Negara: Irak

  • Rencana Serangan ke Yaman Bocor, Anggota Parlemen AS Minta Menhan Hegseth Dicopot dari Jabatannya

    Rencana Serangan ke Yaman Bocor, Anggota Parlemen AS Minta Menhan Hegseth Dicopot dari Jabatannya

    JAKARTA – Anggota parlemen Amerika Serikat mengkritik kabar Menteri Pertahanan Amerika Serikat Pete Hegseth membagikan informasi penting mengenai pertahanan dan militer, terkait rencana serangan ke Yaman pada Bulan Maret lalu.

    Anggota parlemen dari Partai Demokrat mengatakan Menhan Hegseth tidak dapat lagi mempertahankan jabatannya.

    “Kami terus belajar bagaimana Pete Hegseth membahayakan nyawa,” kata Pemimpin Minoritas Senat Chuck Schumer dalam cuitan di X, melansir Reuters 21 April

    “Tetapi Trump masih terlalu lemah untuk memecatnya. Pete Hegseth harus dipecat,” lanjutnya.

    Sedangkan senator Tammy Duckworth, veteran Perang Irak yang menderita luka parah dalam pertempuran pada tahun 2004, mengatakan Hegseth “harus mengundurkan diri karena malu.”

    Seorang pejabat AS di Pentagon mempertanyakan bagaimana Hegseth dapat mempertahankan pekerjaannya setelah berita terbaru tersebut.

    Hegseth berbagi rincian serangan Maret terhadap Houthi Yaman yang bersekutu dengan Iran dalam sebuah grup pesan yang mencakup istri, saudara laki-laki hingga pengacara pribadinya, kata seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut kepada Reuters pada Hari Minggu.

    Pengungkapan obrolan di aplikasi Signal untuk kali kedua menimbulkan lebih banyak pertanyaan tentang penggunaan sistem pesan yang tidak dirahasiakan oleh Menhan Hegseth untuk berbagi rincian keamanan yang sangat sensitif, terjadi pada saat yang sangat sensitif baginya, dengan pejabat senior yang dipecat dari Pentagon minggu lalu sebagai bagian dari penyelidikan kebocoran internal.

    Dalam obrolan terbaru, Menhan Hegseth berbagi rincian serangan yang mirip dengan yang diungkapkan bulan lalu oleh majalah The Atlantic setelah pemimpin redaksinya, Jeffrey Goldberg, dimasukkan dalam obrolan terpisah di aplikasi Signal secara tidak sengaja, dalam insiden memalukan yang melibatkan semua pejabat keamanan nasional paling senior Presiden Donald Trump.

    Sumber yang mengetahui masalah tersebut berbicara dengan syarat anonim mengatakan, obrolan kali ini melibatkan sekitar selusin orang dan dibuat selama proses konfirmasinya untuk membahas masalah administratif, alih-alih perencanaan militer yang terperinci.

    Obrolan tersebut mencakup rincian jadwal serangan udara, kata sumber tersebut.

    Juru bicara Pentagon Sean Parnell, tanpa bukti, mengatakan media “dengan antusias mengambil keluhan mantan karyawan yang tidak puas sebagai satu-satunya sumber untuk artikel mereka.”

    “Media yang membenci Trump terus terobsesi untuk menghancurkan siapa pun yang berkomitmen pada agenda Presiden Trump. Kami telah mencapai begitu banyak hal untuk pejuang perang Amerika, dan tidak akan pernah mundur,” kata Parnell dalam cuitan di X.

    Sementara itu, juru bicara Gedung Putih Anna Kelly mengatakan “para ‘pembocor’ yang baru-baru ini dipecat terus memutarbalikkan kebenaran untuk menenangkan ego mereka yang hancur dan merusak agenda Presiden.

    Pengungkapan terbaru tersebut muncul beberapa hari setelah Dan Caldwell, salah satu penasihat utama Hegseth, dikawal dari Pentagon setelah diidentifikasi selama penyelidikan kebocoran di Departemen Pertahanan.

    Meskipun Caldwell tidak setenar pejabat senior Pentagon lainnya, ia telah memainkan peran penting bagi Hegseth dan ditunjuk sebagai orang penting Pentagon oleh Sekretaris dalam obrolan Signal pertama.

    “Kami sangat kecewa dengan cara di mana layanan kami di Departemen Pertahanan berakhir,” cuit Caldwell di X pada Hari Sabtu.

    “Pejabat Pentagon yang tidak disebutkan namanya telah memfitnah karakter kami dengan serangan yang tidak berdasar saat kami keluar dari kantor,” lanjutnya.

    Setelah kepergian Caldwell, pejabat yang kurang senior Darin Selnick, yang baru-baru ini menjadi wakil kepala staf Hegseth, dan Colin Carroll, yang merupakan kepala staf Wakil Menteri Pertahanan Steve Feinberg, diberi cuti administratif dan dipecat pada Hari Jumat.

  • Menhan AS Bocorkan Rencana Serangan ke Yaman di Grup Pribadi Keluarga – Halaman all

    Menhan AS Bocorkan Rencana Serangan ke Yaman di Grup Pribadi Keluarga – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, dilaporkan telah membocorkan informasi sensitif mengenai rencana serangan udara AS di Yaman kepada keluarga melalui aplikasi pesan terenkripsi Signal.

    Berdasarkan laporan CBS, pesan yang berisi jadwal penerbangan pesawat tempur F/A-18 Hornet yang akan menyerang target-target Houthi itu dikirim pada 15 Maret lalu. 

    Pesan-pesan tersebut dikirim kepada grup yang terdiri dari istri, saudara laki-laki, dan pengacara pribadi Hegseth

    Grup yang dimaksud, yang bernama ‘Defense | Team Huddle’ merupakan grup yang dibuat oleh Hegseth, dan melibatkan belasan orang, dikutip dari BBC.

    Meskipun sebagian besar anggota grup adalah orang-orang terdekat Hegseth, termasuk saudara laki-lakinya Phil dan pengacaranya Tim Parlatore yang memiliki jabatan di Departemen Pertahanan, tidak jelas mengapa mereka perlu mendapatkan informasi yang sangat sensitif ini.

    Obrolan Signal ini merupakan tambahan dari obrolan yang digunakan Hegseth untuk berkomunikasi dengan pejabat Kabinet bulan lalu tentang rencana militer. 

    Obrolan tersebut sedang diselidiki oleh inspektur jenderal sementara Departemen Pertahanan.

    “Mirip dengan obrolan Signal pertama , yang diungkapkan ke publik oleh The Atlantic setelah editornya secara keliru dimasukkan oleh penasihat keamanan nasional Mike Waltz, rencana militer yang dibagikan Hegseth dalam obrolan kedua adalah tentang serangan terhadap Houthi, kata sumber tersebut.

    Sebelumnya, grup lain yang juga berisi obrolan tentang operasi militer AS di Yaman sudah terungkap ke publik.

    Grup pertama tersebut diungkap oleh Jeffrey Goldberg, editor majalah Atlantic, yang secara tidak sengaja dimasukkan dalam grup itu. 

    Walaupun Gedung Putih membantah bahwa informasi rahasia dibagikan dalam kedua grup ini, para kritikus termasuk mantan pejabat pertahanan AS, menganggap tindakan ini sangat berisiko.

    Hal ini terjadi karena informasi tersebut dapat membahayakan personel AS yang terlibat dalam operasi militer tersebut.

    Kekacauan di Pentagon

    Situasi ini muncul di tengah berbagai kebocoran lainnya yang mengguncang Pentagon. 

    Hegseth baru-baru ini memecat tiga pejabat senior Pentagon, termasuk Dan Caldwell, Darin Selnick, dan Colin Carroll, yang terlibat dalam kebocoran yang menyulitkan posisi Hegseth. 

    Pemecatan ini, yang dikaitkan dengan dugaan kebocoran informasi rahasia, menambah ketegangan di tubuh Pentagon, yang tengah dilanda kekacauan internal. 

    Caldwell, Selnick, dan Carroll menulis dalam pernyataan bersama pada hari Sabtu bahwa mereka “sangat kecewa dengan cara layanan kami di Departemen Pertahanan berakhir” dan membantah telah membocorkan informasi.

    “Pejabat Pentagon yang tidak disebutkan namanya telah memfitnah karakter kami dengan serangan yang tidak berdasar saat kami keluar dari kantor. Kami bertiga mengabdi kepada negara dengan terhormat dengan seragam bagi dua dari kami, ini termasuk penempatan di perang di Irak dan Afghanistan,” kata ketiganya, dikutip dari CNN.

    “Dan, berdasarkan layanan kolektif kami, kami memahami pentingnya keamanan informasi dan bekerja setiap hari untuk melindunginya,” tulis mereka. Saat ini, kami masih belum diberi tahu apa sebenarnya yang kami selidiki, apakah masih ada penyelidikan yang sedang berlangsung, atau apakah memang ada penyelidikan nyata tentang ‘kebocoran’ sejak awal,” tambahnya.

    Mantan juru bicara Pentagon, John Ullyot, yang mengundurkan diri, bahkan menyebut Departemen Pertahanan dalam ‘kekacauan total’ dan mengkritik pengelolaan Hegseth yang dinilai tidak efektif.

    Beberapa pejabat mengungkapkan bahwa masalah ini semakin memperburuk ketegangan internal di Pentagon dan merusak efektivitas operasional yang sedang berlangsung, termasuk serangan udara AS di Yaman yang baru-baru ini menewaskan puluhan orang.

    Serangan udara AS yang menargetkan terminal minyak di Yaman pada minggu ini telah menimbulkan banyak korban, dengan sedikitnya 74 orang tewas dan 171 lainnya terluka.

    Pemerintah Houthi, yang menguasai wilayah yang diserang, menyebut serangan tersebut sebagai ‘kejahatan perang.’

    Sementara itu, Hegseth tetap berada dalam sorotan, meskipun juru bicara Pentagon, Sean Parnell, menegaskan bahwa tidak ada informasi rahasia yang dibagikan dalam percakapan di grup Signal.

    Kontroversi ini menunjukkan tidak hanya kebocoran informasi yang meresahkan.

    Tetapi juga ketegangan yang semakin meningkat di kalangan pejabat senior Pentagon, yang tampaknya lebih terfokus pada pertikaian internal ketimbang menjalankan tugas operasional yang vital. 

    (Tribunnews.com/Farrah)

    Artikel Lain Terkait Pete Hegseth dan Yaman

  • AS Pangkas Pasukan, 1.000 Tentara Akan Ditarik Pulang dari Suriah

    AS Pangkas Pasukan, 1.000 Tentara Akan Ditarik Pulang dari Suriah

    Damaskus

    Amerika Serikat (AS) akan memangkas sekitar separuh dari jumlah total pasukan militer yang telah dikerahkan ke wilayah Suriah beberapa tahun terakhir. Sedikitnya 1.000 tentara AS akan ditarik pulang dari Suriah dalam beberapa bulan ke depan.

    Washington menempatkan pasukannya di Suriah selama bertahun-tahun sebagai bagian upaya internasional melawan kelompok radikal Islamic State (ISIS), yang bangkit dari kekacauan perang saudara di negara tersebut untuk merebut sebagian besar wilayah di sana dan di negara tetangga Irak lebih dari satu dekade lalu.

    ISIS telah menderita kekalahan besar di Suriah dan Irak, namun masih menjadi ancaman hingga kini.

    Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, seperti dilansir AFP, Sabtu (19/4/2025), mengumumkan rencana penarikan 1.000 tentara AS dari Suriah dalam beberapa bulan ke depan.

    “Hari ini, Menteri Pertahanan mengarahkan konsolidasi pasukan AS di Suriah… ke lokasi-lokasi tertentu,” ucap Parnell dalam pernyataannya pada Jumat (18/4) waktu setempat. Dia tidak menyebutkan lebih lanjut soal lokasi yang menjadi tempat konsolidasi tersebut.

    “Proses yang disengaja dan berdasarkan kondisi ini akan mengurangi kehadiran AS di Suriah menjadi kurang dari 1.000 tentara AS dalam beberapa bulan mendatang,” sebutnya.

    “Seiring berlangsungnya konsolidasi ini, konsisten dengan komitmen Presiden (Donald) Trump terhadap perdamaian melalui kekuatan, Komando Pusat AS akan tetap siap untuk melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa (ISIS) di Suriah,” imbuh Parnell, merujuk pada komando militer AS yang bertanggung jawab atas wilayah itu.

    Serangan gencar ISIS pada tahun 2014 mendorong operasi serangan udara yang dipimpin AS untuk mendukung pasukan darat setempat — terutama unit pasukan pemerintah Irak yang dipelopori pasukan operasi khusus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin milisi Kurdi.

    Washington juga mengerahkan ribuan tentaranya untuk memberikan nasihat dan membantu pasukan setempat, dengan pasukan AS dalam beberapa kasus secara langsung memerangi ISIS.

    Setelah bertahun-tahun menjalani perang berdarah, Perdana Menteri (PM) Irak mengumumkan kemenangan atas ISIS pada Desember 2017, sedangkan SDF mengumumkan kekalahan ISIS di Suriah pada Maret 2019 setelah mereka berhasil merebut benteng terakhir militan itu.

    Namun para militan ISIS masih memiliki beberapa pertempur yang tersisa di area pinggiran kedua negara, dan pasukan AS telah sejak lama melancarkan serangan secara berkala guna membantu mencegah kebangkitan ISIS.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Mengapa AS Mengurangi Pasukan di Suriah? – Halaman all

    Mengapa AS Mengurangi Pasukan di Suriah? – Halaman all

    Militer Amerika Serikat (AS) sedang menjalani proses penarikan ratusan tentaranya dari Suriah.

    Langkah ini dijelaskan oleh Pentagon sebagai konsolidasi pasukan yang mencerminkan perubahan situasi keamanan di wilayah tersebut.

    Seperti apa rincian dari proses ini dan apa yang menjadi faktor pendorongnya?

    Apa yang Menjadi Dasar Penarikan Pasukan AS dari Suriah?

    Pernyataan dari Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, mengungkapkan bahwa konsolidasi pasukan ini dilakukan berdasarkan pengakuan keberhasilan AS dalam melawan ISIS. “Proses ini akan dilakukan secara bertahap dan berbasis kondisi,” katanya, sambil menyebut bahwa jumlah pasukan AS di Suriah akan dikurangi menjadi kurang dari 1.000 orang dalam beberapa bulan ke depan.

    Keputusan ini mengingatkan pada upaya penarikan total pasukan oleh mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2018, yang juga diiringi dengan protes dari kalangan petinggi militer saat itu.

    Seberapa Banyak Pasukan yang Ditarik dan Dimana?

    The New York Times melaporkan bahwa AS akan menutup tiga dari delapan pos militernya di timur laut Suriah.

    Sekitar 600 personel diperkirakan akan ditarik dari beberapa lokasi, termasuk Mission Support Site Green Village dan fasilitas kecil lainnya.

    Ironisnya, meskipun proses penarikan sedang berlangsung, pemerintahan Biden sebelumnya justru menambah jumlah pasukan menjadi sekitar 2.000 orang di Suriah pada bulan Desember 2024.

    Peningkatan ini bertujuan untuk menghadapi ancaman dari ISIS dan milisi pro-Iran yang semakin aktif.

    Kenapa Jumlah Pasukan AS di Suriah Kembali ke Angka 900?

    Dengan pengurangan ini, jumlah pasukan AS akan kembali ke kisaran 900, angka yang sama yang dipertahankan setelah kekalahan ISIS pada tahun 2019.

    Pasukan ini tetap ditugaskan untuk memburu sisa-sisa ISIS, menahan kelompok pro-Iran, serta mencegah serangan dari Turki terhadap Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi oleh Kurdi.

    Pentagon meyakinkan bahwa konsolidasi pasukan ini masih memungkinkan AS untuk menekan aktivitas ISIS dan merespons ancaman teroris lainnya.

    Namun, situasi lapangan menunjukkan peningkatan aktivitas militan, dengan ISIS mengeklaim 294 serangan di Suriah pada tahun 2024, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 121 serangan.

    Bagaimana dengan Ancaman Lain yang Dihadapi AS di Wilayah Tersebut?

    AS juga menghadapi tekanan dari milisi pro-Iran.

    Sebuah insiden tragis terjadi pada Januari 2024, ketika tiga tentara AS tewas dalam serangan drone di Yordania.

    Sejak tahun 2014, AS memimpin koalisi internasional dalam upaya melawan ISIS, mendukung pasukan lokal di Irak dan Suriah, termasuk SDF.

    Walaupun kekhalifahan ISIS sudah runtuh, kelompok ini masih aktif di wilayah pedesaan yang terpencil, dan AS terus melancarkan operasi militer untuk menggagalkan potensi kebangkitan kelompok ini.

    Selain itu, perhatian militer AS juga mulai beralih ke Yaman, di mana kelompok Houthi menyerang jalur pelayaran internasional.

    Apa yang Terjadi di Irak?

    Sementara itu, Irak juga berupaya mengakhiri kehadiran koalisi pimpinan AS di wilayahnya.

    Kesepakatan antara Washington dan Baghdad menyatakan bahwa misi militer AS di Irak akan berakhir pada akhir 2025, dan di wilayah Kurdistan pada September 2026.

    Dengan semua dinamika ini, pertanyaan yang muncul adalah:

    Akankah AS benar-benar mengangkat kaki sepenuhnya dari Suriah?

    Atau akankah kehadiran militer AS tetap ada dalam bentuk yang berbeda untuk menghadapi tantangan baru yang muncul di wilayah tersebut?

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Pentagon Tarik 1000 Tentara dari Suriah: Ini Alasannya – Halaman all

    Pentagon Tarik 1000 Tentara dari Suriah: Ini Alasannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pentagon, yang merupakan badan pertahanan Amerika Serikat, baru-baru ini mengumumkan keputusan untuk menarik sekitar 1000 tentara dari Suriah.

    Keputusan ini tidak hanya mengubah jumlah total pasukan di lapangan tetapi juga mencerminkan perubahan strategi militer AS di wilayah yang telah menjadi fokus selama satu dekade terakhir.

    Mengapa Pentagon Mengurangi Pasukan di Suriah?

    Pada Jumat, 18 April 2025, Pentagon menginformasikan bahwa mereka akan memangkas hampir setengah dari total personel mereka yang sebelumnya berjumlah sekitar 2000.

    Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, menjelaskan bahwa proses penarikan akan dilakukan secara bertahap dan berdasarkan kondisi di lapangan.

    Walaupun tidak disebutkan lokasi spesifik, Parnell menyatakan bahwa pasukan akan dipusatkan di beberapa titik strategis.

    Apa Dampak dari Penarikan ini?

    Langkah ini menandai pergeseran signifikan dalam strategi militer Washington, terutama dalam perang melawan kelompok teroris Negara Islam (ISIS) yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Meskipun kekuatan ISIS telah berkurang sejak 2019, sisa-sisa militannya masih aktif, terutama di daerah pedesaan, dan sering kali melancarkan serangan sporadis.

    Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, juga mengungkapkan pandangannya tentang keterlibatan militer AS di Suriah.

    Dalam sebuah pernyataan di platform Truth Social pada Desember lalu, Trump menegaskan, “Suriah memang kacau, tetapi bukan teman kita dan Amerika Serikat tidak boleh bergabung dengannya; ini bukan perjuangan kita.” Pernyataan ini menggambarkan perubahan arah kebijakan luar negeri AS yang lebih fokus pada isu domestik dan pengurangan keterlibatan militer di luar negeri.

    Bagaimana Situasi Politik dan Keamanan di Kawasan?

    Penarikan tentara ini juga terjadi di tengah dinamika politik dan keamanan yang kompleks di kawasan tersebut.

    Setelah presiden Suriah, Bashar al-Assad, digulingkan oleh pemberontak Islamis pada akhir 2024, AS sempat meningkatkan operasi militer mereka.

    Namun, fokus Washington mulai berubah ketika kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan terhadap jalur pelayaran internasional pada akhir 2023.

    Di samping itu, pasukan AS di Suriah dan Irak menjadi target serangan dari milisi pro-Iran, terutama sejak dimulainya perang Gaza pada Oktober 2023.

    Sebagai respons, AS melakukan serangan udara terhadap beberapa target yang terkait dengan Iran.

    Meskipun ketegangan ini telah mereda, risiko serangan terhadap pasukan AS tetap ada.

    Apakah AS Akan Sepenuhnya Menarik Diri dari Suriah?

    Sampai akhir 2024, Pentagon masih menempatkan sekitar 900 tentara di Suriah, meskipun jumlah ini sempat meningkat menjadi 2000 sebelum penarikan diumumkan.

    Langkah ini sejalan dengan rencana Irak untuk mengakhiri kehadiran militer internasional di wilayahnya.

    Saat ini, terdapat sekitar 2500 tentara AS di Irak, dengan misi militer koalisi dijadwalkan berakhir pada akhir 2025 di wilayah Irak federal dan 2026 di wilayah Kurdistan.

    Penarikan pasukan ini tentunya memunculkan berbagai spekulasi mengenai masa depan kehadiran militer AS di Suriah dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan.

    Apakah ini menandakan akhir dari keterlibatan militer AS di Suriah, ataukah justru akan menjadi awal dari strategi baru?

    Dengan latar belakang yang semakin kompleks, keputusan ini tentunya akan memiliki implikasi yang luas, baik bagi AS maupun untuk stabilitas regional di Timur Tengah.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Akankah Amerika Serikat Benar-benar Angkat Kaki dari Suriah? – Halaman all

    Akankah Amerika Serikat Benar-benar Angkat Kaki dari Suriah? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Amerika Serikat mulai menarik ratusan tentaranya dari Suriah.

    Langkah ini disebut Pentagon sebagai bentuk “konsolidasi pasukan” yang mencerminkan perubahan situasi keamanan di wilayah tersebut.

    “Dengan mengakui keberhasilan AS dalam melawan ISIS, termasuk kekalahan teritorialnya pada 2019 di bawah Presiden Donald Trump, hari ini Menteri Pertahanan mengarahkan konsolidasi pasukan AS di Suriah ke lokasi-lokasi tertentu,” kata Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, dalam pernyataan yang dikutip The New York Times, Jumat (12/4).

    Parnell menjelaskan, proses ini akan dilakukan secara bertahap dan berbasis kondisi.

    Dalam beberapa bulan ke depan, jumlah pasukan AS di Suriah akan dikurangi menjadi kurang dari 1.000 orang.

    Keputusan ini mengingatkan pada upaya penarikan total pasukan oleh Trump pada 2018.

    Saat itu mendapat upaya tentangan dari petinggi militer dan menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis.

    Seperti diketahui, Trump kembali menegaskan sikapnya setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu.

    “Suriah memang kacau, tetapi bukan teman kita. AMERIKA SERIKAT TIDAK BOLEH BERGABUNG DENGANNYA. INI BUKAN PERJUANGAN KITA,” tulis Trump di platform Truth Social saat kembali menjabat sebagai presiden terpilih.

    Tiga Pangkalan AS di Suriah Ditutup

    The New York Times melaporkan bahwa AS akan menutup tiga dari delapan pos militernya di timur laut Suriah.

    Sekitar 600 personel akan ditarik dari Mission Support Site Green Village, MSS Euphrates, dan satu fasilitas kecil lainnya.

    Menariknya, pada Desember 2024, pemerintahan Biden justru menambah jumlah pasukan di Suriah menjadi sekitar 2.000 orang.

    Peningkatan itu ditujukan untuk menghadapi ancaman dari ISIS dan milisi pro-Iran yang semakin aktif.

    Kembali ke Format Lama: 900 Tentara

    Kini, pengurangan pasukan akan membawa jumlahnya kembali ke kisaran 900—angka yang dipertahankan sejak ISIS dinyatakan kalah pada 2019.

    Pasukan ini tetap ditugaskan untuk memburu sisa-sisa ISIS, menahan kelompok pro-Iran, dan mencegah Turki menyerang Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi.

    Meski Pentagon meyakinkan bahwa konsolidasi ini tetap memungkinkan AS menekan ISIS dan merespons ancaman teroris lainnya, situasi di lapangan menunjukkan peningkatan aktivitas militan.

    Aktivitas ISIS Naik Dua Kali Lipat

    ISIS mengklaim 294 serangan di Suriah sepanjang 2024, naik drastis dari 121 serangan pada tahun sebelumnya, menurut data yang dikutip dari NYT.

    Sejak awal 2025, setidaknya 44 serangan telah terjadi, menurut laporan Institut Timur Tengah di Washington.

    Tekanan juga datang dari milisi pro-Iran.

    Pada Januari 2024, tiga tentara AS tewas dalam serangan drone di Yordania.

    Sejak 2014, AS memimpin koalisi internasional untuk melawan ISIS, mendukung pasukan lokal di Irak dan Suriah, termasuk SDF yang mayoritas Kurdi.

    Kemenangan atas ISIS diumumkan pada akhir 2017 di Irak dan pada Maret 2019 di Suriah, saat benteng terakhir kelompok itu direbut.

    Meski kekhalifahan ISIS runtuh, para jihadis masih aktif di pedesaan terpencil.

    AS secara berkala melancarkan operasi militer untuk menggagalkan kebangkitan kelompok tersebut.

    Setelah jatuhnya Assad, perhatian militer AS juga mulai beralih ke Yaman, di mana kelompok Houthi menyerang jalur pelayaran internasional sejak akhir 2023.

    AS membalas dengan serangan udara terhadap target yang dianggap terkait Iran.

    Irak juga Bersiap Akhiri Kehadiran AS

    Di sisi lain, Irak juga berupaya mengakhiri kehadiran koalisi pimpinan AS di wilayahnya.

    Washington dan Baghdad telah menyepakati bahwa misi militer AS di Irak akan berakhir pada akhir 2025, dan di wilayah Kurdistan pada September 2026.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Profil Ahmed al-Sharaa, Presiden Suriah yang Masuk 100 Tokoh Paling Berpengaruh Versi TIME – Halaman all

    Profil Ahmed al-Sharaa, Presiden Suriah yang Masuk 100 Tokoh Paling Berpengaruh Versi TIME – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa atau yang juga dikenal sebagai Abu Muhammad Al Julani masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh di dunia tahun 2025 versi Majalah TIME.

    Al-Sharaa banyak disorot media dunia setelah dia dan kelompoknya, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil menumbangkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

    “Bulan Desember lalu, setelah bertahun-tahun membangun faksi bersenjata yang kuat, yakni Hayat Tahrir al-Sham yang dikategorikan secara internasional sebagai kelompok teroris, Ahmed al-Sharaa dan aliansi pemberontaknya menggulingkan pemerintahan brutal Bashar Assad di Suriah,” demikian keterangan Robert Ford, Duta Besar AS untuk Suriah tahun 2011-2024, pada laman Majalah TIME.

    Ford menyebut al-Sharaa pernah terkait dengan kelompok al-Qaeda dan ISIS, tetapi dia kemudian melawan kedua kelompok itu dengan agresif.

    “Dia membentuk aliansi dengan pemberontak Suriah lainnya, sering kali dengan todongan senjata, dan mengamankan dukungan Turki.”

    “Sekarang al-Sharaa menjadi presiden sementara di seluruh Suriah. Dia menyeimbangkan militan yang pernah dipimpinnya dengan warga Suriah liberal yang lega setelah Assad pergi.”

    Ford mengatakan para pengamat kini penasaran apakah al-Sharaa seorang ekstremis yang sikap moderatnya hanya taktik demi keuntungan politik sementara, atau dia seorang politikus yang memanfaatkan kelompok ekstremis demi meraih kekuasaan.

    Profil al-Sharaa

    Dikutip dari Encyclopedia Britannica, Al-Sharaa lahir tahun 1982 di Riyadh, Arab Saudi. Keluarganya berasal dari Dataran Tinggi Golan di Suriah yang kini diduduki Israel.

    Dia besar di Arab Saudi yang menjadi negara tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur minyak. Pada tahun 1989 keluarganya kembali ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus.

    Menurut Al-Sharaa, peristiwa Intifada Kedua di Palestina pada tahun 2000 adalah momen yang memicu dia untuk memutuskan berjuang melawan para penindas.

    Dia pergi ke Irak untuk melawan pasukan Amerika Serikat (AS). Al-Sharaa bergabung dengan Al-Qaeda di Irak (AQI).

    AHMED AL-SHARAA – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera pada Senin (10/3/2025) menunjukkan Pidato Presiden Sementara Suriah, Ahmed Al-Sharaa tentang bentrokan di Latakia dan Tartous pada Minggu (9/3/2025). al-Sharaa, telah mengumumkan pembentukan sebuah komite untuk melakukan penyelidikan terkait peristiwa berdarah yang terjadi di pesisir Suriah (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera)

    Pada tahun 2005 dia ditangkap oleh pasukan AS dan dipenjada di Camp Bucca bersama para militan Irak.

    Ketika dibebaskan tahun 2009, dia kembali ke AQI yang namanya digant menjadi Negara Islam Irak. Dia diangkat sebagai panglima.

    Saat fase awal Perang Saudara Suriah yang dimulai tahun 2011, dia dikirim ke Suriah untuk membentuk kontingen Al-Qaeda yang bisa ikut campur dalam perang itu.

    Al-Sharaa lalu membentuk Front Nusrah setahun kemudian dan merekrut para pejuang muda Suriah yang tidak tahu hubungan al-Sharaa dengan Al-Qaeda.

    Berbeda dengan ISI, Front Nusrah lebih menargetkan pasukan pemerintah dan faksi-faksi saingannya.

    Pada tahun 2016 Al-Sharaa mengumumkan Front Nusrah telah memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda. Front Nusrah diganti namanya menjadi Jabhat Fatah al-Sham.

    Setahun berselang dia mengimbau para faksi pemberontak yang berada di bawah komandonya untuk bergabung dengan kelompok yang disebut Hayat Tahrir al-Sham atau HTS.

    HTS membentuk Pemerintahan Penyelamatan Suriah di wilayah Idlib. Al-Sharaa menjadi pemimpinnya. Kelompok itu menjadi faksi dominan dalam kalangan oposisi suriah.

    Pada bulan November 2024 HTS melancarkan serangan cepat terhadap rezim Assad. Dalam beberapa hari HTS berhasil menguasai Kota Aleppo.

    HTS lalu menyerbu Damaskus dan menggulingkan pemerintahan Assad. Al-Sharaa mulai mengontrol Suriah.

    Koalisi para pemberontak memilih al-Sharaa sebagai presiden yang memimpin pemerintahan sementara Suriah.

    Al-Sharaa kemudian berusaha menyatukan faksi-faksi di Suriah dan berusaha agar sanksi-sanksi terhadap Suriah dicabut.

  • Tutup 3 Pangkalan Militer, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Turki Masuk – Halaman all

    Tutup 3 Pangkalan Militer, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Turki Masuk – Halaman all

    Tutup 3 Pangkalan, AS Tarik Ratusan Tentara dari Suriah: Israel Ketar-ketir Manuver Turki

    TRIBUNNEWS.COM – Militer Amerika Serikat (AS) dilaporkan mulai menarik ratusan tentara mereka dari Suriah timur laut , New York Times melaporkan, dikutip Jumat (18/4/2025).

    Mengutip dua pejabat senior AS, dikatakan kalau militer AS menutup tiga dari delapan pangkalan operasi kecilnya di timur laut dan mengurangi jumlah pasukan menjadi sekitar 1.400 dari 2.000.

    Para pejabat itu mengatakan komandan Komando Pusat Amerika Serikat (USCENTCOM) akan menilai apakah akan melakukan penarikan tambahan setelah 60 hari.

    “Para komandan militer telah merekomendasikan untuk mempertahankan setidaknya 500 tentara di Suriah, kata seorang pejabat dalam laporan tersebut.

    Laporan itu mengatakan Presiden AS, Donald Trump telah menyatakan “skeptisisme mendalam” tentang mempertahankan pasukan AS di Suriah.

    Trump mengatakan pada akhir Januari lalu kalau AS “akan membuat keputusan” mengenai pasukan di Suriah.

    Hal itu diungkapkan Trump saat dikonfirmasi soal adanya laporan yang mengatakan kalau presiden AS tersebut bermaksud menarik pasukan Amerika.

    “Saya tidak tahu siapa yang mengatakan itu, tetapi kami akan membuat keputusan mengenai hal itu,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih.

    “Kami tidak terlibat di Suriah. Suriah sudah dalam kekacauannya sendiri. Mereka sudah punya cukup banyak kekacauan di sana. Mereka tidak membutuhkan keterlibatan kami.”

    Menurut New York Times, setidaknya untuk saat ini, pengurangan yang dimulai pada Kamis didasarkan pada rekomendasi komandan darat pasukan AS untuk menutup dan mengkonsolidasikan pangkalan, dan telah disetujui oleh Pentagon dan USCENTCOM.

    BERSIAP PATROLI – Anggota pasukan Amerika Serikat melakukan briefing sebelum melaksanakan patroli rutin di pos penjagaan terluar di wilayah Timur Suriah pada 25 Mei 2021. (AFP)

    Jejak Pasukan AS di Suriah

    AS secara ilegal mengerahkan pasukan di Suriah pada bulan November 2015 dengan tujuan untuk “mencegah kembalinya” ISIS. 

    Hal ini terjadi dua bulan setelah Rusia menyetujui permintaan Damaskus untuk memberikan dukungan udara kepada tentara Suriah, pasukan khusus Iran, dan Hizbullah dalam pertempuran melawan pasukan ISIS yang mengancam akan menyerbu ibu kota Suriah, saat itu.

    Dalam kekacauan yang terjadi, Washington dan milisi Kurdi sekutunya menguasai wilayah timur laut Suriah yang kaya sumber daya alam, tempat tentara AS bertahan hingga hari ini dan secara teratur menjarah sumber daya alam penting. 

    Ratusan tentara AS juga hadir di pangkalan besar Al-Tanf di dekat wilayah tiga perbatasan yang menghubungkan Suriah, Irak, dan Yordania.

    Setelah pengambilalihan Suriah oleh para milisi oposisi yang kini berkuasa, dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda Abu Mohammad al-Julani pada bulan Desember, pejabat Pentagon mengonfirmasi memiliki “sekitar 2.000” tentara di dalam wilayah Suriah, lebih dari dua kali lipat jumlah yang diklaim Washington sebelumnya.

    Israel Ketar-ketik Manuver Turki yang Bersiap Isi Kekosongan

    Langkah AS menarik sebagian pasukannya ini membuat Israel ketar-ketir kalau kekosongan akan membuat Turki bermanuver dengan mengirim pasukan negara tersebut.

    Media Israel, Yedioth Ahronoth, beberapa waktu lalu melaporkan kalau pejabat keamanan AS sudah memberi tahu Tel Aviv tentang rencana untuk memulai “penarikan bertahap pasukan militer AS dari Suriah … dalam waktu dua bulan.”

    “Pemerintah Israel sejauh ini telah berupaya untuk mencegah Washington dari langkah ini, tetapi telah menerima pemberitahuan bahwa upayanya telah gagal,” 

    Laporan tersebut menambahkan, mengutip pernyataan pejabat keamanan yang mengatakan kalau “Israel berusaha untuk membatasi [penarikan pasukan AS] semaksimal mungkin, karena khawatir Turki akan mengisi kekosongan di area strategis di timur laut Suriah.”

    Pada bulan Februari, pejabat Pentagon mengatakan kepada NBC News bahwa Gedung Putih telah mulai mempersiapkan rencana untuk menarik pasukan militer AS dari Suriah.

    “Kami tidak akan terlibat, kami tidak akan terlibat di Suriah. Suriah sudah kacau balau. Mereka sudah punya cukup banyak kekacauan di sana. Mereka tidak butuh kami terlibat dalam semua hal,” kata Presiden AS Donald Trump kepada wartawan saat ditanya tentang rencana penarikan pasukan.

    Pada tahun 2019, selama masa jabatan pertamanya, Trump mengakui bahwa pasukan AS berada di Suriah untuk mengambil minyak negara itu. 

    “Kami menyimpan minyak [Suriah]. Kami memiliki minyaknya. Minyaknya aman. Kami meninggalkan pasukan hanya untuk minyaknya,” katanya. 

     

    (oln/anews/tc/*)

     

     

  • Efisiensi Anggaran, Trump Akan Tutup Konjen AS di Medan

    Efisiensi Anggaran, Trump Akan Tutup Konjen AS di Medan

    Washington

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ingin melakukan efisiensi anggaran Departemen Luar Negeri AS. Kebijakan Trump ini akan mengakibatkan ditutupnya 10 kedutaan besar AS dan 17 Konsulat Jenderal (Konjen) AS di sejumlah negara, termasuk Konjen AS di Medan, Sumatera Utara.

    Dilansir Reuters, Jumat (18/4/2025), Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) Gedung Putih menyebut pemerintah AS sedang mempertimbangkan rekomendasi untuk menutup sedikitnya 27 misi AS yang sebagian besar berada di Afrika dan Eropa. Sepuluh dari misi tersebut adalah kedutaan besar dan sisanya adalah konsulat.

    Menurut dokumen yang ditinjau oleh Reuters, sepuluh kedutaan besar yang sedang dipertimbangkan untuk ditutup berpusat di Eritrea, Grenada, Lesotho, Republik Afrika Tengah, Luksemburg, Republik Kongo, Gambia, Sudan Selatan, Malta, dan Maladewa.

    Sementara 17 konsulat yang direkomendasikan untuk ditutup, lebih dari selusin berkantor pusat di Eropa. Empat sisanya adalah misi AS di Busan di Korea Selatan, Durban di Afrika Selatan, Medan di Indonesia, dan Douala di Kamerun.

    Memo tersebut juga membahas cara untuk mengonsolidasikan misi besar seperti yang ada di Jepang dan Kanada dengan mengubah ukuran sejumlah konsulat di negara tersebut untuk mengurangi jejak.

    Rekomendasi tersebut menyerukan pengurangan ukuran pos AS di Mogadishu, Somalia, dan Irak, yang dalam memo tersebut digambarkan sebagai ‘misi diplomatik termahal’ yang dioperasikan Washington.

    (fas/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Harga Minyak Melonjak di Atas 3% Usai Iran Dapat Sanksi Baru – Page 3

    Harga Minyak Melonjak di Atas 3% Usai Iran Dapat Sanksi Baru – Page 3

    Menambah kekhawatiran pasokan, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengatakan pada hari Rabu bahwa mereka telah menerima rencana terbaru bagi Irak, Kazakhstan, dan negara-negara lain untuk melakukan pemotongan produksi lebih lanjut sebagai kompensasi atas pemompaan di atas kuota.

    “Reli ini memiliki beberapa faktor di baliknya, short-covering, dolar AS yang lebih lemah, yang membuat minyak mentah lebih murah untuk dibeli, dan tekanan AS terhadap Iran,” kata analis pasar IG Tony Sycamore.

    “Jika kita berasumsi bahwa pertumbuhan AS akan datar paling banter untuk dua kuartal berikutnya dan PDB China akan melambat ke suatu tempat antara kisaran 3%-4%, itu tidak baik untuk minyak mentah,” kata Sycamore.