Negara: India

  • Siap-Siap! RI Bakal Kedatangan 200 Ribu Ton Gula Mentah Impor

    Siap-Siap! RI Bakal Kedatangan 200 Ribu Ton Gula Mentah Impor

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah telah mengeluarkan izin impor 200 ribu ton gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar sebagai bagian dari cadangan pangan nasional. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengonfirmasi, izin tersebut telah diterbitkan dan impor sedang dalam proses.

    Adapun untuk asal impornya, Budi menyebut India, Brasil, hingga Amerika Latin yang akan memasok 200 ribu ton GKM ke Indonesia.

    “Sudah keluar izinnya. Seingat saya, kemarin dari India, Brasil, dan Amerika Latin. Izinnya sudah lama terbit, sejak neraca komoditas selesai,” kata Budi saat ditemui di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa (19/3/2025).

    Meskipun izin impor telah diberikan, Budi belum bisa mengungkapkan secara rinci berapa kuota impor dari masing-masing negara. Ia hanya menegaskan, proses pengiriman gula saat ini sedang berlangsung.

    “Sekarang sedang diproses, nanti dicek lagi sudah sampai di mana, karena ada tahap-tahap yang harus dilalui,” ujarnya.

    Foto: Gula kristal mentah (raw sugar) impor (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
    Gula kristal mentah (raw sugar) impor (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

    Alasan Dibukanya Impor Gula

    Keputusan impor gula diambil dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Pangan pada 12 Februari 2025 lalu. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi menjelaskan, impor dilakukan bukan karena kekurangan produksi, tetapi untuk menjaga stok cadangan pangan pemerintah (CPP), terutama menjelang Ramadan dan Lebaran.

    “Importasi bukan dalam bentuk GKP (gula kristal putih), tidak langsung begitu. Yang jadi catatan adalah importasi yang dilakukan ini hanya untuk CPP. Kita mau menaikkan stok level yang dipegang pemerintah. Bukan karena kekurangan produksi, karena kita masih cukup sekitar 4 sampai 5 bulan. Namun kita tidak boleh ambil risiko untuk CPP,” jelas Arief dalam keterangannya, Kamis (13/2/2025).

    Dia juga menyoroti kenaikan harga gula yang mulai berpengaruh terhadap inflasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga gula berkontribusi sebesar 1,4% terhadap inflasi nasional.

    “Kita bicara untuk peningkatan CPP, karena CPP gula ini perlu. Tadi harga gula dilaporkan BPS, harganya mulai bergerak naik. Sehingga kita semua memerlukan tambahan berupa raw sugar yang nanti akan diproses untuk CPP,” tambahnya.

    Sebagai catatan, pada Desember 2024 lalu Zulhas mengatakan, mulai tahun 2025 Indonesia tidak akan mengimpor beras konsumsi, gula konsumsi, garam konsumsi, dan jagung untuk pakan ternak.

    Saat itu, Zulhas optimistis produksi pangan nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Misalnya, produksi beras 2025 diproyeksikan mencapai 32 juta ton dengan kebutuhan 31 juta ton. Hal serupa berlaku untuk jagung dan garam, yang diprediksi mengalami surplus.

    Namun, realitas di lapangan membuat pemerintah harus menyesuaikan kebijakan. Keputusan impor gula ini menunjukkan ketahanan pangan nasional masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam menjaga stabilitas harga dan stok pangan di tengah meningkatnya permintaan.

    (wur)

  • Data BPS RI Masih Impor Beras, Mendag Mengelak

    Data BPS RI Masih Impor Beras, Mendag Mengelak

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan pemerintah tidak membuka keran importasi beras konsumsi sepanjang 2025.

    Hal ini merespons data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan Indonesia masih melakukan importasi komoditas beras hingga Februari 2025.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso (Busan) menyebut importasi beras itu diperuntukkan untuk beras industri dan bukan beras konsumsi.

    “Nggak ada impor [beras konsumsi]. Kan sudah ditetapkan dalam neraca komoditas nggak ada impor beras,” kata Budi seusai meninjau harga pangan di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (18/3/2025).

    Lebih lanjut, Budi menegaskan volume importasi beras di tahun ini juga bukan merupakan sisa kuota impor beras di tahun lalu.

    Dia menambahkan bahwa pemerintah melalui Kemendag juga tidak memberikan persetujuan izin impor beras di tahun ini. 

    “Nggak, nggak. Sampai sekarang nggak ada. Kan di neraca komoditas sudah ditetapkan nggak impor,” terangnya.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap Indonesia masih melakukan importasi komoditas beras hingga Februari 2025, meski volume impor beras pada awal 2025 turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Merujuk data BPS, Indonesia pada Januari—Februari 2025 masih mendatangkan beras dari luar negeri sebanyak 95.943 ton atau turun 89,1% dibanding Januari—Februari 2024 yang tercatat sebanyak 880.818 ton.

    “Impor beras di Januari-Februari 2025 jauh lebih rendah dibanding tahun lalu, ini mungkin terkait dengan ketersediaan suplai beras di domestik,” kata Kepala BPS Amalia Widyasanti dalam Rilis BPS, Senin (17/3/2025).

    Secara keseluruhan, sebanyak 95.943 ton beras itu di antaranya berasal dari Myanmar, Thailand, Vietnam, dan India. Secara terperinci, impor beras dari Myanmar sebanyak 16.820 ton, Thailand 17.584 ton, Vietnam 17.870 ton, dan India 26.784 ton.

  • Ilmuwan Temukan Virus Corona Baru di Brasil, Punya Kemiripan dengan Virus MERS

    Ilmuwan Temukan Virus Corona Baru di Brasil, Punya Kemiripan dengan Virus MERS

    Jakarta – Sebuah virus corona baru yang ditemukan pada kelelawar di Brasil telah menarik perhatian para ilmuwan. Meskipun memiliki kemiripan dengan virus MERS yang mematikan, belum diketahui sejauh mana risiko yang ditimbulkannya terhadap manusia.

    Sebuah artikel yang diterbitkan dalam Journal of Medical Virology (JMV) merinci temuan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari negara bagian São Paulo dan Ceará, Brasil, yang bekerja sama dengan rekan-rekan dari Hong Kong University (HKU), China, dalam menemukan virus corona baru pada kelelawar.

    “Virus yang ditemukan di Amerika Selatan tersebut sangat mirip dengan Middle East respiratory syndrome coronavirus atau virus corona sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS-CoV),” kata para ilmuwan, dikutip dari Times of India.

    MERS, atau Sindrom Pernapasan Timur Tengah, pertama kali diidentifikasi pada tahun 2012, adalah penyakit pernapasan virus yang disebabkan oleh MERS-CoV, yang dapat menyebabkan gejala ringan hingga berat.

    Beberapa gejala MERS yang umum termasuk demam, batuk dan sesak napas. Pneumonia juga umum terjadi pada pasien MERS tetapi tidak semua mengalami kondisi ini. Gejala gastrointestinal seperti diare juga dilaporkan di antara pasien MERS.

    Bagaimana virus corona baru mirip dengan MERS-CoV?

    Para ilmuwan mengatakan virus baru yang ditemukan di Brasil memiliki urutan genetik dengan sekitar 72 persen kesamaan dengan genom MERS-CoV. Protein lonjakan virus baru, yang digunakannya untuk menempel pada sel inang, menunjukkan 71,74 persen kesamaan dengan protein lonjakan virus Mers.

    “Saat ini kami tidak yakin apakah virus ini dapat menginfeksi manusia, tetapi kami mendeteksi bagian dari protein lonjakan virus [yang mengikat sel mamalia untuk memulai infeksi] yang menunjukkan potensi interaksi dengan reseptor yang digunakan oleh MERS-CoV. Untuk mengetahui lebih lanjut, kami berencana untuk melakukan eksperimen di Hong Kong selama tahun ini,” kata Bruna Stefanie Silvério, penulis pertama artikel tersebut.

    Para ilmuwan akan melakukan lebih banyak eksperimen di Hong Kong tahun ini untuk menentukan risiko yang ditimbulkan oleh virus baru tersebut terhadap manusia.

    “Pemantauan ini membantu mengidentifikasi virus yang beredar dan risiko penularan ke hewan lain, dan bahkan ke manusia,” kata Ricardo Durães-Carvalho, penulis lain dari penelitian tersebut.

    Para ilmuwan memeriksa 423 usapan oral dan rektal dari 16 spesies kelelawar yang berbeda dan mengidentifikasi tujuh virus corona dalam sampel yang dikumpulkan dari kelelawar di Fortaleza, sebuah kota di timur laut Brasil.

    Khususnya, virus yang baru ditemukan tersebut memiliki “kemiripan yang tinggi” dengan virus corona terkait MERS yang ditemukan pada manusia dan unta. Para ilmuwan juga mengamati tanda-tanda rekombinasi genetik, sebuah proses saat virus bercampur dan berevolusi, yang berpotensi mengubah kemampuan menularnya.

    “Kelelawar merupakan reservoir virus yang penting dan karenanya harus menjalani pengawasan epidemiologi berkelanjutan. Pemantauan ini membantu mengidentifikasi virus yang beredar dan risiko penularan ke hewan lain, dan bahkan ke manusia,” kata Ricardo Durães-Carvalho, penulis terakhir artikel tersebut, seorang profesor di EPM-UNIFESP dan pembimbing tesis Silvério.

    Menurut para ilmuwan, studi baru ini menyoroti peran penting kelelawar sebagai tempat berkembang biaknya virus baru dan menekankan pentingnya pengawasan berkelanjutan untuk melacak risiko kesehatan masyarakat yang terkait dengan virus corona.

    “Studi kami menunjukkan pentingnya membuat jenis analisis ini lebih sistematis, optimal, dan terintegrasi, dengan beberapa sektor berpartisipasi dan menghasilkan data pada platform terpadu yang dapat digunakan oleh sistem kesehatan untuk memantau dan bahkan mencegah epidemi dan pandemi,” kata peneliti tersebut.

    baca juga

    (suc/suc)

  • Bank Sentral India Dorong Lembaga Keuangan Pakai AI, Tekan Angka Keluhan

    Bank Sentral India Dorong Lembaga Keuangan Pakai AI, Tekan Angka Keluhan

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Sentral India menyatakan bahwa entitas yang diatur oleh bank sentral dapat memanfaatkan kontrol internal berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk menangani keluhan konsumen terkait penjualan yang menyesatkan dan praktik agresif.

    Gubernur Bank Sentral Sanjay Malhotra mengatakan sembilan puluh lima bank komersial di India menerima lebih dari 10 juta keluhan pelanggan pada tahun finansial 2023-2024.

    Jumlah ini dapat ditekan dengan meningkatkan pelayan lewat AI, agar keluhan yang disampaikan dapat dengan cepat direspons.

    “Dengan basis pelanggan yang berkembang pesat dan rangkaian produk yang makin luas, jumlah ini mungkin akan bertambah jika kita tidak segera bertindak,” kata Malhotra, dikutip dari CNA, Selasa (18/3/2025).

    Malhotra mengatakan lembaga keuangan dapat menggunakan AI untuk menganalisis volume data yang besar guna mendeteksi lonjakan masalah seperti kegagalan ATM atau tagihan yang keliru, serta menerima peringatan dini.

    Laporan perusahaan teknologi, Glair, menyebut teknologi berbasis kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bisa dimanfaatkan sebagai perantara debt collection (DC) untuk menagih utang.

    CEO Glair William Lim mengatakan bahwa penerapan AI sudah banyak digunakan di berbagai bidang, mulai dari dukungan pelanggan (customer support), rekrutmen (recruitment), pelatihan (training), hingga debt collector.

    William menuturkan bahwa penggunaan AI bisa menangani customer support hingga 90% selama 24/7. Selain itu, AI juga digunakan untuk recruitment (rekrutmen), yakni wawancarai dan evaluasi kandidat dengan agen suara bertenaga Al.

    Di samping itu, William menambahkan pemanfaatan AI juga bisa digunakan dalam hal training melalui peran agen AI.

    “Bahkan untuk sekarang debt collector juga bisa digantikan AI karena bisa menghubungi pelanggan atau nasabah secara langsung,” kata William

    Dia menjelaskan bahwa agen AI merupakan sebuah sistem yang dapat menggunakan LLM (Model Bahasa Besar) untuk bernalar melalui masalah, membuat rencana untuk menyelesaikan masalah, dan melaksanakan rencana dengan bantuan seperangkat alat.

    Dengan kata lain, agen AI merupakan sistem dengan kemampuan penalaran yang kompleks, memori, dan sarana untuk melaksanakan tugas. Dengan kelebihan tersebut, AI dapat berperan sebagai debt collector yang lebih humanis.

    “Agen akan secara otomatis mengajukan pertanyaan yang berbeda kepada pelanggan, mencari informasi dalam dokumen internal, dan merespons dengan solusi,” terangnya.

  • RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

    RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

    RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif
    Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
    DISKURSUS
    revisi Undang-Undang TNI di ruang publik terlihat kontraproduktif. Di satu sisi, sejumlah kelompok masyarakat sipil bersikeras menolak peran lebih luas militer dalam kehidupan politik, karena masih dihantui trauma masa Orde Baru.
    Di sisi lain, militer justru tampil terbuka meminta peran lebih luas, seolah-olah ingin mengulang romantisme dwifungsi yang telah ditinggalkan pasca-Reformasi 1998.
    Mandegnya diskursus ini berakar pada cara pandang hubungan sipil-militer yang saling bertolak belakang, namun sama-sama ketinggalan zaman.
    Kelompok pertama sejalan dengan garis pemikiran Jenderal A.H. Nasution, bersikukuh pada keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
    Sayangnya mereka abai terhadap konsensus bahwa pembangunan nasional hari ini bertumpu pada fondasi supremasi sipil yang kompeten dan profesional di bidang masing-masing.
    TNI tetap, bahkan wajib ambil bagian dalam pembangunan nasional, namun dengan tupoksi utama di sektor pertahanan negara yang diterjemahkan ke dalam kerangka operasi militer perang.
    TNI bisa ikut serta dalam sektor-sektor non-pertahanan, dengan catatan diminta oleh otoritas sipil dan berada dalam kerangka operasi militer selain perang.
    Supremasi sipil dikedepankan karena militer sadar dengan keterbatasan sumber daya dan keahlian mereka di sektor-sektor non-pertahanan.
    Dalam rangka membangun sektor non-pertahanan seperti kelautan dan perikanan, misalnya, masuk akal untuk berpikir bahwa seorang nelayan yang terbiasa memegang jaring dan pancing lebih kompeten mengelola kekayaan laut untuk tujuan ekonomi, dibandingkan tentara yang lebih terlatih memegang senjata di pertempuran.
    Kelompok kedua, yang terpengaruh kuat oleh Samuel Huntington, melihat militer sebagai entitas terpisah yang profesional. Namun, mereka berat untuk mengakui bahwa keterlibatan dan pengaruh militer dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sipil tetap ada, dan bahkan meningkat pasca-Reformasi.
    Mereka mengabaikan survei-survei beberapa tahun belakangan yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI.
    Eksistensi organisasi masyarakat sipil di tengah masyarakat yang menggunakan atribut-atribut ala militer. Serta kondisi lingkungan strategis di negara demokrasi lainnya di mana diskursus hitam putih perlahan ditinggalkan.
    Padahal kontrol sipil di kementerian tertentu yang beririsan dengan militer tidak selalu baik. Seperti dicatat Mukherjee (2020), Kementerian Pertahanan India lebih didominasi birokrat sipil yang berpindah-pindah instansi tanpa pengalaman dan kepakaran militer, dibandingkan anggota aktif militer sendiri.
    Dampaknya, militer menjadi tidak optimal dalam menjalankan tupoksi, salah satu yang esensial adalah pengadaan alutsista.
    Sebagai solusi, otoritas sipil tetap memimpin kementerian, namun keterlibatan militer aktif didorong untuk menambah kepakaran.
    Memaksa militer untuk kembali ke barak dengan alasan profesionalisme ala Huntington bisa kontraproduktif dengan tujuan profesionalisme itu sendiri.
    Di Amerika Serikat, tempat gagasan ini lahir dan berkembang, profesionalisme ala Huntington malah menciptakan paradoks di internal militer sendiri.
    Salah satu paradoks ini, seperti ditulis Risa Brooks (2020), adalah kecenderungan anggota aktif di sana lebih terbuka untuk terlibat dalam politik praktis.
    Mereka sulit menahan godaan kebebasan berekspresi di media sosial, serta rentan dipolitisasi penguasa sipil yang melihat mereka sebagai konstituten politik.
    Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam banyak hal. Para purnawirawan militer aktif berperan dalam suksesi kepemimpinan nasional melalui partai politik dan pemilu.
    Sementara itu, partai politik sendiri mulai mengadopsi kaderisasi semi-militer dan membentuk sayap-sayap organisasi yang menggunakan atribut serta simbol-simbol militer.
    Fenomena ini menunjukkan bahwa batas antara militer dan politik tidak selalu tegas, bahkan dalam upaya menciptakan profesionalisme.
    Singkat kata, Kelompok Nasution kurang peka terhadap trauma Orde Baru yang menjadi pondasi Reformasi 1998.
    Kelompok Huntington, sebaliknya, terjebak pada idealisme yang tak realistis di tengah perkembangan zaman dan sisa-sisa pengaruh sosial kultural Orde Baru.
    Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik tidak bisa dihindari. Namun, harus ada batas yang jelas dan tegas, ini kata kunci penting.
    Revisi UU TNI
    adalah momentum untuk memetakan dan menentukan ulang peran TNI, terutama di sektor-sektor non-pertahanan.
    Berdasarkan draft RUU TNI yang beredar, masyarakat sipil seharusnya bisa menerima keterlibatan TNI dalam penanggulangan ancaman nontradisional -seperti bencana alam, narkoba, terorisme, hingga siber, termasuk untuk memimpin institusi-institusi terkait.
    Kapasitas logistik dan koordinasi TNI dalam penanggulangan bencana telah teruji di lapangan.
    Dalam konteks ancaman nontradisional lainnya, irisan antara peran TNI dengan Polri dalam upaya penanggulangan sulit dibantah.
    Anggota aktif bisa menjabat di BNN atau BNPT, selama penanggulangan didasarkan pada koridor penegakan hukum dan pelibatan TNI dilakukan dengan koordinasi dengan Polri, dan pengawasan oleh DPR dan publik.
    Namun, pertanyaan kritis patut diajukan ketika TNI didorong masuk ke institusi seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan.
    Rasionalisasi untuk ketiga institusi ini terlihat dipaksakan. Tak ada studi perbandingan yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan, bahkan di negara otoriter seperti China dan Saudi untuk melegitimasi militer aktif menduduki posisi di lembaga penegakan hukum.
    Pengecualian jika ada penjelasan spesifik bahwa anggota aktif hanya menjabat di kamar peradilan atau urusan pidana militer.
    Untuk sektor kelautan dan perikanan, argumen soal pengelolaan wilayah perbatasan atau konflik kedaulatan wilayah tertentu seperti Selat Malaka dan Laut China Selatan bisa saja diajukan.
    Namun, alasan ini terlalu bias dan lentur, sehingga bisa diterapkan pada sektor lain dengan logika serupa -Mengapa bukan atau tidak sekalian saja dengan Kementerian Kehutanan atau ESDM, misalnya? Inkonsistensi sulit diterima.
    Lebih baik sektor-sektor ekonomi semacam ini diserahkan kepada sipil profesional yang teruji rekam jejaknya mengelola kekayaan laut untuk kesejahteraan.
    Memaksakan militer ke posisi-posisi kontroversial di atas bisa menghambat implementasi makan siang gratis dan program-program prioritas Presiden Prabowo.
    Sangat banyak studi kredibel yang menunjukkan kualitas demokrasi memiliki korelasi kuat dengan arus masuk penanaman modal asing.
    Supremasi sipil dan pembagian kekuasaan adalah salah satu indikator utama yang menentukan kualitas tersebut.
    Kemunduran demokrasi yang sering disuarakan belakangan ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa arus masuk penanaman modal asing tidak optimal.
    Selain itu, langkah tersebut bisa merusak kepercayaan publik terhadap TNI, yang notabene adalah modal sosial yang lebih berharga dibandingkan peran tambahan di sejumlah lembaga.
    Memaksakan peran di lembaga-lembaga penegakan hukum hanya akan memicu resistensi, seperti yang sudah terlihat dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil sejak RUU ini digaungkan.
    Ironisnya, kondisi ini bisa melemahkan kekuatan nasional yang justru ingin dibangun pemerintah -suatu esensi dari dialog-dialog hubungan sipil-militer dan hubungan sipil-sektor keamanan secara umum.
    Revisi UU TNI seharusnya menjadi momentum untuk memperjelas, bukan mengaburkan peran militer dalam kehidupan demokrasi.
    Dialog konstruktif masyarakat sipil dan sektor keamanan, termasuk polisi dan intelijen harus kembali dibuka dengan tema utama mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan berikut kebutuhan strategis negara dengan sektor keamanan sebagai aktor utama.
    Tanpa dialog, kondisi hanya akan jadi bom waktu: menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan membuka luka lama yang (ternyata) belum sembuh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Surplus Dagang RI-AS Berlanjut, Sumbang US,14 Miliar per Februari 2025

    Surplus Dagang RI-AS Berlanjut, Sumbang US$3,14 Miliar per Februari 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Perdagangan barang Indonesia terus mencatatkan surplus dengan Amerika Serikat, per akhir Februari 2025 mencapai US$3,14 miliar atau setara dengan Rp51,3 triliun (asumsi kurs Rp16.329 per dolar AS). 

    Surplus sepanjang Januari hingga Februari 2025 tersebut pun tercatat lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, yang kala itu senilai US$2,65 miliar. 

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam paparannya menunjukkan bahwa dalam dua bulan pertama tahun ini, terdapat tiga komoditas utama yang menjadi langganan dikirim ke AS. 

    “[Surplus] Didorong oleh komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya [HS 85] yang surplus US$577 juta, pakaian dan aksesoris [rajutan] [HS 61] dengan surplus US$433,3 juta, serta komoditas alas kaki [HS 64] menyumbang surplus US$407,7 juta,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (17/3/2025). 

    Pada dasarnya, Amerika Serikat (AS) menjadi pangsa pasar terbesar kedua ekspor Indonesia. Tidak heran bila perdagangan dengan AS menghasilkan surplus bagi Indonesia. 

    Bahkan, per Februari 2025 terdapat tiga negara pangsa ekspor, yakni China, AS, dan India, yang ketiganya memberikan 39,79% dari total ekspor nonmigas Indonesia.

    Di tengah ketegangan akan kebijakan Donald Trump terhadap negara-negara yang surplus terhadap AS—seperti Kanada, China, dan Meksiko—perdagangan Indonesia dengan Negeri Paman Sam tersebut terus meningkat.

    Nilai ekspor kumulatif dengan AS tercatat sejumlah US$4,68 miliar pada Januari—Februari 2025 dari periode yang sama 2024 senilai US$4,09 miliar.

    Sementara nilai impor pada periode yang sama turut menunjukkan kenaikan dari US$1,44 miliar menjadi US$1,54 miliar hingga Februari 2025.

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual melihat meski sejauh ini belum ada kebijakan tarif tertentu dari AS untuk Indonesia, namun dalam jangka menengah akan berpengaruh secara tidak langsung.

    Pasalnya, aktivitas perdagangan global termasuk impor AS dari China akan menurun alias berkurang ekspor atau barang yang dikirim dari China ke AS.

    “Artinya, China dapat menurunkan impor komoditasnya dari Indonesia,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (17/3/2025).

    Untuk diketahui, AS mengincar negara-negara yang menikmati surplus dengan pihaknya melalui kebijakan tarif.

    Meski dari 20 negara penyumbang surplus terbesar dan Indonesia berada di urutan ke-15, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mewaspadai segala potensi.

    Termasuk apabila AS memberlakukan kebijakan kepada seluruh negara yang surplus dengan AS. Pasalnya, Vietnam dikabarkan menjadi target tarif selanjutnya dari Trump.

    “Ini yang harus kita sekarang teliti dan waspadai. Kalau diberlakukan kebijakan tarif kepada negara yang surplus, Indonesia peringkat 15, ini berpotensi menciptakan biaya dari supply chain manufaktur dan terutama sektor digital yang akan meningkat,” jelasnya, Kamis (13/3/2025).

  • AS-India-Filipina jadi Penyumbang Surplus Neraca Perdagangan RI – Page 3

    AS-India-Filipina jadi Penyumbang Surplus Neraca Perdagangan RI – Page 3

    Di sisi lain, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan tiga yang terbesar defisitnya adalah dengan Tiongkok sebesar USD 1,76 miliar, Australia defisit USD 0,43 miliar,dan Brasil mengalami defisit sebesar USD 0,17 miliar. 

    Adapun komoditas penyumbang defisit terbesar pada Februari 2025,  pertama dengan Tiongkok, disumbang oleh komoditas terutama mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, lalu mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya, dan juga kendaraan dan bagiannya.

    Surplus Perdagangan RI Lebih Rendah Dibandingkan Januari 2025

    Di sisi lain, Amalia menyebut, surplus neraca perdagangan bulan Februari 2025 lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau turun USD 0,38 miliar, namun lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

    “Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” paparnya.

     

  • Pabrik Suzuki di Thailand Tutup 2025, Indonesia ‘Kecipratan’ Produksi Swift Cs?

    Pabrik Suzuki di Thailand Tutup 2025, Indonesia ‘Kecipratan’ Produksi Swift Cs?

    Jakarta

    Suzuki Motor Corporation akan menutup pabrik di Thailand pada akhir tahun 2025. Potensi model yang pernah diproduksi di Thailand bakal dipindah ke sini?

    Suzuki telah menyatakan bahwa mereka akan terus menjual mobil dan menyediakan layanan purnajual di Thailand dengan mengimpor CBU dari pabrik ASEAN lainnya dan dari Jepang dan India.

    Pabrik Suzuki yang berlokasi di Pluakdaeng, Provinsi Rayong, Thailand, itu sebelumnya memproduksi Swift, Ciaz, dan Celerio. Dibandingkan Indonesia, pasar Thailand buat Suzuki lebih kecil dengan penjualan 10.807 unit pada 2023, sementara Suzuki Indonesia pada periode yang sama bisa mendistribusikan 81.057 unit.

    Suzuki Indonesia diketahui menambah investasi untuk memperluas produksi model. Nilainya tahun ini Rp 5 triliun.

    “Itu (penambahan investasi) bukan karena Thailand tutup, kita sudah memang on the planning. Suzuki Indonesia itu sekarang jadi pilar ketiga setelah Jepang, dan India,” kata Joshi Prasetya, Departemen Head of Strategic Planning di PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) di Jakarta, belum lama ini.

    “Indonesia untuk coverage Asia, Amerika Selatan,” sambungnya lagi.

    Pabrik Suzuki di Cikarang, lanjutnya, akan ketambahan model baru yang diproduksi secara lokal.

    “Kebetulan yang mau dikembangkan itu di satu pabrik (di Cikarang), tapi berikut dengan pabrik transmisi, pabrik engine, juga di beberapa tempat untuk supplier lokal, karena lokal kontennya juga sudah cukup tinggi,” kata Joshi.

    Dia mengatakan produk baru itu bukan yang diproduksi di Thailand, melainkan model baru. Suzuki belum memiliki rencana untuk memindahkan produk yang di Thailand ke Indonesia. Jadi Suzuki Swift tampaknya belum akan dijual dan diproduksi di Indonesia, nih!

    “Sejauh ini belum ada ya. Belum sampai ke situ. Mungkin ada, mungkin nggak. Tapi yang jelas belum decide. Kita masih stick on Suzuki Indonesia planning,” jelasnya lagi.

    (riar/rgr)

  • AS Sumbang Surplus Neraca Dagang Terbesar RI Februari 2025, China Catat Defisit Terdalam

    AS Sumbang Surplus Neraca Dagang Terbesar RI Februari 2025, China Catat Defisit Terdalam

    Bisnis.com, JAKARTA – Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2025 mencatat surplus sebesar US$3,12 miliar. Adapun Amerika Serikat (AS) menjadi penyumbang surplus perdagangan terbesar.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan AS menjadi negara mitra pencatat surplus neraca perdagangan terbesar dengan RI sebesar US$1,57 miliar, disusul oleh India dan Filipina.

    “Surplus perdagangan dengan Amerika Serikat didorong oleh ekspor mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, pakaian dan aksesoris rajutan, serta alas kaki,” ungkap Amalia dalam konferensi pers di kantor BPS, Senin (17/3/2025).

    Selain dengan AS, Indonesia mencatat surplus perdagangan terbesar kedua dengan India sebesar US$1,27 miliar, disusul Filipina dengan US$0,75 miliar.

    Surplus dengan India terutama berasal dari ekspor bahan bakar mineral, khususnya batu bara, lemak dan minyak hewan nabati terutama crude palm oil (CPO), serta besi dan baja.

    Sedangkan dengan Filipina, surplus didukung oleh ekspor kendaraan dan bagiannya, bahan bakar mineral, serta minyak sawit.

    Di sisi lain, defisit perdagangan terbesar dialami Indonesia dengan China yang mencapai US$1,76 miliar pada Februari 2025.

    “Defisit dengan China terutama disebabkan oleh tingginya impor mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, mesin dan peralatan mekanis, serta kendaraan dan bagiannya,” lanjutnya.

    Selain dengan China, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan Australia sebesar US$0,43 miliar dan Brasil sebesar US$0,17 miliar.

    “Defisit dengan Australia didominasi oleh impor bahan bakar mineral terutama batu bara, biji logam terak dan abu, serta serealia. Sedangkan dengan Brasil, disebabkan oleh impor ampas dan sisa industri makanan untuk pakan ternak, kapas, serta gula,” tambah Amalia.

    Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2025 mencatat surplus US$3,12 miliar atau turun US$0,38 miliar secara bulanan. Dengan begitu, Indonesia mencatatkan surplus selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

    Amalia mengatakan surplus neraca perdagangan ditopang oleh komoditas nonmigas sebesar US$4,84 miliar. Di sisi lain, neraca perdagangan komoditas migas mencatat defisit US$,72 miliar yang berasal dari defisit hasil minyak maupun minyak mentah.

    “Komoditas penyumbang surplus utama adalah lemak dan minyak hewan nabati HS 15, kemudian bahan bakar mineral HS 27, serta besi dan baja HS 72,” jelas Amalia.

  • Indonesia Catat Surplus Neraca Perdagangan 58 Bulan Berturut-turut

    Indonesia Catat Surplus Neraca Perdagangan 58 Bulan Berturut-turut

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia kembali mencatat surplus neraca perdagangan pada Februari 2025, dengan nilai mencapai US$  3,12 miliar. Tren positif ini telah berlangsung selama 58 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, menunjukkan ketahanan ekonomi nasional di tengah berbagai tantangan global.

    Surplus ini berasal dari nilai ekspor yang mencapai US$ 21,98, sementara impor tercatat sebesar US$ 18,86 miliar pada periode yang sama. Namun, surplus neraca perdagangan ini didapat dari penurunan sebesar US$ 380 juta secara bulanan, tetapi meningkat secara tahunan sebesar US$ 2,28 miliar.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, capaian ini mencerminkan daya saing produk ekspor Indonesia yang tetap kuat di pasar global.

    “Kinerja positif ini ditopang oleh tingginya permintaan dari negara mitra dagang utama, seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan India, serta harga komoditas unggulan yang masih berada dalam tren menguntungkan,” ucapnya dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (17/3/2025).

    Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2025 terutama didorong oleh kinerja positif komoditas nonmigas, yang mencatat surplus sebesar US$ 4,84 miliar. Meskipun demikian, angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 4,92 miliar.

    Komoditas utama yang berkontribusi terhadap surplus nonmigas meliputi lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15), bahan bakar mineral (HS 27), serta besi dan baja (HS 72). Kinerja ekspor dari sektor ini tetap kuat meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding bulan sebelumnya.

    Di sisi lain, neraca perdagangan komoditas migas mengalami defisit sebesar US$ 1,72 miliar, yang terutama disebabkan oleh impor hasil minyak dan minyak mentah yang masih tinggi.

    Secara keseluruhan, Indonesia tetap mencatat surplus neraca perdagangan karena nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan impor. Pada Februari 2025, total nilai ekspor mencapai US$ 21,95 miliar, mengalami penurunan sebesar 2,58% secara bulanan (mtm).

    Sementara itu, nilai impor tercatat US$ 18,86 miliar, meningkat 5,18% mtm. Kombinasi dari penurunan ekspor dan peningkatan impor ini tetap mampu menjaga surplus perdagangan Indonesia di tengah dinamika ekonomi global.

    Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah terus mendorong diversifikasi ekspor agar tidak hanya bergantung pada komoditas mentah. Produk bernilai tambah dan manufaktur semakin didorong ke pasar internasional untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri.

    Di sisi lain, pengendalian impor juga berperan dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan. Efisiensi dalam pengadaan bahan baku industri dan pengurangan impor barang konsumsi yang tidak mendesak menjadi strategi utama dalam mempertahankan surplus perdagangan.