Negara: Irak

  • Bagaimana Pemerintah Baru Suriah Bisa Inklusif?

    Bagaimana Pemerintah Baru Suriah Bisa Inklusif?

    Damaskus

    “Satu, satu, satu! Rakyat Suriah itu satu!” Sejak protes antipemerintah dimulai di Suriah lebih dari satu dekade yang lalu, ini menjadi salah satu teriakan paling populer dalam demonstrasi. Namun, pada saat yang bersamaan, seruan ini sebenarnya tidak mencerminkan kenyataan sehari-hari di Suriah.

    Sebelum perang saudara Suriah dimulai, sekitar 68% warga Suriah adalah muslim Sunni. Sekitar 9% hingga 13% adalah anggota kelompok etnoreligius Alawi atau Alawite, dan sekitar 8% hingga 10% berasal dari etnis Kurdi. Selain itu, ada juga kelompok Druze, Kristen, Armenia, Circassian, Turkmen, Palestina, dan Yazidi.

    Selama keluarga Bashar al Assad berkuasa, mereka memanfaatkan perbedaan di antara berbagai kelompok di Suriah untuk mempertahankan kendali kekuasaan.

    Namun, sejak rezim otoriter itu digulingkan pada bulan Desember lalu, Uni Eropa dan negara-negara lain menegaskan bahwa untuk mencabut sanksi, semua komunitas di Suriah harus bisa diikutsertakan dalam pemerintah yang baru.

    ‘Kesenjangan yang signifikan’

    Akhir minggu lalu, pemerintah sementara Suriah merilis versi pertama dari konstitusi baru negara itu, yang bersifat sementara.

    Dalam konstitusi ini, para ahli konstitusi mencatat bahwa tidak ada penyebutan tentang kelompok minoritas di Suriah. Warga setempat juga mengeluhkan kurangnya keterwakilan kelompok-kelompok etnis dan sektarian dalam acara Dialog Nasional Suriah baru-baru ini.

    Selain itu, seperti yang disoroti oleh Karam Shaar Advisory, sebuah konsultan yang mengkhususkan diri dalam ekonomi Suriah, pemerintah sementara masih sangat terkait dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang memimpin serangan yang menggulingkan diktator Suriah, Bashar Assad, pada awal Desember tahun lalu.

    “Ini sebagian bisa dimaklumi mengingat kondisi luar biasa saat pelantikan dilakukan,” tulis Advisory, seraya menambahkan bahwa jika ini berlanjut, akan menjadi masalah.

    Bagaimana menjamin representasi?

    Orang-orang Suriah sendiri tampaknya tidak yakin bahwa sistem kuota akan berhasil. “Banyak kelompok minoritas, dan ini adalah kenyataannya,” tutur Alaa Sindian, yang berusia 32 tahun, seorang muslim Syiah yang melarikan diri dari Suriah selama perang setelah dikejar oleh pemerintah Assad, tetapi baru-baru ini kembali ke Damaskus.

    “Namun, pada saat yang bersamaan, saya pribadi tidak ingin melihat kursi di parlemen hanya diperuntukkan bagi kaum Syiah, Alawi (lAlawite), atau sekte lainnya,” ungkapnya kepada DW.

    “Pemerintah harus mencari individu yang berkualitas dari dalam kelompok minoritas.”

    Ini bukan sikap yang tidak biasa. Dalam riset dengan metode kelompok diskusi terfokus yang diadakan pada pertengahan 2024 oleh Swisspeace, sebuah lembaga yang berbasis di Basel, Swiss, yang meneliti pembangunan perdamaian, peserta diskusi asal Suriah menyatakan mereka tidak menginginkan sistem kuota karena mereka telah melihat bagaimana sistem ini diterapkan di Irak dan Lebanon, yang menimbulkan masalah jangka panjang.

    “Dalam pertemuan dengan komunitas internasional, sering kali ada fokus pembicaraan pada perlindungan minoritas,” tambah Anna Myriam Roccatello, Wakil Direktur Eksekutif di International Center for Transitional Justice (ICTJ) yang berbasis di New York.

    “Namun, banyak orang Suriah yang saya ajak bekerja sama, baik di pemerintahan maupun masyarakat sipil, lebih resisten terhadap hal ini. Apa yang terjadi di Lebanon sangat menonjol di benak mereka dan pembagian cabang-cabang pemerintahan di sana adalah sesuatu yang sangat mereka benci,” catat Roccatello.

    Apa yang salah di Irak dan Lebanon?

    Di Lebanon, Perjanjian Taif tahun 1989 mengakhiri perang saudara negara itu dan mengalokasikan bagaimana kelompok-kelompok sektarian yang berbeda, yang sebelumnya saling bertempur, harus terwakili suaranya dalam pemerintahan.

    Di Irak, setelah invasi AS pada 2003 dan berakhirnya kediktatoran di sana, otoritas AS memutuskan bahwa kekuasaan harus dibagi antara tiga kelompok demografis utama negara itu.

    Namun, Alaa Sindian juga berpikir bahwa harus ada forum-forum berbeda di mana minoritas Suriah dapat didengar dan diberdayakan.

    “Saya menentang kuota sektarian, baik di pemerintahan maupun di tempat lain,” tambah Shadi al-Dubisi, seorang aktivis masyarakat sipil Druze berusia hampir 30 tahun.

    “Saya mendukung ide pemerintahan teknokratik, di mana individu dilihat berdasarkan kompetensi dan kemampuan, daripada afiliasi sektarian, agama, atau etnis mereka,” katanya kepada DW. Dalam ilmu politik, sistem ini dikenal sebagai “konvensional” atau “konsosiasional.”

    “Gagasan di balik konvensionalisme adalah memberi setiap kelompok etnis dan agama suara dalam pemerintahan untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi,” tulis peneliti Nour Mohsen dalam makalah 2021 untuk jurnal Flux: International Relations Review.

    “Namun, pada akhirnya ini adalah sistem yang gagal untuk mengelola pluralisme etnis dan agama,” dia berpendapat, “karena hal itu mengarah pada sektarianisme, yang menyebabkan ketidakstabilan akibat korupsi.”

    Meskipun sistem konvensional telah mengakhiri konflik, sistem ini menyebabkan masalah dalam jangka panjang, termasuk kepemimpinan yang tidak kompeten atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan hak istimewa. Ini juga berarti prioritas agama atau sektarian selalu menjadi bagian dari politik, bahkan jika pemilih lokal tidak menginginkannya.

    “Hal ini juga membuka pintu untuk campur tangan asing,” ujar Mohsen. “Kesetiaan yang lebih kuat pada sekte daripada pada negara telah membuat setiap kelompok politik etnis atau agama mencari dukungan dari kelompok serupa di negara lain.”

    Apa yang harus dilakukan Suriah?

    Sayangnya, tidak ada formula mudah untuk memastikan bahwa semua orang mendapatkan suara dalam pemerintahan pascakonflik.

    Untuk setiap strategi yang mungkin mendorong representasi yang lebih baik untuk minoritas, ada argumen tandingan.

    Misalnya, federalisme adalah opsi lain, sistem yang digunakan oleh beberapa demokrasi terbesar dan paling kompleks di dunia, termasuk Jerman, AS, dan Rusia.

    Sistem federal memiliki dua tingkat pemerintahan: Satu beroperasi di tingkat nasional dan yang lainnya di tingkat subnasional, atau negara bagian. Yang pertama sering kali bertanggung jawab atas hal-hal seperti pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri, sementara yang kedua membuat keputusan di tingkat yang lebih lokal, tetapi juga dapat mempengaruhi pemerintahan nasional.

    Namun, bahkan sistem seperti ini tergantung pada keadaan dan bisa “digunakan untuk menyembunyikan dominasi oleh beberapa komunitas etnis atas yang lainnya,” tulis John McGarry, seorang profesor studi politik di Queen’s University di Ontario, Kanada, dalam makalahnya di tahun 2024.

    Dia menunjukkan bagaimana Afrika Selatan pada masa apartheid membentuk “tanah air independen” untuk berbagai komunitas Afrika, padahal pada kenyataannya, minoritas kulit putih tetap berkuasa.

    Semua ini bergantung pada situasi yang sangat bervariasi, tandas Sahar Ammar, seorang pejabat program di Swisspeace dan peneliti utama proyek pembagian kekuasaan Suriah organisasi tersebut.

    “Pemerintah harus inklusif, tetapi harus didukung oleh proses dari bawah ke atas di tingkat lokal, untuk membina budaya dialog dan membangun kembali kepercayaan,” demikian dia berpendapat, sambil menambahkan bahwa hal ini akan menjadi kelanjutan alami dari upaya masyarakat sipil Suriah baru-baru ini.

    Semua ini juga membutuhkan waktu, imbuh Roccatello dari ICTJ. “Meski internasional cemas, kita perlu memberi orang Suriah ruang untuk mencari solusi mereka sendiri,” katanya kepada DW.

    “Hak-hak dasar, termasuk hak-hak minoritas, tentu harus digunakan sebagai parameter… tetapi saat ini, kita bahkan belum berada dalam situasi di mana kita bisa menilai dengan pasti kesediaan pemerintah saat ini untuk melakukannya karena mereka masih menghadapi kurangnya kontrol dan keamanan di sebagian besar negara.”

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Gambar Satelit Mata-mata Ungkap Lokasi Pertempuran Al-Qadisiyyah Bersejarah di Irak

    Gambar Satelit Mata-mata Ungkap Lokasi Pertempuran Al-Qadisiyyah Bersejarah di Irak

    Jakarta

    Tim arkeologi gabungan Inggris dan Irak mengidentifikasi kemungkinan lokasi Pertempuran Al-Qadisiyyah pada abad ketujuh, sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam awal, berkat citra satelit mata-mata AS tahun 1970-an yang telah dideklasifikasi.

    Pertempuran Al-Qadisiyyah yang terjadi pada 637 Masehi di Mesopotamia (sekarang Irak), menandai kemenangan penting bagi pasukan Muslim Arab dari Kekhalifahan Rashidun atas Kekaisaran Sassanid, yang membuka jalan bagi perluasan Islam ke Persia. Hingga saat ini, lokasi pasti pertempuran tersebut hanya dapat diperkirakan.

    Tim dari Durham University dan Universitas Al-Qadisiyah menemukan situs tersebut secara tidak sengaja saat menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk memetakan rute ziarah Darb Zubaydah kuno dari kota suci Kufa di Irak ke Makkah di Arab Saudi. Temuan mereka dipublikasikan pada 2024 di jurnal Antiquity.

    William Deadman dari Durham University menjelaskan bahwa citra satelit era Perang Dingin sangat berguna bagi arkeologi Timur Tengah.

    “Timur Tengah telah berkembang pesat dalam 50 tahun terakhir, baik perluasan pertanian maupun perluasan perkotaan,” kata Deaman dikutip dari Middle East Monitor.

    Citra tersebut mengungkap fitur-fitur seperti parit khas yang jauh lebih murni dan jernih pada 1970-an. Situs tersebut, yang terletak sekitar 30 kilometer selatan Kufa di provinsi Najaf selatan Irak, cocok dengan deskripsi yang ditemukan dalam teks sejarah, termasuk dua benteng dan sebuah sungai yang dikatakan telah dilintasi oleh pasukan Persia yang menunggangi gajah. Pecahan tembikar yang sesuai dengan periode waktu pertempuran juga ditemukan.

    “Ada beberapa konteks politik dan agama dalam pertempuran ini, karena sekarang, tentu saja, kita memiliki perbedaan agama, perbedaan etnis, perbedaan politik di Irak dan kita membaca atau kita melihat segala sesuatu berdasarkan perbedaan kita,” kata Jaafar Jotheri, seorang arkeolog dari Universitas Al-Qadisiyah.

    “Kita semua sepakat bahwa ini adalah pertempuran yang sangat penting, pertempuran yang menentukan, dan kita semua tahu tentang itu,” tambahnya.

    (rns/afr)

  • ‘Lepaskan Pakaian Perbudakan’, Kata-Kata Fenomenal Jubir PIJ Abu Hamza Sebelum Dibunuh Israel – Halaman all

    ‘Lepaskan Pakaian Perbudakan’, Kata-Kata Fenomenal Jubir PIJ Abu Hamza Sebelum Dibunuh Israel – Halaman all

    ‘Lepaskan Pakaian Perbudakan’, Kata-Kata Fenomenal Jubir PIJ Abu Hamza Sebelum Dibunuh Israel

    TRIBUNNEWS.COM – Gerakan Jihad Islam Palestina (Palestine Islamic Jihad/PIJ) telah mengonfirmasi identitas sebenarnya juru bicara sayap militernya, Abu Hamza, yang tewas dalam serangan udara Israel pada Selasa (17/3/2025) malam.

    Serangan itu merupakan bagian dari serangan Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, yang mengakibatkan kematian lebih dari 400 warga Palestina, termasuk hampir 200 anak-anak dalam 48 jam terakhir.

    Dalam sebuah pernyataan, gerakan tersebut mengumumkan kalau Abu Hamza adalah Naji Abu Seif.

    Beberapa anggota keluarganya terbunuh bersamanya, termasuk istrinya Shaimaa Abu Seif, saudaranya Ghassan Maher Abu Seif, saudara iparnya Sara Abu Seif, dan anak-anak mereka.

    “Dengan penuh kebanggaan dan kehormatan, Gerakan Jihad Islam di Palestina mengumumkan kepada rakyat Palestina yang agung dan kepada negara-negara Arab dan Islam tentang kesyahidan pemimpin Naji Abu Saif Abu Hamza”, kata PIJ, seraya menambahkan bahwa ia “dibunuh oleh tentara kriminal dalam serangan berbahaya yang juga menargetkan keluarganya dan keluarga saudaranya.”

    Berikut ini beberapa pernyataan fenomenal Abu Hamza yang paling terkenal semasa menjadi juru bicara PIJ, seperti dilansir PC:

     

    ‘Pedang Yerusalem’

    Sejak 2014, Abu Hamza telah menjabat sebagai juru bicara Brigade Al-Quds, sayap militer PIJ.

    Ia dikenal karena penampilannya yang menonjol di media, terutama setelah konfrontasi militer utama dengan Israel.

    Pada bulan Juni 2021, Abu Hamza membuat pernyataan penting setelah Operasi Pedang Yerusalem, nama yang disematkan milisi Palestina untuk perlawanan terhadap serangan Israel di Jalur Gaza yang terkepung antara 11 dan 21 Mei 2021.

    Serangan selama 11 hari tersebut mengakibatkan tewasnya lebih dari 260 warga Palestina di Gaza, dan sedikitnya 2.000 lainnya terluka.

    Selama periode ini, kelompok perlawanan Palestina menembakkan roket ke arah Yerusalem untuk pertama kalinya, mengejutkan Israel dengan jangkauannya, yang melumpuhkan bandara dan transportasi Israel.

    Untuk pertama kalinya, warga Palestina di Israel juga ikut serta dalam pertempuran tersebut.

    Saat itu Abu Hamza menegaskan:

    “Brigade Al-Quds akan terus melanjutkan operasinya terhadap lokasi pendudukan Israel kapan saja. Perlawanan Palestina tidak akan tunduk pada tekanan atau ancaman apa pun. Perjuangan kami terus berlanjut dan tak tergoyahkan.”

    ‘Pertempuran Balas Dendam dan Harga Diri’

    Pada tanggal 7 Oktober 2023, milisi Perlawanan Palestina melancarkan Banjir Al-Aqsa, serangan mendadak berskala besar yang melibatkan tembakan roket ke wilayah Israel dan infiltrasi oleh pejuang Palestina melintasi pagar yang memisahkan Gaza dari Israel selatan.

    “Hari ini, kita telah memulai pertempuran balas dendam dan harga diri. Kita berada di tengah-tengah perang menyeluruh dengan musuh Zionis, dan ini baru permulaan,” kata Abu Hamza pada kesempatan itu.

    Pada hari yang sama, Israel melancarkan perang genosida di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan hampir 50.000 warga Palestina dan melukai banyak lagi, serta menyebabkan kerusakan luas di Jalur Gaza yang terkepung.

    ‘Tidak Ada Alasan’

    Selama Ramadan pertama di bawah genosida, pada 2 Maret 2024, Abu Hamza menyampaikan pesan yang kuat kepada dunia Muslim dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di saluran Telegram Brigade Al-Quds.

    “Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mengabaikan pertempuran yang kita lakukan atas nama negara Islam, terutama mereka yang memiliki tentara, pesawat, dan artileri,” kata Abu Hamza, seraya menambahkan:

    “Bukankah sudah waktunya bagi kalian untuk mengerahkan artileri kalian seperti orang-orang bebas di Yaman, Lebanon, dan Irak? Bukankah sudah waktunya bagi kalian untuk menanggalkan jubah perbudakan dan kehinaan terhadap Amerika, Setan Besar, dan mengikuti contoh dari orang-orang yang terhormat?”

    “Kami katakan kepada bangsa Arab dan umat Islam, sebagaimana kalian menghadap Allah dengan salat wajib dan puasa, menghadaplah Palestina dengan senjata dan kewajiban jihad,” lanjutnya.

    ‘Mitra dalam Takdir’

    Abu Hamza selalu menegaskan pentingnya persatuan di medan perang, di mana semua gerakan perlawanan harus bekerja sama.

    “Biarkan musuh tahu bahwa kita bersama Lebanon, Yaman, dan Irak—satu front dalam damai dan perang, mitra dalam takdir dan pengambilan keputusan,” katanya.

    “Mahkota di Kepala Kita”

    Berbicara kepada rakyat Palestina, mendiang juru bicara militer tersebut mengatakan: “Kalian adalah simbol martabat, kebanggaan, dan mahkota kepala kami, dan kami tidak akan melepaskan hak-hak kalian, tidak peduli seberapa besar kami berbagi rasa sakit dan luka dengan kalian.

    “Kita mampu meneruskan pertempuran ini, tidak peduli berapa lama itu berlangsung,” pungkas Abu Hamza.

    “Tidak Lain Selain Perlawanan”

    Menyikapi masalah Gaza pasca perang, Abu Hamza mengirim pesan yang jelas kepada Israel:

    “Pesan kami kepada musuh dan pemimpin gerombolan, Netanyahu, adalah bahwa masalah hari berikutnya di Gaza ditentukan tidak lain oleh perlawanan Palestina.”

    Menghadapi Musuh

    Pada tanggal 22 Januari, dalam pernyataan tertulis tiga hari setelah gencatan senjata dicapai, Abu Hamza menolak gagasan bahwa perang Israel di Gaza merupakan reaksi terhadap operasi militer tunggal.

    Sebaliknya, ia berpendapat hal itu mencerminkan kebijakan perang dan genosida jangka panjang Israel terhadap rakyat Palestina.

    “Kami memulai pertempuran ini dengan percaya kepada Tuhan, meninggalkan rumah, keluarga, dan harta benda kami, sepenuhnya menyadari beratnya tanggung jawab yang kami dan rakyat kami tanggung,” katanya.

    Menyoroti aliansi yang lebih luas dalam perjuangan ini, ia menyatakan:

    “Kami menghadapi pendudukan bersama sekelompok orang beriman di Yaman, Lebanon, Irak, dan Iran atas nama 1,5 miliar Muslim.”

    Secara langsung menanggapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ia menambahkan:

    “Sejak awal, motto kami adalah: tidak peduli berapa lama perang ini berlangsung, kami siap menghadapinya.”

    Face To Face

    Abu Hamza menekankan bahwa pejuang Palestina telah terlibat konfrontasi langsung dengan pasukan Israel sepanjang perang.

    “Semua orang menyaksikan bagaimana kami berhadapan langsung dengan tank musuh, menunjukkan klaim sah kami atas tanah tersebut,” katanya.

    “Sejak tank pertama memasuki Gaza, para pejuang kami berada di lapangan, muncul dari terowongan dan posisi tempur untuk mengusir penjajah menggunakan aset tempur.”

    Abu Hamza menguraikan bagaimana operasi perlawanan berlanjut hingga saat-saat terakhir sebelum gencatan senjata, dan menganggap ketahanan mereka berkat persiapan selama bertahun-tahun.

    “Musuh mengantisipasi penyerahan kami dengan bendera putih tetapi hanya menemukan spanduk hitam dan kematian di medan perang Gaza.”

    “Militer Israel gagal melenyapkan perlawanan, menyelamatkan tawanan, atau mencapai tujuan apa pun selain penghancuran dan kepunahan,” imbuhnya.

    “Pilar-Pilar Tanah Ini”

    Abu Hamza berpendapat bahwa meskipun kekuatan militernya sangat besar, Israel telah gagal mencapai tujuannya.

    Ia menunjuk ketahanan Palestina sebagai ciri khas perang:

    “Salah satu ciri paling menonjol dari pertempuran ini adalah ketangguhan legendaris rakyat Palestina yang hebat, yang memberikan contoh yang tak tertandingi dalam hal perjuangan dan keteguhan.”

    Akhirnya, ia berbicara langsung kepada rakyat Palestina:

    “Kalian adalah pilar negeri ini dan landasan setiap harapan. Tanpa keteguhan kalian, perlawanan tidak akan ada, dan kita tidak akan mencapai keberhasilan ini.”
    (Kronik Palestina)

  • Jerman Janjikan 300 Juta Euro atau Rp 5,4 Triliun untuk Pemerintah Suriah – Halaman all

    Jerman Janjikan 300 Juta Euro atau Rp 5,4 Triliun untuk Pemerintah Suriah – Halaman all

    Jerman Janjikan 300 Juta Euro untuk Pemerintah Suriah

    TRIBUNNEWS.COM- Jerman menjanjikan bantuan tambahan sebesar €300 juta ($326 juta) untuk warga Suriah melalui PBB dan organisasi tertentu, Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock mengumumkan pada 17 Maret.

    Lebih dari 1.500 warga sipil Alawite dieksekusi oleh pasukan keamanan Suriah dan orang-orang bersenjata yang berafiliasi dalam serangkaian pembantaian yang dimulai pada 7 Maret.

    Lebih dari separuh dana yang disediakan akan digunakan untuk membantu rakyat di Suriah dan akan didistribusikan melalui LSM dan badan PBB, melewati pemerintahan transisi negara tersebut, kata Baerbock pada konferensi pers menjelang konferensi donor yang dipimpin Uni Eropa di Brussels.

    Dana tersebut akan digunakan untuk menyediakan makanan, layanan kesehatan, tempat penampungan darurat, dan tindakan perlindungan bagi mereka yang sangat rentan, menurut Kementerian Luar Negeri.

    Pengungsi Suriah dan masyarakat tuan rumah di Yordania, Lebanon, Irak, dan Turki juga akan menerima dukungan, lanjutnya.

    Baerbock mengulangi perlunya proses politik yang inklusif untuk memastikan masa depan yang damai bagi Suriah.

    “Sebagai warga Eropa, kita bersatu untuk rakyat Suriah, untuk Suriah yang bebas dan damai,” ungkapnya.

    Peningkatan bantuan Jerman untuk pemerintah Suriah, yang dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda di Irak Ahmad al-Sharaa (yang dikenal dengan nama samaran Abu Mohammad al-Julani), dilakukan setelah kekerasan genosida yang menargetkan minoritas agama Alawite di negara tersebut.

    Pada tanggal 7 Maret, ribuan pria bersenjata yang berafiliasi dengan pasukan keamanan Sharaa mendatangi desa-desa dan kota-kota di wilayah pesisir Suriah, mendatangi rumah-rumah dan membantai warga Alawi, termasuk, terkadang, seluruh keluarga. 

    Angkatan bersenjata menjarah rumah-rumah berisi uang tunai dan emas sebelum membakarnya.

    Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), 1.557 warga sipil Alawi dibunuh dan dieksekusi oleh anggota Kementerian Dalam Negeri dan Pertahanan Suriah serta pasukan tambahan.

    “Seorang teman dari Banyas, Suriah mengirimi saya foto-foto ini yang diambil di luar gedung apartemennya. 1. diambil pada tanggal 9 Maret 2025 yang memperlihatkan mayat-mayat. 2. Yang kedua pada tanggal 10 Maret, memperlihatkan pembakaran mayat-mayat dan toko-toko” tulis Joshua Landis (@joshua_landis) 13 Maret 2025.

    Diplomat tertinggi Uni Eropa, Kaja Kallas, mengatakan pada hari Senin bahwa pembunuhan tersebut meningkatkan kebutuhan untuk mendukung pemerintahan baru Suriah dengan pendanaan dan keringanan sanksi.

    “Pecahnya kekerasan benar-benar mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa harapan di Suriah benar-benar tergantung pada seutas benang. Ini menunjukkan bahwa kita perlu berbuat lebih banyak untuk benar-benar menunjukkan bahwa Suriah bergerak ke arah yang benar,” tambahnya.

    Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan minggu lalu bahwa mereka berharap pendanaan tambahan akan membantu Suriah “membalikkan halaman” setelah 14 tahun perang.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Ramai ‘Boycott USA!’ Gegara Tarif Impor Trump

    Ramai ‘Boycott USA!’ Gegara Tarif Impor Trump

    Jakarta

    Negara-negara Skandinavia dan Kanada berada di garis depan tren internasional yang berkembang, di mana para konsumen meninggalkan produk-produk AS akibat keputusan Presiden Donald Trump mengenakan tarif impor tinggi pada berbagai produk dari negara-negara tertentu.

    Beberapa grup Facebook telah dibentuk dalam beberapa minggu terakhir untuk mengorganisir boikot dan kampanye. Salah satu grup asal Swedia bernama “Bojkotta varor fran USA” yang artinya “Boikot produk dari AS,” sudah memiliki hampir 80.000 anggota pada saat artikel ini ditulis.

    Grup ini menyatakan, tujuannya adalah untuk “melindungi demokrasi, kedaulatan, dan keamanan,” dan berharap boikot ini dapat memberikan tekanan pada pemerintahan Trump. Penggunaan platform Facebook dianggap sebagai “senjata terbaik.”

    Beberapa grup serupa di Kanada juga mulai bermunculan di Facebook, sementara grup Prancis bernama “BOYCOTT USA: Achetez Francais et Europeen!” — BOYCOTT USA: Beli produk Prancis dan Eropa! — telah memiliki lebih dari 20.000 anggota.

    Ada juga dukungan untuk sikap serupa di Jerman. Sebuah survei oleh kelompok riset Civey untuk surat kabar bisnis Handelsblatt menemukan bahwa 64% warga Jerman lebih memilih untuk menghindari produk AS, jika memungkinkan. Sebagian besar mengaku bahwa kebijakan Trump sudah mempengaruhi pilihan mereka saat berbelanja.

    Garritt van Dyk, seorang pengajar sejarah di Universitas Waikato di Selandia Baru, mengatakan bahwa aksi boikot yang dilakukan konsumen jadi populer dalam beberapa tahun terakhir karena orang-orang melihatnya sebagai pilihan tambahan selain memilih dalam pemilu untuk menyatakan pendapat politik.

    “Mungkin mereka memilih dengan harapan tertentu, tetapi kenyataannya berbeda, atau mereka tidak mendapatkan hasil yang mereka inginkan,” katanya kepada DW. “Mereka mencari cara lain untuk melaksanakan kewenangan mereka.”

    Penjualan mobil Tesla turun di tengah kemarahan terhadap Elon Musk

    Penjualan Tesla di Eropa anjlok pada bulan Januari, demikian menurut data dari Asosiasi Pabrikan Mobil Eropa, turun 45% dibandingkan periode yang sama pada 2024. Penjualan Tesla di Eropa turun sepanjang tahun 2024, dengan penurunan 13% di seluruh Uni Eropa.

    Van Dyk mengatakan boikot ini mulai populer di berbagai kalangan politik, dengan contoh boikot bir Bud Light di AS yang dimulai pada April 2023. Boikot ini terjadi sebagai respons terhadap kampanye iklan Bud Light yang dibintangi oleh seorang transgender, yang menyebabkan reaksi balik dari konservatif Amerika Serikat dan penurunan signifikan dalam penjualan bir tersebut. “Hal itu bisa datang dari arah mana saja,” kata van Dyk. “Ini bukan hanya alat progresif.”

    Kampanye ‘Beli (Produk) Kanada’ di tengah sentimen anti-Trump

    Sentimen menentang produk AS tampaknya sangat kuat di Kanada. Trump terus melanjutkan tarif 25% terhadap Kanada meskipun kedua negara adalah sekutu lama dan berbagi perbatasan sepanjang hampir 9.000 kilometer.

    Trump juga sering berbicara tentang menjadikan Kanada negara bagian ke-51 AS . Ia melakukannya dengan cara mengolok-olok perdana menteri Kanada yang habis masa jabatannya tahun ini, Justin Trudeau, sebagai “Gubernur Trudeau”, yang tampaknya dimaksudkan untuk merendahkan orang nomor satu di negara itu.

    Hal ini memicu reaksi keras dari masyarakat Kanada. Sentimen anti-Trump yang meningkat membuat Partai Liberal, yang sebelumnya dipimpin oleh Trudeau dan kini dipimpin oleh perdana menteri baru Mark Carney, meraih pemulihan dukungan dramatis dalam jajak pendapat. Pada awal 2025, mereka tertinggal 25% dari Partai Konservatif, tetapi sekarang mereka memimpin suara di banyak jajak pendapat.

    Sentimen ini semakin tercermin di kalangan konsumen. Dylan Lobo menjalankan situs web bernama “Made in CA,” yang bertujuan menyediakan direktori online produk-produk buatan Kanada. Dia mengatakan kepada majalah Business Insider bahwa situs webnya baru-baru ini mengalami lonjakan pengunjung.

    “Banyak patriotisme di negara ini,” katanya kepada majalah tersebut. “Ada perasaan membuncah bahwa orang Kanada ingin mendukung sesama orang Kanada.”

    Beberapa aplikasi bahkan muncul, seperti Buy Beaver dan Maple Scan, yang membantu pembeli mengidentifikasi produk AS saat berbelanja.

    Banyak bisnis Kanada juga mengambil tindakan dengan kampanye “Beli (produk) Kanada.” Di Ontario, Dewan Pengendalian Minuman Beralkohol provinsi itu mengumumkan akan berhenti memasok produk buatan AS seperti bourbon dan anggur di toko-tokonya. Provinsi lain, seperti British Columbia dan New Brunswick, juga melakukan tindakan serupa.

    Perdana Menteri Ontario Doug Ford juga membatalkan kontrak senilai CA$100 juta (sekitar US$69 juta) dengan Starlink, perusahaan telekomunikasi milik Elon Musk. “Ontario tidak akan melakukan bisnis dengan orang-orang yang bertekad menghancurkan ekonomi kami,” kata Ford di platform media sosial X.

    Proteksionisme AS memicu reaksi balik di Eropa

    Beberapa perusahaan Eropa juga mengambil tindakan terhadap perusahaan AS. Pengecer terbesar di Denmark, Salling Group, mengatakan akan memberi label bintang hitam pada produk-produk Eropa di toko-tokonya untuk membantu pelanggan mengenalinya. Perusahaan ini tetap akan menjual produk AS, tetapi CEO-nya, Anders Hagh, menulis di LinkedIn bahwa label baru ini merupakan “layanan tambahan bagi pelanggan yang ingin membeli barang dengan merek Eropa.”

    Sementara itu, beberapa perusahaan mengambil tindakan yang lebih tegas. Haltbakk Bunkers dari Norwegia, yang menyediakan minyak dan bahan bakar untuk kapal, baru-baru ini mengumumkan akan berhenti memasok bahan bakar untuk kapal-kapal Angkatan Laut AS.

    Di luar Eropa dan Kanada, banyak pemimpin bisnis menyadari potensi reaksi terhadap produk AS dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi bisnis mereka. Takeshi Niinami, CEO dari raksasa minuman Jepang Suntory Holdings — yang memiliki merek seperti Jim Beam — memperingatkan beberapa minggu setelah Trump kembali ke Gedung Putih bahwa merek AS akan menjadi sasaran konsumen internasional.

    “Kami sudah merencanakan strategi dan anggaran untuk 2025, dengan harapan produk-produk Amerika, termasuk wiski Amerika, akan lebih sulit diterima oleh negara-negara di luar AS karena pertama, tarif, dan kedua, emosi,” katanya kepada Financial Times.

    Hal ini menunjukkan bahwa boikot dan perilaku konsumen bisa mempengaruhi penjualan perusahaan AS di Kanada, Eropa, dan tempat lainnya, dengan data yang akan dirilis dalam beberapa bulan mendatang, di mana kemungkinannya akan diperhatikan secara seksama.

    Van Dyk mengatakan bahwa reaksi balik terhadap produk AS memiliki kemiripan dengan kampanye “freedom fries” yang terkenal pada tahun 2003, ketika oposisi Prancis terhadap invasi Irak menyebabkan penggantian nama kentang goreng menjadi “freedom fries” di beberapa bagian AS.

    “Ada kalanya di masa lalu di mana kita mendapatkan reaksi aneh seperti ini: ‘Kami tidak ingin itu menjadi bagian dari budaya kami lagi,’” katanya.

    Dia percaya bahwa kerusakan reputasi yang dialami oleh perusahaan dan produsen AS bisa sangat signifikan pada akhirnya. “Dari segi kerusakan pada merek dan reputasi, situasi ini bisa mempengaruhi karena di pasar yang penuh sesak, orang bisa membuat pilihan,” kata van Dyk.

    Seorang juru bicara untuk The European Consumer Organisation, yang mewakili kepentingan konsumen di seluruh Eropa, mengatakan bahwa mereka belum memiliki posisi terkait masalah boikot ini, dan mereka fokus pada “mempelajari bagaimana tarif akan mempengaruhi konsumen.”

    Dalam sebuah pernyataan kepada DW, organisasi ini juga mengatakan mereka bekerja sama dengan kelompok konsumen AS mengenai “bagaimana menjaga kerja sama transatlantik tetap berfungsi demi kepentingan konsumen.”

    Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris

    Lihat juga Video: Kebijakan Tarif Impor Trump Bikin Kanada Meradang

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Diingatkan Trump untuk Setop Dukung Houthi, Iran Ancam Lakukan Ini!

    Diingatkan Trump untuk Setop Dukung Houthi, Iran Ancam Lakukan Ini!

    Jakarta

    Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) mengancam akan memberikan respons “tegas” terhadap serangan apa pun. Ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan serangkaian serangan udara terhadap Houthi dan memperingatkan Teheran agar berhenti mendukung kelompok militan yang berbasis di Yaman tersebut.

    Sebelumnya pada hari Sabtu (15/3) lalu, Trump mengatakan Amerika Serikat telah meluncurkan “tindakan militer yang tegas dan kuat” untuk mengakhiri ancaman Houthi terhadap kapal-kapal pengiriman di Laut Merah. Trump juga memperingatkan agar dukungan Iran terhadap Houthi “harus segera diakhiri.” Seorang pejabat kesehatan Houthi mengatakan serangan AS tersebut telah menewaskan 31 orang.

    Dilansir Al Arabiya dan AFP, Senin (17/3/2025), dalam pidato yang disiarkan televisi pada hari Minggu (16/3), Kepala IRGC, Hossein Salami mengecam ancaman Trump tersebut, dengan menambahkan bahwa “Iran tidak akan berperang, tetapi jika ada yang mengancam, Iran akan memberikan respons yang tepat, tegas, dan konklusif.”

    Komandan tersebut menyebut Houthi sebagai “perwakilan Yaman,” dan menambahkan bahwa kelompok tersebut membuat “keputusan strategis dan operasional” secara independen.

    Sebelumnya pada bulan Januari 2020, selama masa jabatan pertama Trump sebagai presiden, militer AS menewaskan komandan pasukan operasi luar negeri IRGC, Qassem Soleimani, dalam serangan drone di Baghdad, ibu kota Irak.

    Beberapa hari kemudian, Iran membalas dengan menembakkan rudal ke pangkalan-pangkalan di Irak yang menampung pasukan Amerika dan pasukan koalisi lainnya. Tidak ada personel AS yang tewas, tetapi Washington mengatakan puluhan orang menderita cedera otak traumatis.

    Sebelumnya pada hari Minggu (16/3) lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baqaei “mengutuk keras serangan udara brutal oleh AS” dalam sebuah pernyataan, mengecamnya sebagai “pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB.”

    Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi kemudian mengatakan bahwa Washington “tidak memiliki wewenang” untuk mendikte kebijakan luar negeri Republik Islam tersebut.

    “Pemerintah Amerika Serikat tidak memiliki wewenang, atau urusan, untuk mendikte kebijakan luar negeri Iran,” kata Menlu Iran tersebut dalam postingan di media sosial X, sambil mendesak Amerika Serikat untuk menghentikan “pembunuhan orang-orang Yaman.”

    Araghchi mengatakan masa ketika Washington dapat mendikte kebijakan luar negeri Teheran berakhir pada tahun 1979, ketika revolusi Islam menggulingkan Shah yang didukung Barat.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Iran Tolak Perintah Trump, Tegaskan AS Tak Punya Hak Atur Kebijakan Otoritas Teheran  – Halaman all

    Iran Tolak Perintah Trump, Tegaskan AS Tak Punya Hak Atur Kebijakan Otoritas Teheran  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM –  Pemerintah Iran menegaskan, Amerika Serikat tidak memiliki wewenang apapun untuk mengatur kebijakan luar negeri Iran.

    “AS tidak memiliki wewenang, atau urusan, yang mendikte kebijakan luar negeri Iran,” tegas Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, sebagaimana dikutip dari BBC International.

    Dalam cuitannya di media sosial X, Araghchi juga mendesak agar pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump menghentikan pembunuhan terhadap rakyat Yaman.

    “Akhiri dukungan terhadap genosida dan terorisme Israel. Hentikan pembunuhan terhadap warga Yaman,” imbuh Araghchi.

    Pernyataan ini, dilontarkan Araghchi tepat setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan militernya untuk menyerang ibu kota Yaman, Sanaa, pada Sabtu (15/3/2025). 

    Pasca perintah dirilis, sejumlah jet tempur AS tampak lepas landas dari kapal induk menuju ke beberapa wilayah di Yaman, termasuk ibu kota Sanaa.

    Tak hanya di ibu kota Sanna, serangan dilakukan militer AS ke sejumlah wilayah Yaman lainnya, seperti Provinsi utara Saada dan Hajjah, menewaskan setidaknya 10 orang.

    Sementara saluran TV lokal, Al-Masirah TV melaporkan, empat serangan udara dilakukan AS dengan menargetkan permukiman Shoab di Sanaa timur, serta Provinsi tengah Bayda, Marib, Dhamar, dan Provinsi barat daya Taiz.

    Imbas serangan ini,sebanyak 31 warga sipil Yaman dilaporkan tewas, sementara 50 orang lainnya dilaporkan luka-luka pada akhir pekan ini.

    “Mereka telah melancarkan kampanye pembajakan, kekerasan, dan terorisme yang tak henti-hentinya terhadap kapal, pesawat, dan pesawat nirawak Amerika, dan lainnya.” tegas Trump di X.

    Kedekatan Iran dan Houthi

    Presiden AS, Donald Trump, mengatakan serangan tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas aksi balasan atas tindakan Houthi terhadap kapal-kapal yang berlayar melalui Terusan Suez dan Laut Merah selatan.

    Namun serangan tersebut memicu kecaman, termasuk pemerintah Iran yang merupakan sekutu dekat Houthi.

    Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan pemerintah AS tidak memiliki wewenang, atau urusan, yang mendikte kebijakan luar negeri Iran, termasuk memutuskan hubungan Iran dengan Houthi.

    Hubungan antara Iran dan Houthi di Yaman sejak dulu terjalin cukup dekat

    Kedekatan ini bahkan membuat Iran aktif memberikan dukungan politik, militer, dan logistik kepada kelompok Houthi. 

    Kedekatan antara Iran dan Houthi terjalin lantaran Iran, yang merupakan negara mayoritas Syiah yang memiliki kesamaan ideologi dan agama dengan Houthi.

    Selain itu, Iran melihat Houthi sebagai bagian dari strategi lebih luas untuk membangun sekutu di kawasan yang lebih luas,.

    Termasuk di Irak, Suriah, dan Lebanon, melalui apa yang sering disebut sebagai “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance) yang melawan pengaruh Barat dan sekutunya, seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya.

    Atas dasar ini, Iran diduga memberikan dukungan berupa pasokan senjata, pelatihan militer, dan bantuan logistik kepada Houthi. 

    Meskipun Iran membantah terlibat langsung dalam pemberontakan Houthi, banyak negara, termasuk Arab Saudi dan negara-negara Barat, yang menganggap Iran sebagai pendukung utama Houthi.

    Bahkan, sejumlah analis menyebut, Iran secara diam-diam memberikan pasokan senjata kepada Houthi, termasuk roket, rudal balistik, dan senjata api.

    Iran turut diduga memberikan teknologi dan dukungan terkait pembuatan rudal balistik dan drone, yang kemudian digunakan oleh Houthi untuk menyerang target di dalam Yaman dan negara-negara tetangga, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).

    Lebih lanjut, Iran diduga memberikan pelatihan kepada pejuang Houthi dalam taktik tempur, penggunaan senjata berat, dan pembuatan senjata. 

    Adapun pelatihan ini kemungkinan dilakukan oleh pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) atau pasukan militer lainnya yang memiliki pengalaman dalam konflik di kawasan Timur Tengah.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Tradisi Unik Ramadan di Berbagai Negara, dari Nyekar hingga Mheibes!

    Tradisi Unik Ramadan di Berbagai Negara, dari Nyekar hingga Mheibes!

    Jakarta: Ramadan tidak hanya identik dengan ibadah puasa dan berbuka bersama, tetapi juga dipenuhi oleh beragam tradisi unik di berbagai belahan dunia. 
     
    Dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, setiap negara memiliki cara tersendiri untuk menyambut dan menjalani bulan suci ini. 
     
    Ada yang berbagi permen seperti di Uni Emirat Arab, ada pula yang mengunjungi makam leluhur seperti di Indonesia. 

    Setiap tradisi ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, refleksi, dan spiritualitas yang khas di bulan Ramadan.
     
    Berikut beberapa tradisi unik dari berbagai negara saat Ramadan, seperti dirangkum dari The National News.
     

    Tradisi unik Ramadan di berbagai negara

    1. Haq Al Laila – Tradisi Berbagi di UEA

    Di Uni Emirat Arab, anak-anak merayakan Haq Al Laila, sebuah tradisi yang dilakukan 15 hari sebelum Ramadan. Mereka mengenakan pakaian tradisional dan membawa tas anyaman berwarna-warni untuk mengumpulkan permen dan kacang-kacangan dari rumah ke rumah. Tradisi ini sering disebut sebagai “versi Timur Tengah dari trick-or-treat Halloween.”
     
    Menurut sejarawan budaya Islam, tradisi ini mungkin berasal dari kisah Fatima, putri Nabi Muhammad, yang membagikan manisan kepada orang-orang menjelang Ramadan. “Tradisi ini tidak hanya menyenangkan bagi anak-anak, tetapi juga mengajarkan pentingnya berbagi,” kata seorang ahli sejarah Timur Tengah.

    2. Gargee’an dan Qaranqasho – Perayaan di Teluk Arab

    Di beberapa negara Teluk seperti Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Irak, ada tradisi Gargee’an yang dirayakan pada malam ke-15 Ramadan. Anak-anak berpakaian cerah, bernyanyi, dan menerima hadiah manisan dari tetangga.
     
    Di Qatar, tradisi ini disebut Garangao, sementara di Oman dikenal dengan nama Qaranqasho. Di Bahrain, perayaan ini bahkan diadakan dalam bentuk karnaval dengan berbagai pertunjukan budaya.

    3. Nyekar – Tradisi Ziarah Kubur di Indonesia

    Di Indonesia, menjelang Ramadan, banyak orang melakukan nyekar, yaitu ziarah ke makam leluhur untuk membersihkan makam dan mendoakan keluarga yang telah meninggal. Tradisi ini mencerminkan nilai penghormatan terhadap leluhur dan memperkuat ikatan keluarga sebelum memasuki bulan suci.
     
    “Nyekar bukan hanya tentang mengenang yang telah tiada, tetapi juga sebagai refleksi diri agar lebih siap secara spiritual menyambut Ramadan,” ujar seorang budayawan Indonesia.

    4. Padusan – Ritual Mandi Suci di Jawa

    Di beberapa daerah di Jawa, umat Muslim menjalankan tradisi Padusan, yaitu mandi di mata air sebelum Ramadan untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan ritual mandi dalam agama Hindu dan Buddha, yang telah lama menjadi bagian dari budaya Jawa sebelum Islam datang.
     
    Menurut seorang antropolog, “Padusan adalah bentuk penyucian diri yang menghubungkan kepercayaan lokal dengan nilai-nilai Islam.”

    5. Mheibes – Permainan Cincin di Irak

    Di Irak, setelah berbuka puasa, masyarakat kerap memainkan Mheibes, permainan tradisional yang melibatkan dua tim besar. Salah satu tim menyembunyikan cincin di tangan salah satu pemainnya, sementara tim lawan harus menebak siapa yang menyimpannya.
     
    Mheibes bukan sekadar permainan, tetapi juga ajang mempererat silaturahmi antarwarga. “Permainan ini melatih kejelian membaca ekspresi orang lain, sekaligus memperkuat kebersamaan selama Ramadan,” ujar seorang sejarawan Irak.
     
    Ramadan, Bulan Penuh Tradisi dan Makna
    Setiap negara memiliki cara unik dalam menyambut Ramadan, mencerminkan keanekaragaman budaya Islam di seluruh dunia. Dari berbagi permen di UEA, ziarah kubur di Indonesia, hingga permainan Mheibes di Irak, semua tradisi ini memiliki satu benang merah: semangat kebersamaan, refleksi, dan kebahagiaan di bulan suci.
     
    Bagaimana dengan tradisi Ramadan di daerahmu?
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • PBB Rilis Laporan soal Genosida Israel di Gaza: Hamas Sambut, Israel Sebutnya Fitnah – Halaman all

    PBB Rilis Laporan soal Genosida Israel di Gaza: Hamas Sambut, Israel Sebutnya Fitnah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Komisi Penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini merilis laporan yang menetapkan bahwa Israel melakukan tindakan genosida terhadap warga Palestina selama perang 7 Oktober.

    Laporan PBB itu mencatat tentara Israel menggunakan kekerasan seksual sebagai bagian dari prosedur operasi standar dalam perlakuan mereka terhadap warga Palestina.

    Komisi Penyelidikan Internasional Independen, yang mencakup wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur dan Israel.

    Dalam laporannya, mereka mengonfirmasi Israel melakukan tindakan genosida dengan menghancurkan fasilitas perawatan kesehatan untuk wanita di Gaza.

    Laporan tersebut menyebutkan bahwa kekerasan seksual, termasuk pemaksaan menelanjangi di depan umum dan ancaman pemerkosaan, menjadi bagian dari taktik Israel yang digunakan dalam serangan mereka terhadap warga Palestina.

    Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh pemukim Israel di Tepi Barat digunakan sebagai cara untuk menakut-nakuti dan mengusir komunitas Palestina dari tanah mereka.

    Dikutip dari The Cradle, pejuang Hamas menyambut baik laporan tersebut.

    Hamas menyatakan bahwa laporan PBB “mengonfirmasi kekejaman” yang dilakukan oleh tentara Israel yang didukung oleh negara-negara Barat.

    “Laporan PBB menyoroti pengabaian dan penyangkalan masyarakat internasional terhadap kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina,” terang pernyataan yang dirilis Hamas pada Kamis (13/3/2025).

    Kelompok tersebut pun menyerukan agar masyarakat internasional mengambil sikap yang serius untuk mengatasi situasi ini.

    Pihak Israel pun merespon laporan PBB ini.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah laporan tersebut.

    Netanyahu menyebut PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia sebagai “antisemit” dan “dewan hak berdarah.”

    PM Israel itu menyebut PBB sebagai “organisasi busuk” yang mendukung terorisme.

    Netanyahu lantas menegaskan bahwa Israel memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut.

    Tanggapan lain datang dari Kementerian Luar Negeri Israel juga mengecam laporan PBB itu.

    Kementerian menyebutnya sebagai “salah satu pencemaran nama baik darah terburuk di dunia.”

    Bantuan Makanan ke Gaza Terhambat, Kekurangan Pangan Meningkat

    Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa mereka tidak dapat mengirimkan bantuan makanan ke Gaza sejak 2 Maret akibat penutupan semua titik penyeberangan oleh Israel.

    Penutupan ini menghentikan pasokan kemanusiaan dan komersial ke wilayah tersebut.
    Stok makanan yang ada di Gaza saat ini hanya cukup untuk mendukung dapur dan toko roti aktif selama satu bulan.

    Paket makanan siap saji yang ada bisa mendukung sekitar 550.000 orang selama dua minggu, Al Jazeera melaporkan.

    Kondisi ini semakin mengkhawatirkan, terutama di Tepi Barat yang juga mengalami kekurangan pangan.

    Kekurangan pangan di Tepi Barat dipengaruhi oleh aktivitas militer, pengungsian dan pembatasan pergerakan yang mengganggu pasar dan akses terhadap makanan.

    WFP menyebutkan bahwa gangguan yang terjadi, ditambah dengan kondisi ekonomi yang memburuk dalam setahun terakhir, telah menyebabkan tekanan pada harga pangan.

    Meningkatnya pengungsian dan pengangguran juga membuat bahan makanan pokok semakin tidak terjangkau bagi banyak keluarga.

    Laporan ini dilansir dari sumber resmi WFP dan menggambarkan situasi kemanusiaan yang semakin buruk di Gaza dan wilayah pendudukan Palestina.

    Trump Tower Diserbu Demonstran, Tuntut Pembebasan Mahmoud Khalil

    Puluhan pengunjuk rasa ditangkap setelah mereka menyerbu Trump Tower di New York City pada Kamis (13/3/2025) untuk menuntut pembebasan Mahmoud Khalil.

    Khalil, seorang penduduk tetap Amerika Serikat, ditahan oleh imigrasi AS setelah terlibat dalam protes damai pro-Palestina tahun lalu.

    Meskipun ia merupakan penduduk tetap, pemerintahan Presiden Donald Trump mengancam untuk mendeportasinya.

    Aksi protes ini menarik perhatian publik dan menjadi sorotan di tengah ketegangan politik dan sosial yang sedang berlangsung.

    Peran Inggris dalam Perang Gaza

    Tujuh anggota parlemen Inggris, termasuk Jeremy Corbyn, mantan pemimpin Partai Buruh, dan Carla Denyer, pemimpin Partai Hijau, menuntut penyelidikan publik independen mengenai keterlibatan Inggris dalam serangan militer Israel di Gaza.

    Dalam tajuk rencana yang diterbitkan di surat kabar The Guardian, para legislator mengingatkan tentang penyelidikan perang Irak yang mengungkap kegagalan serius dalam pemerintahan Inggris.

    Mereka mengkritik keputusan pemerintah yang mengabaikan peringatan jutaan orang terhadap keputusan berperang.

    Mereka juga berpendapat bahwa Inggris memainkan peran penting dalam operasi militer Israel melalui penjualan senjata, penyediaan intelijen, dan penggunaan pangkalan Angkatan Udara Kerajaan di Siprus.

    Para anggota parlemen menyebutkan bahwa surat perintah penangkapan untuk pemimpin Israel dikeluarkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Banyak pihak di Inggris percaya pemerintah terlibat dalam pelanggaran hukum internasional yang serius.

    Mereka menegaskan bahwa tuduhan ini tidak akan hilang tanpa ada penyelidikan dengan kekuatan hukum untuk mengungkap kebenaran.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Irak Klaim Bunuh Pimpinan ISIS Abu Khadija

    Irak Klaim Bunuh Pimpinan ISIS Abu Khadija

    Jakarta

    Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani mengatakan pasukannya berhasil membunuh pemimpin ISIS Abdullah Makki Muslih al-Rufay’i yang juga dikenal sebagai Abu Khadija. Dia mengatakan Abu Kadija adalah salah satu teroris yang paling berbahaya di Irak dan dunia.

    “Para Pahlawan Intelijen Nasional Irak, dengan dukungan dan koordinasi dari Komando Operasi Gabungan dan Pasukan Koalisi Internasional, berhasil melenyapkan teroris Abdullah Makki Muslih al-Rufay’i, yang dikenal sebagai (Abu Khadija),” kata Mohammed Shia al-Sudani dalam unggahan di X-nya, seperti dilihat Jumat (14/3/2025).

    Dilansir Reuters, PM Irak mengatakan Abu Khadija telah dibunuh oleh pasukan keamanan Irak, dengan dukungan dari koalisi pimpinan AS yang memerangi ISIS.

    Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State of Iraq (ISIS) diketahui memberlakukan aturan garis keras Islam atas jutaan orang di Suriah dan Irak selama bertahun-tahun. ISIS juga telah mencoba untuk bangkit kembali di Timur Tengah, Barat, dan Asia.

    Mantan pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahan atas seperempat wilayah Irak dan Suriah pada tahun 2014 sebelum ia terbunuh dalam serangan oleh pasukan khusus AS di Suriah barat laut pada tahun 2019 saat kelompok itu runtuh.

    Pada Juli tahun lalu, Komando Pusat AS mengatakan bahwa ISIS berusaha untuk membangun kembali setelah beberapa tahun mengalami penurunan kemampuan. Penilaian Komando Pusat AS itu berdasarkan klaim ISIS yang telah melancarkan 153 serangan di Irak dan Suriah pada paruh pertama tahun 2024. Angka ini akan menempatkan ISIS pada kecepatan untuk menggandakan jumlah serangan dari tahun sebelumnya.

    Lihat juga Video ‘Momen Warga Irak Bersukacita Sambut Serangan Iran ke Israel’:

    (lir/dek)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu