Negara: Inggris

  • Saingi Starlink, Amazon Percepat Proyek Internet Satelit Kuiper dengan Roket Baru – Page 3

    Saingi Starlink, Amazon Percepat Proyek Internet Satelit Kuiper dengan Roket Baru – Page 3

    Menurut Ricky Freeman, layanan internet Project Kuiper ditargetkan mulai bisa dinikmati pelanggan pada akhir kuartal pertama (Q1) 2026.

    Untuk tahap awal, ada lima negara yang akan kebagian akses yaitu Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman.

    Soal perangkat kerasnya, Amazon sudah menyiapkan terminal standar khusus untuk pelanggan rumah tangga.

    Harganya diperkirakan sekitar USD 400 atau sekitar Rp 6,6 juta, lebih mahal USD 50 (sekitar Rp 833 ribu) jika dibandingkan dengan perangkat serupa milik Starlink.

    Namun Amazon tidak hanya menargetkan pengguna individu. Perusahaan juga mulai menjajaki pasar bisnis.

    Salah satu langkah konkretnya adalah kesepakatan dengan maskapai penerbangan JetBlue untuk menghadirkan layanan Wi-Fi di dalam pesawat.

  • Hamas Akan ‘Membayar di Neraka’ Jika Tolak Rencana Damai Gaza

    Hamas Akan ‘Membayar di Neraka’ Jika Tolak Rencana Damai Gaza

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam Hamas akan menghadapi konsekuensi parah, jika kelompok yang didukung Iran itu tidak menerima rencana perdamaian untuk Jalur Gaza dalam hitungan hari. Ancaman ini disampaikan Trump setelah memberikan ultimatum untuk Hamas.

    Rencana perdamaian usulan Trump itu menyerukan Hamas untuk sepenuhnya melucuti persenjataan mereka dan akan mengeluarkan kelompok itu dari peran-peran dalam pemerintahan di masa mendatang.

    Namun, kepada anggota-anggota Hamas yang bersedia untuk melucuti senjata dan “hidup berdampingan secara damai” di Jalur Gaza, akan mendapatkan amnesti.

    Hamas sejauh ini belum memberikan respons resmi. Seorang pejabat senior kelompok itu mengatakan bahwa tanggapan akan diberikan setelah mereka meninjau rencana perdamaian itu “dengan itikad baik”, usai Qatar dan Mesir membagikan dokumen usulan Trump tersebut kepada mereka.

    Ancaman terbaru Trump untuk Hamas, seperti dilansir AFP, Rabu (1/10/2025), disampaikan saat sang Presiden AS berpidato dalam pertemuan langka para jenderal dan laksamana AS di Quantico, Virginia, pada Selasa (30/9) waktu setempat.

    “Kita akan mendapatkan satu tanda tangan yang kita butuhkan, dan penandatangan itu akan membayar di neraka jika mereka tidak menandatanganinya. Saya harap mereka menandatangani demi kebaikan mereka sendiri dan menciptakan sesuatu yang benar-benar hebat,” kata Trump merujuk pada Hamas.

    Trump sebelumnya menyampaikan ultimatum “tiga atau empat hari” untuk Hamas menanggapi rencana perdamaian Gaza yang diusulkan dirinya.

    “Kita akan melakukannya sekitar tiga atau empat hari,” ucap Trump kepada wartawan ketika ditanya soal jangka waktu ultimatumnya untuk Hamas.

    “Kita hanya menunggu Hamas, dan Hamas akan melakukannya atau tidak. Dan jika tidak, itu akan menjadi akhir yang sangat menyedihkan,” sebutnya.

    Rencana perdamaian yang diusulkan Trump itu, terdiri atas 20 poin, mencakup seruan gencatan senjata, pembebasan semua sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam usai gencatan senjata disepakati, pembebasan tahanan Palestina oleh Israel, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza.

    Beberapa poin penting lainnya mencakup pengerahan “pasukan stabilisasi internasional sementara”, dan pembentukan otoritas transisi bernama “Board of Peace” atau Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh Trump sendiri, dengan anggota beberapa tokoh lainnya termasuk mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

    Negara-negara dunia, termasuk negara-negara Arab dan Muslim, menyambut baik proposal Trump tersebut. Netanyahu, dalam pernyataan yang disampaikan di samping Trump dalam pertemuan di Gedung Putih, telah mengatakan dirinya mendukung rencana perdamaian tersebut.

    Tonton juga video “Trump Beri Hamas 4 Hari Untuk Setujui Proposal Perdamaian Gaza” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • 8 Negara Muslim Dukung Rencana Damai Trump untuk Gaza

    8 Negara Muslim Dukung Rencana Damai Trump untuk Gaza

    Jakarta

    Di tengah reruntuhan Gaza dan angka korban tewas yang menembus 66 ribu jiwa, delapan negara Muslim memberi restu atas rencana damai Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Hingga kini, Hamas menyatakan belum akan berkomentar karena masih harus mempelajari isi proposal tersebut.

    Dalam pernyataan bersama, delapan negara mayoritas Muslim—Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, Turki, Indonesia, dan Pakistan—menyambut baik peran AS dan menyatakan siap bekerja sama secara konstruktif untuk menyelesaikan konflik serta mendorong implementasi rencana damai.

    Mereka juga menekankan pentingnya mencegah pengusiran warga Palestina dan penolakan terhadap aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel.

    Rencana damai Trump

    Rencana perdamaian yang diusulkan Trump terdiri dari 20 poin. Intinya, rencana ini mewajibkan gencatan senjata, pembebasan seluruh sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam setelah Israel menyetujuinya, serta pembentukan pemerintahan sementara di Gaza.

    Rencana ini tidak mewajibkan relokasi warga sipil ke luar Jalur Gaza, tetapi secara efektif memaksakan pembongkaran infrastruktur militer dan sekaligus mengakhiri kekuasaan Hamas.

    Pemerintahan sementara akan diawasi oleh badan yang disebut Dewan Perdamaian, dipimpin oleh Trump bersama mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Nantinya, Jalur Gaza akan tetap dikepung militer Israel, namun kendali internal akan dijalankan oleh pasukan keamanan internasional yang akan melatih kepolisian Palestina untuk mengambil alih tugas penegakan hukum.

    Warga Gaza sebut damai sebagai “lelucon”

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan dukungan terhadap rencana tersebut, namun menegaskan bahwa militer Israel akan tetap menduduki sebagian besar wilayah Gaza.

    Hamas belum memberikan respons resmi. Seorang pejabat senior mengatakan kelompoknya tengah menggelar diskusi internal bersama dengan faksi-faksi lain. Dia menyebut dokumen tersebut diterima dari mediator Mesir dan Qatar, dan akan mulai dibahas. Kelompok Jihad Islam, sekutu Hamas, menolak rencana tersebut dan menyebutnya sebagai “resep untuk agresi lanjutan terhadap rakyat Palestina”.

    Beberapa warga Gaza menyampaikan penolakan atas isi proposal yang diajukan Trump. Mereka menyebutnya sebagai taktik untuk membebaskan sandera tanpa mengakhiri perang. “Kami sebagai rakyat tidak akan menerima lelucon ini,” kata Abu Mazen Nassar, 52 tahun, warga Gaza.

    Dukungan lintas benua

    Presiden Prancis Emmanuel Macron sebaliknya menyambut baik rencana damai Trump, dan mengatakan Hamas “tidak punya pilihan selain membebaskan sandera dan menerima rencana ini.” Dia juga menyerukan, agar Israel menunjukkan komitmen penuh untuk mematuhi rencana damai.

    Kanselir Jerman Friedrich Merz juga mengungkapkan hal senada, yang menyebut rencana ini sebagai “peluang terbaik untuk mengakhiri perang”, dan mengapresiasi peran negara-negara Arab dalam menekan Hamas.

    Perdana Menteri Spanyol Pedro Snchez kembali menegaskan, solusi dua negara adalah satu-satunya jalan keluar. India, melalui Perdana Menteri Narendra Modi, menyebut rencana Trump sebagai “jalur yang layak menuju perdamaian berkelanjutan.” Australia juga mendukung proposal tersebut, menyebutnya mencerminkan penolakan terhadap aneksasi dan pengusiran paksa warga Palestina.

    Ancaman dari Trump

    Di wilayah Laut Tengah, Turki menyatakan siap mengawal misi kemanusiaan berupa konvoi kapal bantuan ke Gaza. Angkatan Laut Turki sebelumnya mengevakuasi aktivis dari kapal Johnny M yang rusak saat menuju Gaza dalam misi Global Sumud Flotilla. Tiga aktivis asal Mesir dilaporkan ditangkap di Kairo. Flotilla terdiri dari 52 kapal kecil yang membawa aktivis dari berbagai negara, serta bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan.

    Sementara itu, Otoritas Palestina di Tepi Barat menyambut rencana “tulus demi perdamaian” dari Trump, dan menyatakan kesiapan untuk melaksanakan reformasi. Pemerintah di Ramallah menyatakan ingin membentuk negara Palestina yang demokratis, non-militer, dan pluralistik.

    Otoritas Palestina juga berjanji akan menggelar pemilihan umum, dan mengakhiri kebijakan pembayaran santunan kepada keluarga militan yang terlibat serangan terhadap Israel.

    Di hadapan Netanyahu di Washington, Trump sempat melayangkan ancaman kepada Hamas jika menolak rencana damai. Dia mengatakan, dalam kasus tersebut, maka “Anda akan mendapat dukungan penuh saya untuk melakukan apapun yang Anda harus lakukan.”

    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Deal Perdamaian Gaza ala Trump-Netanyahu, 5 Hal Ini Masih Tanda Tanya

    Deal Perdamaian Gaza ala Trump-Netanyahu, 5 Hal Ini Masih Tanda Tanya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan menyetujui proposal terbaru gencatan senjata Gaza. Hal ini diumumkan dalam pertemuan keduanya di Washington, Senin (29/9/2025).

    Saat mempresentasikannya di Gedung Putih, Trump memuji rencana tersebut sebagai sesuatu yang bersejarah. Namun, mencari tahu detail dari beberapa elemennya kemungkinan akan menjadi tantangan besar dalam implementasinya.

    Proposal gencatan senjata 20 poin dari AS di Gaza mencakup banyak ketentuan ambigu yang bisa menjadi penentu bagi masa depan Palestina dan kawasan tersebut.

    Berikut adalah lima isu yang belum terselesaikan dalam proposal tersebut:

    1. Bagaimana Gaza akan diperintah?

    Proposal ini membayangkan sebuah “pemerintahan transisi sementara dari komite Palestina yang teknokratis dan apolitis” yang akan mengawasi urusan di wilayah tersebut. Namun, tidak dirinci bagaimana panel ini akan dibentuk atau siapa yang akan memilih anggotanya.

    Lebih lanjut, rencana tersebut mengatakan bahwa Trump dan Toni Blair, mantan PM Inggris, akan memimpin sebuah “dewan perdamaian” yang akan mengawasi komite pemerintahan tersebut.

    Di sisi lain, peta jalan tersebut tidak menjelaskan sifat hubungan antara dewan ini dan komite Palestina, atau pada tingkat apa keputusan sehari-hari akan dibuat.

    2. Apakah Otoritas Palestina (PA) akan dilibatkan?

    Rencana Trump mengatakan bahwa otoritas transisi akan mengambil alih kendali Gaza hingga “PA telah menyelesaikan program reformasinya” dan “dapat dengan aman dan efektif mengambil kembali kendali atas Gaza”.

    Namun, masih belum jelas siapa yang akan mensertifikasi bahwa PA siap untuk mengambil alih Gaza atau tolok ukur apa yang harus dipenuhi oleh PA untuk menangani pemerintahan di wilayah tersebut.

    Tidak ada jadwal, hanya pernyataan yang tidak jelas. Bahasa dalam proposal tersebut juga memperlakukan Gaza sebagai entitas independen, bukan sebagai bagian dari Palestina yang harus disatukan dengan sisa wilayah Palestina yang diduduki.

    Sementara itu, Netanyahu, yang mengatakan setuju dengan proposal tersebut, telah menyingkirkan kemungkinan kembalinya PA ke Gaza.

    “Gaza akan dikelola bukan oleh Hamas, bukan pula oleh PA,” tegasnya, saat berdiri di samping Trump.

    3. Bagaimana pasukan internasional akan dibentuk?

    Rencana tersebut mengatakan bahwa Gaza akan diamankan oleh “Pasukan Stabilisasi Internasional sementara”, tetapi dari mana pasukan itu akan datang, dan apa mandatnya masih belum jelas.

    Tidak jelas negara mana yang bersedia mengirim pasukan ke Gaza, atau negara mana yang akan dapat diterima di bawah rencana tersebut.

    Proposal tersebut juga tidak menjelaskan tanggung jawab dan aturan keterlibatan dari calon pasukan penjaga perdamaian tersebut.

    Sejumlah pertanyaan seperti apakah mereka akan bertindak, apa mereka akan ditugaskan untuk menghadapi Hamas, dan apakah mereka akan mampu melawan pasukan Israel untuk melindungi warga Palestina masih jadi pertanyaan.

    4. Kapan Israel mundur?

    Proposal tersebut mengatakan bahwa Israel akan menarik diri dari Gaza “berdasarkan standar, tonggak pencapaian, dan kerangka waktu yang terkait dengan demiliterisasi”.

    Sekali lagi, ketentuan tersebut tidak menetapkan jadwal penarikan Israel atau standar yang jelas tentang bagaimana dan kapan hal itu akan terjadi.

    Selain itu, proposal tersebut mengatakan bahwa Israel akan mempertahankan “perimeter keamanan” di Gaza sampai wilayah tersebut “benar-benar aman dari segala ancaman teror yang muncul kembali”.

    Tetapi tidak ada penjelasan tentang siapa yang pada akhirnya akan memutuskan kapan kondisi-kondisi ini terpenuhi.

    5. Apakah negara Palestina dipertimbangkan?

    Selama konferensi persnya pada hari Senin, Trump mengatakan bahwa beberapa sekutu telah “secara bodoh mengakui negara Palestina… tapi mereka benar-benar, saya pikir, melakukan itu karena mereka sangat lelah dengan apa yang sedang terjadi”.

    Proposal tersebut merujuk pada prospek negara Palestina di balik dinding ketidakjelasan, syarat, dan kualifikasi yang tebal.

    “Sementara pembangunan kembali Gaza berjalan dan ketika program reformasi PA dilaksanakan dengan setia, kondisi-kondisi tersebut mungkin akhirnya tercipta untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina, yang kami akui sebagai aspirasi rakyat Palestina,” katanya.

    Jadi, pembangunan Gaza dan “reformasi” PA ditetapkan sebagai syarat. Dan bahkan setelah itu, diskusi untuk negara Palestina “mungkin” akan dilakukan. Itu tidak dijamin.

    Lebih dari itu, proposal tersebut tidak mengakui hak atas negara Palestina sebagai sesuatu yang dicari oleh rakyat Palestina.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ulah China Bikin AS Kebakaran Jenggot, Krisis Besar Mengancam Dunia

    Ulah China Bikin AS Kebakaran Jenggot, Krisis Besar Mengancam Dunia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) makin resah dengan serangan siber besar-besaran yang diduga dilakukan oleh Kementerian Keamanan Negara China atau Ministry of State Security (MSS).

    Aksi peretasan ini bukan hanya menyasar jaringan di Negeri Paman Sam, tapi juga puluhan negara lain, dan dipandang sebagai ancaman serius bagi keamanan global.

    Pada 2023, Direktur CIA William J. Burns bahkan terbang diam-diam ke Beijing untuk memperingatkan langsung Menteri Keamanan Negara China.

    Dalam pertemuan itu, Burns menegaskan akan ada konsekuensi jika malware yang ditanam benar-benar diluncurkan. Namun, bukannya surut, serangan justru semakin masif.

    Kelompok peretas yang dikenal dengan nama Salt Typhoon terungkap telah melakukan penyusupan selama bertahun-tahun. Mereka diduga mencuri informasi hampir seluruh warga AS dan menargetkan berbagai negara lain.

    Dalam pernyataan bersama, sejumlah negara korban Salt Typhoon menyebut data yang dicuri bisa memberi Beijing kemampuan untuk melacak komunikasi dan pergerakan target di seluruh dunia.

    Menurut pakar, MSS kini telah berkembang menjadi salah satu badan spionase siber paling tangguh di dunia, menyaingi Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dan GCHQ Inggris.

    Berbeda dengan peretas bayaran China di masa lalu yang cenderung ceroboh, operasi Salt Typhoon berjalan sistematis, yakni menemukan celah sistem, menyusup, mencuri data, berpindah antarjaringan, hingga menghapus jejak keberadaan.

    “Salt Typhoon menunjukkan sisi strategis dan keterampilan tinggi dari operasi siber MSS, yang selama ini tertutupi oleh sorotan terhadap peretas kontrak berkualitas rendah,” ujar Alex Joske, penulis buku tentang kementerian itu, dikutip dari New York Times, Selasa (30/9/2025).

    Bagi Washington, ancaman ini tak main-main. Dalam skenario konflik masa depan, China dinilai mampu melumpuhkan infrastruktur vital AS mulai dari komunikasi, listrik, hingga pasokan air. 

    Nigel Inkster, mantan pejabat intelijen MI6 Inggris, menyebut serangan itu sekaligus menjadi strategi intimidasi Beijing.

    “Jika mereka tetap tidak terdeteksi di jaringan, itu memberi keuntungan besar saat krisis. Tapi jika terdeteksi, tetap menjadi efek gentar. Pesannya jelas: ‘Lihat apa yang bisa kami lakukan jika mau’,” kata dia.

    Bangkitnya MSS sendiri tak lepas dari reformasi Xi Jinping sejak 2012. Xi membatasi peran militer dalam operasi peretasan, membersihkan pejabat korup di kementerian, serta menempatkan keamanan nasional sebagai inti kebijakan.

    Dengan menggandeng perusahaan teknologi domestik, MSS kini punya alur perekrutan peretas ofensif yang lebih solid.

    Pemerintah China bahkan mewajibkan setiap kerentanan perangkat lunak baru dilaporkan terlebih dahulu ke basis data yang diduga dikendalikan MSS. Perusahaan teknologi diberi insentif finansial untuk memenuhi kuota bulanan dalam melaporkan celah keamanan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Netanyahu Tegaskan Pasukan Israel Akan Tetap Berada di Sebagian Gaza

    Netanyahu Tegaskan Pasukan Israel Akan Tetap Berada di Sebagian Gaza

    Tel Aviv

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan pasukan militer Israel akan tetap berada di sebagian besar wilayah Jalur Gaza, setelah dirinya menyatakan dukungan terhadap rencana perdamaian yang diusulkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Dukungan terhadap usulan Trump untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza itu, seperti dilansir AFP, Selasa (30/9/2025), disampaikan Netanyahu dalam pertemuan di Gedung Putih, Washington DC, pada Senin (29/9) waktu setempat.

    “Kita akan membebaskan semua sandera kita, dalam keadaan hidup dan sehat, sementara (militer Israel) akan tetap berada di sebagian besar wilayah Jalur Gaza,” kata Netanyahu dalam pernyataan video yang dirilis via saluran Telegram miliknya pada Selasa (30/9) dini hari, atau setelah pertemuan dengan Trump.

    Rencana perdamaian yang diusulkan Trump, terdiri atas 20 poin, mencakup gencatan senjata, pembebasan semua sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam usai gencatan senjata disepakati, pembebasan tahanan Palestina oleh Israel, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza.

    Beberapa poin penting lainnya mencakup pengerahan “pasukan stabilisasi internasional sementara”, dan pembentukan otoritas transisi bernama “Board of Peace” yang dipimpin oleh Trump, dengan anggota beberapa tokoh lainnya termasuk mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

    Rencana perdamaian Trump itu juga akan mengeluarkan Hamas dari peran-peran dalam pemerintahan di masa mendatang. Namun, kepada anggota-anggota Hamas yang bersedia untuk sepenuhnya melucuti senjata dan “hidup berdampingan secara damai” di Jalur Gaza, akan mendapatkan amnesti.

    Netanyahu, dalam pernyataan yang disampaikan di samping Trump, mengatakan dirinya mendukung rencana perdamaian tersebut.

    “Saya mendukung rencana Anda untuk mengakhiri perang di Gaza, yang mencapai tujuan-tujuan perang kami,” kata Netanyahu sembari berdiri di samping Trump, seperti dilansir Reuters.

    “Rencana itu akan membawa kembali semua sandera kami ke Israel, membongkar kemampuan militer Hamas, mengakhiri kekuasaan politiknya, dan memastikan bahwa Gaza tidak akan pernah lagi menjadi ancaman bagi Israel,” ucapnya.

    Trump berterima kasih kepada Netanyahu “atas persetujuannya terhadap rencana tersebut dan atas kepercayaannya bahwa jika kita bekerja sama, kita dapat mengakhiri kematian dan kehancuran yang telah kita saksikan selama bertahun-tahun, puluhan tahun, bahkan berabad-abad”.

    Tanggapan resmi dari Hamas sejauh ini belum diketahui secara jelas. Absennya Hamas dalam negosiasi dan penolakan berulang kali untuk melucuti senjata menimbulkan keraguan tentang kelayakan rencana tersebut.

    Seorang pejabat Hamas mengatakan kepada Reuters bahwa kelompoknya akan memberikan tanggapan setelah meninjau rencana perdamaian itu “dengan itikad baik”, setelah Qatar dan Mesir membagikan dokumen usulan Trump tersebut kepada mereka.

    Tonton juga Video: Netanyahu: Saya Dukung Rencana untuk Akhiri Perang di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Respons Hamas-Israel soal Rencana Trump Akhiri Perang Gaza

    Respons Hamas-Israel soal Rencana Trump Akhiri Perang Gaza

    Jakarta

    Janji terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk segera mengakhiri perang di Gaza tampaknya disambut skeptis oleh sebagian besar pengamat. Penilaian tersebut tak lepas dari klaim palsu Trump baru-baru ini yang mengatakan bahwa dia telah mengakhiri tujuh perang.

    “Kita punya peluang nyata untuk mencapai KEJAYAAN DI TIMUR TENGAH. SEMUA PIHAK SIAP UNTUK SESUATU YANG ISTIMEWA, UNTUK PERTAMA KALINYA. KITA AKAN WUJUDKAN!!!” tulis Donald Trump di platform Truth Social-nya, Minggu (28/09).

    Trump merujuk pada rencana 21 poin miliknya, yang rinciannya mulai terungkap akhir pekan lalu, menjelang pertemuannya di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Senin (29/09), pertemuan keempat mereka tahun ini.

    Namun, apa sebenarnya yang tercantum dalam rencana tersebut?

    Menuju pembentukan negara Palestina

    Yang paling penting, rencana ini membuka jalan menuju pembentukan negara Palestina, sesuatu yang secara konsisten dan tegas ditentang oleh Israel, serta peta jalan masa depan untuk Gaza. Rencana tersebut juga menuntut pembebasan 20 sandera yang masih hidup di Gaza dan sejumlah sandera yang telah meninggal untuk ditukar dengan pembebasan ratusan warga Palestina yang ditahan di Israel. Hal ini harus dilakukan dalam 48 jam setelah kesepakatan dicapai.

    “Setelah semua sandera dibebaskan, Israel akan membebaskan 250 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup, serta 1.700 warga Gaza yang ditahan setelahserangan 7 Oktober. Untuk setiap sandera Israel yang jasadnya dikembalikan, Israel akan menyerahkan jasad 15 warga Gaza yang telah meninggal,” demikian laporan dari The Washington Post.

    Rencana ini juga menuntut penggulingan Hamas, yang diakui sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, AS, dan beberapa negara Arab, serta komitmen dari Hamas untuk melucuti senjata.

    Poin lainnya mencakup rencana ekonomi untuk pertumbuhan Gaza, jaminan keamanan untuk Gaza yang dijaga oleh AS dan negara-negara kawasan, kesempatan bagi warga yang telah meninggalkan Gaza untuk kembali, tanpa ada pemaksaan bagi siapa pun yang masih tinggal di sana untuk pergi.

    Gaza nantinya akan dikelola oleh pemerintahan transisi. Mantan anggota Hamas bisa memilih untuk tetap tinggal dan ikut serta dalam rencana baru ini, atau diberi jalan aman untuk pindah ke negara lain yang tidak disebutkan.

    Selain itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus segera menghentikan semua operasinya setelah kesepakatan dan menyerahkan wilayah yang telah direbut. Israel juga harus berjanji tidak akan menduduki atau mencaplok wilayah Gaza. Komisi Penyelidikan di bawah Dewan HAM PBB (UNHRC) baru-baru ini menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina.

    Rencana ini juga mencakup jaminan bahwa bantuan dari lembaga internasional bisa masuk ke Gaza tanpa hambatan dari kedua pihak, meskipun tidak disebutkan soal Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung oleh Israel dan AS.

    Asal-usul rencana 21 poin Trump

    Pada Senin (23/09), utusan AS Steve Witkoff mengatakan bahwa Donald Trump mengajukan rencana tersebut dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin dari negara-negara Arab dan Islam, yaitu Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Yordania di PBB. Saat itu Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tidak diizinkan menghadiri Sidang Umum PBB, tempat pertemuan sela itu berlangsung, setelah pemerintah AS menolak memberinya visa.

    Dalam sebuah pernyataan bersama, negara-negara yang terlibat dalam pertemuan tersebut menyatakan bahwa mereka “menegaskan kembali komitmen untuk bekerja sama dengan Presiden Trump dan menekankan pentingnya kepemimpinannya untuk mengakhiri perang.”

    Rencana itu kabarnya juga mendapat dukungan dari Tony Blair Institute for Global Change yang dipimpin mantan perdana menteri Inggris tersebut. Beberapa laporan menyebut Blair akan memimpin Gaza International Transitional Authority (GITA) berdasarkan rencana ini. Namun, Blair dinilai tidak populer di Timur Tengah karena dukungannya terhadap invasi AS ke Irak tahun 2003. GITA bisa memegang kendali selama beberapa tahun hingga Otoritas Palestina dinilai memenuhi syarat yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan.

    Rencana ini muncul di tengah meningkatnya jumlah negara Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Kanada, yang mengakui negara Palestina. Namun, Netanyahu menyebut keputusan itu sebagai “tindakan tercela.”

    Respons Hamas dan Israel

    Sementara Trump sangat percaya diri dengan rencananya, Netanyahu jauh lebih berhati-hati, meski tidak menolaknya. “Kami sedang mengerjakannya,” katanya kepada Fox News, Minggu (28/09). “Ini belum final, tapi kami sedang bekerja sama dengan tim Presiden Trump saat ini.”

    Pada Jumat (26/09), kepada kantor berita Reuters, seorang pejabat Hamas yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa Hamas belum pernah menerima pemaparan soal rencana tersebut.

    Kelompok itu kemudian merilis pernyataan pada hari Minggu (28/09) mengatakan “Hamas siap untuk mempertimbangkan secara positif dan bertanggung jawab setiap proposal yang datang dari para mediator, asalkan proposal itu melindungi hak-hak nasional rakyat Palestina.”

    Sementara itu, Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, menguraikan kesulitan yang akan dihadapi Netanyahu, meski dia mendukung rencana tersebut. Hal itu disampaikannya lewat akun X, Senin (29/09).

    Dia menulis bahwa keamanan Israel bergantung pada “tindakan, kendali kami atas wilayah, dan penegakan tanpa kompromi yang hanya bergantung pada (militer Israel) dan aparat pertahanan kami.” Bezalel juga menolak segala bentuk keterlibatan Otoritas Palestina, yang pernah memerintah Gaza hingga Hamas mengambil alih pada 2007.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Algadri Muhammad dan Muhammad Hanafi

    Editor: Hani Anggraini

    Lihat juga Video: Ini Isi 20 Poin Proposal Trump terkait Penyelesaian Perang di Gaza

    (ita/ita)

  • Berkali-kali Positif COVID, Wanita Ini Ungkap Gejala Terparah saat Kena Varian Stratus

    Berkali-kali Positif COVID, Wanita Ini Ungkap Gejala Terparah saat Kena Varian Stratus

    Jakarta

    Beberapa waktu lalu, varian COVID-19 baru yang dikenal sebagai Stratus meningkat di sejumlah negara. Di tengah lonjakan kasus itu, seorang wanita menceritakan pengalamannya yang dites positif terinfeksi COVID-19 Stratus.

    Meskipun tidak menjelaskan sudah berapa kali terinfeksi, wanita di Inggris itu mengatakan infeksi kali ini yang terburuk yang pernah dialaminya. Lewat akun TikTok @nivismad, wanita bernama Nev itu menjelaskan kronologinya.

    Nev mulai merasa tidak enak badan pada 30 Agustus 2025, dengan hidung tersumbat.

    “Lalu, tenggorokan saya agak gatal,” katanya yang dikutip dari Mirror UK.

    Keesokan harinya, Nev masih mengalami hidung tersumbat yang tidak separah sebelumnya. Tetapi, keadaan itu berubah di malam hari, karena muncul gejala yang lebih mengkhawatirkan.

    “Ketika saya tidur malam itu, gigi saya sakit, rahang sakit, dan kepala saya sangat sakit,” tutur Nev.

    Tanda atau gejala awal yang paling umum dari varian Stratus adalah suara serak atau parau, berbeda dengan varian COVID-19 yang pernah ada sebelumnya. Para ahli medis juga mencatat bahwa gejala Stratus lainnya meliputi hidung tersumbat, sakit tenggorokan, masalah pencernaan, dan kelelahan.

    Gejala yang dialami Nev berlanjut keesokan harinya. Ia merasakan lelah yang sangat parah sampai tidak bisa berdiri.

    Di hari yang sama, Nev merasakan nyeri yang sangat hebat pada tubuhnya dan menggigil. Saat itu, kondisi tubuhnya sudah sangat tidak nyaman.

    “Saya sudah beberapa kali terkena COVID-19. Sudah satu atau dua tahun sejak terakhir saya terkena, tetapi ini yang terburuk,” kata Nev.

    “Di hari ketiga atau keempat COVID, saya masih kelelahan. Bahkan, berdiri saja terasa melelahkan,” tambahnya.

    Dalam postingannya, Nev merasa bersyukur karena masih bisa mengecap rasa, mencium bau, dan tidak batuk.

    “Tapi astaga, ini adalah sakit dan dingin badan terburuk yang pernah saya alami seumur hidup. Jaga kesehatan kalian semua. Saya juga cukup yakin tertular dari seorang wanita di penerbangan saya ke Meksiko, karena dia duduk di belakang saya dalam perjalanan ke sana dan batuk-batuk sepanjang waktu tanpa masker,” tulisnya.

    Beruntung, Nev masih bisa kembali pulih sepenuhnya. Ia mulai kembali berolahraga di pusat kebugaran.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Waduh! Varian Covid-19 ‘Stratus’ Mendominasi RI, Apakah Berbahaya?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/naf)

  • Jihad Islam Kutuk Rencana Damai Trump: Resep Agresi Palestina!

    Jihad Islam Kutuk Rencana Damai Trump: Resep Agresi Palestina!

    Gaza City

    Kelompok Jihad Islam, sekutu Hamas, yang bertempur melawan Israel di Jalur Gaza mengutuk rencana perdamaian yang ditawarkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakhiri perang Gaza.

    Jihad Islam dalam tanggapannya, seperti dilansir AFP, Selasa (30/9/2025), menilai usulan Trump itu hanya akan memicu agresi lebih lanjut terhadap Palestina.

    “Ini adalah resep untuk agresi berkelanjutan terhadap rakyat Palestina,” sebut Jihad Islam dalam pernyataannya yang dirilis pada Senin (29/9) waktu setempat.

    “Melalui ini, Israel berusaha — melalui Amerika Serikat — untuk memaksakan apa yang tidak dapat dicapainya melalui perang,” tuding kelompok tersebut.

    “Oleh karena itu, kami menganggap deklarasi Amerika-Israel sebagai formula untuk mengobarkan konflik di kawasan,” tegas Jihad Islam dalam pernyataannya.

    Rencana perdamaian yang diusulkan Trump itu mencakup seruan gencatan senjata, pembebasan semua sandera oleh Hamas dalam waktu 72 jam, perlucutan senjata Hamas, dan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza.

    Beberapa poin penting lainnya mencakup pengerahan “pasukan stabilisasi internasional sementara”, dan pembentukan otoritas transisi yang dipimpin oleh Trump sendiri dan termasuk mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair.

    Kelompok Hamas, dalam tanggapan terpisah, mengatakan mereka baru akan memberikan respons setelah menerima proposal resmi dari Trump.

    “Kami akan merespons setelah kami menerimanya,” kata seorang pejabat senior Hamas yang enggan disebut namanya.

    Rencana perdamaian Trump itu menuntut para militan Gaza, termasuk Hamas, untuk sepenuhnya melucuti senjata dan dikeluarkan dari peran-peran dalam pemerintahan di masa mendatang, meskipun mereka yang setuju untuk “hidup berdampingan secara damai” akan diberikan amnesti.

    Tonton juga video “Presiden Kolombia: Trump Pantas Dipenjara!” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)