normalisasi Diplomasi Arab-Israel?

    Apa yang Berubah 5 Tahun Setelah Normalisasi Diplomasi Arab-Israel?

    Jakarta

    Pada 15 September 2020, para menteri luar negeri dan pemimpin dari Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Israel berkumpul di Gedung Putih bersama Presiden AS saat itu, Donald Trump, untuk meresmikan Abraham Accords — sebuah kesepakatan yang menandai normalisasi hubungan antara negara Arab dan Israel. Maroko menyusul pada Desember 2020, dan Sudan menandatangani pada Januari 2021, meskipun ketidakstabilan politik yang berkelanjutan di negara itu menunda implementasi penuh.

    Perjanjian ini menandai normalisasi pertama antara Israel dan negara-negara Arab sejak Mesir (1979) dan Yordania (1994), mematahkan konsensus regional lama bahwa normalisasi mensyaratkan penyelesaian konflik Israel-Palestina dan pembentukan solusi dua negara.

    “Israel dan negara-negara dalam Abraham Accords telah diuntungkan dari perjanjian perdamaian bersejarah ini,” kata Asher Fredman, direktur eksekutif lembaga pemikir Israel Misgav Institute for National Security, kepada DW. Dia menyoroti kerja sama perintis di bidang intelijen, pertanian cerdas, pengobatan presisi, kecerdasan buatan, dan konsep kota pintar, serta peningkatan pariwisata dan perdagangan.

    “Tetapi kemudian 7 Oktober terjadi, dan muncul pertanyaan nyata apakah ‘Abraham Accords’ akan bertahan,” tambahnya.

    Konsekuensi serangan 7 Oktober

    Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang memicu perang di Gaza dan menimbulkan banyak korban jiwa, menggoyahkan koneksi baru di Timur Tengah. Sejak itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan koalisi sayap kanannya semakin lantang menolak solusi dua negara.

    Sementara itu, Israel menghadapi banyak medan tempur sekaligus: perang dengan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon, operasi militer berkelanjutan di Suriah, serta baku tembak dengan pemberontak Houthi di Yaman, yang menargetkan pelayaran internasional di Laut Merah dan wilayah Israel sebagai dukungan bagi Hamas.

    Emily Tasinato, analis Teluk dan Semenanjung Arab, mengatakan kepada DW bahwa perjanjian ini awalnya dimaksudkan bukan hanya untuk memperkuat hubungan dengan AS tetapi juga untuk menghalangi pengaruh regional Iran.

    “Lima tahun kemudian, situasinya tampak terbalik,” kata Tasinato. “Iran semakin rentan, mengalami pelemahan militer dan menghadapi tekanan terhadap pengaruh regionalnya,” tambahnya, sambil menekankan bahwa “meski ketidakpercayaan masih mewarnai hubungan Iran dan negara-negara Teluk Arab, kini Israel justru semakin tampak sebagai aktor ‘nakal’.”

    Serangan Israel di Doha

    Pada 9 September 2025, Israel melakukan serangan drone yang menargetkan pimpinan Hamas di Doha, Qatar. Hamas diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, AS, dan beberapa negara Arab. Serangan itu menewaskan lima pejabat Hamas tingkat menengah dan seorang pejabat keamanan lokal.

    Burcu Ozcelik, peneliti senior di Royal United Services Institute (RUSI) yang berbasis di London, mengatakan kepada DW, “Dengan serangan Israel di Doha … kita memasuki wilayah yang belum pernah dijelajahi.”

    “UAE dan Bahrain berada dalam tekanan untuk mempertahankan status sebagai penandatangan, dan pasti menyesali langkah pejabat Israel yang menempatkan mereka dalam posisi sulit,” tambahnya.

    Setelah serangan itu, Uni Emirat Arab melarang perusahaan pertahanan Israel berpartisipasi dalam pameran dirgantara di Dubai dengan alasan keamanan. Pejabat Emirat juga mengkritik rencana Israel mencaplok sebagian besar Tepi Barat, yang mereka peringatkan dapat membahayakan hubungan bilateral dan upaya AS memperluas perjanjian. Kendati demikian, Tasinato menilai penarikan penuh UEA dari perjanjian tidak mungkin terjadi.

    Rekonstruksi Gaza

    Meski menghadapi tantangan, Fredman dari Misgav Institute for National Security menegaskan bahwa Abraham Accords “terbukti tangguh.” Menurutnya, perdagangan antara Israel dan UEA, Maroko, Bahrain, Mesir, serta Yordania justru meningkat signifikan dibanding sebelum konflik Oktober 2023.

    “Kita bisa memastikan bahwa Abraham Accords telah bertahan dan terbukti tangguh,” kata Fredman.

    “Jika melihat angka dari 2024 dibandingkan 2023 (sebelum serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Gaza), perdagangan dengan UEA naik 10%, dengan Maroko naik 40%, dengan Bahrain naik 843%, bahkan dengan Mesir naik 31% dan Yordania 7%,” jelasnya.

    Untuk paruh pertama 2025, perdagangan dengan Maroko, Mesir, dan Yordania terus meningkat, sementara bisnis dengan UEA kembali ke angka 2023, menurut Fredman. Dia juga memandang Abraham Accords sebagai keuntungan kunci dalam rekonstruksi Gaza. “Apakah itu rencana Riviera ala Trump atau rencana rekonstruksi Mesir, jumlah material yang sangat besar akan melewati Israel, yang memerlukan koordinasi erat,” ujarnya.

    Namun, sejak Abraham Accords ditandatangani lima tahun lalu, belum ada negara Arab lain yang bergabung, meskipun Presiden AS Donald Trump terus mendorong kesepakatan dengan Arab Saudi, Lebanon, dan Suriah.

    “Dalam masa jabatan kedua Donald Trump, meski ada keyakinan besar di Gedung Putih bahwa perjanjian ini akan meluas dengan campuran insentif dan tekanan yang tepat, kenyataannya jauh dari harapan,” kata Ozcelik dari RUSI.

    Menurutnya, ada risiko besar bahwa kebijakan pemerintahan Israel saat ini tidak hanya melemahkan tetapi juga mengikis pencapaian diplomatik Trump. “Sungguh tak terpikirkan di tengah meningkatnya militerisme Israel dan terkuburnya solusi dua negara,” ujarnya kepada DW, seraya menambahkan bahwa “biaya bergabung dengan Abraham Accords kini melonjak drastis bagi negara Arab mana pun.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)