Negara: Irak

  • Trump Bicara Soal Kemungkinan Perang dengan Iran, Apa Katanya?

    Trump Bicara Soal Kemungkinan Perang dengan Iran, Apa Katanya?

    Washington DC

    Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan “apa pun bisa terjadi” ketika ditanya soal kemungkinan berperang dengan Iran saat dia kembali menjabat nantinya.

    “Apa pun bisa terjadi. Apa pun bisa terjadi. Situasinya sangat fluktuatif,” ucap Trump saat ditanya soal kemungkinan perang melawan Iran dalam wawancara dengan majalah TIME, seperti dilansir Reuters, Jumat (13/12/2024).

    Trump kemudian menambahkan bahwa menurutnya, hal yang paling berbahaya yang terjadi saat ini adalah Ukraina menembakkan rudal ke Rusia, yang menurutnya merupakan eskalasi konflik besar-besaran.

    Wawancara dengan TIME itu bertepatan dengan penobatan Trump sebagai “Person of the Year” untuk tahun ini.

    Trump memiliki riwayat yang buruk dengan Iran, di mana pada masa jabatan pertamanya, tepatnya tahun 2020 lalu, dia memerintahkan serangan udara AS yang menewaskan jenderal penting Iran, Qassem Soleimani, yang saat itu sedang berada di wilayah Irak.

    Kemudian tahun 2018 lalu, Trump memutuskan untuk menarik AS dari perjanjian nuklir Iran yang disepakati pendahulunya, mantan Presiden Barack Obama, pada tahun 2015, dan memberlakukan kembali rentetan sanksi ekonomi untuk Teheran yang sebelumnya telah dilonggarkan.

    Perjanjian nuklir itu mengatur pembatasan terhadap kemampuan Iran dalam memperkaya uranium — proses yang dapat menghasilkan material fissile untuk senjata nuklir.

  • Bagaimana Uni Eropa Sikapi Kekuasaan HTS di Suriah?

    Bagaimana Uni Eropa Sikapi Kekuasaan HTS di Suriah?

    Jakarta

    Sebagaimana yang lain dunia, Uni Eropa dikejutkan oleh betapa cepatnya pemberontak Suriah menumbangkan rejim Bashar Assad di Damaskus. Keberhasilan kolaborasi pimpinan Hay’at Tahrir al-Sham, HTS, itu tidak menyisakan banyak waktu untuk bersiasat atau menyiapkan respons.

    Brussels menyambut ambruknya kediktaturan Assad, namun bersikap hati-hati dalam menyikapi kekuasaan pemimpin HTS, Abu Muhammad al-Julani, alias Ahmad al-Sharaa. Betapapun, organisasi Islam nasionalis itu dilahirkan dari ISIS dan sempat dibesarkan al-Qaeda, dua kelompok teror di Suriah dan Irak.

    Seorang juru bicara UE mengaku pihaknya tidak menjalin komunikasi dengan penguasa baru Suriah, HTS hingga kini masih menghuni daftar organisasi teroris Perserikatan Bangsa-bangsa dan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat.

    UE berdiplomasi dengan bekas kelompok teror?

    Keraguan yang menaungi pemerintahan baru Suriah bersumber pada latar belakang al-Julani.

    Dia bergabung dengan al Qaeda untuk melawan invasi AS di Irak dan sempat dikurung di penjara Bucca. Di sana, dia dikabarkan menghabiskan waktu dengan anggota berbagai kelompok jihad dan bertemu dengan gembong Islamic State, ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi.

    Dalam wawancara dengan televisi AS PBS, dia mengakui beberapa tahun yang lalu bahwa sekembalinya ke tanah air, dia memperoleh dukungan finansial dari Islamic State untuk membentuk laskar bersenjata bernama Front al-Nusra.

    Namun loyalitasnya punah ketika al-Baghdadi memaksakan agar laskah al-Julani dilebur ke dalam organisasi baru, Islamic State di Irak dan Suriah, ISIS, lapor media Inggris BBC. Al-Julani menolak dan membelot ke al-Qaeda.

    Meski sudah menguasai Suriah, al-Julani belum melepaskan status buron internasional. Pemerintah AS menawarkan hadiah sebesar USD10 juta untuk informasi yang dapat mengarah pada penangkapannya.

    Beberapa analis meyakini, Barat harus mencabut label teroris terhadap al-Julani dan HTS, meski dengan beberapa syarat.

    “Pencabutan status sebagai individu atau organisasi teroris menuntut proses yang rumit dan sulit,” tulis Charles Lister, direktur program Suriah di Middle East Institute, di X.

    “Menurut pemahaman saya, sejumlah kondisi berurutan akan diajukan agar HTS dapat memenuhinya, yang melibatkan reformasi militer, politik dan administrasi, serta langkah-langkah menuju akuntabilitas atas kejahatan yang terdokumentasi sebelumnya.”

    Dugaan kejahatan HAM

    Sudah sejak Februari tahun ini warga sipil di Idlib, yang dikuasai HTS, mengadukan praktik “penyiksaan dan kematian dalam tahanan,” menurut laporan PBB yang dikeluarkan pada bulan September.

    Laporan oleh Amerika Serikat tentang hak asasi manusia di Suriah pada tahun 2022 mencatat, kelompok bersenjata seperti “HTS melakukan berbagai pelanggaran, termasuk pembunuhan dan penculikan, penahanan ilegal, kekerasan fisik, kematian warga sipil, dan perekrutan tentara anak-anak.”

    Laporan itu juga menuduh beberapa kelompok pemberontak Suriah lainnya atas tindakan yang sama. Organisasi HAM Human Rights Watch melaporkan, pada tahun 2019 setidaknya enam mantan tahanan disiksa saat berada dalam tahanan HTS.

    Namun al-Julani membantah terlibat, dan baru-baru ini mengatakan kepada CNN bahwa pelanggaran “tidak dilakukan atas perintah atau arahan kami” dan bahwa mereka yang bertanggung jawab telah diseret ke pengadilan.

    Pemerintahan yang inklusif demi pengakuan Barat

    Namun, Uni Eropa menyimpan banyak keraguan. Blok yang beranggotakan 27 negara itu khawatir tentang keselamatan minoritas, hak-hak perempuan, dan representasi yang setara bagi berbagai kelompok oposisi.

    “Kami menyerukan transisi politik yang tenang dan inklusif serta perlindungan bagi semua warga Suriah, termasuk semua kaum minoritas,” tulis Kaja Kallas, diplomat utama Uni Eropa, di X, sesaat setelah HTS mengambil alih Damaskus.

    Sejauh ini, HTS telah menjanjikan keselamatan bagi kaum minoritas agama, mendeklarasikan amnesti bagi semua tentara Suriah, memutuskan untuk bekerja sama dengan perdana menteri Suriah saat ini untuk membentuk pemerintahan transisi, dan mengatakan bahwa perempuan tidak akan diberi kewajiban cara berpakaian.

    Beberapa pihak menyarankan, Uni Eropa harus memanfaatkan peluang ini dan secara aktif terlibat dalam melobi penguasa baru, demi kepentingan warga Suriah dan juga kepentingan Uni Eropa sendiri.

    UE harus ‘memberikan insentif untuk aksi positif’

    Lebih dari satu juta warga Suriah melakukan eksodus ke UE pada puncak perang saudara yang berkecamuk selama hampir 14 tahun. Hingga kini, pengungsi Suriah merupakan komunitas pencari suaka terbesar di Eropa.

    Usai tergulingnya Bashar al-Assad, sejumlah kelompok konservatif mulai menyerukan pemulangan atau deportasi warga Suriah. Beberapa negara anggota UE, termasuk Jerman, menghentikan pemrosesan permohonan suaka yang diajukan kurang dari 48 jam setelah Assad melarikan diri dari Damaskus.

    Julien Barnes-Dacey, direktur program Timur Tengah & Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan kepada DW bahwa UE harus menyalurkan perhatian dan sumber daya politik yang signifikan untuk pembentukan pemerintahan yang inklusif di Suriah.

    “UE harus “bekerja dengan cepat dan serius untuk memberikan insentif pada kebijakan positif,” terutama setelah HTS mengisyaratkan kelunakan ideologi”, ujar Barnes-Dacey.

    “Ini adalah satu-satunya jalan yang layak untuk mengamankan kepentingan Eropa, baik itu stabilitas regional dan mencegah konflik dan terorisme baru, dan memungkinkan jutaan warga Suriah untuk akhirnya kembali ke rumah, atau secara permanen melemahkan pengaruh regional yang bermusuhan dari kekuatan eksternal seperti Rusia,” katanya kepada DW dalam tanggapan tertulis.

    Ketika sebagian pakar mempercayai keseriusan HTS menjamin pemerintahan inklusif, yang lain lebih skeptis dan menduga klaim pluralis hanya sebagai kampanye pencitraan.

    “HTS sedang mencoba untuk menunjukkan wajah yang ramah saat ini, untuk mendapatkan dukungan maksimal bagi proyek mereka untuk membangun rezim baru dan untuk meminimalkan gesekan dengan negara-negara Barat dan Arab. Itu tidak selalu menjadi kenyataan,” Aron Lund, seorang peneliti di Century Foundation, mengatakan kepada DW.

    “Ketika terancam, kelompok-kelompok seperti ini hampir selalu akan kembali ke basis asli dan paling solid mereka, yang dalam kasus HTS adalah inti jihadnya yang keras,” tambahnya.

    Uni Eropa menyadari risiko tersebut, dan untuk saat ini tetap berhati-hati dalam menyikapi transisi kekuasaan di Damaskus. Kebijakan UE akan bergantung pada bagaimana HTS bertindak di masa depan.

    “Seiring dengan semakin besarnya tanggung jawab HTS, kita perlu menilai bukan hanya kata-kata, tetapi juga tindakan mereka,” kata juru bicara Uni Eropa Anouar El Anouni.

    Diadaptasi dari naskah DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)

  • Terus Hajar Suriah, Modus Baru Israel Menggambar Ulang Peta Timur Tengah Sesuai Seleranya Sendiri – Halaman all

    Terus Hajar Suriah, Modus Baru Israel Menggambar Ulang Peta Timur Tengah Sesuai Seleranya Sendiri – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM – Ada modus baru Israel di balik serangan militernya yang masif terhadap Suriah. Israel ingin menggambar ulang peta Timur Tengah sesuai rancangannya sendiri.

    Menyusul serangan barunya terhadap Suriah, para pemimpin Israel dan sebagian besar medianya menggembar-gemborkan terciptanya Timur Tengah baru. 

    Sejak kaburnya mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Moskow pada hari Minggu lalu, Israel telah melancarkan ratusan serangan terhadap Suriah yang menjadi negara tetangganya langsung itu.

    Israel mengklaim hal ini perlu mereka lakukan untuk kepentingan menjaga pertahanannya.

    Namun sejarah membuktikan, Israel sudah menyerang Suriah setidaknya sejak Januari 2013 dan tidak ada sanksi internasional terhadap perbuatannya itu.

    Termasuk pula, ketika Israel mengebom konvoi senjata Suriah dan menewaskan dua orang.

    Sejak saat itu, Israel terus-menerus menyerang Suriah, biasanya mengklaim bahwa mereka menargetkan posisi musuh-musuhnya seperti Hizbullah dan Iran.

    Dalam beberapa hari terakhir, Israel telah melancarkan lebih dari 480 serangan udara ke Suriah.

    Pada saat yang sama, Israel telah memindahkan pasukan daratnya ke zona demiliterisasi yang terletak di wilayah Suriah di sepanjang perbatasan dengan Israel di Dataran Tinggi Golan.

    Tank tentara Israel bermanuver di dekat Garis Alpha yang memisahkan Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel dari Suriah,di kota Majdal Shams, Rabu, 11 Desember 2024. (AP Photo/Matias Delacroix)

    Untuk diketahui sebagian Dataran Tinggi Golan sudah diduduki Israel secara ilegal.

    Israel berkilah menyatakan ingin menciptakan “zona pertahanan steril” dan menyatakan perjanjian tahun 1974 yang menetapkan zona penyangga “runtuh”.

    Serangan ini juga menghantam 15 kapal yang berlabuh di Pelabuhan Mediterania Bayda dan Latakia pada hari Senin, sekitar 600 km jaraknya di utara Dataran Tinggi Golan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada wartawan pada hari Senin lalu bahwa runtuhnya rezim Suriah adalah akibat langsung dari pukulan telak terhadap kelompok Islam di Suriah. yang telah Israel serang, yakni Hamas, Hizbullah dan Iran.

    Serangan terhadap Suriah, menurut Mairav ​​Zonszein, analis senior di Crisis Group, adalah “campuran antara oportunisme dan strategi”.

    Bahwa Israel harus berusaha untuk menetralisir potensi ancaman terhadap perbatasannya ketika negara tersebut tidak memiliki pertahanan, adalah hal yang “tidak perlu dipikirkan”, namun rencana jangka panjangnya mungkin kurang pasti.

    “Saya pikir apa yang kita lihat dalam kenyataannya adalah strategi yang telah dikembangkan Israel sejak 7 Oktober: mengidentifikasi ancaman atau peluang, mengerahkan pasukan, dan kemudian mencari solusinya.”

    Namun ilmuwan politik Ori Goldberg tidak yakin ada strategi yang berperan dalam hal ini.

    “Ini adalah doktrin keamanan baru kami. Kami melakukan apa pun yang kami inginkan, kapan pun kami mau, dan kami tidak berkomitmen,” katanya dari Tel Aviv.

    “Orang-orang berbicara tentang Israel Raya dan tentang bagaimana Israel mengirimkan sulur-sulurnya ke negara-negara tetangga. Saya tidak melihatnya, ”katanya.

    “Saya pikir ini sebagian besar disebabkan oleh kekacauan, dan kecenderungan [Israel] yang baru – atau bukan baru – untuk melakukan kehancuran.”

    Israel Abaikan Kecaman Dunia

    Israel telah membunuh sedikitnya 48.833 orang selama 14 bulan terakhir. Mereka telah menyerang Iran, sekutunya Hizbullah di Lebanon, lalu menginvasi Lebanon, dan kini menyerang Suriah.

    Sementara menyerang daerah kantong Gaza yang terkepung, sebuah serangan ditemukan sebagai genosida oleh beberapa negara dan organisasi serta badan internasional.

    Tidak peduli dengan jatuhnya korban jiwa, pembicaraan Netanyahu tentang “mengubah wajah Timur Tengah” telah mendapat gaung di sebagian besar media Israel.

    Hari Rabu kemarin, sebuah artikel opini di The Jerusalem Post dengan berani menyatakan, pada tahun lalu, Israel telah melakukan lebih banyak hal untuk stabilitas di Timur Tengah dibandingkan dengan beberapa dekade yang dilakukan badan-badan PBB dan diplomat Barat yang tidak efektif.

    Berbagai negara telah mengkritik serangan Israel terhadap Suriah yang baru dibebaskan, termasuk Mesir, Perancis, Iran, Irak, Qatar, Rusia dan Arab Saudi.

    Gambar ini menunjukkan pasukan militer Israel mengemudi di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pejuang pemberontak Islam menggulingkan presiden Bashar al-Assad , Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) (AFP/JALAA MAREY)

    Sabtu lalu, Liga Arab yang beranggotakan 22 negara mengeluarkan pernyataan yang menuduh Israel berusaha “mengeksploitasi tantangan internal Suriah”.

    PBB, yang mandatnya untuk mengawasi zona penyangga antara Suriah dan Israel berlangsung hingga akhir tahun ini, mengecam pelanggaran hukum internasional ini.

    “Protes PBB sama sekali tidak berarti apa-apa,” kata Golberg, seraya menyatakan bahwa bentrokan berulang kali antara Israel dengan berbagai organisasi internasional adalah bagian dari suasana hati yang menyeluruh di negara tersebut.

    “Kami ingin tetap berpegang pada Manusia,” katanya. “Kami ingin menunjukkan kepada ICJ dan ICC bahwa kami tidak peduli. Bahwa kami akan melakukan apa yang kami inginkan.”

    Seorang tentara menutup gerbang ketika pasukan militer Israel melintasi pagar ke dan dari zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pemberontak Islam pejuang presiden terguling Bashar al-Assad, Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai a “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) (AFP/JALAA MAREY)

    Pada hari Rabu, kolumnis The Times of Israel Jeffrey Levine menggambarkan 13 bulan terakhir ini sebagai langkah menuju “Timur Tengah Baru yang Damai dan Sejahtera”.

    Dalam visi Levine, setelah pergeseran tektonik sekitar setahun terakhir, Suriah akan bebas dari manuver geopolitik rezim al-Assad, Iran akan bebas dari “rezim teokratisnya”, dan suku Kurdi akan bebas membentuk negara mereka sendiri, serta warga Palestina akan bebas mendirikan “tanah air” baru di Yordania.

    “Saya tidak berpikir sebagian besar warga Israel membayangkan mereka akan menjadi populer di wilayah ini setelah ini,” kata analis politik Israel Nimrod Flashenberg, meskipun pemulihan hubungan mungkin bisa dilakukan dengan minoritas Kurdi dan Druze di Suriah.

    “Tetapi saya pikir mereka berharap akan terciptanya Timur Tengah di mana akan ada lebih sedikit rezim yang memusuhi Israel,” katanya.

    Sumber: Aljazeera

     

     

  • Arab Saudi Disebut Pendukung Terkuat Rakyat Suriah, Beri Pesan Dukungan dan Tolak Agresi Israel – Halaman all

    Arab Saudi Disebut Pendukung Terkuat Rakyat Suriah, Beri Pesan Dukungan dan Tolak Agresi Israel – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Arab Saudi adalah satu dari beberapa negara Arab yang menunjukkan “dukungan terkuat” bagi rakyat Suriah setelah jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad.

    Hal ini sebagaimana disampaikan perwakilan tetap Suriah untuk PBB, Qusay Al-Dahhak.

    “Dukungan terkuat datang dari negara-negara Arab, terutama dari Arab Saudi,” ujarnya dalam wawancara dengan AlHadath pada Selasa (10/12/2024).

    “Kami menerima banyak pesan dukungan yang menegaskan kembali dukungan mereka terhadap rakyat Suriah dan penolakan terhadap segala bentuk agresi Israel terhadap tanah dan rakyatnya,” jelasnya.

    Dikutip dari Arab News, Bashar al-Assad melarikan diri dari Suriah setelah serangan kilat yang dipelopori kelompok Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) dan sekutunya, yang mengakhiri secara spektakuler lebih dari lima dekade kekuasaan klannya.

    Warga Suriah di seluruh negeri dan dunia bersorak dalam perayaan, setelah mengalami era yang menyesakkan, di mana siapa pun yang dicurigai melakukan perbedaan pendapat dapat dijebloskan ke penjara atau dibunuh.

    Dengan penggulingan Assad yang menjerumuskan Suriah ke dalam ketidakpastian, para pemimpin barunya telah berupaya meyakinkan anggota kelompok minoritas agama di negara itu bahwa mereka tidak akan menindas mereka.

    “Penggantian bendera Suriah di markas besar PBB memiliki protokol yang melibatkan pemerintah dan mengharuskan pemerintah Suriah untuk secara resmi menerapkan bendera baru tersebut agar dapat dikibarkan di gedung tersebut,” ungkap Al-Dahhak.

    “Melalui berbagai kedutaan, perwakilan Suriah bekerja keras untuk membela kepentingan Suriah dan mematuhi semua perintah pejabat yang datang dari Damaskus,” jelasnya.

    “Perdana Menteri Mohammad Al-Bashir memerintahkan kedutaan besar dan diplomat Suriah untuk melindungi kepentingan Suriah.”

    “Di PBB, kami menyebarkan pesan Suriah yang saat ini tengah mengalami perubahan historis sementara rezim baru sedang diberlakukan,” terang Qusay Al-Dahhak.

    Negara-negara Arab Sambut Baik Keputusan di Suriah

    Beberapa negara Arab menyambut baik keputusan di Suriah yang menyebabkan penggulingan rezim Bashar al-Assad dan menyerukan tindakan yang bertujuan untuk memastikan stabilitas, pembangunan, dan mencegah situasi terjerumus ke dalam kekacauan.

    Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan pihaknya “memantau perkembangan pesat di negara sahabat Suriah dan menyatakan kepuasannya dengan langkah-langkah positif yang diambil untuk memastikan keselamatan rakyat Suriah, mencegah pertumpahan darah, dan menjaga lembaga-lembaga negara serta sumber daya Suriah.”

    Dilansir Anadolu Agency, Arab Saudi mengimbau masyarakat internasional “untuk mendukung rakyat Suriah dan bekerja sama dengan mereka dalam segala hal yang melayani Suriah dan memenuhi aspirasi rakyatnya, sambil tidak mencampuri urusan dalam negerinya.”

    Di Qatar, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa Doha “memantau dengan saksama perkembangan di Suriah” dan menggarisbawahi “perlunya menjaga lembaga-lembaga nasional dan persatuan negara untuk mencegah negara terjerumus ke dalam kekacauan.”

    Qatar menegaskan kembali pendiriannya untuk mengakhiri krisis Suriah sesuai dengan legitimasi internasional dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254, dengan cara yang “melayani kepentingan rakyat Suriah dan menjaga persatuan, kedaulatan, dan kemerdekaan negara mereka.”

    Kementerian Luar Negeri Bahrain juga mengeluarkan pernyataan, yang mencatat bahwa Manama mengikuti dengan saksama perkembangan pesat di Suriah, “menekankan komitmennya terhadap keamanan, stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritorial Suriah.”

    Bahrain menyerukan kepada “semua pihak dan komponen penduduk Suriah untuk memprioritaskan kepentingan tertinggi bangsa dan kesejahteraan warga negaranya sambil memastikan pelestarian lembaga-lembaga publik dan perlindungan infrastruktur vital dan ekonomi.”

    Lalu, Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan bahwa Kairo “mengikuti dengan penuh minat perubahan yang terjadi di Suriah” dan menegaskan kembali dukungannya terhadap kedaulatan Suriah, integritas teritorial, dan persatuan rakyatnya.

    Mesir menyerukan “semua pihak di Suriah, apa pun orientasinya, untuk menjaga sumber daya negara dan lembaga nasional, memprioritaskan kepentingan nasional, menyatukan tujuan dan prioritas, serta memulai proses politik komprehensif untuk membangun fase baru konsensus dan perdamaian internal, memulihkan posisi regional dan internasional Suriah.”

    Di Yordania, Raja Abdullah II mengatakan negaranya “mendukung rakyat Suriah dan menghormati keinginan dan pilihan mereka,” menurut pernyataan dari Pengadilan Kerajaan.

    Raja Abdullah menekankan dalam pertemuan Dewan Keamanan Nasional “perlunya menjaga keamanan Suriah dan keselamatan serta pencapaian warga negaranya dan bekerja segera untuk memastikan stabilitas dan menghindari konflik yang dapat menyebabkan kekacauan.”

    Ia menambahkan bahwa “Yordania selalu mendukung saudara-saudarinya di Suriah sejak awal krisis, menyambut para pengungsi Suriah selama dekade terakhir dan menyediakan mereka pendidikan, perawatan kesehatan dan layanan lainnya, layanan yang sama yang diberikan kepada warga Yordania.”

    Gambar ini menunjukkan pasukan militer Israel mengemudi di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. (AFP/JALAA MAREY)

    Sementara itu, Dewan Pimpinan Presiden di Yaman mengucapkan selamat kepada rakyat Suriah atas jatuhnya Bashar al-Assad.

    Yaman menegaskan kembali posisinya, mendukung integritas wilayah Suriah, menghormati kemerdekaannya dan keinginan rakyat Suriah untuk kebebasan, perubahan, perdamaian, keamanan dan stabilitas.

    Di Irak, juru bicara pemerintah Basim al-Awadi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Irak “mengikuti perkembangan di Suriah dan terus melakukan kontak internasional dengan negara-negara persaudaraan dan sahabat untuk mendorong upaya menuju stabilitas, keamanan, ketertiban umum, dan perlindungan kehidupan dan harta benda rakyat Suriah.”

    Irak menekankan pentingnya tidak mencampuri urusan dalam negeri Suriah atau mendukung satu pihak di atas pihak lain, karena campur tangan seperti itu hanya akan menyebabkan lebih banyak konflik dan perpecahan.

    Aljazair dalam sebuah pernyataan menyatakan dukungannya terhadap rakyat Suriah, menekankan hubungan yang kuat antara rakyat Aljazair dan Suriah berdasarkan sejarah dan solidaritas bersama.

    Kemudian, Presiden Palestina mengatakan “Palestina dan rakyatnya berdiri bersama rakyat Suriah, menghormati keinginan dan pilihan politik mereka, menjamin keamanan, stabilitas, dan pelestarian pencapaian mereka,” menurut kantor berita resmi Palestina WAFA.

    Hal ini menekankan pentingnya “semua partai politik mengutamakan kepentingan rakyat Suriah, memastikan pemulihan peran penting Suriah di kawasan dan dunia, yang melayani kepentingan rakyat Palestina dan tujuan mulia mereka untuk kebebasan dan kemerdekaan.”

    Diberitakan Al Jazeera, Angkatan udara Israel terus menggempur Suriah, menyerang pelabuhan dan gudang rudal di Latakia dan Tartous, sementara pasukan darat mereka bergerak lebih dalam ke Dataran Tinggi Golan Suriah, yang secara efektif memperluas pendudukan mereka.

    Kelompok hak asasi manusia membunyikan peringatan atas memburuknya kondisi di timur laut, tempat pertempuran antara pasukan yang didukung Turki dan pasukan Kurdi telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengungsi.

    Pejuang Suriah membakar makam Hafez al-Assad, ayah Presiden terguling Bashar, di kota Qardaha di Latakia utara.

    Ahmed al-Sharaa, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham, berjanji untuk menutup penjara terkenal rezim al-Assad dan mengamankan lokasi potensial senjata kimia dengan bantuan mitra internasional.

    Perdana Menteri sementara Suriah Mohammed al-Bashir mengatakan salah satu tujuan pertamanya adalah “memulangkan jutaan pengungsi Suriah yang berada di luar negeri” dan berjanji untuk memulihkan dan menjalankan lembaga-lembaga negara.

    Pemerintahan Penyelamatan Suriah yang dipimpin HTS telah menyampaikan rasa terima kasih kepada Mesir, Irak, Arab Saudi, UEA, Yordania, Bahrain, Oman dan Italia karena melanjutkan pekerjaan misi diplomatik mereka di Damaskus.

    Arus pengungsi Suriah yang pulang dari Turki terus berlanjut, dengan seorang koresponden Al Jazeera memperkirakan hingga 700 orang setiap hari menyeberang dari Cilvegozu ke Bab al-Hawa menuju Idlib.

    Puluhan ribu orang diperkirakan akan menghadiri pemakaman aktivis terkemuka Mazen al-Hamada, yang dijadwalkan akan diadakan hari ini di Damaskus.

    Pemerintahan baru Suriah telah mengundang warganya untuk mendaftar bergabung dengan akademi kepolisian yang berlokasi di Idlib atau Aleppo.

    Mohammad Bagher Ghaliba, juru bicara parlemen Iran, telah mengakui bahwa jatuhnya al-Assad di Suriah telah “mengganggu momentum” “poros perlawanan” yang didukung Iran.

    Komite Penyelamatan Internasional memperingatkan bahwa “situasi di dalam Suriah masih sangat buruk” setelah beberapa negara Eropa menangguhkan permohonan suaka ribuan warga Suriah.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Suriah

  • Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Jakarta

    Sebagian warga Suriah yang tinggal di berbagai negara merayakan kejatuhan rezim Presiden Bashar al-Assad. Apa makna peristiwa ini bagi masa depan mereka?

    Seperti banyak warga Suriah, Youssef, yang sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur, merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad. Namun, dia mengaku tidak berkeinginan untuk kembali ke negaranya.

    Laki-laki berusia 25 tahun yang meminta agar nama depannya tidak dipublikasikan itu datang ke Indonesia pada tahun 2021. Dia pergi dari negaranya untuk menjadi pelajar di bidang farmasi.

    “Saya sudah mau lulus,” ujar Youssef kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).

    Youssef berasal dari Kota Al Qardahahtempat kelahiran Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal dunia tahun 2000.

    Umur Youssef baru menginjak 11 tahun ketika perang saudara Suriah pecah pada 2011. Kala itu banyak orang terpaksa pindah atau mengungsi dari Suriah.

    “Setengah hidup saya dihabiskan dalam konflik,” ujarnya.

    Pasukan pemerintah Suriah berlindung di balik tembok saat bentrokan dengan kelompok militan di Aleppo, 3 November 2012. Pada periode Maret 2011 hingga November 2012, lebih dari 36.000 orang tewas sejak pemberontakan kelompok militan terhadap pemerintahan Assad (AFP)

    Bashar al-Assad baru saja digulingkan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka.

    Dengan begitu, berakhir sudah rezim keluarga Assad yang dikenal tangan besi selama lebih dari lima dekade.

    Sama seperti banyak orang Suriah di penjuru dunia, termasuk jutaan di antara mereka yang mengungsi, Youssef bersuka cita atas kejatuhan rezim Assad.

    Walaupun begitu, Youssef menyebut masih banyak hal sumber duka dari Suriah yang membuatnya enggan untuk kembali ke negaranya.

    Youssef justru berharap suatu saat dapat memindahkan dua anggota keluarganya yang masih berada di Suriah ke Indonesia.

    “Saya merayakan kejatuhan al-Assad. 50 tahun terakhir tidak bisa dikatakan sebagai kehidupan [yang layak],” ujar Youssef.

    “Tapi ke mana kita pergi dari sini?”

    Youssef menyamakan kondisi Suriah sekarang seperti ketika masyarakat Afghanistan merayakan hengkangnya tentara AS pada Agustus 2021.

    Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rezim Taliban menguasai negara itu.

    “Saya tidak tahu apakah ini akan terjadi atau tidak, tapi saya tahu kelompok Muslim radikal tidak pernah suka dengan kelompok-kelompok minoritas,” ujar Youssef.

    “Kami punya sekte minoritas [di Suriah]. Jadi, ya, saya tidak yakin situasinya akan membaik.”

    Youssef mengklaim dirinya memperoleh foto-foto dan video penjarahan yang terjadi di negaranya setelah penggulingan Assad.

    Koresponden BBC yang melaporkan dari Suriah, Lina Sinjab, menjadi saksi mata aksi penjarahan, termasuk yang terjadi di kediaman Bashar al-Assad.

    Pengungsi Suriah yang tinggal di Turki kembali ke tanah airnya pada 10 Desember 2024 melalui Gerbang Perbatasan Cilvegz di Hatay, Turki (Getty Images)

    Dibandingkan dengan pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar yang mencapai ratusan hingga ribuan orang, jumlah pengungsi dari Suriah di Indonesia berjumlah puluhan orang.

    Merujuk data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 60 warga Suriah yang telah mendapat status pengungsi di Indonesia.

    Angka ini tidak termasuk warga Suriah yang berada di Indonesia, tapi masih tergolong sebagai pencari suaka.

    Adapun menurut catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, ada 713 warga negara Suriah yang punya izin tinggal aktif di Indonesia per Desember 2024. Mereka memegang izin tinggal sebagai diplomat, pekerja, dan pelajar.

    Seorang perempuan bersenjata mengacungkan tanda V yang berarti kemenangan saat warga Kurdi Suriah merayakan jatuhnya ibu kota Damaskus ke tangan pemberontak di Qamishli pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Apa pendapat orang-orang Suriah di negara-negara lainnya

    Di Ankara, Turki, ratusan warga Suriah bersiul, menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel dalam perayaan di Altnda. Sejak dini hari, mereka merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad.

    “Bahagia sekali rasanya baru pertama kalinya dalam hidup saya bisa sesenang ini,” ujar Asif, laki-laki berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari kota Hama, Suriah.

    Asif mengibarkan bendera Turki dan bendera oposisi Suriah dengan kedua tangannya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Sejak tadi malam, kami belum tidur. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ujarnya.

    “Tidak ada lagi yang akan tinggal di sini. Semuanya ingin pulang karena perang di negara kami sudah berakhir. Kami sungguh-sungguh berterima kasih kepada Turki.”

    Ayham, teman Asif yang berasal dari Aleppo, mengungkapkan perasaan yang sama.

    “Kami tidak bisa pulang akibat kekejaman Assad. Semuanya kabur dari tangan tirani Assad. Orang-orang mesti hengkang karena kami tidak mau dipaksa menghabisi warga kami sendiri. Sekarang, kami bisa kembali karena semua ini sudah berakhir,” tuturnya.

    Para pejuang pemberontak Suriah merayakan kemenangan di Homs pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Seorang pria muda lainnya yang sudah tinggal di Turki selama 14 tahun bertekad untuk segera kembali ke Suriah.

    “Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami [di Turki]. Saatnya kembali ke Suriah. Jika perlu, kami akan kembali membangun bahkan dari nol sekalipun. Pada hari saya berencana untuk menikah, Suriah merdeka. Saya tidak akan pernah melupakan tanggal ini.”

    Selebrasi dan keriaan serupa terlihat di kota-kota Turki lainnya yang memiliki populasi orang Suriah dalam jumlah besar, termasuk Istanbul.

    Di Sisli, orang-orang berkerumun di depan gedung konsulat Suriah. Mereka menurunkan bendera rezim Assad.

    Turki sudah menjadi rumah bagi sedikitnya tiga juta pengungsi Suriah sejak perang sipil di negara itu pecah pada tahun 2011.

    Rasa bingung dan kekhawatiran

    Di tengah semua keriaan dan perasaan penuh harap, ada juga orang Suriah yang tidak terlalu ingin cepat-cepat kembali ke negaranya.

    Di sebuah kereta Berlin yang hening, Rasha dengan suara pelan merekam suaranya di telepon genggam. Dia berhati-hati agar tidak mengganggu penumpang lain.

    Sampai baru-baru ini, Rasha sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan lagi bisa melihat rumah keluarganya di Damaskus.

    Selama lebih dari satu dekade terakhir, konflik Suriah yang berkelanjutan memaksa jutaan orang Suriah termasuk Rasha untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari masa lalu mereka akan musnah. Namun, kabar penggulingan Assad mengubah segalanya.

    Bagi banyak pengungsi Suriah, berita itu memicu berbagai emosi yang saling kontradiksi: tidak percaya, bahagia, penuh harapan, bingung, dan takut.

    Warga Suriah yang tinggal di Essen, Jerman, merayakan runtuhnya rezim Assad pada Minggu, 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Kebahagiaan yang dirasakan Rasha berbenturan dengan realita. Dia mengaku awalnya ingin segera “mengepak koper dan pulang”.

    Akan tetapi, Rasha kemudian memikirkan apakah keputusan itu benar-benar dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

    “Saya tahu bahwa tidak ada lagi perasaan waswas tatkala melewati perbatasan dan ketakutan akan ditangkap atau bahkan hilang,” jelas Rasha.

    “Tapi sekarang ada rasa takut yang baru: kemungkinan serangan balasan, ketegangan di antara sekte, dan balas dendam.”

    Rasha merupakan penganut agama minoritas di Suriah. Dia benar-benar memikirkan potensi risiko dengan waspada sekalipun belum ada laporan kekerasan yang menargetkan kelompok tertentu.

    Baca juga:

    “Saat ini kita masih merasakan momen-momen bahagia yang dini,” ujar Rasha perlahan.

    “Kita harus berpikir rasional.”

    Situasi Rasha semakin rumit karena statusnya sebagai pengungsi di Jerman. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengintegrasikan diri ke komunitas barunya, Rasha berada di jalur yang tepat untuk menerima kewarganegaraan Jerman dalam satu tahun ke depan.

    Jika Rasha mendapatkan ini, dia akan bisa lebih bebas untuk pindah ke mana pun dia mau.

    “Kami ingin kembali ke Suriah tanpa kehilangan semua pencapaian di sini,” terangnya.

    Warga Suriah merayakan jatuhnya rezim Assad di Istanbul (Azra Tosuner/BBC)

    Rasha merujuk ke keterampilan bahasa, pendidikan, dan stabilitas yang telah dibangunnya.

    “Jika kembali sekarang dan kehilangan status legal, saya barangkali akan kehilangan segalanya.”

    Rasha juga mengkhawatirkan nasib rumah keluarganya di Damaskus.

    “Sebelum kemarin, saya tidak menyangka bisa melihat rumah kami lagi,” akunya. “Harapan itu kini ada. Tapi bagaimana kalau sudah ada yang merebut rumah kami?”

    Sama seperti Youssef di Indonesia, Rasha juga mengkhawatirkan kelompok radikal di negaranya.

    “Saya senang rezim itu sudah runtuh,” ujarnya, “tetapi saya kini mengkhawatirkan adanya bentrokan serta kemunculan ekstremisme dan fanatisme.”

    Rasha hanyalah satu dari setidaknya 14 juta orang Suriah yang harus meninggalkan negara mereka sejak konflik pecah pada tahun 2011.

    Menurut UNHCR, krisis pengungsi di Suriah adalah pemindahan paksa terbesar pada masa kini.

    Lebih dari 5,5 juta pengungsi Suriah menetap di negara-negara tetangga termasuk Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.

    Jerman merupakan negara non-tetangga Suriah dengan populasi pengungsi Suriah terbesar, sekitar 850.000 orang.

    Bagi banyak pengungsi, tinggal di luar negeri merupakan suatu tantangan tersendiri.

    Selama bertahun-tahun, mereka mesti menghadapi rintangan hukum, menanggung kesulitan ekonomi, dan menghadapi serangan xenofobia.

    Pulang ke Suriah ‘bukan perkara sepele’

    Ayah Majzoub, Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, menekankan bahwa tidak akan mudah bagi orang-orang Suriah untuk kembali ke negaranya.

    “Banyak orang Suriah yang menimbang-nimbang untuk pulang telah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta,” kata perempuan itu.

    “Perekonomian di Suriah sudah hancur akibat konflik dan sanksi asing selama bertahun-tahun.”

    “Organisasi-organisasi kemanusiaan harus segera memastikan bahwa pemulangan dilakukan secara sukarela, aman, dan bermartabat.”

    “Para pengungsi yang kembali membutuhkan akses ke tempat penampungan, makanan, air, sanitasi, dan perawatan kesehatan,” ujarnya.

    Seorang pengungsi Suriah di Ankara, Turki (Getty Images)

    Majzoub juga menekankan pentingnya untuk menghindari repatriasi secara paksa.

    “Pemerintah-pemerintah tuan rumah tidak boleh memaksa siapa pun untuk pulang,” ujarnya.

    “Kepulangan orang Suriah harus dilakukan sepenuhnya sukarela. Kami akan terus mengawasi risiko-risiko yang dihadapi para pengungsi yang kembali tanpa memandang agama, etnis, atau sikap politik mereka.”

    Mahmoud Bouaydani, pengungsi Suriah di Turki, mengaku berita dari Damaskus membawa kembali banyak memori.

    “Rasanya seperti menonton rekaman sepuluh tahun terakhir setiap peluru mortir, setiap serangan kimia, setiap serangan udara,” kenangnya.

    Baca juga:

    Pada tahun 2018, Mahmoud melarikan diri dari Douma setelah bertahun-tahun merasa terkepung. Dia sekarang menjadi mahasiswa teknik komputer di Universitas Kocaeli dekat Istanbul.

    Meski optimis, Mahmoud menyadari betapa besarnya tantangan menanti jika dirinya kembali.

    “Hal pertama yang ada di benak saya adalah harta benda keluarga. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Barangkali sudah dijual tanpa sepengetahuan kami.”

    Mahmoud juga ingin tetap fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.

    “Saya ingin mengunjungi Suriah terlebih dahulu,” katanya.

    “Saya butuh kejelasan tentang keamanan, pemerintahan, dan aturan hukum. Saya tidak bisa melepaskan status perlindungan sementara saya. Saya juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan pendidikan atau stabilitas di sini.”

    Warga Suriah di Turki merayakan berakhirnya kekuasaan Assad di Suriah setelah pemberontak menguasai Damaskus pada malam hari, di Masjid Fatih, di Istanbul, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di Zarqa, Yordania, perempuan Suriah bernama Um Qasim mengenang tahun-tahunnya sebagai pengungsi.

    “Kami sudah menghabiskan 12 tahun di Yordania,” katanya.

    “Walau kami disambut bak keluarga, pengasingan tetaplah pengasingan.”

    Dia menggambarkan momen-momen kegembiraan yang diwarnai dengan kepedihan. Baik ketika merayakan sesuatu seperti ulang tahun, maupun ketika ada yang meninggal.

    Ketiadaan sanak saudara untuk berbagi sangat terasa baginya.

    Um Qasim bermimpi untuk kembali ke Suriah yang damai. Akan tetapi, dia mengaku realistis dengan kondisi ekonomi yang mengerikan di negara tersebut.

    “Keluarga saya di sana masih menderita. Tidak ada listrik yang konsisten, tidak ada air, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Bagaimana orang bisa hidup?”

    Perasaannya yang campur aduk mencerminkan perasaan banyak orang di diaspora.

    “Kami senang rezim telah jatuh, tetapi akan pilu rasanya meninggalkan Yordania apalagi setelah membangun keluarga kedua di sini.”

    Warga Suriah di Lebanon berbondong-bondong ke Perbatasan Masnaa yang terletak di antara Lebanon dan Suriah untuk pulang ke rumah setelah runtuhnya rezim Assad, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di perbatasan Masnaa, Lebanon, ratusan warga Suriah telah berkumpul dalam beberapa hari terakhir. Mereka menunggu untuk bisa menyeberang pulang ke Suriah.

    Lebanon adalah negara dengan jumlah pengungsi per kapita tertinggi di dunia dan saat ini memiliki 768.353 pengungsi Suriah yang terdaftar di UNHCR meskipun diyakini masih banyak yang belum terdaftar.

    Juru bicara UNHCR di Lebanon, Dalal Harb, mengatakan bahwa lembaga itu mengamati beberapa pemulangan, termasuk melalui penyeberangan tidak resmi di daerah-daerah seperti Wadi Khaled, sebuah wilayah di perbatasan timur laut Lebanon.

    “UNHCR menegaskan kembali bahwa semua pengungsi memiliki hak fundamental untuk kembali ke negara asal mereka pada waktu yang mereka pilih, dan semua pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bermartabat, dan aman.”

    Harb menambahkan bahwa UNHCR siap untuk mendukung para pengungsi yang kembali jika kondisinya memungkinkan.

    Kerumunan orang Suriah di Tripoli, Lebanon (EPA-EFE/REX/Shutterstock)

    Di sisi lain, dia menggarisbawahi bahwa selama masa-masa yang tidak menentu sekarang ini, para pengungsi Suriah harus diberi keleluasaan untuk menilai kondisi Suriah dengan mata kepala mereka sendiri.

    “Situasi di internal Suriah masih terus berkembang. Banyak warga Suriah yang mencoba menilai dalam beberapa minggu terakhir, seberapa amankah situasi di sana dan apakah ini waktu yang tepat bagi mereka untuk kembali atau tidak,” imbuhnya.

    Bagi banyak warga Suriah, ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya sangat membebani pikiran mereka.

    Kenangan akan perang, kehilangan, dan pengungsian tetap membayangi mereka. Sekarang pun mereka masih berusaha membayangkan bagaimana rasanya pulang ke negaranya.

    Untuk saat ini, mereka hanya bisa melihat dan menunggu.

    Bagi Youssef di Malang, Jawa Timur, yang memperoleh beasiswa pendidikan di sini, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluarganya.

    “Saya ingin bisa menghasilkan banyak uang supaya keluarga saya tidak menderita. Setidaknya mereka bisa kembali dapat akses air bersih.”

    Laporan tambahan oleh Sanaa Alkhoury dan Fundanur ztrk.

    Baca juga:

    Tonton juga video: Dampak Jatuhnya Rezim Assad ke Ekonomi, Pasar di Suriah Hidup Lagi

    (nvc/nvc)

  • Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah – Halaman all

    Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah – Halaman all

    Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah

    TRIBUNNEWS.COM – Sebuah drone MQ-9 Reaper milik Angkatan Udara Amerika Serikat secara tidak sengaja ditembak jatuh oleh sekutunya, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Suriah utara beberapa hari lalu.

    “Insiden penembakan drone secara tidak sengaja yang diperkirakan bernilai US$30 juta (sekitar Rp 478 M) oleh pasukan sahabat militer Amerika Serikat disebabkan oleh pasukan SDF yang beroperasi di wilayah tersebut yang mengidentifikasi pesawat tak berawak tersebut sebagai ancaman,” kata seorang pejabat pertahanan AS kepada media dilansir DSA, Kamis (12/12/2024).

    Drone MQ-9 Reaper beroperasi dalam misi “Operation Inherent Resolve”, yang merupakan kampanye militer dan keamanan melawan kelompok teroris Negara Islam (IS/DAESH), kata pejabat pertahanan AS tersebut.
     
    Jatuhnya drone MQ-9 AS oleh pasukan sekutunya ini pertama kali dilaporkan oleh CNN.

    Wakil Sekretaris Pers Pentagon Sabrina Singh membenarkan penembakan jatuh drone MQ-9 Reaper milik SDF.

    “Tidak ada perubahan dalam kerja sama dan kemitraan kami dengan SDF dalam memastikan kekalahan ISIS,” kata Singh.

    Sebuah gambar yang muncul di media sosial pada tanggal 9 Desember menunjukkan apa yang tampak seperti puing-puing MQ-9 di Suriah utara.

    Puing Drone Reaper MQ-9 Amerika Serikat yang Jatuh ditembak Pasukan SDF di Suriah.

    Puing-puing itu kemudian dihancurkan dengan sengaja, mungkin oleh anggota militer Amerika Serikat untuk mencegahnya jatuh ke tangan oposisi Amerika.”

    “Angkatan Udara AS telah memulihkan komponen-komponen pesawat dan menghancurkan bagian-bagian pesawat yang tersisa,” kata pejabat itu.

    “Pusat Angkatan Udara AS secara aktif mengevaluasi tindakan yang menyebabkan insiden tersebut dan akan menyesuaikan taktik, teknik, dan prosedur untuk melindungi pasukan AS, koalisi, dan mitra serta aset terkait.”

    Komandan Komando Pusat AS (CENTCOM) Jenderal Michael “Erik” Kurilla mengunjungi Suriah dan bertemu dengan para pemimpin SDF dan personel militer AS pada 10 Desember.
     
    Amerika Serikat menempatkan sekitar 900 tentara di Suriah sebagai bagian dari misi dan operasi untuk menghadapi kelompok teroris ISIS dan mencegah kelompok tersebut mendapatkan kembali kekuasaan di wilayah Suriah yang pernah mereka kuasai.

    Puing Reaper MQ-9 yang Jatuh (dsa)

    SDF Terancam Seiring Bergantinya Rezim Suriah

    Dengan adanya perubahan kepemimpinan di Suriah setelah tergulingnya Bashar al-Assad, kelompok Kurdi yang didukung Amerika Serikat mungkin akan terancam, menurut analis, dilansir NBC News.

    Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi, telah membantu AS memukul mundur kelompok ISIS selama bertahun-tahun.

    Saat ini, SDF menahan ribuan anggota ISIS.

    Pada hari Selasa (10/12/2024), SDF menerima gencatan senjata dengan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki dan menyerahkan kendali atas kota utara Manbij, benteng Kurdi.

    “Kami telah mencapai kesepakatan gencatan senjata di Manbij dengan mediasi Amerika untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga sipil,” kata komandan umum SDF, Mazloum Abdi, dalam sebuah postingan di X.

    “Para pejuang … akan segera dipindahkan dari daerah itu.”

    “Tujuan kami adalah untuk menghentikan tembakan di seluruh Suriah dan memasuki proses politik untuk masa depan negara ini.”

    Komandan umum SDF, Abdi Mazloum (YouTube Sky News)

    Pengambilalihan Manbij, yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang berakar pada gerakan-gerakan ekstremis, mencerminkan situasi yang berubah dengan cepat di seluruh Suriah, termasuk bagi pasukan Kurdi.

    Israel mengambil kesempatan untuk menghancurkan kapal-kapal angkatan laut Suriah di barat, serta bangunan-bangunan yang terkait dengan senjata kimia di luar Damaskus.

    Jatuhnya Assad dan bangkitnya HTS juga menjadi kabar baik bagi pemerintahan Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan.

    Erdogan adalah pendukung utama HTS.

    Erdogan telah lama memandang SDF sebagai “cabang” dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki dan menganggap keduanya sebagai organisasi teroris.

    Sementara itu, suku Kurdi Suriah sejak 2011 telah mempertahankan otonomi mereka di sudut timur laut Suriah yang berbatasan dengan Turki dan Irak.

    Namun kini angin politik telah berubah menentang SDF.

    “Suku Kurdi di Suriah, setelah bertahun-tahun berada dalam pemerintahan otonom, mungkin berada dalam lingkungan yang paling genting dan tidak stabil sejak mereka membangun struktur tersebut,” kata Renad Mansour, peneliti senior program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Chatham House yang berpusat di London.

    Pasukan Kurdi telah membuat kesepakatan dengan beberapa kelompok berbeda selama dekade terakhir, kata Mansour kepada NBC News.

    “Tetapi perubahan besar di Suriah saat ini akan membuat mereka harus merundingkan ulang hal ini, dan kemungkinan besar negosiasi akan dilakukan melalui kekerasan,” tambahnya.

    Maka diperlukan mediasi AS untuk menengahi gencatan senjata antara SDF dan SNA.

    “Kami telah bekerja sama dengan SDF selama beberapa waktu. Pekerjaan itu terus berlanjut,” kata Menteri Pertahanan Lloyd Austin kepada wartawan di Jepang pada hari Rabu (11/12/2024).

    “Kami memiliki hubungan yang baik dengan mereka, dan saya pikir itu akan tetap ada.”

    Namun, pernyataan dari presiden terpilih Amerika Serikat tidak luput dari perhatian para pemimpin SDF.

    “Suriah memang kacau, tetapi Suriah bukan teman kita,” kata Donald Trump dalam sebuah posting di X minggu lalu.

    Ia menambahkan dengan huruf kapital: “Amerika Serikat seharusnya tidak ada hubungannya dengan ini. Ini bukan pertarungan kita. Biarkan saja. Jangan ikut campur!”

    Tanda-tanda awal dari pemerintahan Trump mendatang menunjukkan bahwa akan ada dua aliran pemikiran mengenai Suriah, kata Mansour.

    “Satu kubu mengakui pertarungan bersejarah AS bersama Kurdi melawan ISIS, dan tentu saja kubu lainnya, yang mungkin menjadi tujuan Trump, adalah mencoba keluar dari Suriah,” katanya.

    Diperkirakan ada ribuan anggota ISIS yang ditahan di penjara dan kamp pengungsi internal yang dipantau oleh kelompok Kurdi dan pasukan AS di timur laut Suriah, wilayah yang dulunya merupakan bagian dari wilayah ISIS.

    Jika pemerintahan Trump kali ini lepas tangan mengenai apapun yang terjadi di Suriah, maka pasukan Kurdi akan kehilangan sekutu internasional utamanya.

    Sementara itu, HTS dan sekutunya mendapat dukungan dari Turki dan Erdogan.

    “Sudah ada tanda-tanda bentrokan lebih lanjut. Kobani, di timur laut Manbij, tetap berisiko mengalami perang karena provokasi terus-menerus oleh Turki dan tentara bayarannya,” kata kepala media SDF Farhad Shami kepada NBC News pada hari Rabu.

    4 Kelompok Kunci dalam Konflik Suriah

    Pejuang oposisi Suriah mengatakan mereka telah mengambil alih kota Deir Az Zor di timur laut dari pasukan Kurdi, Rabu (11/12/2024).

    Hal ini menyusul pengumuman gencatan senjata oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi dan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki setelah pertempuran selama berhari-hari di sekitar Manbij.

    Mengutip Al Jazeera, ada empat kelompok utama yang bersaing untuk menguasai wilayah Suriah. 

    Mereka adalah:

    1. Pasukan pemerintah Suriah

    Angkatan Darat, pasukan militer utama pemerintah, bertempur bersama Pasukan Pertahanan Nasional, kelompok paramiliter pro-pemerintah.

    Pasukan ini melemah seiring jatuhnya Assad.

    2.  Pasukan Demokratik Suriah (SDF)

    Kelompok ini didominasi suku Kurdi dan didukung Amerika Serikat, menguasai sebagian wilayah Suriah timur.

    3. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi sekutu lainnya.

    HTS adalah pasukan tempur terbesar terkuat di Idlib yang dikuasai oposisi.

    Kelompok inilah yang mengambil peran terbanyak dalam menggulingkan pemerintah Assad.

    4. Pasukan pemberontak Suriah yang didukung Turki atau beraliansi dengan Turki

    Tentara Nasional Suriah (SNA) adalah pasukan pemberontak yang didukung Turki di Suriah utara.

    Berikut peta yang menunjukkan kendali teritorial berbagai kelompok di Suriah per 11 Desember 2024.

    lihat foto
    Peta Suriah dan kelompok-kelompok yang berkuasa. 11 Desember 2024

     

     

    (oln/shlv/DSA/tribunnews/*)

  • 3 Skenario Masa Depan Suriah Usai Rezim Assad Tumbang

    3 Skenario Masa Depan Suriah Usai Rezim Assad Tumbang

    Damaskus

    Berakhirnya pemerintahan brutal keluarga Assad selama puluhan tahun di Suriah, menyusul operasi militer pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), telah menimbulkan pertanyaan soal masa depan negara tersebut.

    Pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, telah berjanji untuk menyatukan Suriah, tetapi masih belum pasti apakah ia dapat mencapai tujuan ini.

    Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, menekankan perlunya kerja sama di antara semua kelompok di Suriah.

    “Secara umum, kami telah melihat pernyataan yang meyakinkan dari HTS dan kelompok bersenjata lainnya,” kata Pedersen, walau dirinya mengaku mencatat ada masalah “mengenai hukum dan ketertiban” di Suriah.

    Mengingat situasi yang berubah dengan cepat, sulit untuk memprediksi masa depan Suriah.

    Namun, para ahli yang diwawancarai oleh BBC menguraikan tiga skenario terkait masa depan Suriah.

    1. Suriah yang bersatu

    Abu Mohammed al-Jolani menjanjikan persatuan Suriah. Al-Jolani, berpidato di dalam Masjid Ummayad setelah merebut kekuasaan di Damaskus pada 8 Desember (Reuters)

    Dalam skenario terbaik, HTS akan bekerja sama dengan entitas-entitas politik sipil lainnya guna memerintah Suriah secara bertanggung jawab.

    Sejauh ini, Jolani telah menyerukan persatuan dan rasa saling menghormati di antara berbagai kelompok di Suriah.

    Namun, banyak kelompok di Suriah memiliki agenda berbeda.

    “Pada kenyataannya, saat ini Suriah berada dalam posisi yang tidak diketahui. HTS telah menempatkan diri mereka untuk membuka transisi damai di Suriah, tetapi situasinya sangat tidak stabil,” kata Christopher Phillips, seorang profesor hubungan internasional dan pakar Timur Tengah di Universitas Queen Mary, Inggris.

    Di bagian selatan Suriah, terdapat suku-suku yang tidak mengakui otoritas keluarga Assad dan kecil kemungkinan mereka tunduk pada pemerintahan baru di Damaskus.

    Di bagian timur, masih ada sisa-sisa kelompok ISIS yang terus menimbulkan ancaman dan memicu serangan udara AS.

    Di bagian timur laut Suriah, kelompok-kelompok pimpinan suku Kurdi yang didukung oleh Amerika Serikat menguasai sebagian wilayah tersebut.

    Faksi-faksi ini juga telah bertempur melawan kelompok pemberontak sokongan Turki di wilayah utara Suriah selama bertahun-tahun. Bahkan, pertempuran masih terjadi di wilayah-wilayah tersebut.

    Selain kelompok-kelompok di dalam negeri, ada pula sejumlah kelompok oposisi dan blok politik yang telah terbentuk di luar Suriah sejak 2011.

    Masih belum jelas apakah tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok ini akan kembali ke Suriah dan menjadi bagian dari proses transisi politik.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Joseph Daher, seorang profesor di Universitas Lausanne di Swiss dan penulis buku berjudul Syria After the Uprisings, mengatakan prospek pemerintahan bersatu di Suriah masih belum pasti.

    “Dalam skenario terbaik, akan ada pemilihan umum yang bebas, pembagian kekuasaan dan desentralisasi, yang mengarah pada kekuasaan yang lebih bersatu. Namun, ini masih harus dilihat.”

    Baca juga:

    Daher, bersama dengan para ahli lainnya, menganggap skenario ini tidak mungkin. Dia justru menyoroti kontradiksi dalam pengumuman pertama Jolani untuk khalayak umum.

    “Jolani pertama-tama menyatakan bahwa perdana menteri rezim sebelumnya akan mengawasi transisi. Setelah itu, ia mencalonkan perdana menteri Pemerintahan Keselamatan Nasional (Mohammed al-Bashir)pemerintahan di Idlib yang tunduk di bawah otoritas HTS.”

    Namun, Daher yakin HTS akan kesulitan mengelola seluruh negara sendirian, meskipun punya “keinginan kuat untuk mengonsolidasikan kekuasaan”.

    “Saya tidak yakin ini akan terjadi, karena otoritas (HTS) sudah sangat direntangkan. Sangat sulit untuk mengelola [Suriah],” katanya.

    “Awalnya, mereka hanya mengelola Idlib. Sekarang mereka mengelola Aleppo, Hama, Homs, dan Damaskus. Jadi, akan ada kebutuhan untuk berbagi kekuasaan di area ini.”

    2. HTS berkuasa secara otoriter

    Para migran Suriah berdatangan kembali ke Suriah dari negara-negara tetangga seperti Turki, dengan harapan akan masa depan yang lebih baik (Reuters)

    Ada kekhawatiran bahwa HTS akan mengonsolidasikan kekuasaannya melalui cara-cara otoriter, dengan cara yang sama seperti rezim Assad.

    Jolani telah membangun basis kekuatan di Idlib yang pernah menjadi pusat kekuatan pemberontak terbesar di Suriah barat laut dan rumah bagi sekitar empat juta orang, banyak di antara mereka mengungsi dari provinsi-provinsi Suriah lainnya. Di sana, Pemerintah Keselamatan Nasional menjalankan fungsi-fungsi sipil sambil mempertahankan dewan agama yang mengikuti hukum syariat.

    Baca juga:

    Jolani telah berusaha menunjukkan bahwa HTS dapat memerintah secara efektif dengan memprioritaskan stabilitas dan layanan publik. Namun, ketika menguasai Idlib, HTS dinilai meminggirkan faksi-faksi lain dan menekan perbedaan pendapat.

    Menjelang serangan pimpinan HTS pada 27 November, protes meletus di Idlib. Sejumlah tokoh Islam dan aktivis Suriah menuduh HTS melakukan praktik-praktik otoriter.

    “Cara HTS mengonsolidasikan kekuasaannya utamanya adalah melalui tindakan represif, meskipun mereka juga mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengikutsertakan semua kelompok bersenjata oposisi [di Idlib] dan menyediakan layanan. Namun, kekuasaannya ditandai pula dengan tindakan represif yang keras dan memenjarakan lawan politik,” kata Daher.

    BBC

    Menanggapi kritik-kritik ini, HTS telah melaksanakan reformasi, seperti membubarkan pasukan keamanan yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan membentuk departemen pengaduan untuk menangani pengaduan warga. Namun, para kritikus berpendapat reformasi ini hanyalah kedok untuk meredam perbedaan pendapat.

    HTS berkeras bahwa konsolidasi kekuasaan di Idlib diperlukan untuk kemajuan Suriah dan penggulingan rezim Assad.

    Namun, Daher berpendapat bahwa HTS menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya saat ini.

    “Dengan memperluas kekuatannya hingga ke Damaskus, kelompok itu tidak memiliki sumber daya militer dan manusia untuk mengelola semua wilayah ini,” paparnya.

    3. Perang saudara

    Skenario terburuk adalah Suriah terjerumus ke dalam kekacauan, mirip seperti Arab Spring pada 2011 silam.

    Muammar Gaddafi dari Libya dan Saddam Hussein dari Irak disingkirkan dari tampuk kekuasaan tanpa pengganti yang siap. Ketika kekacauan terjadi, negara-negara lain melakukan intervensi yang malah berkontribusi pada rentetan bencana.

    Para kritikus mengatakan bahwa kevakuman yang ditinggalkan oleh para penguasa otoriter itu diisi oleh gelombang penjarahan, balas dendam, perebutan kekuasaan, dan perang saudara.

    Dalam skenario ini, persaingan antarkelompok bersenjata untuk mendapatkan kekuasaan di Suriah dapat menyebabkan kekerasan meluas. Ini tidak hanya akan mengganggu stabilitas Suriah, tetapi juga seluruh wilayah Timur Tengah.

    BBC

    Koresponden Khusus BBC Arabic, Feras Kilani, melaporkan dari lapangan bahwa pidato pertama Mohammed al-Bashir sebagai perdana menteri telah membuat banyak orang khawatir dan mengisyaratkan kemungkinan arah pemerintahan baru.

    “Perdana menteri baru itu berpidato dengan dua bendera di belakangnya ‘bendera revolusi’ dan bendera yang menyerupai bendera Taliban. Hal ini mengejutkan banyak orang karena menunjukkan bahwa pemerintahan baru mungkin akan mengikuti model Taliban, menciptakan negara Islam yang diatur oleh hukum syariat,” katanya.

    “Ini menimbulkan tantangan baru dan pertanyaan baru tentang masa depan kaum minoritas serta kelompok sipil di negara ini,” tambahnya.

    Keseimbangan antara kekuatan-kekuatan asing

    Ketiga skenario itu juga akan bergantung pada tindakan kekuatan-kekuatan asing.

    Selama beberapa dekade, Assad mengandalkan dukungan dari Iran dan Rusia. Sementara itu, Turki, negara-negara Barat, dan negara-negara Teluk mendukung berbagai kelompok oposisi.

    Selama beberapa hari terakhir, Israel telah menargetkan infrastruktur militer Suriah dan mengakui pasukannya beroperasi di luar zona penyangga demiliterisasi antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan.

    Israel mengatakan telah melakukan ratusan serangan udara di Suriah sejak Assad meninggalkan negara itu. Aksi tersebut menghancurkan “sebagian besar persediaan senjata strategis Suriah.”

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga memperingatkan pasukan pemberontak Suriah agar tidak membiarkan Iran “membangun kembali” di Suriah.

    Rangkaian aksi Israel tersebut membuat Turki dan negara-negara Timur Tengah lainnya menuduh Israel mengeksploitasi kejatuhan Assad.

    Christopher Phillips, seorang profesor hubungan internasional dan pakar Timur Tengah di Universitas Queen Mary Inggris, memperingatkan bahwa tindakan Israel dapat “melemahkan pemerintah sementara atau membuat kelompok garis keras semakin berani” yang ujungnya membuat Suriah tidak stabil.

    Baik Phillips maupun Daher setuju bahwa sanksi internasional terhadap Suriah harus dicabut untuk mendukung pemulihan ekonomi. Adapun negara-negara lain harus memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Suriah.

    “Sekarang rezim Assad sudah lengser, sanksi harus dicabut. Saya pikir sangat penting bagi Uni Eropa dan AS untuk mempertahankan, dan bahkan mungkin meningkatkan, bantuan pemulihan ekonomi dan bantuan kemanusiaan,” kata Daher.

    Phillips menambahkan bahwa, sebagai imbalan atas keringanan sanksi, AS dan UE dapat mencari “konsesi, seperti konstitusi baru atau reformasi demokratis”.

    (nvc/nvc)

  • Enam rudal ATACMS Amerika Hancurkan Pangkalan Udara Rusia di Rostov, Kremlin Janjikan Pembalasan – Halaman all

    Enam rudal ATACMS Amerika Hancurkan Pangkalan Udara Rusia di Rostov, Kremlin Janjikan Pembalasan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Rusia telah mengkonfirmasi bahwa sebuah serangan rudal telah menghantam pangkalan udara militer mereka di Taganrog, wilayah Rostov, pada Rabu pagi (11/12/2024) waktu setempat.

    Enam rudal ATACMS yang disuplai oleh Amerika Serikat diluncurkan pasukan Ukraina dalam serangan yang sangat terarah ini.

    Meski otoritas Rusia menyatakan bahwa semua rudal tersebut berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara, puing-puing dari hulu ledak yang terintersepsi masih menyebabkan luka-luka di antara personel yang berada di lokasi.

    “Serangan ini menimbulkan kerusakan kecil pada dua bangunan di zona teknis pangkalan udara dan tiga kendaraan militer. Mobil sipil yang terparkir di dekat lokasi juga rusak akibat serpihan,” ungkap Kementerian Pertahanan Rusia.

    Laporan lokal menunjukkan bahwa serangan tersebut mengakibatkan korban, terutama di antara personel yang bertugas di barak yang diduga menjadi target utama.

    Ledakan yang terjadi sekitar pukul 04:00 waktu setempat, menurut Gubernur Rostov, Yuri Slyusar, mengguncang kawasan tersebut dan menyulut kekhawatiran baru tentang konflik yang berkepanjangan antara Moskow dan Kyiv.

    Setelah ledakan, walikota Taganrog, Svetlana Kambulova, memimpin upaya pemulihan dengan menetapkan zona evakuasi sepanjang satu kilometer di sekitar lokasi kejadian untuk melakukan pemeriksaan keamanan.

    Serangan ini menandai eskalasi ketegangan yang baru dalam konflik ini.

    Pejabat Rusia di Kremlin mengancam akan membalas dengan tindakan yang tepat atas provokasi yang dilakukan Ukraina.

    Keputusan ini akan menunjukkan komitmen Rusia untuk mempertahankan posisinya di tengah serangan yang semakin canggih.

    “Serangan ini tidak akan dibiarkan tanpa tanggapan. Kami akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan,” tegas Kementerian Pertahanan Rusia.

    Kerusakan Infrastruktur Sipil

    Walaupun tidak ada laporan mengenai korban jiwa di lokasi industri yang terkena dampak, serangan tersebut menyebabkan kerusakan yang signifikan pada infrastruktur.

    Sebuah fasilitas industri dilaporkan hancur, mengakibatkan 14 kendaraan rusak.

    Selain itu, ruang pemanas yang terletak di Jalan Tsiolkovsky membuat 27 bangunan perumahan kehilangan pemanasan selama beberapa jam.

    ATACMS: Senjata Mematikan dalam Konflik Modern

    Sistem Rudal Taktis Angkatan Darat (ATACMS) yang digunakan dalam serangan ini merupakan salah satu alat paling ampuh militer AS untuk serangan presisi jarak jauh.

    Dirancang untuk menyerang aset-aset bernilai tinggi di dalam wilayah musuh, kemampuan ATACMS untuk menyerang pada jarak yang jauh dengan akurasi tinggi menjadikannya ideal untuk menghantam target-target strategis.

    Dari pengenalan pertamanya pada awal 1990-an, ATACMS telah mengalami banyak perkembangan.

    Versi awalnya, MGM-140, memiliki jangkauan 165 mil dan dirancang untuk menargetkan sasaran dengan presisi.

    Namun, kebutuhan untuk menangani konsentrasi angkatan musuh yang lebih besar mendorong pengembangan lebih lanjut.

    Versi terbaru, ATACMS ER (Extended Range), memungkinkan serangan hingga 310 mil atau hampir 500 km.

    Dengan peningkatan kemampuan panduan yang lebih baik dan opsi muatan yang lebih fleksibel, ATACMS menjadi salah satu senjata yang paling adaptif dalam arsenal militer AS.

    Dari Perang Teluk hingga Perang Irak, ATACMS telah terbukti efektif dalam menghancurkan kekuatan musuh di awal konflik.

    Kemampuan untuk mengirimkan daya hancur yang mematikan dengan cepat sangat penting dalam pertempuran modern yang semakin kompleks.

    Ancaman rudal balistik

    Sementara itu, Rusia dapat kembali meluncurkan rudal balistik jarak menengahnya yang mematikan terhadap Ukraina dalam waktu dekat, kata Pentagon pada hari Rabu.

    Sabrina Singh, juru bicara Pentagon, mengatakan kepada wartawan dalam sebuah pengarahan bahwa serangan dapat dilakukan “dalam beberapa hari mendatang.”

    Ia menambahkan bahwa AS tidak menganggap rudal ini — yang disebut Oreshnik — sebagai pengubah permainan di medan perang, tetapi Rusia “berusaha menggunakan setiap senjata yang mereka miliki di gudang senjata mereka untuk mengintimidasi Ukraina.”

    Ia mengatakan AS mendasarkan peringatannya pada penilaian intelijen baru, tetapi ia tidak dapat memberikan rincian lainnya, termasuk di mana Rusia mungkin menyerang.

    Pejabat AS mengatakan sebelumnya pada hari Rabu bahwa AS melihat Rusia membuat persiapan untuk peluncuran rudal lainnya, yang digunakan untuk pertama kalinya bulan lalu.

    Para pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim untuk membahas informasi sensitif tersebut.

    Ancaman itu muncul saat Presiden terpilih Donald Trump telah berjanji untuk mengakhiri perang dan sekutu Barat menyarankan bahwa negosiasi untuk melakukannya dapat dimulai musim dingin ini.

    Singh mengatakan AS akan terus mendukung Ukraina, termasuk dengan sistem pertahanan udara tambahan yang dirancang untuk melindungi negara itu dari serangan udara.

    Beberapa hari yang lalu, AS menjanjikan bantuan keamanan baru senilai hampir $1 miliar untuk Ukraina, termasuk amunisi untuk pertahanan udara.

    Kementerian Pertahanan Rusia juga mengisyaratkan bahwa Moskow siap untuk membalas karena Ukraina menggunakan enam rudal ATACMS buatan AS untuk menyerang pangkalan udara militer di Taganrog di wilayah selatan Rostov pada hari Rabu, yang mengakibatkan cedera pada tentara.

     Dikatakan bahwa dua rudal ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara dan empat lainnya dibelokkan oleh aset peperangan elektronik.

    “Serangan dengan senjata jarak jauh Barat ini tidak akan dibiarkan begitu saja dan tindakan yang relevan akan diambil,” kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.

    Ini bukan pertama kalinya pejabat AS memperingatkan tentang potensi tindakan atau langkah strategis Rusia, sebagian sebagai upaya diplomatik untuk mengirim pesan kepada Moskow dan mungkin memengaruhi keputusan.

    Menjelang invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, AS secara terbuka membahas intelijen bahwa Rusia sedang mempersiapkan pasukan untuk bergerak menuju Kyiv.

    Dan kemudian secara terbuka mengatakan bahwa Moskow menempatkan pasukannya di Ukraina timur untuk melakukan “operasi bendera palsu” yang akan menciptakan dalih bagi pasukannya untuk menyerang.

    Menurut pejabat AS, Rusia hanya memiliki beberapa rudal Oreshnik dan rudal tersebut membawa hulu ledak yang lebih kecil daripada rudal lain yang secara rutin diluncurkan Rusia ke Ukraina.

    Rusia pertama kali menembakkan rudal tersebut dalam serangan pada tanggal 21 November terhadap kota Dnipro di Ukraina.

    Rekaman video kamera pengawas dari serangan tersebut menunjukkan bola-bola api besar menembus kegelapan dan menghantam tanah dengan kecepatan yang mencengangkan.

    Itu adalah pertama kalinya senjata tersebut digunakan dalam pertempuran.

    Dalam beberapa jam setelah serangan terhadap fasilitas militer tersebut, Presiden Rusia Vladimir Putin mengambil langkah langka dengan berbicara di TV nasional untuk membanggakan rudal hipersonik baru tersebut.

    Ia memperingatkan Barat bahwa penggunaan berikutnya dapat ditujukan terhadap sekutu NATO Ukraina yang mengizinkan Kyiv menggunakan rudal jarak jauh mereka untuk menyerang wilayah Rusia.

    Serangan itu terjadi dua hari setelah Putin menandatangani versi revisi doktrin nuklir Rusia yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir.

    Doktrin tersebut memungkinkan respons nuklir potensial oleh Moskow bahkan terhadap serangan konvensional terhadap Rusia oleh negara mana pun yang didukung oleh kekuatan nuklir.

    Serangan itu juga terjadi segera setelah Presiden Joe Biden setuju untuk melonggarkan pembatasan penggunaan senjata jarak jauh buatan Amerika oleh Ukraina untuk menyerang lebih dalam ke wilayah Rusia, dan hanya satu hari setelah AS mengatakan akan memberikan ranjau antipersonel kepada Ukraina untuk membantu memperlambat kemajuan Rusia di medan perang.

    “Kami yakin bahwa kami memiliki hak untuk menggunakan senjata kami terhadap fasilitas militer negara-negara yang mengizinkan penggunaan senjata mereka terhadap fasilitas kami,” kata Putin saat itu.

  • Kepala CENTCOM Amerika Serikat Bahas Upaya Anti-ISIS dalam Kunjungan ke Irak dan Suriah – Halaman all

    Kepala CENTCOM Amerika Serikat Bahas Upaya Anti-ISIS dalam Kunjungan ke Irak dan Suriah – Halaman all

    Kepala CENTCOM Bahas Upaya Anti-ISIS dalam Kunjungan ke Irak dan Suriah

    TRIBUNNEWS.COM- CENTCOM mengumumkan pada tanggal 10 Desember bahwa komandannya, Jenderal Michael Kurilla, mengunjungi Irak dan Suriah dan bertemu dengan komandan militer AS, pejabat Irak, dan perwakilan milisi Kurdi yang didukung Washington – Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

    Kelompok perlawanan Irak, Gerakan Al-Nujaba, telah memperingatkan adanya rencana yang dipimpin Turki dan Barat untuk mengacaukan Irak setelah jatuhnya Suriah.

    Jenderal tersebut “mengunjungi komandan dan prajurit militer AS, serta mitra kami dalam Mengalahkan ISIS, Pasukan Demokratik Suriah, di beberapa pangkalan di Suriah,” kata CENTCOM dalam sebuah pernyataan. 

    “[Kurilla] menerima penilaian langsung atas langkah-langkah perlindungan pasukan, situasi yang berkembang pesat, dan upaya yang sedang berlangsung untuk mencegah ISIS memanfaatkan situasi saat ini. USCENTCOM tetap berkomitmen untuk mengalahkan ISIS secara permanen,” tambah pernyataan tersebut. 

    Di Baghdad, Kurilla bertemu dengan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani dan beberapa pejabat militer Irak lainnya. 

    Para pemimpin membahas “penguatan kerja sama bilateral dan keamanan regional, situasi yang berubah cepat di Suriah, serta operasi penumpasan ISIS di Irak. Para pemimpin juga membahas kemitraan berkelanjutan antara pasukan Koalisi dan Irak.”

    “Kami tetap berdedikasi untuk mengalahkan ISIS dan berkomitmen terhadap keamanan mitra kami yang bertetangga dengan Suriah – termasuk Irak, Yordania, Lebanon, dan Israel,” pernyataan tersebut mengutip pernyataan Kurilla. 

    Tidak ada pembahasan mengenai pembicaraan terkini antara Washington dan Baghdad untuk mengubah peran pasukan koalisi di Irak menjadi peran penasihat – negosiasi terus terhenti. Pada awal September, Sudani menyatakan bahwa ISIS tidak lagi menjadi ancaman bagi negaranya. 

    Pernyataan CENTCOM muncul dua hari setelah jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad dan penyerbuan Damaskus oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan proksi Turki – pasukan Tentara Nasional Suriah (SNA), yang memiliki hubungan dekat dengan ISIS selama bertahun-tahun. 

    Kelompok perlawanan Irak, Gerakan Al-Nujaba, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 10 Desember bahwa ada “ruang operasi” yang berbasis di Turki – yang melibatkan intelijen Inggris, Israel, dan negara-negara NATO – yang bertujuan untuk mengacaukan Irak dan menerapkan rencana “destruktif” dan “subversif” di negara tersebut. 

    “Peristiwa di Suriah bukan suatu kebetulan,” tambah pernyataan Gerakan Al-Nujaba. Sel-sel ISIS telah mulai mendapatkan momentum di Suriah setelah jatuhnya Assad. 

    Militan ISIS membunuh 54 tentara Suriah yang melarikan diri dari serangan kelompok teror tersebut di provinsi tengah Homs pada hari Senin.

    Militan ISIS menangkap “personel yang melarikan diri dari dinas militer di padang pasir … selama keruntuhan rezim” presiden terguling Bashar al-Assad dan “mengeksekusi 54” dari mereka di daerah Sukhna di padang pasir Homs, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR). 

    Militer AS telah dituduh selama bertahun-tahun memberikan dukungan logistik kepada elemen ISIS di gurun Suriah.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Komandan CENTCOM AS Kunjungi Pangkalan Pendudukan di Suriah, Bertemu Pemimpin Irak – Halaman all

    Komandan CENTCOM AS Kunjungi Pangkalan Pendudukan di Suriah, Bertemu Pemimpin Irak – Halaman all

    Kepala CENTCOM AS Kunjungi Pangkalan Pendudukan di Suriah, Bertemu Pemimpin Irak

    TRIBUNNEWS.COM- Jenderal Kurilla melakukan perjalanan ke Suriah, kemudian singgah di Baghdad dan mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia’ al-Sudani, antara lain.

    US CENTCOM pada hari Selasa mengatakan dalam sebuah posting di X bahwa Panglima Jenderal Michael “Erik” Kurilla mengunjungi Suriah dan Irak untuk menilai operasi yang dituduhkan terhadap ISIS dan meningkatkan kerja sama keamanan regional.

    Kunjungan ke Suriah

    Menurut pernyataan itu, Kurilla mengunjungi beberapa pangkalan AS di Suriah pada tanggal 10 Desember, bertemu dengan prajurit Amerika dan pemimpin Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

    “[Jenderal Kurilla] menerima penilaian langsung atas langkah-langkah perlindungan pasukan, situasi yang berkembang pesat, dan upaya yang sedang berlangsung untuk mencegah ISIS memanfaatkan situasi saat ini,” kata CENTCOM. Postingan tersebut menegaskan kembali “komitmen komando untuk mengalahkan ISIS secara permanen.”

    Diskusi di Irak

    Setelah kunjungannya ke Suriah, Jenderal Kurilla melakukan perjalanan ke Baghdad, di mana ia mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani, Kepala Staf Jenderal Abdul Amir Rashid Yarallah, dan Wakil Komandan Operasi Gabungan Irak Jenderal Qais al-Muhammadawi.

    Diskusi tersebut dilaporkan difokuskan pada “penguatan kerja sama bilateral dan keamanan regional, situasi yang berubah dengan cepat di Suriah, serta operasi mengalahkan ISIS di Irak,” menurut pernyataan itu.

    Selain itu, Jenderal Kurilla bertemu dengan Mayor Jenderal Kevin Leahy, Komandan Pasukan Tugas Gabungan Operasi Inherent Resolve (CJTF-OIR), untuk mengevaluasi misi mengalahkan ISIS di Irak dan Suriah.

    “Kami tetap berdedikasi untuk mengalahkan ISIS dan berkomitmen terhadap keamanan mitra kami yang bertetangga dengan Suriah—termasuk Irak, Yordania, Lebanon, dan Israel,” kata Jenderal Kurilla.

    Ancaman yang mengintai
    Sebelumnya hari ini, anggota Dewan Pertimbangan Kemanfaatan Iran dan mantan Komandan IRGC, Mohsen Rezaei , memperingatkan bahwa “teroris sedang bersiap untuk melancarkan serangan terhadap Irak.”

    Ia menyatakan bahwa 11.000 militan ISIS telah dilatih di kamp militer AS di Suriah utara, menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka mungkin menargetkan kota-kota Irak seperti Mosul atau Tikrit dalam beberapa bulan mendatang.

    Dalam komentar terkait, Rezaei melaporkan bahwa “Israel” telah menyerang 250 lokasi militer  dan target infrastruktur di Suriah dalam 24 jam terakhir, sembari menuduh AS dan militan menghancurkan semua lokasi militer di negara tersebut.

    Ia lebih lanjut mengemukakan bahwa perkembangan terkini di Lebanon, Suriah, dan mungkin Irak mencerminkan meningkatnya ketakutan musuh terhadap kemerdekaan wilayah tersebut dan upaya mereka untuk melemahkan penduduknya.

     

    SUMBER: AL MAYADEEN