Negara: Inggris

  • Terungkap Saklar Bahan Bakar Pesawat Air India Mati Hitungan Detik

    Terungkap Saklar Bahan Bakar Pesawat Air India Mati Hitungan Detik

    Jakarta
    Biro Investigasi Kecelakaan Pesawat India telah merilis hasil investigasi kecelakaan pesawat Boeing 787-8 Dreamliner milik maskapai Air India yang jatuh di Ahmedabad. Hasil investigasi menunjukkan kecelakaan terjadi karena sakelar bahan bakar pada kedua mesin pesawat mati.

    Dirangkum detikcom sebagaimana laporan AFP, Sabtu (12/7/2025), sakelar bahan bakar itu berpindah dari posisi ‘RUN’ ke ‘CUTOFF’ beberapa detik setelah lepas landas. Meski begitu, dalam investigasi itu tidak dituliskan siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan pada 12 Juni lalu yang menewaskan 260 orang tersebut.

    Laporan itu menyebutkan bahwa seorang pilot bertanya kepada pilot lainnya mengapa ia mematikan bahan bakar, dan pilot kedua menjawab bahwa ia tidak melakukannya.

    Biro investigasi India tersebut mengatakan bahwa setelah pesawat mencapai kecepatan tertinggi yang tercatat, “sakelar bahan bakar ke Mesin 1 dan Mesin 2 beralih silih berganti dari posisi RUN ke posisi CUTOFF dalam selang waktu 1 detik.

    “Dalam rekaman suara kokpit, salah satu pilot terdengar bertanya kepada pilot lainnya mengapa ia mematikan sakelar. Pilot lainnya menjawab bahwa ia tidak melakukannya,” katanya.

    Pesawat dengan cepat mulai kehilangan ketinggian. Sakelar kemudian kembali ke posisi “RUN” dan mesin tampak mulai menyala lagi, tetapi “salah satu pilot kemudian mengirimkan ‘MAYDAY MAYDAY MAYDAY’”, kata laporan itu.

    Pengatur lalu lintas udara bertanya kepada pilot ada masalah apa, tetapi kemudian dia melihat pesawat tersebut jatuh dan memanggil para petugas darurat ke lokasi kejadian.

    Awal pekan ini, situs web spesialis The Air Current, mengutip beberapa sumber yang mengetahui penyelidikan tersebut, melaporkan bahwa mereka telah “mempersempit fokus penyelidikan pada pergerakan sakelar bahan bakar mesin”. Disebutkan bahwa analisis lengkap akan “memakan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin lebih lama”.

    Mereka menambahkan bahwa “fokus para penyelidik dapat berubah selama waktu tersebut”.

    260 Orang Tewas

    Foto: REUTERS/Amit Dave

    Pesawat Boeing 787-8 Dreamliner itu lepas landas dari Kota Ahmedabad, di India barat, kemudian jatuh menabrak area permukiman padat penduduk, menghantam kompleks rumah sakit dan asrama mahasiswa kedokteran. Pesawat itu mengangkut 12 awak, 230 penumpang yang terdiri dari 169 warga negara India, 53 warga Inggris, tujuh warga negara Portugal, dan satu warga Kanada.

    Total ada 260 orang tewas dalam kecelakaan ini. Ada satu penumpang pesawat yang selamat, dia satu-satunya korban selamat dalam pesawat itu.

    Penumpang itu bernama Vishwashkumar Ramesh. Dia duduk di pesawat Air India menuju London di kursi 11A.

    Ramesh sendiri merupakan warga negara Britania. Dia duduk di kursi 11A. Ramesh selamat saat dia duduk di kursi itu.

    Dia berhasil keluar dari reruntuhan melalui celah di badan pesawat. Dia merangkak keluar dan akhirnya selamat.

    “Saya berhasil melepaskan sabuk pengaman. Celah itu saya dorong menggunakan kaki, kemudian saya merangkak keluar,” tutur Ramesh kepada media pemerintah India, DD News.

    Detik-detik Pesawat Jatuh

    Foto Air India Timpa Permukiman: (REUTERS/Amit Dave)

    Pria yang berusia 40 tahun itu menceritakan detik-detik pesawat Air India itu jatuh. Dia mengaku selama lima hingga 10 detik, dia merasakan pesawat seperti “tersangkut di udara”.

    Lalu, pesawat itu jatuh menabrak sebuah gedung yang difungsikan sebagai akomodasi dokter di Byramjee Jeejeebhoy Medical College and Civil Hospital. Ramesh mengatakan bahwa bagian pesawat tempat dirinya duduk mendarat dekat tanah dan tidak bersentuhan dengan gedung tersebut.

    “Ketika pintu pecah, saya melihat ada sedikit celah. Saya berusaha keluar dari sana dan berhasil,” jelasnya.

    “Tidak ada yang bisa keluar dari sisi berlawanan yang menghadap tembok. Bagian itulah yang tertabrak.

    Pria asal Leicester itu tidak percaya bisa keluar hidup-hidup dari reruntuhan. Untungnya, dia cepat tersadar bahwa dia masih selamat dari maut.

    “Saya melihat orang-orang meninggal di depan mata sayapara pramugari, dan dua orang dekat saya,” ujarnya.

    “Saya kira saya juga mati. Tapi ketika saya membuka mata dan melihat sekeliling, saya sadar saya masih hidup.”

    “Saya masih tidak percaya bagaimana saya selamat. Saya berjalan keluar dari reruntuhan.”

    Halaman 2 dari 3

    (zap/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Jakarta

    Para Sherpa, sejak lama digambarkan sebagai “manusia super” yang berperan sebagai pemandu dan porter di Gunung Everest. Mereka menghadapi banyak bahaya di gunung dan kini mulai berbagi kisah dari sudut pandang mereka. Adakah cara meminimalisir risiko pekerjaan mereka?

    Radio di Posko Utama Gunung Everest sempat berbunyi, lalu hening.

    Dorchi Sherpa, pemimpin posko saat itu, menempelkan alat itu ke telinganya, berusaha mendengar siaran lain.

    Di luar tendanya, siluet besar pegunungan Himalaya terlihat di langit fajar.

    Tenda-tenda ekspedisi tersebar di punggung bukit berbatu di bawahnya, ramai dengan aktivitas pada tanggal 22 Mei, hari tersibuk musim pendakian semi 2024.

    “Saat mendengar transmisi terakhir itu, hati saya mencelos,” kata Dorchi pada saya kemudian, wajahnya serius mengingat kejadian itu. “Cuaca cerah, tapi jelas ada sesuatu yang salah di atas sana.”

    Pesan yang terputus-putus itu adalah panggilan darurat terakhir dari Nawang Sherpa, pemandu berusia 44 tahun. Ia sedang memimpin Cheruiyot Kirui, seorang pendaki asal Kenya, menuju puncak gunung tertinggi di dunia itu.

    Para pemandu dan porter terkenal di Himalaya ini, seringkali salah digambarkan sebagai “manusia super”, seolah-olah mereka tidak terpengaruh oleh ketinggian, usaha keras, dan kekurangan oksigen.

    Namun, prestasi legendaris mereka di Everest datang dengan pengorbanan besar, seperti yang diungkap dalam banyaknya penelitian, serta wawancara dengan para pendaki, dokter, dan pejabat setempat.

    Jadi, apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2024dan apa yang diungkapkannya tentang perjuangan yang lebih besar terkait kesehatan dan kesejahteraan Sherpa?

    ‘Klien kelihatan tidak sehat’

    Seperti kebanyakan tragedi di Everest, kejadian ini bermula dari ambisi, dan bagi si pemandu, kebutuhan ekonomi.

    Nawang Sherpa, yang bekerja untuk perusahaan trekking asal Nepal, memulai pendakian terakhirnya menuju puncak Everest bersama Kirui.

    Istilah “Sherpa”, yang kini sering digunakan sebagai sebutan pekerjaan untuk pemandu di Himalaya, sebenarnya merujuk pada kelompok etnis dari dataran tinggi timur Nepal.

    Nawang Sherpa, dan orang-orang lain dengan nama keluarga Sherpa yang disebutkan dalam artikel ini, termasuk dalam kelompok etnis tersebut, selain juga bekerja sebagai pemandu.

    Sejak kegiatan pendakian gunung dimulai di wilayah itu, orang-orang Sherpa telah membawa beban terberat di Gunung Everest, mulanya untuk penjelajah kolonial, dan kemudian, untuk para turis.

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang selalu membawa beban terberat dalam setiap pendakian.

    Kirui berusaha bergabung dengan kelompok pendaki yang mencapai puncak tanpa bantuan oksigen tambahan.

    Sejak 1953, ketika Everest pertama kali didaki, hanya sekitar 2% dari semua pendakian yang sukses hingga ke puncak, menurut catatan dari Himalayan Database.

    Dalam unggahan media sosialnya sebelum ekspedisi, Kirui menunjukkan kegembiraannya mencoba pendakian “murni” ini, setelah sebelumnya berhasil mendaki gunung lain tanpa bantuan oksigen.

    Tantangan mendaki tanpa peralatan pendukung, jelas merupakan batas petualangan baru bagi pendaki gunung berpengalaman itu.

    Pada saat-saat kritis di ketinggian gunung, ketika tabung oksigen dibutuhkan, masih belum jelas apakah penolakannya adalah pilihan yang disengaja sesuai dengan ambisi yang ia inginkan, atau apakah penilaiannya sudah terganggu karena dampak ketinggian.

    Dorchi Sherpa, manajer posko utama, menerima transmisi radio dari Nawang saat mereka mencapai ketinggian 8.800 meter.

    Pada ketinggian itu, yang oleh para pendaki disebut zona kematian, tubuh manusia mulai mati. Dengan tekanan atmosfer sepertiga dari permukaan laut, napas mulai sulit dan hanya memberikan sedikit oksigen untuk mempertahankan fungsi dasar tubuh.

    “Kliennya sepertinya tidak sehat,” suara Nawang Sherpa berderak sampai ke Posko Utama pada pukul 08:07, gangguan angin membuat kata-katanya terputus-putus saat ia melapor kepada Dorchi.

    “Oksigen,” jawab Dorchi Sherpa segera. “Pasangkan dia oksigen dan mulailah turun.”

    Menurut Dorchi Sherpa, Nawang memohon kepada Kirui selama beberapa menit untuk menerima tabung oksigen tambahan dari ranselnya.

    Kirui menolak, kata Dorchi. “Tidak pakai oksigen,” ia mengulang dengan gelisah. “Tidak pakai oksigen.”

    Pada pukul 09:23, ketika suara Nawang Sherpa kembali melalui radio, ketakutan telah menggantikan kekhawatiran. “Tidak bisa menggerakkannya,” lapornya. “Dia jadi… marah. Saya tidak bisa menyeretnya turun sendirian.”

    Selama dua jam berikutnya, Kirui menolak oksigen tambahan meski Nawang Sherpa mendesaknya berulang kali untuk menggunakannya, menurut Dorchi Sherpa.

    Meskipun menunjukkan tanda-tanda jelas penyakit ketinggian, termasuk merasa linglung dan bicara cadel, pendaki Kenya itu tetap bertekad untuk melanjutkan pendakiannya tanpa oksigen tambahan.

    Getty ImagesPara pendaki jalan beriringian menuju puncak Everest.

    Jalan buntu ini berujung fatal. Kedua pria itu meninggal di Everest. Jasad mereka masih di sana: jasad pendaki Kenya itu tetap berada di lokasi terakhir ia terlihat, sementara jasad Nawang belum ditemukan.

    Tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi pada saat-saat terakhir yang krusial itu dan kemungkinan besar, kita tidak akan pernah tahu.

    Tentu saja, semua orang memulai perjalanan dengan niat terbaik. Kekasih Kirui, Nakhulo Khaimia, menggambarkan perjalanan itu sebagai impian lama baginya, yang telah ia persiapkan dengan cermat.

    “Dia mencurahkan waktu, energi, dan seluruh hidupnya untuk itu,” katanya. “Kehidupannya berputar pada persiapan untuk Everest.”

    James Muhia, yang tidak ikut dalam ekspedisi Everest tetapi pernah mendaki gunung lain bersama Kirui tanpa oksigen, mengatakan ia percaya temannya membawa tabung oksigen untuk digunakan dalam keadaan darurat.

    “Apakah dia menggunakan tabung darurat itu atau tidak, kita tidak tahu,” katanya.

    Sementara itu, Nawang adalah pemandu gunung berpengalaman yang belum pernah mencapai puncak Everest sebelumnya, tetapi telah mencapai puncak-puncak tinggi lainnya di Himalaya, menurut keluarganya.

    Namun, mereka yang bekerja di gunung, memperingatkan sejumlah faktor, termasuk kondisi kerja para Sherpa, dapat membuat situasi mematikan semacam ini menjadi sangat rumit, dan sulit diselesaikan dengan aman.

    Sorotan kepada Sherpa

    Menurut Sanu Sherpa, seorang pemandu veteran yang memegang rekor sebagai satu-satunya orang yang telah mencapai puncak ke-14 gunung dengan ketinggian 8.000 mdpl sebanyak dua kali, kematian Nawang bukanlah tragedi yang tiba-tiba terjadi, melainkan pola yang dapat diprediksi dalam pendakian gunung.

    Saya berbicara dengan Sanu Sherpa di apartemennya di Kathmandu, saat ia sedang bersiap untuk pendakian ke-45. Meskipun telah dua kali mendaki ke-14 gunung tertinggi di dunia, ia tidak berbicara tentang kepuasan pribadi melainkan tentang kewajiban profesional.

    “Saya tidak berpikir Nawang ceroboh atau bodoh,” katanya. “Dia melakukan persis seperti apa yang telah kami pelajari dalam pelatihan untuk bertanggung jawab hingga akhir. Tragedi ini bukan hanya karena dia meninggal, tetapi karena kematian adalah pilihan yang paling tepat secara profesional yang bisa dia buat.”

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang membawa barang-barang pendaki.

    Di Everest dan puncak-puncak Himalaya lainnya, tragedi yang melibatkan Sherpa seperti ini terjadi setiap tahun dengan sedikit perhatian publik, kata Sanu Sherpa. Ini menciptakan daftar panjang pengorbanan yang dilakukan demi ambisi orang asing.

    Dituntut untuk profesional sebagai pemandu dapat menempatkan mereka dalam bahaya besar, terutama jika digabungkan dengan risiko inheren melakukan pekerjaan berat di lingkungan ekstrem, demikian hasil beberapa penelitian.

    Pemandu Sherpa seringkali terjebak antara nilai-nilai tradisional pelayanan dan pengabdian, tekanan ekonomi dari industri di mana pemandu dipekerjakan berdasarkan reputasi pribadi mereka, dan kenyataan hidup atau mati saat bekerja di ketinggian ekstrem.

    Dalam situasi ini, kepuasan klien seringkali lebih diutamakan daripada keselamatan pribadi.

    Tragedi ini menyoroti risiko yang diambil oleh Sherpa seperti Nawang ketika mereka setuju untuk menemani seorang klien.

    Bekerja sebagai pemandu atau porter di Everest menawarkan peluang ekonomi langka di salah satu wilayah termiskin di dunia.

    Namun, pekerjaan ini menuntut harga yang tak tertandingi dalam profesi jasa apa pun, di mana para pekerja secara rutin mengorbankan kesejahteraan mereka demi klien.

    Ketika tragedi melanda, para Sherpa seringkali menghilang dari cerita.

    Menurut Himalayan Database, sebanyak 132 Sherpa tewas di lereng Everest, 28 di antaranya terjadi dalam 10 tahun terakhir.

    Mereka terjatuh ke jurang, hancur tertimpa serac yang runtuh (bongkahan es besar), atau menghilang begitu saja di luasnya gunung saat melayani klien mereka.

    Sementara para pendaki asing mungkin melihat bahaya ini sebagai risiko yang dapat diterima demi pencapaian pribadi mereka, bagi para pemandu dan porter di Everest, data tersebut menyajikan kenyataan tempat kerja yang suram: 1,2% dari pekerja ini meninggal saat bertugas.

    Ini adalah bahaya pekerjaan yang luar biasa menurut standar ukuran apa pun.

    Pada masa lalu, risiko yang dihadapi para Sherpa seringkali diremehkan. Sebaliknya, orang asing cenderung menonjolkan kekuatan dan ketahanan mereka.

    Ini adalah gambaran yang mulai secara terbuka ditentang oleh para Sherpa sendiri.

    Dawa Sherpa, perempuan Nepal pertama yang mendaki 14 puncak gunung tertinggi Himalaya itu, menyoroti kesalahpahaman berbahaya tentang Sherpa yang memiliki kemampuan manusia super.

    Ia telah menyaksikan dampak fisik yang terjadi: para pemandu menopang klien yang kesulitan selama berjam-jam, menyiapkan makanan di ketinggian, dan membatasi oksigen mereka agar klien bisa terus mendaki.

    “Mereka bukan manusia super. Sherpa sering memaksakan diri melampaui batas aman demi memprioritaskan tujuan puncak orang lain,” kata Dawa Sherpa.

    “Saya melihat mereka kembali dengan radang dingin atau kekurangan oksigen karena mereka mengorbankan keselamatan mereka demi pencapaian orang lain.”

    Ia mencatat bahwa pendaki kaya terkadang mempekerjakan beberapa Sherpa per ekspedisi.

    Ketika kelelahan saat turun, mereka berharap untuk dibantu secara fisik ke bawah. Dinamika ini, ia menekankan, membuat gunung menjadi lebih berbahaya bagi mereka yang memikul beban terberat.

    Kekuatan yang tidak setara

    Saat berbicara tentang bahaya yang mereka hadapi, para Sherpa yang diwawancarai oleh BBC terus kembali ke masalah mendasar dari ketidakseimbangan kekuatan yang sangat tidak setara: ketidakmampuan pemandu untuk menolak permintaan berbahaya klien, bahkan ketika kesehatan mereka terancam, karena takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

    “Sherpa tidak mendaki untuk ketenaran dan kemuliaan, atau untuk suatu pencapaian.

    Mereka mendaki karena terkadang itu satu-satunya sumber penghidupan. Kenyataan mendasar itulah yang membentuk setiap keputusan yang dibuat di gunung,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal (NMA).

    Asosiasi ini menyediakan program pelatihan bagi pemandu dan porter untuk meningkatkan standar keselamatan dan kualifikasi profesional.

    “Kendala sistemik ini membantu menjelaskan mengapa pemandu seperti Nawang membuat pilihan yang mereka lakukan,” kata Nuru Sherpa.

    “Konsekuensi profesional dari meninggalkan klien, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan dalam industri berbasis reputasi, kemungkinan besar sama beratnya dengan masalah keselamatan langsung pada saat-saat pengambilan keputusan ketika seseorang kehilangan oksigen.”

    Dia menambahkan, “Ketika seluruh keluarga Anda bergantung pada pekerjaan Anda sebagai pemandu gunung, pergi begitu saja menjadi hampir tidak mungkin.”

    Sementara itu, prestasi luar biasa para Sherpa sendiri cenderung menarik sedikit perhatian. Pada Mei 2025, Sherpa Nepal, Kami Rita memecahkan rekornya sendiri untuk jumlah pendakian Gunung Everest terbanyak, ketika ia mendaki puncak tertinggi di dunia untuk ke-31 kalinya.

    Sanu Sherpa mengatakan bahwa pencapaiannya sebagian besar tetap tidak diakui bahkan di Nepal sendiri, sementara prestasi yang jauh lebih kecil oleh pendaki gunung asing seringkali menerima perayaan dan imbalan finansial yang lebih besar.

    Getty ImagesPencapaian Sherpa tidak banyak mendapat pengakuan, dibandingkan pendaki asing dengan sedikit pencapaian tetapi mendapat imbalan finansial yang besar.

    Membawa sampanye ke Everest

    Hubungan tidak setara antara pendaki Barat dan Sherpa lahir dalam bayang-bayang kolonialisme.

    Ketika ekspedisi Inggris pertama kali mendekati Gunung Everest pada tahun 1920-an, mereka merekrut pria lokal sebagai “kuli”istilah yang dipinjam dari masa kolonialuntuk membawa perlengkapan mereka yang sangat banyak, termasuk semuanya mulai dari peralatan makan perak hingga kotak sampanye.

    Sherpa-Sherpa awal ini hanya menerima sedikit pengakuan. Nama mereka jarang muncul dalam catatan ekspedisi, kecuali jika terjadi bencana.

    Dalam kronik salah satu ekspedisi awal ini, petualang Inggris George Mallory menyebut mereka terutama ketika tujuh porter tewas dalam longsoran saljukematian pertama yang tercatat di Everest.

    Pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan pudarnya kesan imperial dalam pendakian gunung, dinamika mulai bergeser.

    Pendakian Tenzing Norgay pada 1953 bersama Edmund Hillary terpaksa mengakui keterampilan Sherpa, setelah pers internasional awalnya meremehkan pencapaiannya, menggambarkannya sebagai pendamping yang mengagumkan dan teman yang ceria bagi Hillary yang heroik.

    Era komersial dimulai pada 1980-an, mengubah Everest menjadi pasar dan Sherpa menjadi penyedia layanan penting.

    Ketika klien kaya dengan keterampilan teknis terbatas mulai mengejar puncak, tanggung jawab Sherpa meluas secara dramatis.

    Tidak lagi hanya pembawa beban, mereka menjadi pemandu, teknisi keselamatan, dan terkadang penyelamat, peran yang menuntut keterampilan lebih besar tetapi datang dengan otoritas tambahan yang terbatas.

    Pemimpin ekspedisi Barat mempertahankan kekuatan pengambilan keputusan sementara Sherpa menanggung peningkatan risiko fisik.

    Bencana menjadi titik balik. Pada 2014, 16 pekerja Nepal tewas dalam satu longsoran salju saat mempersiapkan rute untuk klien komersial, Sherpa di seluruh Everest melakukan penghentian kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Tindakan kolektif mereka memaksa perhitungan dalam ketidakadilan pada industri wisata alam itu dan menghasilkan perbaikan sederhana dalam cakupan asuransi dan kompensasi.

    Para ahli memperingatkan, akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan antara pemandu dan klien, dalam lingkungan ekstrem di mana pemikiran seseorang menjadi kabur akibat ketinggian, dan setiap keputusan yang salah bisa berakibat fatal.

    Hasilnya, mereka memberi tahu BBC, industri wisata alam ekstrem itu telah menormalisasi kondisi yang mengancam jiwa sebagai bagian dari deskripsi pekerjaan bagi para pemandu, yang harus secara rutin menempatkan diri mereka dalam bahaya besar untuk memenuhi aspirasi pelanggan mereka.

    Kabut Otak

    Di Dingboche, pada ketinggian 4.410 meter di jalur menuju Everest Base Camp, petugas medis ekspedisi Abhyu Ghimire bergerak di antara ruang-ruang pemeriksaan di Mountain Medical Institute.

    Di luar jendelanya, puncak-puncak Ama Dablam yang bergerigi menjulang di antara langit biru cerulean. Ini adalah musim ekspedisi, dan hari-harinya membentang dari fajar hingga jauh setelah senja.

    Setelah berhasil mencapai puncak Everest sendiri dan bekerja sebagai petugas medis selama hampir satu dekade, dia telah menyaksikan secara langsung bagaimana ketinggian memengaruhi pikiran dan tubuh.

    Efek ini dapat semakin memperumit dinamika klien-pemandu, keputusan yang dibuat dan membahayakan nyawa.

    “Otak menjadi sangat ‘berkabut’ di ketinggian,” jelasnya dalam panggilan video di antara konsultasi pasien. “Otak seharusnya berfungsi pada saturasi oksigen 99% di atas permukaan laut. Di sana, bahkan saturasi oksigen 50-60% sering terdeteksi.”

    Kemunduran kognitif ini, tidak terlihat tetapi berpotensi mematikan, mengubah kepribadian dan pengambilan keputusan dengan cara yang menentang penjelasan rasional.

    “Otak berfungsi jauh di bawah kapasitas dan pengambilan keputusan menjadi sangat terganggu,” kata Ghimire. “Ini bahkan dapat menyebabkan halusinasi.”

    Transformasi ini bisa mendalam dan membingungkan: “[Bahkan] sahabat Anda di ketinggian itu dapat memicu reaksi yang sangat intens di sana, sehingga jika seseorang hanya meminta Anda untuk mengoper botol air, Anda mungkin melemparkannya ke wajah mereka. Seseorang yang familiar menjadi orang asing,” jelasnya.

    Menurut Ghimire, pendaki Kenya Kirui akan mengalami kerusakan kognitif progresif saat dia mendaki lebih tinggi tanpa oksigen tambahan.

    Pada saat Nawang Sherpa menghubungi base camp untuk melaporkan kliennya tampak tidak sehat, pusat pemikiran rasional Kirui mungkin sudah tidak berfungsi, kata Ghimire.

    Penolakan Kirui terhadap oksigen tambahan sejalan dengan efek paradoks hipoksia (kekurangan oksigen) yang dikenal: semakin otak kekurangan oksigen, semakin tidak mampu ia mengenali gangguannya.

    Penilaian Nawang Sherpa sendiri akan semakin terganggu oleh ketinggian meskipun ia menggunakan oksigen tambahan, kata Ghimire, karena oksigen dalam tabung tersebut tidak cukup untuk memberikan kondisi oksigen setara dataran biasa kepada pendaki, melainkan, hanya memberikan oksigen sebanyak yang akan mereka miliki pada ketinggian sekitar 6.000 7.000m.

    Pasokan oksigen yang terbatas ini, bersama dengan kelelahan, potensi dehidrasi, dan dingin ekstrem yang dihadapi pemandu, dapat mengurangi kejernihan mentalnya sendiri, kata Ghimire.

    Selain itu, Nawang Sherpa akan menghadapi apa yang Ghimire gambarkan sebagai masalah umum: “Sering kali, klien yang menghadapi hipoksia menjadi sulit dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan pemandu mereka.”

    Bahaya tersembunyi di ketinggian yang lebih rendah

    Tantangan fisik yang dihadapi para pekerja gunung di Nepal jauh melampaui momen-momen krisis di atas Base Camp.

    Dampak fisik sehari-hari dimulai jauh lebih rendah dari puncak gunung, menumpuk selama bertahun-tahun pelayanan mereka.

    “Pada ketinggian di atas 4.000m, tinggal untuk waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gunung kronis,” Ghimire menjelaskan.

    Kondisi ini, yang secara medis dikenal sebagai penyakit Monge (atau Penyakit Gunung Kronis), bermanifestasi sebagai trias gejala berbahaya: “polisitemia, di mana darah menjadi sangat kental, hipertensi pulmonal, di mana paru-paru menjadi tertekan, dan hipoksia kronis, yaitu oksigen yang terus-menerus rendah dalam darah,” katanya.

    Getty ImagesSalah satu pendaki di Himalaya.

    Ada juga risiko berbeda untuk pemandu Sherpa dan non-Sherpa. Etnis Sherpa memiliki adaptasi genetik terhadap ketinggian selama beberapa generasi, sementara pekerja yang semakin banyak direkrut dari kelompok Nepal lainnya tidak memiliki keunggulan biologis ini, kata Ghimire.

    Perbedaan ini penting secara medis, karena mereka yang tidak memiliki adaptasi ketinggian menghadapi risiko yang jauh lebih tinggi saat melakukan pekerjaan yang sama di lingkungan yang kekurangan oksigen.

    Dinamika populasi di wilayah Khumbu memperparah risiko ini. “Banyak orang dari dataran rendah datang ke sini mencari pekerjaan,” kata Ghimire. “Mereka bermigrasi ke dataran tinggi tetapi tidak memiliki dua gen yang telah diteliti yang akan membuat mereka lebih tangguh terhadap kondisi ini.

    Mereka terpaksa menghabiskan waktu lama di dataran tinggi, yang menyebabkan masalah jantung, masalah darah, kekurangan vitamin D, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.”

    Menurut Nima Ongchuk Sherpa, seorang dokter dari Khunde, tiga porter dari daerah yang lebih rendah telah kehilangan nyawa akibat komplikasi terkait ketinggian tahun ini, bahkan semuanya di bawah base camp.

    Dukungan lebih banyak untuk sherpa

    Di markas Departemen Pariwisata di pusat Kathmandu, Rakesh Gurung, mantan direktur bagian pendakian gunung, berbicara dengan kekhawatiran yang terukur.

    Duduk di balik meja kayu tua di kantor pemerintahan sederhana, tempat izin pendakian diproses dan peraturan ekspedisi dirancang, ia merenungkan tantangan industri.

    “Ada kegagalan sistematis dalam memberikan keselamatan yang layak bagi Sherpa,” ia mengakui. “Meskipun kami memiliki peraturan dasar, membuat dan menegakkan kode etik yang komprehensif terbukti sangat sulit.

    Industri ini terfragmentasi, dengan lusinan operator bersaing dalam harga daripada standar keselamatan.”

    Dia mengatakan departemen pariwisata kekurangan sumber daya dan keahlian khusus untuk secara efektif memantau apa yang terjadi di ketinggian ekstrem.

    Selain itu, lanskap politik Nepal yang terus berubah mempersulit penyusunan rencana yang efektif, katanya.

    “Kami telah memiliki beberapa pemerintahan yang berbeda dalam dekade terakhir saja, pengembangan kebijakan yang konsisten hampir tidak mungkin. Setiap pemerintahan baru membawa prioritas yang berbeda dalam manajemen pariwisata.”

    Ketidakseimbangan kekuatan ini melampaui hubungan pemandu-klien individual hingga kerangka peraturan itu sendiri, serta ekonomi tenaga kerja di ketinggian. Seorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 (antara Rp80 juta – Rp190 juta) dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399 (Rp22 juta).

    Namun, penghasilan ini menopang keluarga dan datang dengan risiko fisik yang luar biasa. Ketika tragedi menimpa, jaring pengaman finansial tetap tidak memadai, kata para pemandu.

    “Yang hilang adalah perhitungan berkelanjutan dengan ketidakadilan struktural yang membuat Nepal terikat pada ekonomi berbahaya ini, dan ketiadaan alternatif nyata,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal.

    “Ketika suatu komunitas memiliki pilihan terbatas, gunung menjadi bukan hanya latar belakang kita tetapi sebuah keharusan, terlepas dari dampak fisik.”

    Pemerintah baru-baru ini meningkatkan asuransi jiwa wajib untuk Sherpa menjadi sekitar $14.400 (Pound 10.825), tetapi para pemandu mengatakan ini jauh dari cukup untuk memberikan kompensasi kepada keluarga yang bergantung atas hilangnya pendapatan dan perawatan seumur hidup.

    Keluarga Nawang Sherpa menerima pembayaran asuransi standar ini setelah kematiannya, dengan majikannya mengumpulkan sumber daya tambahan untuk memberikan beberapa dukungan tambahan.

    Getty ImagesSeorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399.

    Bahkan peraturan keselamatan dasar pun sulit ditegakkan di tempat kerja tertinggi di dunia.

    Menurut Departemen Pariwisata, peraturan pendakian gunung di Nepal secara eksplisit melarang pendakian solo di atas 8.000 meter demi alasan keselamatan. Namun, setiap musim selalu ada pendaki terkenal yang mencoba upaya semacam itu, dengan sedikit konsekuensi.

    Sandesh Maskey, seorang petugas ekspedisi di Departemen Pariwisata, mengatakan bahwa pendaki dilarang mendaki Everest sendirian.

    “Kami belum memberikan izin kepada [pendaki solo] untuk melakukan ini sendirian. Itu tidak etis dan mereka akan melanggar hukum jika melakukannya.”

    “Kami berharap pendaki bersikap etis, tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang melanggar aturan karena mereka tahu bahwa begitu mereka berada di gunung, kami tidak memiliki cara praktis untuk memantau atau menghentikan mereka,” katanya.

    “Begitu pendaki bergerak di atas Base Camp, mekanisme pengawasan tradisional menjadi tidak praktis.”

    Musim semi ini, sebagai tanggapan atas meningkatnya masalah keselamatan, Departemen Pariwisata menerapkan peraturan baru untuk musim pendakian 2025.

    Baca juga:

    Semua ekspedisi ke puncak di atas 8.000 meter sekarang harus menjaga rasio satu pemandu untuk setiap dua pendaki.

    Departemen juga telah membuat perangkat teknologi reflektor wajib untuk semua ekspedisi guna membantu menemukan pendaki yang hilang.

    Namun Sanu Sherpa, pemandu berpengalaman di Kathmandu yang sedang mempersiapkan ekspedisi berikutnya, ragu bahwa ini akan mengubah banyak halmengingat betapa sulitnya menegakkan aturan-aturan ini di Everest.

    Saat dia bersiap untuk memulai ekspedisi Everest lagi keesokan harinya, dia mengakui bahwa dia selalu ingin berhenti dari pekerjaannya.

    “Sangat menakutkan dengan empat anak dan hidup mereka sepenuhnya bergantung pada saya. Mereka bertanya mengapa saya mendaki gunung sama sekali.”

    Kisah ini diperbarui pada 02/06/2025 untuk memperjelas bahwa Cheruiyot Kirui belum pernah mendaki Gunung Everest tanpa oksigen sebelumnya.

    Versi Bahasa Inggris dari Artikel ini berjudul ‘It’s terrifying’: The Everest climbs putting Sherpas in danger dapat Anda baca di laman BBC Future.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Serangan ke Pangkalan Militer Al-Udeid di Qatar Bisa Terulang

    Serangan ke Pangkalan Militer Al-Udeid di Qatar Bisa Terulang

    GELORA.CO  – Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei mengeluarkan peringatan keras kepada Amerika Serikat pada Jumat (11/7/2025).

    Khamenei dengan tegas mengatakan bahwa serangan terhadap Pangkalan udar Al- Udeid di Qatar, yang menjadi markas utama militer AS di Timur Tengah dapat terulang jika ketegangan militer terus meningkat.

    “Penyerangan terhadap Pangkalan Udara Al Udeid bukanlah insiden kecil, melainkan insiden besar yang dapat terulang,” kata pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei, dikutip dari Al-Arabiya.

    Pernyataan ini merujuk pada serangan rudal balistik yang dilancarkan Iran bulan lalu sebagai balasan atas serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran.

    Khamenei menekankan bahwa Iran memiliki kemampuan untuk menjangkau dan menghantam situs-situs militer penting milik Amerika di kawasan.

    “Kami mampu mencapai situs-situs penting Amerika di kawasan itu,” kata Khamenei.

    Rudal Iran Menghantam Pangkalan AS

    Pada 23 Juni lalu, satu rudal balistik iran berhasil menghantam Pangkalan udara Al-Udeid.

    Menurut pernyataan Pentagon, rudal tersebut menyebabkan kerusakan ringan pada radome, struktur pelindung peralatan komunikasi, meski tidak ada laporan korban luka.

    Juru Bicara Pentagon, Sean Parnell, mengklaim bahwa sebagian besar rudal lainnya berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara gabungan AS-Qatar. 

    “Satu rudal balistik Iran menghantam Pangkalan Udara Al Udeid pada 23 Juni, sementara rudal lainnya dicegat oleh sistem pertahanan udara AS dan Qatar,” kata Parnell.

    Menurutnya, tidak ada dampak serius sehingga pangkalan udara tersebut dapat berfungsi kembali.

    “Tidak ada korban luka. Pangkalan Udara Al Udeid tetap beroperasi penuh dan mampu menjalankan misinya, bersama mitra Qatar kami, untuk memastikan keamanan dan stabilitas di kawasan,” ujar Parnell.

    Citra satelit terbaru memperlihatkan kerusakan pada salah satu fasilitas komunikasi di pangkalan tersebut. 

    Meskipun tidak signifikan secara struktural, insiden ini menunjukkan bahwa sistem pertahanan udara AS masih bisa ditembus.

    Sebagaimana hal ini diakui oleh Jenderal Dan Caine. 

    Ia menyebut serangan tersebut sebagai “pertempuran Patriot tunggal terbesar dalam sejarah militer AS.”

    Iran mengklaim bahwa serangan ke Al-Udeid adalah bagian dari Operasi Annunciation of Victory, sebagai respons atas apa yang disebutnya “agresi militer terang-terangan” oleh AS terhadap fasilitas nuklir Iran.

    Dalam pernyataannya, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menegaskan bahwa Al-Udeid adalah “aset strategis terbesar tentara Amerika di Asia Barat” dan bukan sekadar pangkalan biasa.

    “Pangkalan dan aset militer bergerak AS di kawasan tersebut bukanlah titik kekuatan, melainkan kerentanan utama,” demikian peringatan pernyataan tersebut, dikutip dari Al-Jazeera.

    Kementerian Pertahanan Qatar menyatakan bahwa sistem pertahanan udaranya berhasil mencegat sebagian besar rudal yang mengarah ke pangkalan Al-Udeid, dan bahwa mereka telah menerima peringatan sebelum serangan terjadi.

    “Pukul 19.30 waktu setempat, kami menerima laporan bahwa tujuh rudal diluncurkan dari Iran menuju Pangkalan Udara Al Udeid,” kata pejabat Qatar.

    Mereka mengonfirmasi bahwa pangkalan telah dievakuasi sebelum rudal menghantam, demi keselamatan personel.

    Meski demikian, Iran dengan tegas menyatakan bahwa serangannya tidak bertujuan menyasar rakyat atau infrastruktur sipil Qatar. 

    Dalam pernyataan resmi, Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran menyebut bahwa tindakan itu “tidak menimbulkan ancaman apa pun bagi negara sahabat dan persaudaraan, Qatar.”

    Sebagai informasi, Pangkalan Udara Al-Udeid merupakan pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, menampung sekitar 10.000 tentara. 

    Dibangun pada 1996, pangkalan seluas 24 hektar di barat daya Doha ini menjadi markas utama Komando Pusat AS (CENTCOM) untuk wilayah Asia Barat dan sekitarnya, mulai dari Mesir hingga Kazakhstan.

    Selain tentara AS, Al-Udeid juga menjadi rumah bagi Angkatan Udara Qatar, Inggris, serta sejumlah kontingen militer asing lainnya

  • Pajak Orang Kaya di Inggris Bakal Sulit Diterapkan di Tengah Krisis Likuiditas

    Pajak Orang Kaya di Inggris Bakal Sulit Diterapkan di Tengah Krisis Likuiditas

    Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu panelis dalam Komisi Pajak kekayaan Inggris sekaligus pendukung Partai Buruh menilai Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves tidak akan menerapkan pajak kekayaan bagi miliarder dalam waktu dekat, meski defisit keuangannya semakin bengkak.

    Associate professor di London School of Economics Andy Summers menyampaikan bahwa tidak ada peluang mereka akan memperkenalkan pajak kekayaan dalam anggaran berikutnya. 

    “Kecuali Departemen Keuangan telah bekerja secara rahasia selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, maka hal itu tidak mungkin dilakukan,” ujarnya, dkutip dari Bloomberg, pada Sabtu (12/7/2025). 

    Pasalnya, Reeves membutuhkan 30 miliar poundsterling (US$40 miliar) pada musim gugur ini untuk menutup defisit keuangan nasional yang memburuk akibat perubahan kebijakan yang mahal terkait tunjangan yang dipaksakan padanya oleh anggota parlemen Partai Buruh yang memberontak. 

    Pajak kekayaan menjadi satu pilihan di samping terbatasnya kebijakan Reeves karena dirinya telah berjanji tidak menaikkan tarif pajak secara umum. 

    Bagi banyak anggota parlemen Partai Buruh, solusi terletak pada pajak kekayaan, dengan tokoh-tokoh di kiri termasuk Diane Abbott, anggota parlemen perempuan terlama di Inggris, mengangkat isu ini di House of Commons. 

    Serikat buruh terbesar di Inggris juga mendukung langkah tersebut, dan dalam seminggu terakhir, tokoh senior Partai Buruh dan mantan pemimpin Neil Kinnock, menyarankan agar menteri-menteri memperkenalkannya. 

    Perdana Menteri Keir Starmer menambah spekulasi dengan menolak untuk menyingkirkan kemungkinan pajak kekayaan minggu ini. Pada Senin, juru bicaranya, Tom Wells, ditanya berulang kali tentang pajak tersebut, dan menjawab: “Pemerintah berkomitmen untuk memastikan orang-orang terkaya di masyarakat membayar bagian yang adil dari pajak.” 

    Pada Rabu, Starmer sendiri gagal menyingkirkan kemungkinan tersebut saat ditanya secara eksplisit oleh pemimpin Partai Konservatif oposisi, Kemi Badenoch.

    Kementerian Keuangan mengatakan dalam pernyataan bahwa mereka tidak akan berkomentar tentang “spekulasi” dan bahwa keputusan pajak adalah demi anggaran.

    Risiko Pajak Orang Kaya

    Risiko bagi pemerintah Inggris dalam mempertimbangkan pajak semacam itu adalah investor akan kehilangan minat pada Inggris, terutama setelah kenaikan pajak 40 miliar poundsterlling Reeves dalam anggaran terakhirnya, yang terutama menargetkan bisnis, dan eksodus kekayaan yang terkait dengan perubahan sistem pajaknya terhadap yang disebut non-doms.

    Summers mengatakan ada hambatan lain, yakni pemerintah perlu mengumpulkan data tentang orang-orang terkaya di Inggris dan menilai kekayaan mereka. Namun, HMRC, otoritas pajak Inggris, tidak tahu berapa banyak miliarder yang saat ini membayar pajak di negara tersebut, karena tidak ada kewajiban dalam undang-undang Inggris untuk melaporkan total kekayaan.

    Stuart Adam, ekonom senior di Institut Studi Fiskal yang berpengaruh, mendukung pandangan Summers. Menurutnya, pajak kekayaan yang efektif dan komprehensif akan mencakup properti dan pensiun orang, dan mengumpulkan data serta menetapkan mekanisme untuk melaksanakannya akan memakan waktu beberapa tahun. 

    “Saya tidak melihat cara apa pun untuk menerapkan pajak kekayaan dalam beberapa tahun ke depan,” katanya. 

    Summers mengatakan bahwa penilaian aset adalah hambatan lain. Komisi tersebut menetapkan kebutuhan akan ambang batas yang tinggi, seperti mengenakan pajak kekayaan di atas 10 juta poundsterling, karena pada tingkat yang lebih rendah, biayanya dapat membuatnya tidak layak. 

    Perketat Pajak yang Ada 

    Laporan dari Komisi Pajak Kekayaan Inggris tersebut juga menemukan bahwa perubahan pada pajak yang sudah ada lebih disukai daripada pajak kekayaan tahunan, tetapi pungutan sekali waktu dapat mengumpulkan “pendapatan yang substansial” dan “efisien secara ekonomi.” 

    Jika dikenakan sebesar 1% selama lima tahun pada aset bernilai di atas 10 juta poundsterling, hal itu dapat mengumpulkan 43 miliar poundsterling, kata para penyusun laporan tersebut. 

    Laporan mereka dipengaruhi oleh kebutuhan selama pandemi Covid untuk menutup defisit anggaran yang membengkak akibat program bantuan pandemi yang didanai pemerintah. Summers mengatakan pungutan semacam itu akan “kurang kredibel” sekarang dan orang kaya kurang mungkin percaya bahwa pungutan itu akan tetap sebagai pungutan sekali saja.

    Namun, tokoh senior Partai Buruh Kinnock mengusulkan pungutan 2% atas aset di atas 10 juta poundsterling—tingkat yang juga diusulkan di Parlemen dalam beberapa pekan terakhir. 

    Ada potensi keuntungan politik bagi Reeves dengan mempertimbangkan ide tersebut, karena hal itu akan memberikan kepuasan bagi kalangan kiri. 

    Profesor Ilmu Politik di Universitas Manchester Rob Ford menyampaikan bahwa apa yang telah dipelajari Starmer dan Reeves dengan cara yang sangat sulit adalah bahwa politik simbolis sama pentingnya dengan substansi. 

    “Semua orang di kiri menyukai ide pajak kekayaan, dan itu adalah argumen politik yang mudah untuk diajukan. Simbolisme politik bukanlah hal yang sepele,” tuturnya. 

    Namun, pajak kekayaan memiliki rekam jejak yang buruk ketika diterapkan di negara lain. Negara-negara seperti Jerman, Belanda, Swedia, dan Prancis pernah memperkenalkan pajak kekayaan dalam sejarah mereka, hanya untuk kemudian menghapusnya. 

    Masalah utama di mana pajak kekayaan gagal adalah bahwa berbagai kelas aset dibebaskan, memberi orang kaya opsi untuk menghindari pungutan tersebut, kata Summers.

    “Ketika Anda mulai meninggalkan celah-celah itu, seluruh sistem runtuh,” katanya.

    Salah satu opsi yang tersedia bagi Reeves adalah mengumumkan rencana pajak kekayaan dan memulai persiapan yang diperlukan, tetapi hal itu berisiko memicu eksodus lebih lanjut orang kaya dari Inggris. 

    Sebaliknya, Reeves sebaiknya mempertimbangkan untuk menaikkan pajak lain yang menargetkan orang kaya jika ia ingin meningkatkan pendapatan, menurut Dan Neidle, pendiri Tax Policy Associates.

    “Pajak kekayaan hanyalah slogan politik yang menarik, tetapi bukan kebijakan pajak,” kata Neidle. “Jika kita ingin mengenakan pajak kekayaan secara lebih efektif, jauh lebih masuk akal untuk memperketat pajak yang sudah ada, seperti pajak keuntungan modal dan pajak warisan.”

  • Pajak Orang Kaya di Inggris Bakal Sulit Diterapkan di Tengah Krisis Likuiditas

    Pajak Orang Kaya di Inggris Bakal Sulit Diterapkan di Tengah Krisis Likuiditas

    Bisnis.com, JAKARTA — Salah satu panelis dalam Komisi Pajak kekayaan Inggris sekaligus pendukung Partai Buruh menilai Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves tidak akan menerapkan pajak kekayaan bagi miliarder dalam waktu dekat, meski defisit keuangannya semakin bengkak.

    Associate professor di London School of Economics Andy Summers menyampaikan bahwa tidak ada peluang mereka akan memperkenalkan pajak kekayaan dalam anggaran berikutnya. 

    “Kecuali Departemen Keuangan telah bekerja secara rahasia selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, maka hal itu tidak mungkin dilakukan,” ujarnya, dkutip dari Bloomberg, pada Sabtu (12/7/2025). 

    Pasalnya, Reeves membutuhkan 30 miliar poundsterling (US$40 miliar) pada musim gugur ini untuk menutup defisit keuangan nasional yang memburuk akibat perubahan kebijakan yang mahal terkait tunjangan yang dipaksakan padanya oleh anggota parlemen Partai Buruh yang memberontak. 

    Pajak kekayaan menjadi satu pilihan di samping terbatasnya kebijakan Reeves karena dirinya telah berjanji tidak menaikkan tarif pajak secara umum. 

    Bagi banyak anggota parlemen Partai Buruh, solusi terletak pada pajak kekayaan, dengan tokoh-tokoh di kiri termasuk Diane Abbott, anggota parlemen perempuan terlama di Inggris, mengangkat isu ini di House of Commons. 

    Serikat buruh terbesar di Inggris juga mendukung langkah tersebut, dan dalam seminggu terakhir, tokoh senior Partai Buruh dan mantan pemimpin Neil Kinnock, menyarankan agar menteri-menteri memperkenalkannya. 

    Perdana Menteri Keir Starmer menambah spekulasi dengan menolak untuk menyingkirkan kemungkinan pajak kekayaan minggu ini. Pada Senin, juru bicaranya, Tom Wells, ditanya berulang kali tentang pajak tersebut, dan menjawab: “Pemerintah berkomitmen untuk memastikan orang-orang terkaya di masyarakat membayar bagian yang adil dari pajak.” 

    Pada Rabu, Starmer sendiri gagal menyingkirkan kemungkinan tersebut saat ditanya secara eksplisit oleh pemimpin Partai Konservatif oposisi, Kemi Badenoch.

    Kementerian Keuangan mengatakan dalam pernyataan bahwa mereka tidak akan berkomentar tentang “spekulasi” dan bahwa keputusan pajak adalah demi anggaran.

    Risiko Pajak Orang Kaya

    Risiko bagi pemerintah Inggris dalam mempertimbangkan pajak semacam itu adalah investor akan kehilangan minat pada Inggris, terutama setelah kenaikan pajak 40 miliar poundsterlling Reeves dalam anggaran terakhirnya, yang terutama menargetkan bisnis, dan eksodus kekayaan yang terkait dengan perubahan sistem pajaknya terhadap yang disebut non-doms.

    Summers mengatakan ada hambatan lain, yakni pemerintah perlu mengumpulkan data tentang orang-orang terkaya di Inggris dan menilai kekayaan mereka. Namun, HMRC, otoritas pajak Inggris, tidak tahu berapa banyak miliarder yang saat ini membayar pajak di negara tersebut, karena tidak ada kewajiban dalam undang-undang Inggris untuk melaporkan total kekayaan.

    Stuart Adam, ekonom senior di Institut Studi Fiskal yang berpengaruh, mendukung pandangan Summers. Menurutnya, pajak kekayaan yang efektif dan komprehensif akan mencakup properti dan pensiun orang, dan mengumpulkan data serta menetapkan mekanisme untuk melaksanakannya akan memakan waktu beberapa tahun. 

    “Saya tidak melihat cara apa pun untuk menerapkan pajak kekayaan dalam beberapa tahun ke depan,” katanya. 

    Summers mengatakan bahwa penilaian aset adalah hambatan lain. Komisi tersebut menetapkan kebutuhan akan ambang batas yang tinggi, seperti mengenakan pajak kekayaan di atas 10 juta poundsterling, karena pada tingkat yang lebih rendah, biayanya dapat membuatnya tidak layak. 

    Perketat Pajak yang Ada 

    Laporan dari Komisi Pajak Kekayaan Inggris tersebut juga menemukan bahwa perubahan pada pajak yang sudah ada lebih disukai daripada pajak kekayaan tahunan, tetapi pungutan sekali waktu dapat mengumpulkan “pendapatan yang substansial” dan “efisien secara ekonomi.” 

    Jika dikenakan sebesar 1% selama lima tahun pada aset bernilai di atas 10 juta poundsterling, hal itu dapat mengumpulkan 43 miliar poundsterling, kata para penyusun laporan tersebut. 

    Laporan mereka dipengaruhi oleh kebutuhan selama pandemi Covid untuk menutup defisit anggaran yang membengkak akibat program bantuan pandemi yang didanai pemerintah. Summers mengatakan pungutan semacam itu akan “kurang kredibel” sekarang dan orang kaya kurang mungkin percaya bahwa pungutan itu akan tetap sebagai pungutan sekali saja.

    Namun, tokoh senior Partai Buruh Kinnock mengusulkan pungutan 2% atas aset di atas 10 juta poundsterling—tingkat yang juga diusulkan di Parlemen dalam beberapa pekan terakhir. 

    Ada potensi keuntungan politik bagi Reeves dengan mempertimbangkan ide tersebut, karena hal itu akan memberikan kepuasan bagi kalangan kiri. 

    Profesor Ilmu Politik di Universitas Manchester Rob Ford menyampaikan bahwa apa yang telah dipelajari Starmer dan Reeves dengan cara yang sangat sulit adalah bahwa politik simbolis sama pentingnya dengan substansi. 

    “Semua orang di kiri menyukai ide pajak kekayaan, dan itu adalah argumen politik yang mudah untuk diajukan. Simbolisme politik bukanlah hal yang sepele,” tuturnya. 

    Namun, pajak kekayaan memiliki rekam jejak yang buruk ketika diterapkan di negara lain. Negara-negara seperti Jerman, Belanda, Swedia, dan Prancis pernah memperkenalkan pajak kekayaan dalam sejarah mereka, hanya untuk kemudian menghapusnya. 

    Masalah utama di mana pajak kekayaan gagal adalah bahwa berbagai kelas aset dibebaskan, memberi orang kaya opsi untuk menghindari pungutan tersebut, kata Summers.

    “Ketika Anda mulai meninggalkan celah-celah itu, seluruh sistem runtuh,” katanya.

    Salah satu opsi yang tersedia bagi Reeves adalah mengumumkan rencana pajak kekayaan dan memulai persiapan yang diperlukan, tetapi hal itu berisiko memicu eksodus lebih lanjut orang kaya dari Inggris. 

    Sebaliknya, Reeves sebaiknya mempertimbangkan untuk menaikkan pajak lain yang menargetkan orang kaya jika ia ingin meningkatkan pendapatan, menurut Dan Neidle, pendiri Tax Policy Associates.

    “Pajak kekayaan hanyalah slogan politik yang menarik, tetapi bukan kebijakan pajak,” kata Neidle. “Jika kita ingin mengenakan pajak kekayaan secara lebih efektif, jauh lebih masuk akal untuk memperketat pajak yang sudah ada, seperti pajak keuntungan modal dan pajak warisan.”

  • Cari Kerja Susah! Lulusan Oxford Pilih Banting Setir Jadi Ojol

    Cari Kerja Susah! Lulusan Oxford Pilih Banting Setir Jadi Ojol

    Jakarta

    Terbatasnya lapangan pekerjaan tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di China. Hal tersebut yang membuat lulusan Universitas Oxford, Inggris, bernama DingYuanzhao memilih banting setir menjadi ojek online (ojol) yang bertugas mengantar makanan.

    Disitat dari South Morning China, Ding mengaku kesulitan mencari kerja di China. Padahal, dia punya riwayat pendidikan yang sangat luar biasa. Karuan saja, selain kuliah di Universitas Oxford, dia juga pernah menuntut ilmu di Universitas Tsinghua, Universitas Peking dan Nanyang Technological University.

    Rekam pendidikan yang panjang tersebut rupanya tak cukup untuk ‘memuluskan’ jalan Ding mendapat pekerjaan tetap. Itulah mengapa, dia memilih menjadi ojol atau kurir pengantar makanan.

    Kisah Lulusan Oxford Jadi ojol di China, Sebut Sulit Dapat Kerja Foto: SCMP

    Ding mengaku sangat menikmati profesinya sebagai ojol. Sebab, penghasilannya terbilang cukup untuk menghidupi dia dan keluarganya.

    “Ini pekerjaan yang stabil. Saya bisa menghidupi keluarga dengan penghasilan ini. Jika kita bekerja keras, kita bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Ini bukan pekerjaan yang buruk,” ujar Ding, dikutip Sabtu (12/7).

    Setelah ditelusuri, Ding mulai bekerja sebagai pengantar makanan usai berkuliah di Singapura. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke China untuk menekuni pekerjaan yang sama. Kisah Ding ini menginspirasi banyak orang sekaligus memicu diskusi mengenai sulitnya pasar kerja.

    “Jika Anda belum mencapai hasil yang baik, jangan pesimis atau berkecil hati. Jika Anda telah berhasil, ingatlah bahwa usaha kebanyakan orang tidak terlalu berpengaruh,” kata Ding.

    Tak dijelaskan berapa penghasilan Ding saat menjadi ojol pengantar makanan di China. Namun, menurut detikEdu, saat masih di Singapura dia bisa meraup penghasilan SGD 700 atau Rp 8,8 juta per minggu dengan bekerja 10 jam sehari.

    (sfn/lth)

  • Tottenham Rekrut Kudus, Pemain Depan Andalan West Ham

    Tottenham Rekrut Kudus, Pemain Depan Andalan West Ham

    JAKARTA – Tottenham Hotspur merekrut pemain depan West Ham United Mohamed Kudus. Tottenham pun langsung memberikan kontrak panjang kepada pemain tim nasional Ghana tersebut.

    Klub-klub London yang berkompetisi di Premier League Inggris kembali saling jual beli pemain. Sebelumnya, Arsenal tengah mengupayakan membeli pemain sayap Chelsea Noni Madueke. Transfer itu kemungkinan segera diwujudkan.

    Kini transfer penting kembali melibatkan dua klub London. Kudus yang sesungguhnya gagal mengangkat performa West Ham harus meninggalkan klub yang bermarkas di London Timur itu. Dirinya menyeberang ke London Utara setelah West Ham mencapai kesepakatan melepas pemainnya di Tottenham.

    Tidak disebutkan nilai transfer Kudus. Namun media di Inggris, termasuk The Sun, menerima informasi bila Tottenham harus mengeluarkan dana 55 juta poundterling atau sekira 1,2 triliun rupiah.

    Semula klub London Utara itu mengajukan harga 50 juta pounds, tetapi tawaran itu ditolak The Hammers. Tottenham akhirnya menaikkan penawaran menjadi 55 juta pounds yang langsung disetujui West Ham.

    Di klub anyar, Kudus mendapat kontrak panjang berdurasi enam tahun. Ini berarti kontrak pemain berusia 24 ini baru berakhir pada 2031.

    Kudus yang merupakan andalan lini depan dan sudah bermain 65 kali untuk West Ham dengan mencetak 13 gol dan membuat sembilan assists ini direkrut dari Ajax Amsterdam pada 2023.

    Meski hanya sebentar bermain di West Ham, namun Kudus mengaku senang bisa bergabung dengan Tottenham yang membuka peluang dia bermain di level tertinggi.

    “Klub tersebut memang besar dan memiliki sejarah di Liga Champions. Ini jelas momen bagus dan tentu saya senang bisa bergabung. Saya sudah tak sabar untuk melakukan debut,” ucap Kudus seperti dikutip BBC.

    Keputusan Kudus menerima tawaran juga tak terlepas dari sosok manajer anyar Thomas Frank yang menggantikan Ange Postecoglou.

    “Salah satu hal paling penting mengapa saya datang ke sini [Tottenham] tak lain proyek dari klub dan bagaimana manajer menanganinya. Saya juga ingin makin berkembang di bawah dia,” katanya lagi.

    “Dari sejarahnya, saya menyaksikan dia mengembangkan banyak talenta muda yang kemudian menjadi pemain top. Ini tentu menjadi perekrutan besar dan saya memang ingin bekerja bersama dia,” ujar Kudus.

    Kudus memang gagal di musim lalu. Namun Frank menilai pemain tersebut tetap merupakan aset berharga bagi Tottenham. Dirinya bakal menjadi andalan saat Frank memainkan strategi serangan balik seperti di Brentford.

  • Ekspor Furnitur dari Indonesia ke AS Tertunda Imbas Tarif Trump

    Ekspor Furnitur dari Indonesia ke AS Tertunda Imbas Tarif Trump

    Cirebon, Beritasatu.com – Kebijakan baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menaikkan tarif impor 32% memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri furnitur Indonesia. Salah satunya dirasakan oleh pemilik CV Primadona Rattan, Syarifudin, yang beroperasi di Jalan Singakerta Blok Benda, Desa Warukawung, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon.

    Syarifudin mengungkapkan, kebijakan tersebut telah berdampak langsung terhadap pesanan ekspor, terutama dari konsumen utama mereka di Amerika Serikat.

    “Kami cukup terkejut dengan kebijakan itu. Salah satu konsumen utama kami berasal dari Amerika, dan akibat kenaikan tarif impor, mereka langsung menunda pesanan,” kata Syarifudin, Jumat (11/7/2025).

    Penundaan pesanan tersebut membuat produksi yang sudah dijadwalkan terpaksa dihentikan sementara. Meski situasi tidak menentu, ada secercah harapan terkait penundaan kebijakan tarif impor tersebut.

    “Kami baru saja akan mengirim satu kontainer kursi ke Amerika, dan saat ini kami menanti kepastian. Apabila tarif itu benar-benar diterapkan setelah 3 bulan, bukan tidak mungkin pesanan dari sana akan dihentikan,” tambahnya.

    Beruntung, perusahaan milik Syarifudin masih memiliki pasar alternatif yang relatif stabil. Konsumen dari negara-negara Eropa, seperti Jerman, Bulgaria, dan Inggris masih aktif melakukan pemesanan.

    “Khusus Jerman, mereka bahkan memesan rutin dua hingga tiga kali dalam sebulan, meskipun tergantung pada musim penjualan dan liburan,” jelasnya.

    CV Primadona Rattan saat ini mengoperasikan tiga fasilitas produksi yang mencakup proses dari bahan mentah hingga pengemasan dan pemuatan kontainer. Dengan sekitar 40 karyawan yang bergantung pada keberlanjutan pesanan, ketidakpastian pasar ekspor menjadi tantangan serius.

    “Kalau permintaan menurun drastis, tentu kami khawatir harus mengurangi tenaga kerja. Kami berharap itu tidak sampai terjadi,” ujarnya.

    Syarifudin juga mendorong pemerintah untuk bersikap lebih proaktif dalam melindungi para eksportir nasional yang terdampak kebijakan perdagangan luar negeri.

    “Kami berharap pemerintah hadir, bukan hanya untuk kami para eksportir furnitur, tetapi juga pelaku ekspor lainnya. Karena ekspor bukan hanya soal devisa, tetapi juga menyerap banyak tenaga kerja,” pungkasnya.

  • Rekor! Tas Birkin Pertama Laku Rp 175 Miliar, Diborong Kolektor Jepang

    Rekor! Tas Birkin Pertama Laku Rp 175 Miliar, Diborong Kolektor Jepang

    Jakarta, Beritasatu.com – Tas Hermes Birkin membuat catatan sejarah yang sangat istimewa. Bayangkan saja, sebuah tas Birkin pertama bisa terjual dengan harga fantastis 8,6 juta euro atau sekitar Rp 175 miliar dalam lelang di Paris, Kamis (11/7/2025) waktu setempat. 

    Lelang yang digelar oleh balai lelang kenamaan Sotheby’s berlangsung sengit. Birkin legendaris ini memulai tawaran di angka 1 juta euro, namun cepat melejit hingga 7 juta euro, disambut sorak-sorai para peserta lelang yang memang adu sengit jadi pemilik. 

    Menariknya, orang yang berhasil mendapatkannya justru bukan datang dari Amerika atau Eropa. Alih-alih seorang kolektor asal Jepang berhasil memenangkan lelang itu. 

    Ia kini tercatat sebagai pemilik tas Birkin termahal kedua yang pernah dilelang, hanya kalah dari sepatu merah rubi “The Wizard of Oz” yang laku seharga US$ 32,5 juta tahun lalu.

    “Setelah ditambahkan biaya pembeli, total harga mencapai 8,6 juta euro,mengukuhkan statusnya sebagai salah satu barang fesyen termahal di dunia,” tulis Japan Times, Jumat (11/7/2025). 

    Tas ini dibuat khusus oleh Hermès pada tahun 1984 untuk aktris dan ikon mode Inggris, Jane Birkin. Berbeda dari Birkin komersial, tas ini memiliki tali bahu permanen, klip kuku di bagian dalam, serta ukiran inisial “J.B.” pada flap depan. Desain tersebut disesuaikan dengan gaya hidup Jane Birkin yang aktif dan simpel sebagai seorang ibu.

    Kisah awal tas Birkin ini juga tak kalah unik. Semuanya berawal dari percakapan Birkin dengan Jean-Louis Dumas, kepala Hermès saat itu, dalam penerbangan. Birkin mengeluh tak ada tas yang cukup praktis bagi ibu muda. Ia lalu menggambar desain idealnya di kantong muntah pesawat. Tak lama kemudian, Hermès mewujudkan sketsa tersebut dalam bentuk tas nyata dan mengirimkannya langsung kepada sang aktris.

    Tas tersebut sempat digunakan Birkin hampir satu dekade sebelum ia lelang untuk amal AIDS pada 1994. Setelah berpindah tangan beberapa kali, tas itu terakhir dimiliki oleh kolektor fashion ternama Catherine B, yang menyebutnya sebagai “bintang sejati.”

    Menurut Sotheby’s, Birkin bukan hanya aksesori, melainkan bagian dari sejarah budaya populer—dari dunia musik, film, seni, hingga mode di karpet merah. Penampilan Jane Birkin yang effortless namun elegan, jin, blus putih, mini dress rajut, dan keranjang rotan, masih jadi acuan gaya hingga hari ini.

    “Tas Birkin original ini adalah satu-satunya di dunia. Dari alat praktis, kini menjadi simbol kemewahan paling ikonik dalam sejarah fashion,” ujar Morgane Halimi, Kepala Divisi Tas & Fashion Sotheby’s.

    Kini, Birkin kembali membuktikan dirinya tak hanya sebagai barang mode, tetapi juga sebagai investasi budaya dan simbol status yang terus melampaui generasi.

  • Ekonomi Inggris Kontraksi, Ambles 0,1%

    Ekonomi Inggris Kontraksi, Ambles 0,1%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perekonomian Inggris secara tak terduga kembali menyusut pada bulan Mei 2025. Data Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) yang dirilis Jumat (11/7/2025) menyebut ekonomi Negeri Big Ben itu berkontraksi 0,1% secara bulanan.

    Pelemahan terkonsentrasi pada output produksi yang turun 0,9%, dan konstruksi yang turun 0,6%. Angka-angka ini akan menjadi pukulan bagi Menteri Keuangan Rachel Reeves, yang telah menjadikan pemulihan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan defisit anggaran Inggris sebagai tujuan utamanya.

    Data terbaru ini menyusul kontraksi 0,3% pada bulan April, ketika kenaikan pajak domestik diberlakukan dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif pada mitra dagang dan musuh. Kebijakan tarif ini membuat pasar global terpuruk dan menciptakan ketidakpastian bisnis yang meluas.

    “Inggris dikenakan tarif timbal balik sebesar 10% dari Trump meskipun memiliki hubungan perdagangan yang kurang lebih seimbang dengan AS dalam hal pertukaran barang, meskipun mengalami surplus besar dalam hal jasa,” menurut data perdagangan ONS untuk tahun 2024 yang dikutip CNBC International.

    Inggris sejak itu telah mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS. Namun menjadi negara pertama yang melakukannya di tengah perundingan perdagangan yang masih alot dengan mitra dagang lainnya, termasuk Uni Eropa yang masih menunggu penandatanganan perjanjian perdagangan dengan Washington.

    Meskipun merasa nyaman dengan kesepakatan perdagangan AS, Inggris menghadapi tantangan ekonomi domestik. Ekspansi PDB sebesar 0,7% yang luar biasa pada kuartal pertama (Q1) (dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan aktivitas ekonomi sebelum tarif perdagangan Trump) diperkirakan tidak akan terulang dalam pembaruan triwulanan berikutnya ini.

    Estimasi pertama PDB kuartal kedua (Q2) akan dirilis pada 14 Agustus. Para ekonom sebelumnya telah memperkirakan pertumbuhan akan melambat di sisa tahun ini di tengah pasar tenaga kerja yang melemah dan ketidakpastian ekonomi yang berkelanjutan. 

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]