Negara: Irak

  • Timur Tengah Memanas, 6 Pesawat Pengebom B-52 AS Siaga di Qatar

    Timur Tengah Memanas, 6 Pesawat Pengebom B-52 AS Siaga di Qatar

    Pengerahan semacam itu sebelumnya, sebut Haaretz, “telah membantu (Yordania) — bersama dengan Angkatan Udara Israel dan negara-negara lainnya — untuk mencegat serangan pertama Iran terhadap Israel pada 13 April lalu, yang mencakup puluhan rudal jelajah dan drone, serta rudal balistik yang diluncurkan ke Israel”.

    Usai pembunuhan Nasrallah, Menteri Pertahanan (Menhan) AS Lloyd Austin memerintahkan kapal perang USS Lincoln untuk tetap siaga di kawasan untuk mencegah Iran melancarkan serangan merespons kematian pemimpin kelompok yang didukungnya tersebut.

    Sejak saat itu, skuadron tambahan juga telah dikerahkan oleh AS dan sejumlah kapal-kapal penghancur rudal, yang mampu mencegat rudal balistik, rudal jelajah dan drone di udara, tetap disiagakan di perairan Laut Merah dan Laut Mediterania.

    Situasi di kawasan semakin tegang setelah bulan lalu, rentetan pengeboman udara Israel selama berjam-jam telah menghancurkan sebagian besar pertahanan udara Iran. Menanggapi pengeboman itu, Teheran bersumpah akan melancarkan serangan pembalasan.

    Ada indikasi bahwa serangan balasan Iran kemungkinan datang dari wilayah Irak, yang diduga melibatkan serangan drone besar-besaran, sementara rudal-rudal balistik terbesar masih berada di wilayah Iran. Kendati demikian, milisi-milisi Irak yang beraliansi dengan Iran juga memiliki kemampuan rudal dan balistik.

    (nvc/ita)

  • Kesempatan untuk Tinjau Kebijakan yang Salah

    Kesempatan untuk Tinjau Kebijakan yang Salah

    Jakarta

    Pemerintah Iran menyebut kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat sebagai kesempatan bagi negara itu untuk meninjau kembali “kebijakan yang salah” di masa lalu.

    Trump, yang akan kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari setelah mengalahkan Wakil Presiden AS Kamala Harris dalam hari pemilihan presiden pada 5 November, telah menjalankan strategi “tekanan maksimal” terhadap Iran selama masa jabatan pertamanya.

    “Kami memiliki pengalaman yang sangat pahit dengan kebijakan dan pendekatan berbagai pemerintah AS di masa lalu,” kata juru bicara Menteri Luar Negeri Iran Esmaeil Baghaei seperti dikutip oleh kantor berita pemerintah Iran, IRNA, dilansir kantor berita AFP, Kamis (7/11/2024).

    Kemenangan Trump, tambahnya, merupakan kesempatan “untuk meninjau kembali kebijakan yang salah sebelumnya”.

    Iran dan Amerika Serikat telah menjadi musuh sejak Revolusi Islam 1979. Namun, ketegangan memuncak selama masa jabatan pertama Trump dari 2017 hingga 2021.

    “Kebijakan umum Amerika Serikat dan Republik Islam Iran sudah ditetapkan,” kata juru bicara pemerintah Iran, Fatemeh Mohajerani.

    “Tidak masalah siapa yang menjadi presiden. Rencana telah ditetapkan sehingga tidak ada perubahan dalam kehidupan masyarakat,” tambahnya.

    Pada tahun 2020, di bawah kepresidenan Trump, Amerika Serikat menewaskan jenderal Korps Garda Revolusi Islam, Qasem Soleimani, dalam serangan udara di bandara Baghdad, Irak.

    (ita/ita)

  • 6 Update Perang Arab! Irak Serang Israel-Presiden AS Pilihan Netanyahu

    6 Update Perang Arab! Irak Serang Israel-Presiden AS Pilihan Netanyahu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Situasi masih terus memanas di Timur Tengah. Hal ini dipicu serangan Israel ke wilayah Gaza, Palestina, yang akhirnya pekan ini secara besar-besaran meluas ke wilayah Lebanon dan sejumlah negara lainnya.

    Berikut perkembangan terbarunya sebagaimana dikutip dari sejumlah sumber oleh CNBC Indonesia, Selasa (5/11/2024):

    1. Negara Arab Ini Marah Besar

    Pemerintah Suriah buka suara terkait serangan Israel di wilayah ibukotanya, Damaskus, pada hari Senin kemarin. Pernyataan resmi negara tersebut disampaikan langsung oleh Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriatnya, Selasa (5/11/2024).

    Dalam pernyataan tersebut, Suriah mengutuk serangan terbaru tersebut dengan menyebut bahwa serangan Tel Aviv ditujukan untuk wilayah yang dipenuhi oleh warga sipil. Damaskus mengatakan serangan itu kriminal dan mendesak anggota PBB untuk mengambil tindakan cepat untuk menindak Israel.

    “Republik Arab Suriah mengutuk agresi yang dilancarkan oleh entitas Zionis,” kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan dikutip Al Jazeera.

    “Suriah menyerukan kepada negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengambil tindakan segera dan langkah-langkah tegas untuk menghentikan agresi Israel dan meminta pertanggungjawaban para pelaku atas kejahatan mereka.”

    Menurut laporan, jet tempur Israel melancarkan tiga serangan di wilayah Sayyidah Zaynab, yang terletak sekitar 10 km (6 mil) di selatan Damaskus. Serangan pertama menghantam persimpangan Kaou Sudan dekat Sayyidah Zaynab, yang dipenuhi orang-orang terlantar yang melarikan diri dari serangan Israel di Lebanon.

    Serangan kedua terjadi di sekitar sebuah hotel, yang terletak di tenggara Sayyidah Zaynab. Serangan ketiga menargetkan rumah-rumah pertanian di daerah tersebut.

    Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang berbasis di Inggris mengatakan dua anggota gerakan Hizbullah Lebanon dilaporkan tewas dan lima lainnya luka parah dalam serangan udara Israel di sebuah situs pertanian di daerah tersebut.

    2. Israel Tangkap Ajudan Netanyahu

    Pengadilan Israel mengatakan kebocoran informasi yang dilakukan oleh ajudan di kantor Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu kemungkinan telah merusak kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera.

    Pengadilan di kota Rishon LeZion pada Minggu (3/11/2024) malam mengatakan empat orang sedang diselidiki karena memberikan berita kepada surat kabar. Mereka juga telah ditangkap terkait dengan penyelidikan bersama oleh polisi, dinas keamanan internal, dan tentara Israel.

    Tersangka utama bernama Eliezer Feldstein, yang menurut media Israel dipekerjakan sebagai juru bicara dan penasihat media di kantor PM Netanyahu tak lama setelah serangan Hamas pada Oktober 2023 di Israel. Tiga orang lainnya yang akan ditangkap adalah anggota lembaga keamanan.

    Para tersangka diduga terlibat dalam pembocoran dokumen strategi Hamas yang ditemukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Gaza. Mereka memanipulasi atau mengedit materi tersebut agar tampak seolah-olah pimpinan kelompok militan Palestina tersebut berencana untuk memperpanjang perundingan selama mungkin, serta menyelundupkan sandera ke Mesir.

    “Perintah bungkam sebagian masih berlaku, tetapi kasus tersebut melibatkan pelanggaran keamanan nasional yang disebabkan oleh penyediaan informasi rahasia yang melanggar hukum yang merugikan pencapaian tujuan perang Israel,” kata pengadilan pada Jumat, seperti dikutip The Guardian.

    Laporan yang tampaknya berdasarkan dokumen yang direkayasa tersebut muncul di media Inggris Jewish Chronicle dan tabloid Jerman Bild pada bulan September, yang menyebabkan IDF meluncurkan penyelidikan. Jewish Chronicle kemudian mencabut berita tersebut dan memecat jurnalis yang menulisnya.

    Para pengkritik Netanyahu mengatakan artikel tersebut muncul pada saat ia menghadapi kritik baru atas penanganannya terhadap perundingan setelah enam sandera yang tewas ditemukan di sebuah terowongan di Rafah.

    Laporan tersebut juga tampaknya telah memperkuat tuntutan baru Netanyahu dalam perundingan tersebut setelah kerangka kerja bersyarat telah dicapai, bahwa pasukan Israel tetap berada di perbatasan Gaza-Mesir. Tuntutan tersebut ditolak oleh Hamas, dan perundingan pun gagal.

    3. Irak Serang Israel

    Perlawanan Islam Irak mengaku bertanggung jawab atas serangan pesawat nirawak di Israel Selatan. Kelompok bersenjata itu menyebut bahwa pihaknya bertanggung jawab atas serangan pesawat nirawak terhadap ‘target vital’ di Israel Selatan.

    “Para pejuang kami telah melakukan serangan pesawat nirawak terhadap target vital di selatan Israel, dan itu adalah serangan keenam hari ini,” ungkapnya.

    4. Israel Perluas Penjajahan di Tepi Barat

    Sumber-sumber mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pasukan Israel menyerbu kota Tulkarem di Tepi Barat yang diduduki serta Silwan di Yerusalem Timur.

    Sebelumnya, Hamas telah menyerukan warga Palestina untuk menghadapi serangan pasukan Israel di Tepi Barat yang diduduki.

    “Kami menyerukan kepada massa di Tepi Barat untuk lebih banyak perlawanan, keteguhan hati, dan konfrontasi berkelanjutan dengan pendudukan dan pemukim di semua provinsi,” katanya dalam sebuah pernyataan.

    5. Keluarga Sandera Israel blokir Jalan Tol

    Video yang dibagikan di X menunjukkan protes yang diadakan di Jalan Raya Ayalon di Tel Aviv. Protes itu diselenggarakan oleh keluarga tawanan yang ditahan di Gaza. Disebutkan mereka menuntut kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas agar segera dilakukan.

    Rekaman tersebut juga menunjukkan para pengunjuk rasa menduduki wilayah di dekat Jalan Yitzhak Sadeh. Mereka juga memegang spanduk yang menuduh Netanyahu mencoba menggagalkan kesepakatan pertukaran tahanan.

    6. Presiden AS ‘Pilihan’ Netanyahu

    Amerika Serikat (AS) akan mengadakan pemilihan presiden (Pilpres) pada Selasa, (5/11/2024). Kontestasi ini akan mempertemukan Donald Trump dan Kamala Harris.

    Dari perspektif Israel, PM Netanyahu secara luas diyakini condong ke arah kemenangan Trump.

    Netanyahu dan Trump memiliki hubungan yang baik selama masa jabatan pertama mantan presiden AS tersebut. Pada tahun 2019, di Dewan Israel-Amerika, Trump mengatakan: “Negara Yahudi tidak pernah memiliki teman yang lebih baik di Gedung Putih daripada presiden Anda.”

    Perasaan itu saling menguntungkan. Netanyahu, dalam sebuah pernyataan pada tahun 2020, mengatakan bahwa Trump adalah “teman terbaik yang pernah dimiliki Israel di Gedung Putih”.

    Namun, hubungan antara Trump dan Netanyahu memburuk setelah Biden terpilih. Ketika Biden dilantik, Netanyahu mengucapkan selamat kepadanya. Trump mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh hal ini.

    Meski begitu, Netanyahu telah berusaha untuk menghidupkan kembali ikatan lama. Selama kunjungan ke AS pada bulan Juli tahun ini, Netanyahu mengunjungi Trump di kediamannya di Mar-a-Lago, Florida.

    (sef/sef)

  • Langkah OPEC+ Dorong Harga Minyak Naik Lebih dari 2 Persen

    Langkah OPEC+ Dorong Harga Minyak Naik Lebih dari 2 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Keputusan OPEC+ terkait penundaan rencana peningkatan produksi selama satu bulan mendorong harga minyak dunia menguat lebih dari 2% pada perdagangan Senin (4/11/2024). Selain itu, hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) juga memengaruhi harga minyak.

    Mengutip Reuters, Selasa (5/11/2204), harga minyak Brent naik 2,7% atau sebesar US$ 1,98 menjadi US$ 75,08 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS meningkat 2,85% atau US$ 1,98 menjadi US$ 71,47 per barel. Diketahui pada pekan lalu, harga Brent sempat anjlok 4% dan WTI turun 3%.

    OPEC+ pada Minggu (3/11/2024), umumkan perpanjangan pemotongan produksi sebesar 2,2 juta barel. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produksi bulanan sebesar 180.000 bpr mulai Desember.

    Ahli strategi energi Macquarie Walt Chancellor mengatakan, perpanjangan ini memunculkan keraguan terhadap komitmen OPEC+ untuk meningkatkan pasokan pada 2025.

    “Pengumuman ini mungkin meredakan kekhawatiran akan perang harga OPEC+ yang baru,” ucapnya.

    Produksi minyak OPEC meningkat pada Oktober setelah Libya menyelesaikan krisis politik. Namun, peningkatan produksi dibatasi oleh komitmen Irak untuk memenuhi pemotongan produksi yang telah disepakati dalam aliansi OPEC+.

    Perusahaan Minyak Nasional (NOC) Libya menyebut, produksi minyak negara itu mendekati 1,5 juta bph.

    Selain itu, Pilpres AS juga membuat harga minyak naik karena persaingan dua kandidat yang kuat. Kamala Harris dan Donald Trump bersaing ketat di survei, sehingga memicu ketidakpastian pasar.

  • 10
                    
                        Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
                        Internasional

    10 Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel? Internasional

    Kenapa Negara Arab Tidak Membantu Palestina atau Bersatu Melawan Israel?
    Tim Redaksi
    GAZA, KOMPAS.com
    – “Di mana orang-orang Arab?! Di mana orang-orang Arab?!”
    Pertanyaan itu dilontarkan seseorang yang muncul dari puing-puing seraya menggendong anak-anak yang sudah meninggal. Dia berteriak tanpa daya ke arah kamera yang menyorotnya.
    Pertanyaan ini terus diulang oleh warga Gaza yang keheranan mengapa orang-orang di negara kawasan Arab tidak melindungi mereka dari pengeboman Israel.
    Setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang lainnya diculik, semua mata langsung tertuju pada Timur Tengah.
    Seberapa jauh pembalasan yang akan dilakukan Israel? Bagaimana penduduk dan pemerintah Arab menanggapi guncangan kemanusiaan yang terjadi di wilayah tersebut?
    Pertanyaan pertama masih belum terjawab: Pengeboman Israel telah menghancurkan Jalur Gaza, merenggut nyawa lebih dari 42.500 warga Palestina, tetapi belum ada titik terang.
    Yang kedua adalah benar: Jika ada orang yang mengharapkan adanya protes besar di ibu kota utama dunia Arab, mereka akan kecewa.
    Adapun pemerintah negara-negara itu, “tanggapannya suam-suam kuku atau tidak sama sekali,” menurut Walid Kazziha, profesor ilmu politik di American University in Cairo (AUC), kepada
    BBC Mundo
    .
    Di luar kritik retoris terhadap Israel atau peran mediasi yang diadopsi oleh pemerintah seperti Qatar atau Mesir yang “murni sebagai perantara dan tidak mendukung Palestina,” kata Kazziha, tak satu pun negara-negara Arab memutuskan hubungan dengan Israel atau melakukan tindakan diplomatik dan tekanan ekonomi apa pun untuk mengakhiri perang.
    Mengapa perjuangan Palestina kehilangan relevansinya di antara pemerintah-pemerintah Arab di wilayah ini? Seperti hampir semua hal di Timur Tengah, jawabannya cukup rumit.
    Wilayah Timur Tengah tidak pernah benar-benar menjadi blok yang utuh dan homogen.
    Sepanjang sejarah, masyarakat Arab telah berbagi rasa identitas, bahasa, dan sebagian besar agama, serta kekhawatiran yang timbul dari pengaruh kolonial Eropa di wilayah tersebut.
    Namun, kepentingan pemerintah mereka terkadang berseberangan.
    Hubungan antara Palestina dan negara-negara Arab juga tidak mudah, terutama dengan negara-negara yang menerima sejumlah besar pengungsi setelah proklamasi Negara Israel pada 1948.
    Namun, perjuangan Palestina juga merupakan faktor pemersatu negara-negara Arab selama beberapa dekade.
    Selama periode ini, negara Israel dipandang “sebagai perpanjangan tangan dari kekuatan kolonial sebelumnya, yang telah menarik diri dari Timur Tengah,” menurut profesor kebijakan publik di Institut Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout.
    “Israel sengaja ditempatkan di sana sebagai agen untuk melindungi kepentingan mereka, yang sebelumnya merupakan kepentingan Inggris dan Perancis, dan sekarang kepentingan Amerika Serikat,” ujar Tamer Qarmout kepada
    BBC Mundo
    .
    Perang yang dilancarkan terhadap Israel di masa lalu oleh negara-negara seperti Mesir, Suriah, dan Yordania tidak hanya untuk membela kepentingan nasional mereka, tetapi juga kepentingan Palestina, kata para analis.
    Namun, perang tersebut kini telah berlalu. Mesir dan Yordania telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel beberapa dekade yang lalu.
    Maroko, Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel—negara yang hingga beberapa tahun lalu merupakan negara paria di wilayah tersebut.
    Bahkan Arab Saudi pun hampir melakukan hal yang sama sebelum 7 Oktober dan serangan Hamas.
    Bagi Dov Waxman, direktur Y&S Nazarian Center for Israel Studies di University of California, sejak awal konflik hingga hari ini, selama beberapa dekade terakhir, “masing-masing negara Arab mengikuti kepentingannya sendiri”.
    “Mereka berbicara tentang mendukung Palestina dan solidaritas, dan bukan berarti perasaan itu tidak tulus, tetapi pada akhirnya mereka mengikuti kepentingan nasional mereka.”
    “Ada banyak simpati terhadap bencana kemanusiaan yang dihadapi warga Gaza, dan mereka ingin pemerintah mereka berbuat lebih banyak. Mereka ingin hubungan diplomatik diputus. Mereka ingin para duta besar diusir, setidaknya ada tanggapan semacam itu,” ujar Fakhro.
    Namun, hal ini tidak terjadi.
    Menurut Imad K. Harb, direktur Riset dan Analisis di lembaga riset Arab Center di Washington, DC, “Pemerintah Arab telah lama meninggalkan Palestina.”
    Bagi Tamer Qarmout, ada sebuah titik balik yang telah mengubah seluruh dinamika di kawasan ini: pemberontakan rakyat yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara antara tahun 2010 dan 2012, yang dikenal dengan sebutan Kebangkitan Arab
    (Arab Spring).
    “Sejak saat itu, gelombang telah berubah sepenuhnya dan kegagalan pemberontakan ini telah membuat kawasan ini berada dalam ketidakpastian: banyak negara yang masih terbenam dalam konflik sipil, seperti Yaman, Suriah, atau Irak,” kata profesor dari universitas di Qatar ini.
    “Dua negara terakhir, yang merupakan negara sentral dan kuat dengan ide-ide politik yang dapat menantang AS, telah lenyap.”
    Di tengah keadaan krisis permamen ini, kendati bersimpati kepada Palestina, masyarakat Arab “merasa tak berdaya”, menurut Qarmout.
    “Mereka sendiri hidup di bawah tirani, otokrasi, dan kediktatoran. Dunia Arab berada dalam kondisi yang menyedihkan, orang-orang tidak memiliki kebebasan atau kemampuan dan aspirasi untuk hidup bermartabat,” kecam Qarmout.
    Meski begitu, respons sosial jauh lebih kuat daripada respons pemerintah, meskipun hal ini berkembang terutama di media sosial.
    Sejak
    Arab Spring
    , jalan-jalan di banyak negara di kawasan ini, seperti Mesir, menjadi terlarang bagi aktivisme.
    Jika dulu pemerintah otoriter mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dalam aksi demonstrasi membela Palestina, kini mereka khawatir protes semacam itu akan berujung pada hal yang lebih besar.
    Namun, itu bukan satu-satunya hal yang berubah dalam tahun-tahun penuh gejolak ini, ketika jutaan orang Arab turun ke jalan di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Bahrain, dan Maroko untuk menuntut demokrasi dan hak-hak sosial.

    Arab Spring
    benar-benar merupakan guncangan dan mengubah dinamika dan prioritas banyak negara,” kata Qarmout.
    “Beberapa rezim lama tidak ada lagi dan yang lainnya berpikir bahwa mereka akan tertinggal, sehingga mereka panik, melihat ke kiri dan ke kanan dan mencari perlindungan.”
    “Banyak yang percaya pada gagasan yang dijual oleh Amerika Serikat bahwa Israel, sekutunya di kawasan itu, dapat melindungi mereka,” ujarnya.
    Perjanjian itu menjadi kesepakatan hubungan Barhain dan Uni Emirat Arab dengan Israel—perjanjian ini kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan.
    Lalu, dampak perjanjian ini kemudian datang. Washington, misalnya, mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, yang membuat referendum penentuan nasib sendiri menjadi tidak mungkin.
    “Ketika kita melihat hubungan yang telah dibangun oleh negara-negara ini dengan Israel, kita melihat bahwa pada dasarnya bermuara pada Israel yang menjual sistem untuk memata-matai penduduk mereka sendiri,” kata Walid Kazziha.
    Dugaan kasus spionase menggunakan program Pegasus—yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group—telah mempengaruhi Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan bahkan Arab Saudi, meskipun tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel.
    Menurut
    The New York Times
    , Riyadh membeli program tersebut pada 2017 dan kehilangan akses ke program tersebut setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul pada tahun berikutnya.
    Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berhasil memulihkan layanan setelah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang melakukan intervensi untuk mengizinkan Saudi menggunakan perangkat lunak itu lagi, demikian laporan surat kabar Amerika tersebut.
    Hubungan Hamas dan Hizbullah dengan Iran juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Arab.
    Bagi negara-negara Teluk, misalnya, Iran adalah ancaman yang lebih besar daripada Israel. Banyak pemerintah Arab “telah mengadopsi narasi Israel dan Amerika bahwa gerakan-gerakan ini adalah perpanjangan tangan Iran di wilayah tersebut, dan bahwa mereka diciptakan untuk menyabotase proyek perdamaian regional dengan mengabaikan Palestina,” kata Qarmout.
    Ini adalah narasi yang didorong oleh sebagian besar media resmi di dunia Arab—sebuah wilayah di mana hampir tidak ada media independen, menurut para analis.
    “Bagi media Saudi, misalnya, perhatian utama bukanlah Palestina, tetapi bagaimana Iran mendapatkan tempat,” Kazziha berpendapat.
    Akan tetapi, negara-negara ini kemudian menjadi waspada terhadap kekuatan gerakan yang terus meningkat.
    “Ketika pintu-pintu tertutup bagi mereka dan tidak ada yang mau memberi mereka senjata untuk melawan Israel, mereka bersedia membantu penjahat untuk mendapatkannya,” tambahnya.
    Hal yang sama berlaku untuk Hizbullah dan kelompok-kelompok lain yang menerima dukungan dari Iran, tetapi juga ingin membela Palestina,
    Menurut Kazziha, ketika Iran dikedepankan sebagai promotor, maka orang-orang Arab tidak lagi menjadi tokoh utama.
    “Saya pikir ada beberapa gerakan Arab yang benar-benar tertarik untuk mendukung Palestina dan bahkan mati untuk mereka, seperti Hizbullah, Houthi di Yaman, dan beberapa gerakan Syiah di Irak,” ujar peneliti AUC tersebut.
    Selain kepentingan geostrategis dan krisis di negara-negara Arab, perjuangan Palestina telah dilupakan seiring berlalunya waktu.
    Konsep-konsep yang pernah membuat jantung Timur Tengah berdegup kencang, seperti pan-Arabisme, kini hanya menjadi gema masa lalu.
    “Sebagian besar generasi muda di wilayah ini bersimpati kepada Palestina, tetapi mereka tidak mengetahui dinamika konflik karena hal-hal tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah,” jelas Qarmout.
    “Pada 1960-an dan 1970-an, banyak negara Arab yang memiliki kurikulum sekolah yang lengkap tentang Palestina, namun saat ini masyarakat telah berubah dengan kekuatan globalisasi, bahkan identitas,” jelas Qarmout,” katanya.
    Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin baru.
    “Di negara-negara Teluk, misalnya, ada generasi pemimpin baru seperti Mohamed Bin Salman dari Arab Saudi, yang sebagian besar berpendidikan Barat, yang tidak pan-Arab dan tidak melihat Palestina sebagai sebuah isu,” jelas Qarmout.
    “Prioritas mereka berbeda dan begitu pula ambisi mereka,” cetusnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Iran Disebut Akan Hantam Israel dengan Senjata Lebih Canggih

    Iran Disebut Akan Hantam Israel dengan Senjata Lebih Canggih

    Teheran

    Israel telah menyerang Iran pada 26 Oktober, sebagai balasan serangan yang terjadi 1 Oktober. Nah dilaporkan, Iran akan membalas serangan itu sehingga kemungkinan akan terus terjadi jual beli serangan.

    Laporan media Wall Street Journal dari sumber di Arab Saudi dan Iran menyebut bahwa Iran sedang bersiap menyerang Israel kembali. Namun kali ini, mereka akan menggunakan senjata lebih canggih, berupa rudal yang lebih powerful dan peralatan lain yang belum dipakai di serangan sebelumnya.

    Dikutip detikINET dari Fox News, pejabat Mesir menyatakan telah menerima peringatan dari Iran, bahwa sebagai tanggapan terhadap serangan udara Israel di 26 Oktober, Iran akan membalas dengan metode yang kuat dan ‘kompleks’.

    Iran merasa perlu membalas lantaran ada 4 tentara tewas dan seorang warga sipil juga meninggal dalam serangan Israel. Serangan Iran nantinya diklaim akan jauh lebih agresif dalam menyasar target militer Israel dan ada kemungkinan teritori Irak akan digunakan untuk meluncurkan rudal ke Israel.

    Belum jelas senjata apa yang akan dipakai Iran dalam serangan lanjutan itu. Menurut Missile Threat Project di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Iran punya ribuan rudal balistik dan jelajah dengan berbagai jangkauan. Jenderal AU AS Kenneth McKenzie pernah mengatakan Iran punya lebih dari 3.000 rudal balistik.

    Lintasan rudal balistik membawanya keluar atau mendekati batas atmosfer Bumi, sebelum muatan hulu ledak terpisah dari roket dan jatuh ke sasaran. Nah, Iran menggunakan varian rudal balistik Shahab-3 dalam serangan awal Oktober kemarin terhadap Israel.

    Shahab-3 adalah fondasi rudal balistik jarak menengah Iran. The Missile Threat Project mengatakan Shahab-3 mulai beroperasi di 2003, dapat membawa hulu ledak hingga 1.200 kilogram. Iran Watch menyebut varian terbaru Shahab-3, rudal Ghadr dan Emad, memiliki akurasi hingga mendekati 300 meter dari target.

    Media Iran melaporkan Teheran juga menggunakan rudal Fattah-1 dalam serangan tersebut. Teheran menyebut Fattah-1 rudal hipersonik, yang berarti bisa melaju Mach 5, atau lima kali kecepatan suara (sekitar 6.100 kilometer per jam).

    Tak hanya itu, Iran juga dilaporkan mengerahkan Fattah-2, penerus Fattah-1. Menurut pejabat Iran, rudal ini menargetkan sistem pertahanan Arrow Israel, yang dirancang mencegat rudal balistik jarak jauh.

    Sistem pertahanan Israel

    Adapun Israel mengoperasikan berbagai sistem untuk memblokir serangan, mulai rudal balistik hingga rudal jelajah dan roket yang terbang rendah. Pertama, Iron Dome sebagai lapisan bawah pertahanan rudal. Sistem pertahanan rudal yang lebih atas dari Iron Dome adalah David’s Sling, yang melindungi dari ancaman jarak pendek dan menengah.

    David’s Sling, proyek gabungan antara RAFAEL Advanced Defense System milik Israel dan perusahaan pertahanan AS Raytheon, menggunakan rudal pencegat kinetik Stunner dan SkyCeptor untuk menghancurkan target sejauh 300 kilometer.

    Di atas David’s Sling terdapat sistem Arrow 2 dan Arrow 3 milik Israel, yang juga dikembangkan bersama dengan AS. Menurut CSIS, Arrow 2 menggunakan hulu ledak fragmentasi untuk menghancurkan rudal balistik yang masuk pada fase akhir, yakni saat rudal menukik ke target.

    Israel juga baru saja mendapat bantuan senjata penangkis rudal dari Amerika Serikat untuk mengantisipasi serangan Iran berikutnya yaitu Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) yang dioperasikan oleh 100 tentara.

    Menurut produsen Lockheed Martin, pembuat senjata terbesar AS, sistem THAAD sangat efektif terhadap rudal balistik. Raytheon, perusahaan senjata Amerika lain, membuat radar canggihnya. Sistem ini punya 6 peluncur yang dipasang di truk, dengan 8 rudal pencegat di tiap peluncur. Biayanya sekitar USD 1 miliar per baterai dan perlu sekitar 100 awak untuk mengoperasikannya.

    (fyk/fyk)

  • Siap-Siap Israel, Iran Ngamuk Pimpinan Tertinggi Beri Peringatan Ini

    Siap-Siap Israel, Iran Ngamuk Pimpinan Tertinggi Beri Peringatan Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemimpin Tertinggi iRan Ayatollah Ali Khamenei memberikan peringatan keras kepada Israel pada hari Sabtu kemarin (2/11/2024). Pihaknya bersumpah akan melakukan serangan balasan kepada Israel dan sekutunya Amerika Serikat (AS)

    Mengutip AFP, beberapa hari sebelum pemilihan presiden di negara pemasok utama militer Israel, Amerika Serikat, Ayatollah Ali Khamenei memperingatkan bahwa respon Iran akan mencakup serangan terhadap republik Islam dan sekutunya.

    Militer Israel mengatakan telah mencegat tiga pesawat tak berawak di atas Laut Merah, setelah pada hari Jumat malam melaporkan tujuh pesawat tak berawak yang diluncurkan dari “beberapa front”. Perlawanan Islam di Irak mengaku bertanggung jawab atas empat serangan pesawat tak berawak di Eilat.

    Sejak akhir September Israel telah terlibat dalam perang skala penuh melawan Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon sementara pertempuran terus berlanjut melawan kelompok Islamis Palestina, Hamas, yang memicu perang Gaza dengan menyerang Israel pada tanggal 7 Oktober tahun lalu.

    Pada hari Sabtu, Israel kembali melakukan serangan udara mematikan di Gaza utara, di mana PBB menyebut kondisinya “apokaliptik”, dan Hizbullah mengintensifkan tembakan roket di dekat pusat komersial Israel, Tel Aviv.

    “Musuh-musuh, baik Amerika Serikat maupun rezim Zionis, harus tahu bahwa mereka pasti akan menerima tanggapan yang menghancurkan,” kata Khamenei, mengacu pada kelompok-kelompok yang bersekutu dengan Iran, termasuk yang ada di Yaman dan Suriah.

    Sebagaimana diketahui, Pada tanggal 26 Oktober, Israel melancarkan serangan terhadap “lokasi militer” di Iran, sebagai tanggapan atas serangan rudal Iran terhadap Israel pada tanggal 1 Oktober, yang merupakan tanggapan atas pembunuhan Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Hassan Nasrallah, di Lebanon dan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, selama kunjungan resmi ke Teheran.

    (pgr/pgr)

  • Konflik Iran-Israel Memanas, Harga Minyak Ikut Mendidih!

    Konflik Iran-Israel Memanas, Harga Minyak Ikut Mendidih!

    Jakarta

    Harga minyak dunia naik di tengah konflik Timur Tengah yang kian memanas. Kenaikan harga minyak menyusul laporan bahwa Iran tengah mempersiapkan serangan balasan terhadap Israel dari Irak dalam beberapa hari mendatang.

    Dikutip dari CNBC, Sabtu (2/11/2024), harga minyak berjangka Brent naik 29 sen, atau 0,4% menjadi US$ 73,10 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 23 sen, atau 0,33% ke US$ 69,49. Namun demikian, untuk minggu ini, kedua kontrak tersebut masih turun lebih dari 3% setelah naik 4% pada pekan lalu.

    Situs berita AS, Axios, melaporkan pada Kamis bahwa Iran tengah mempersiapkan diri untuk menyerang Israel dari Irak dalam beberapa hari ke depan. Laporan ini mengutip dua sumber Israel yang tidak disebutkan namanya.

    “Setiap tanggapan tambahan dari Iran mungkin tetap terkendali, mirip dengan serangan terbatas Israel akhir pekan lalu, oleh karena itu terutama dimaksudkan sebagai demonstrasi kekuatan daripada undangan untuk membuka peperangan,” kata analis SEB Research Ole Hvalbye.

    Iran dan Israel telah terlibat dalam serangkaian serangan balasan dalam perang Timur Tengah yang lebih luas dipicu oleh pertempuran di Gaza. Serangan udara Iran sebelumnya terhadap Israel pada 1 Oktober dan April sebagian besar ditangkis, dengan hanya menimbulkan kerusakan kecil.

    Iran mendukung beberapa kelompok yang saat ini memerangi Israel, termasuk Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman. AS telah meminta Lebanon untuk mengumumkan gencatan senjata sepihak dengan Israel untuk menghidupkan kembali pembicaraan untuk mengakhiri permusuhan Israel dan Hizbullah.

    Di sisi lain, Iran merupakan anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Menurut data Badan Informasi Energi AS, Iran memproduksi 4 juta barel minyak per hari (bpd) pada 2023.

    Sedangkan menurut analis dan laporan pemerintah AS, Iran berada di jalur yang tepat untuk mengekspor 1,5 juta bpd pada 2024. Angka ini naik dari perkiraan 1,4 juta bpd pada tahun 2023.

    Perubahan harga minyak ini juga didukung oleh ekspektasi bahwa OPEC+ dapat menunda rencana peningkatan produksi minyak pada bulan Desember selama sebulan atau lebih. Ini karena kekhawatiran atas permintaan minyak yang lemah dan meningkatnya pasokan. Keputusan dapat diambil paling cepat minggu depan.

    (shc/ara)

  • Khamenei Bersumpah Akan Balas Serangan Israel-AS terhadap Iran!

    Khamenei Bersumpah Akan Balas Serangan Israel-AS terhadap Iran!

    Jakarta

    Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan membalas serangan Israel dan sekutunya Amerika Serikat, yang menargetkan Teheran dan kelompok-kelompok yang didukungnya di wilayah tersebut.

    “Musuh-musuh, baik AS maupun rezim Zionis, harus tahu bahwa mereka pasti akan menerima respons yang sangat keras atas apa yang mereka lakukan terhadap Iran, bangsa Iran, dan front perlawanan,” kata Khamenei dalam pidatonya di depan para mahasiswa di Teheran, ibu kota Iran, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (2/11/2024).

    Dia merujuk pada aliansi kelompok-kelompok bersenjata yang didukung Teheran, yang meliputi kelompok pemberontak Houthi di Yaman, gerakan Hizbullah di Lebanon, dan kelompok milisi Palestina, Hamas.

    Ketegangan regional telah meningkat sejak pecahnya perang Israel-Hamas di Gaza pada Oktober tahun lalu, yang melibatkan kelompok-kelompok yang berpihak pada Iran dan kelompok lain dari Irak dan Suriah.

    Hizbullah dan Israel telah terlibat saling serang lintas perbatasan selama hampir setahun setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, sebelum Israel meningkatkan konflik pada 23 September lalu.

    Pada 26 Oktober, Israel melakukan serangan udara di lokasi-lokasi militer di Iran sebagai respons atas serangan Teheran pada 1 Oktober terhadap Israel, yang merupakan pembalasan atas terbunuhnya para pemimpin militan yang didukung Iran dan seorang komandan Garda Revolusi Iran.

    Setidaknya empat tentara Iran tewas dalam serangan tersebut, yang menurut Iran menyebabkan “kerusakan terbatas” pada beberapa sistem radar. Media Iran mengatakan seorang warga sipil juga tewas.

  • AS Kerahkan Pesawat Bom B-52 ke Timur Tengah, Iran Bisa Tumbang!

    AS Kerahkan Pesawat Bom B-52 ke Timur Tengah, Iran Bisa Tumbang!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada hari Jumat waktu setempat bahwa mereka akan mengerahkan pesawat pengebom B-52, jet tempur, pesawat pengisian bahan bakar, dan kapal perusak Angkatan Laut ke Timur Tengah. Ini dilakukan dalam rangka penyesuaian ulang aset militer, karena kapal induk Abraham Lincoln bersiap meninggalkan wilayah tersebut.

    Mengutip Reuters, Pentagon (Markas Departemen Pertahanan AS) mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pengerahan akan dilakukan dalam beberapa bulan mendatang. Ini menunjukkan fleksibilitas pergerakan militer AS di seluruh dunia.

    “Jika Iran, mitranya, atau proksinya menggunakan momen ini untuk menargetkan personel atau kepentingan Amerika di kawasan tersebut, Amerika Serikat akan mengambil setiap tindakan yang diperlukan untuk membela rakyat kami,” kata juru bicara Pentagon, Mayor Jenderal Angkatan Udara Patrick Ryder dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Sabtu (2/11/2024).

    Adapun AS telah menempatkan sebanyak dua kapal induk di Timur Tengah selama setahun terakhir ketika ketegangan meningkat sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada Oktober 2023.

    Penarikan pasukan Lincoln akan menciptakan kekosongan kapal induk di wilayah Timur Tengah hingga kapal induk lain dikerahkan ke sana.

    Penyesuaian terbaru pasukan AS di kawasan tersebut menyusul baku tembak langsung pada bulan Oktober antara Israel dan Iran. Israel juga memerangi Hamas yang didukung Iran di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, dan telah melakukan serangan di Yaman setelah diserang oleh pejuang Houthi yang berpihak pada Iran.

    AS telah berjanji untuk membantu mempertahankan Israel dari serangan dan untuk melindungi pasukan AS di Timur Tengah, yang telah diserang oleh kelompok-kelompok yang didukung Iran di Suriah, Irak, Yordania, dan di lepas pantai Yaman.

    (fab/fab)