Negara: Hong Kong

  • Taiwan Laporkan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit Mengandung Etilen Oksida

    Taiwan Laporkan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit Mengandung Etilen Oksida

    GELORA.CO –  Otoritas Taiwan melaporkan bahwa satu batch mi instan Indomie varian Rasa Soto Banjar Limau Kulit produksi Indonesia terdeteksi mengandung residu pestisida etilen oksida pada kadar yang tidak sesuai dengan standar keamanan pangan negara tersebut.

    Menurut keterangan resmi Food and Drug Administration (FDA) Taiwan pada Kamis, 11 September 2025, batch Indomie tersebut memiliki tanggal kedaluwarsa 19 Maret 2026. Rincian produk terdampak dipublikasikan melalui situs resmi FDA Taiwan, FDA Taiwan Unsafe Food

    Merespons laporan itu, Center for Food Safety (CFS) Hong Kong menyatakan sedang menyelidiki kemungkinan masuknya produk yang terdampak ke wilayah Hong Kong. CFS juga tengah berkoordinasi dengan otoritas Taiwan untuk memperoleh informasi lebih lanjut.

    CFS menambahkan, distribusi resmi produk di luar Taiwan belum dapat dipastikan. Namun, lembaga tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa produk bisa masuk lewat pembelian daring atau perjalanan internasional.

    Dalam pernyataannya, CFS meminta masyarakat untuk tidak mengonsumsi produk Indomie varian Rasa Soto Banjar Limau Kulit dengan batch yang dimaksud, serta segera membuangnya jika ditemukan. CFS menegaskan akan terus memantau perkembangan terbaru dan mengambil langkah yang diperlukan bila ada temuan tambahan.

    Sebagai catatan, etilen oksida merupakan bahan kimia yang lazim digunakan dalam industri, terutama sebagai zat sterilisasi atau bahan baku pembuatan produk kimia baru. Namun, penggunaannya tidak diperbolehkan dalam pangan. Paparan langsung terhadap etilen oksida berpotensi menimbulkan efek samping berbahaya bagi kesehatan.

  • Aplikasi Pengganti WhatsApp, Chat Tanpa Butuh Internet dan Nomor HP

    Aplikasi Pengganti WhatsApp, Chat Tanpa Butuh Internet dan Nomor HP

    Jakarta, CNBC Indonesia – WhatsApp kini punya pesaing baru, aplikasi chat tanpa internet bernama Bitchat. Aplikasi buatan pendiri Twitter, Jack Dorsey, memungkinkan pengguna berkirim pesan tanpa koneksi seluler maupun WiFi.

    Bitchat kini mulai tersedia secara luas untuk publik dan bisa diunduh di Apple App Store. Pantauan CNBC Indonesia, Bitchat telah tersedia untuk pengguna App Store di Indonesia.

    Aplikasi memiliki ukuran 2 MB dan bisa diakses untuk iOS 16, macOS 13.0, dan Mac dengan Apple M1.

    Dorsey juga menuliskan pesan dalam keterangannya di App Store. Dia menyebutkan aplikasi ini tak membutuhkan data nomor ponsel atau email.

    Selain itu, Dorsey menjanjikan pesan di dalam aplikasi juga terlindungi dengan teknologi enkripsi.

    Berbicara dengan orang-orang di sekitar Anda. Tidak perlu nomor ponsel atau email. Sidegroupchat untuk fungsi apapun. Menggunakan bluetooth mesh, tidak perlu internet. Meneruskan pesan untuk jarak jauh! Pesan pribadi terenkripsi,” tulis Dorsey, dikutip Kamis (11/9/2025).

    Bitchat memang hadir dengan konsep yang berbeda dengan pesaingnya WhatsApp maupun Telegram. Aplikasi ini tak butuh internet dan hanya bekerja dengan jaringan Bluetooth antar perangkat atau mesh network.

    Dengan mesh network, Bitchat akan membuat perangkat saling terhubung dan membentuk klaster lokal. Jadi pesan dapat berpindah dari satu perangkat ke perangkat lainnya, serta memperluas jangkauan komunikasinya.

    Konsep tersebut membuat Bitchat cocok digunakan pada wilayah tanpa internet, diblokir atau menghindari pengawasan. Bitchat mirip dengan aplikasi yang digunakan demonstran Hong Kong untuk berkomunikasi saat internet dibatasi pada 2019 lalu.

    Kehadiran di App Store terjadi setelah sebelumnya Bitchat telah bisa digunakan melalui TestFlight untuk pengguna iOS. Dokumen teknisnya juga tersedia di GitHub.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ditekan Pemerintah, Kaum Feminis China Teruskan Perlawanan

    Ditekan Pemerintah, Kaum Feminis China Teruskan Perlawanan

    Jakarta

    Menjelang Hari Perempuan Internasional di tahun 2015, lima aktivis muda yang memperjuangkan hak-hak perempuan Cina – Wang Man, Zheng Churan, Li Maizi, Wei Tingting, dan Wu Rongrong – ditahan polisi di Beijing dan Guangzhou.

    Kampanye yang mereka rencanakan sebenarnya sederhana yakni meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual di transportasi umum.

    Mereka pun didakwa dengan tuduhan “pertengkaran dan provokasi,” ‘pasal karet’ yang kerap dituduhkan kepada para aktivis. Kasus “Feminist Five” dengan cepat menjadi peristiwa penting, baik di dalam negeri maupun di skala internasional, menandai titik balik gerakan feminis di negara tersebut.

    Salah satu dari Feminist Five, Li Maizi (alias Li Tingting), mengaku kepada DW bahwa penahanan itu meninggalkan trauma mendalam: “Untuk waktu yang lama, setiap kali saya mendengar ketukan di pintu, saya merasakan ketakutan yang luar biasa,” ujarnya. Namun, ia percaya penangkapannya memberi efek paradoks yang justru memperkuat kesadaran feminis di Cina.

    Kasus ini menarik perhatian global dan membantu membangkitkan kesadaran publik tentang pelecehan seksual. Sepuluh tahun kemudian, kesadaran terhadap kesetaraan gender meningkat, dengan lebih banyak perempuan dan komunitas LGBTQ+ menyuarakan kekerasan dan diskriminasi.

    Namun, ruang bagi gerakan feminis untuk bersuara kian menyempit. Konten feminis kerap disensor dan pihak berwenang kian memperluas pembungkaman.

    Pembungkaman “Feminist Voices”

    Pada 2018, Feminist Voices, media feminis terkemuka, dilarang dari WeChat dan Weibo. Tencent, pemilik WeChat menuduh mereka “mengganggu ketertiban sosial, keamanan publik, dan keamanan nasional,” setelah kampanye antipelecehan seksual di Hari Perempuan Internasional berjudul “Panduan Perjuangan di Hari Perempuan”, diunggah pada platform tersebut. Setelah akun Feminist Voice dihapus, akun pengguna yang menyuarakan dukungan akan postingan tersebut turut dihentikan, bahkan nama serta logo Feminist Voices diblokir dari pencarian.

    Insiden ‘Xiao Meili’ dan gelombang pemblokiran yang kian meluas

    Pada Maret 2021, aktivis feminis Xiao Meili dilecehkan di sebuah restoran di Chengdu setelah meminta pria di meja sebelahnya untuk tidak merokok. Ia menjadi sasaran hinaan seksis, bahkan disiram air panas. Video kejadian ini viral, banyak perempuan membagikan pengalaman serupa tentang agresivitas laki-laki di ruang publik.

    Namun, solidaritas berubah menjadi ancaman ketika influencer nasionalis mengumbar riwayat Xiao Meili, menudingnya sebagai musuh negara dengan mengangkat foto lama yang menampilkan dukungannya terhadap Hong Kong, melabelinya sebagai “separatis Hong Kong.”

    Akun Weibo milik Meili diblokir permanen sehingga ia tak lagi bisa membela diri. Setelah itu, banyak akun feminis pendukungnya di Weibo dilarang atau dihentikan, termasuk yang memiliki ratusan ribu pengikut.

    Penyensoran meluas ke akun-akun feminis di WeChat yang dituduh “menghasut konfrontasi gender.” Produk yang mengandung kata “feminisme” di toko daring Taobao dihapus dengan alasan mengandung “informasi terlarang,” sementara Taobao mengklaim sebagai “platform netral.”

    Selanjutnya lebih dari selusin kelompok feminis di jejaring sosial Douban dibubarkan, nama kelompok-kelompok tersebut dilabeli sebagai konten sensitif, postingan mereka otomatis dihapus. Douban membenarkan penghapusan ini, menuduhnya sebagai “konten politik dan ideologis yang ekstrem, radikal.”

    Gerakan #MeToo di Cina: Inspirasi dan penindasan

    Gerakan #MeToo di Cina dimulai pada awal 2018 ketika Luo Qianqian, lulusan Universitas Beihang, secara terbuka menuduh mantan profesornya Chen Xiaowu melakukan pelecehan seksual. Keberaniannya menginspirasi banyak orang untuk berbagi pengalaman serupa, mendorong percakapan luas tentang ketidaksetaraan di tempat kerja, kekerasan dalam rumah tangga, dan hak-hak reproduksi.

    Kasus-kasus besar pun mencuat, termasuk tuduhan terhadap pembawa acara TV Zhu Jun oleh Zhou Xiaoxuan (atau “Xuanzi”), serta tuduhan penyerangan seksual oleh petenis Peng Shuai terhadap mantan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli. Setiap kasus memicu perhatian publik yang besar, namun juga diikuti oleh ‘sensor kilat’. Kata kunci seperti “#MeToo” dan homofon “mi tu” ( “kelinci beras”) yang digunakan aktivis menghindari filter turut diblokir di Weibo, unggahan yang mendukungnya dihapus, dan banyak akun yang dihentikan.

    Unggahan Peng Shuai bahkan lenyap dalam hitungan menit, sementara pencarian dengan kata-kata seperti “tenis”, “wakil perdana menteri”, atau “perdana menteri dan saya” turut diblokir. Represi ini juga merambah ke dunia nyata – pada 2021, jurnalis Huang Xueqin yang menjadi tokoh penting #MeToo ditahan, dan pada 2024 dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena “menghasut subversi terhadap kekuasaan negara.”

    Ketika korban dituding sebagai pelaku

    Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren yang mengkhawatirkan di mana korban justru distigmatisasi sebagai pelaku. Li Maizi menyoroti bahwa perempuan yang membawa kasus pelecehan ke pengadilan sering menghadapi gugatan balik: “Biaya untuk menuntut keadilan sangat tinggi.”

    Contohnya terjadi pada Juli 2024, ketika Universitas Politeknik Dalian berencana mengeluarkan seorang mahasiswi karena memiliki “hubungan yang tidak pantas dengan orang asing,” dengan dalih merusak “reputasi negara dan universitas.” Kritikus menyebut keputusan ini diskriminatif dan mencerminkan norma patriarki yang menilai perempuan lewat kesucian dan kehormatan nasional.

    Feminisme yang mengancam politik

    Pemerintah Cina memandang feminisme sebagai ideologi asing yang mengancam stabilitas. Para feminis dicap sebagai agen “pengaruh asing.” Lü Pin, pendiri Feminist Voice, mengatakan: “tidak ada lagi platform media sosial di Cina yang ramah terhadap perempuan atau topik-topik feminis.”

    Li Maizi mencatat bahwa feminisme di Cina kini sangat politis, dengan Federasi Perempuan Cina membedakan antara feminisme barat dan “perspektif Marxis tentang perempuan.” Menurut Lü: “Ketika orang-orang ‘dipecah’ secara daring, hal itu melemahkan kekuatan kolektif gerakan.”

    Pembingkaian feminisme sebagai ideologi barat dimanfaatkan oleh blogger yang nasionalis untuk menyerang gerakan ini sambil melanggengkan kekerasan berbasis gender.

    Bagaimana masa depan gerakan feminis di Cina?

    Di tengah penurunan angka kelahiran, pemerintah mendorong perempuan kembali ke peran tradisional. Presiden Xi Jinping bahkan meminta agar kaum muda “dibimbing menuju pandangan yang benar tentang pernikahan dan keluarga.”

    Feminisme pun dianggap ‘meruntuhkan kekuasaan negar’a karena menekankan otonomi dan hak reproduksi. Meski menghadapi tekanan besar, Li Maizi tetap optimis: “Gerakan feminis Cina maju secara bergelombang, dengan berbagai kemunduran dan perlawanan di sepanjang jalan. Namun, di mana pun ada penindasan, pasti ada perlawanan. Feminisme di Cina tidak akan berhenti.”

    Saat ini, gerakan feminis lebih terdesentralisasi dan bertumpu pada individu yang berani bersuara. Sepuluh tahun setelah Feminist Five, feminisme di Cina semakin hidup dalam kesadaran masyarakat, meskipun terus dibungkam secara sistematis. Kelangsungannya kini bergantung pada ketahanan, kreativitas, dan keberanian individu – bahkan ketika suara mereka dibungkam.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Aksi Massa Perempuan di DPR, Tuntut Keadilan Bagi Korban Demo” di sini:

    (ita/ita)

  • Proyek Raksasa RI Mau ‘Ikat’ Bumi, Modalnya Triliunan

    Proyek Raksasa RI Mau ‘Ikat’ Bumi, Modalnya Triliunan

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk berencana untuk memperpanjang pembangunan kabel laut lewat proyek proyek Indonesia Cable Express (ICE). Proyek itu akan dilakukan hingga ke Afrika dan Samudra Atlantik.

    “Perkembangan AI dan cloud membuat permintaan makin tinggi. Telkom lewat Telin ingin memperluas proyek ICE hingga belting the world,” katanya beberapa waktu lalu.

    Tak main-main, Telkom menyiapkan investasi senilai US$200 juta atau Rp 3,27 triliun untuk proyek itu. Dana akan digunakan dalam tiga inisiatif.

    Salah satunya adalah pembangunan tiga rute tambahan. Ini mulai dari Singapura-Jepang lewat Selat Luzon, Timur Tengah menuju Eropa dan Manado ke Amerika bagian utara.

    Inisiatif kedua adalah melakukan akuisisi jalur kabel laut lintas Samudra Atlantik yang menghubungkan Eropa serta Amerika. Terakhir adalah mengakusisi kabel laut menghubungkan Afrika.

    Sebagai informasi, proyek ICE merupakan konsorsium pembangunan infrastruktur kabel fiber optik dasar laut. Proyek tersebut memiliki nilai investasi US$2,66 miliar (Rp 43 triliun) dan kontribusi Telkom pada ICE diperkirakan sekitar US$420-620 juta (Rp 6,8-10,1 triliun).

    Proyek ICE terdahulu menghubungkan berbagai wilayah, dari Asia Pasifik dengan Amerika dan Timur Tengah.

    Pembangunan sistem ICE yang sudah berjalan terdiri atas 7 proyek yaitu Indonesia-Singapura-Malaysia, Singapura-Indonesia, Singapura-Indonesia-Malaysia-Vietnam-Filipina-Korea-Jepang, Singapura-India-Mesir, Jepang-Amerika Serikat, Hong Kong-Indonesia-Papua Nugini-Cile, dan Indonesia-Australia.

    Melalui proyek tersebut, Telkom ingin Indonesia menjadi hub internet dunia. Sejauh ini perusahaan telah terlibat pada pembangunan dan pengelolaan jaringan serta optik sepanjang 177.443 kilometer, dengan mayoritas berada di Indonesia mencapai 112.743 kilometer.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Perjuangan Haru Wanita Hong Kong Melahirkan Anak Kedua di Usia 58 Tahun

    Perjuangan Haru Wanita Hong Kong Melahirkan Anak Kedua di Usia 58 Tahun

    Jakarta

    Seorang wanita di Hong Kong berusia 58 tahun yang sebelumnya sempat menyita perhatian publik karena hamil di usia lanjut, akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan dengan selamat. Kabar bahagia itu diumumkan pihak keluarga melalui media sosial pada akhir pekan.

    Chan Lai-lai, istri aktor lokal Brian Wong Chak-fung, melahirkan anak keduanya pada 22 Agustus melalui program fertilisasi in vitro (IVF), salah satu metode reproduksi berbantuan.

    Dalam video mengharukan yang diunggah di media sosial pada hari Sabtu (6/9), Wong terlihat memotong tali pusar di ruang bersalin, menyambut bayinya, dan memperkenalkan bayi baru itu kepada putrinya yang berusia enam tahun.

    “Anda adalah bukti nyata bahwa melahirkan di usia ibu lanjut bukanlah masalah, Anda luar biasa!” tulis seorang pengguna media sosial, dikutip dari CNA.

    Berita kehamilan Chan pada bulan Mei menarik perhatian publik, memicu harapan bagi wanita lanjut usia yang ingin memiliki anak, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang risiko melahirkan di kemudian hari.

    Sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk meningkatkan angka kelahiran yang mengerikan di kota itu, pemerintah Hong Kong telah meluncurkan langkah-langkah untuk membantu wanita yang lebih tua melahirkan, termasuk mengizinkan mereka menyimpan embrio selama yang mereka inginkan dan menawarkan pengurangan pajak bagi mereka yang menjalani perawatan IVF.

    Usia rata-rata ibu baru di Hong Kong telah meningkat dari 24,4 tahun pada tahun 1976 menjadi 32,8 tahun pada tahun 2024.

    Chan dan Wong mengatakan mereka memutuskan untuk memiliki anak kedua karena putri sulung mereka, yang lahir pada tahun 2019 ketika Chan berusia 52 tahun, menginginkan seorang saudara untuk menemaninya.

    Chan mengidap eksim gestasional, suatu kondisi kulit yang dapat terjadi selama kehamilan, serta tekanan darah yang relatif tinggi, saat mengandung anak pertamanya, dan juga mengalami preeklamsia saat melahirkan.

    Untuk anak keduanya, Chan menjalani perawatan IVF di Taiwan setelah mengalami keguguran tahun lalu.

    Pasangan itu menghabiskan sekitar HK$200.000 (US$25.700) atau sekitar Rp 423 juta, yang mencakup suntikan harian ke perut Chan.

    Para spesialis kebidanan dan ginekologi sebelumnya mengatakan kepada Post bahwa sekitar satu dari lima wanita hamil di Hong Kong berada pada usia ibu lanjut, artinya mereka berusia 35 tahun atau lebih, sementara satu dari 20 berusia di atas 40 tahun. Angka tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

    Risiko keguguran bagi wanita hamil meningkat hingga 40 persen bagi mereka yang berusia 45 tahun atau lebih, sementara risiko lahir mati bagi wanita berusia 40 tahun atau lebih adalah tiga kali lipat dari wanita di bawah usia 35 tahun.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Banyak Anak Muda di China Mendadak Pura-pura Kerja, Inikah Pemicunya?

    Banyak Anak Muda di China Mendadak Pura-pura Kerja, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Banyak anak muda di China belakangan berpura-pura kerja. Seperti yang dijalani Xiao Ding (30), sehari-hari ia memulai hari seperti kebanyakan orang bekerja.

    Berpakaian, mengemasi barang-barangnya, lalu pergi ke perpustakaan umum, menyalakan laptop, dan menghabiskan hari seolah-olah tengah bekerja. Padahal, sebenarnya, ia sedang menganggur.

    “Saya belum memberi tahu keluarga saya bahwa saya berhenti bekerja,” katanya, dikutip dari CNA, Selasa (9/9/2025).

    “Sampai saya menemukan masa depan saya, saya tidak ingin menularkan kecemasan saya kepada mereka.”

    Rutinitas ini, menurutnya, bukan tentang tipu daya, melainkan soal disiplin. Setelah hampir delapan tahun berkecimpung di dunia pemasaran teknologi, ia berhenti bekerja pada 2023 dan kini telah menganggur selama 22 bulan.

    “Saya memilih untuk berpura-pura bekerja karena dua alasan: Pertama, untuk menjaga jadwal harian yang teratur. Kedua, untuk memberi diri saya tekanan untuk ‘pergi bekerja’,” cerita Xiao.

    Namun, pencarian itu sangat melelahkan. Bahkan setelah mengirimkan lebih dari seribu resume, ia hanya mendapatkan empat wawancara, yang semuanya gagal.

    “Saya mengaitkannya dengan iklim perekrutan (saat ini) yang buruk,” kata Xiao.

    Di titik terendah pencarian kerjanya, ia menghabiskan waktu berhari-hari di tempat tidur sambil hanya menghabiskan waktu di depan layar ponselnya.

    “Seluruh tubuh saya sakit karena kebanyakan tidur,” katanya. “Saat itulah saya benar-benar mengerti apa arti ‘hidup dalam keadaan linglung’. Saya merasa tidak berharga sama sekali bagi masyarakat.”

    Faktanya, Xiao tidak sendirian.

    Tren Pengangguran di China

    Di Tiongkok, lulusan baru dan dewasa muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan mengatasinya dengan berpura-pura, pergi ke perpustakaan dan kafe untuk mempertahankan suasana kerja yang nyaman di tengah kenyataan pahit.

    Tingkat pengangguran kaum muda di China naik ke level tertinggi dalam 11 bulan pada Juli. Tingkat pengangguran perkotaan untuk kelompok usia 16-24 tahun, tidak termasuk mahasiswa, naik menjadi 17,8 persen, karena jumlah lulusan yang memasuki pasar kerja mencapai rekor.

    Meskipun tampak main-main, tren ‘berpura-pura bekerja’ ini menutupi kenyataan. Bagi generasi yang diajarkan untuk berjuang tetapi kini menemukan tempatnya, para ahli mengatakan hal itu merupakan mekanisme koping yang dibumbui ironi dan humor.

    “Layaknya ungkapan ‘berbaring telentang’, tindakan berpura-pura bekerja mengandung nada mengejek diri sendiri dan kepasrahan yang jenaka,” kata Zhan Yang, seorang profesor madya antropologi budaya di Universitas Politeknik Hong Kong (PolyU).

    “Hal itu tidak hanya mencerminkan kekecewaan tetapi juga keterlibatan yang kreatif, bahkan ironis, dengan ekspektasi masyarakat.”

    Hal ini khususnya sulit di China, saat harga diri seseorang masih terjerat erat dengan budaya yang menghargai pekerjaan dan produktivitas, tambah Zhan.

    “Berpura-pura bekerja adalah cara bagi kaum muda untuk mempertahankan rutinitas, identitas, dan rasa memiliki sosial tanpa adanya pekerjaan yang bermakna.”

    Beberapa orang mengambil langkah lebih jauh dengan berpura-pura bekerja, menyewa meja di kantor tiruan yang menciptakan kembali ritme kerja, tanpa pemberi kerja.

    Dilengkapi dengan komputer, meja, ruang rapat, dan akses internet, ruang-ruang ini semakin populer di kota-kota besar China seperti Shanghai, Shenzhen, dan Chengdu.

    Di sebuah kantor yang disinari matahari di pinggiran Hangzhou, belasan anak muda duduk dengan tenang di meja mereka.

    Beberapa mengetik dengan intens, yang lain sibuk di depan dasbor di monitor. Beberapa bergumam ke headset sambil menerima panggilan.

    Sebuah printer berdengung di sudut ruangan. Di pintu masuk, sebuah papan nama terpasang di dinding dengan huruf yang ceria bertuliskan.

    “Anda tangani hidup, kami tangani aktingnya ,sebuah permainan peran kantor 24 jam.”

    Inilah premis dari ‘Berpura-pura Bekerja’ di Perusahaan Tanpa Batas, sebuah kantor tiruan yang telah viral di media sosial China.

    Dengan biaya serendah 30 yuan per hari, tempat ini menawarkan ‘karyawan’ cara untuk mensimulasikan pengalaman berkantor dengan menyewa meja, masuk pukul 9 pagi, bahkan mungkin mengenakan lencana perusahaan.

    Bisnis ini dijalankan oleh Chen Yingjian, seorang wirausahawan lokal yang berharap dapat menyediakan ruang aman yang fungsional bagi kaum muda dalam pencarian kerja mereka.

    Ide ini muncul pada bulan Juli, hampir secara tidak sengaja, ketika putra seorang teman yang menganggur bertanya apakah ia bisa melakukan simulasi wawancara kerja di kantornya.

    Dalam waktu kurang dari sebulan, Chen telah menerima ribuan pertanyaan. Ia menyaring pelamar secara langsung, menyambut mereka yang memiliki rencana konkret dan menolak mereka yang ia yakini tidak serius untuk bekerja di sana.

    Di ruang ini, ada beberapa aturan, dilarang tidur, dilarang bermain game, dan dilarang berisik.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sorotan Menko PMK soal Anak Muda Terindikasi Hepatitis-Kolesterol Tinggi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/naf)

  • Media Asing Ramai Soroti Menkeu Baru Purbaya Pengganti Sri Mulyani

    Media Asing Ramai Soroti Menkeu Baru Purbaya Pengganti Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah media asing menyoroti pergantian Menteri Keuangan RI dari Sri Mulyani menjadi oleh Purbaya Yudhi Sadewa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (8/9/2025) kemarin.

    Reuters menyoroti pergantian menteri ini dan rekam jejak Purbaya sebelum menjabat sebagai Bendahara Negara. Dalam artikel yang berujudul “Indonesia Replaces Respected Finance Minister with Economist Promising Rapid Growth”, media asal Inggris ini menyebut pergantian terjadi di tengah kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

    “Presiden Indonesia pada Senin mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang dikenal berkomitmen pada disiplin fiskal, dengan seorang ekonom yang berjanji mendorong percepatan pertumbuhan. Pergantian ini terjadi di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi di negara terbesar Asia Tenggara,” demikian kutipan artikel tersebut, Selasa (9/9/2025).

    Dalam artikel itu juga disebutkan bahwa Purbaya sebelumnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2020. Dia juga pernah menempati berbagai posisi di sejumlah kementerian, termasuk Wakil Menteri di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

    Dalam pidatonya pada 20 Agustus lalu, Purbaya menekankan pentingnya pemerataan pembangunan demi keadilan sosial, sekaligus mengenang pemikiran ekonomi ayah Presiden Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo, yang pernah menjadi ekonom sekaligus menteri di era pemerintahan otoriter Soeharto.

    “Salah satu kunci menciptakan stabilitas ekonomi adalah program berkelanjutan yang langsung menyentuh masyarakat,” ujar Purbaya dikutip dari artikel tersebut

    Purbaya juga menyampaikan bahwa target Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% bukan hal yang mustahil. Dia berjanji akan mencari cara untuk mempercepat laju ekonomi dengan mendorong keterlibatan lebih besar dari sektor swasta maupun pemerintah.

    Dia juga menegaskan bahwa tidak diperlukan pajak baru untuk mencapai sasaran tersebut.

    Sementara itu, Bloomberg dalam artikel bertajuk ‘Prabowo Removes Finance Chief, Risking Turmoil for Indonesia’ menyoroti sosok Purbaya yang cenderung kurang dikenal berpotensi menggoyahkan keyakinan investor global terhadap Indonesia.

    “Dengan pengumuman mendadak bahwa Sri Mulyani digantikan oleh sosok yang relatif kurang dikenal, Purbaya Yudhi Sadewa, pasar kini menghadapi potensi volatilitas yang lebih tinggi,” tulis media tersebut.

    Bloomberg juga menyoroti pencopotan mendadak Sri Mulyani Indrawati dapat mengguncang investor global yang selama ini melihatnya sebagai simbol disiplin fiskal di tengah dorongan belanja besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Selain itu, Bloomberg juga membahas pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Purbaya setelah menjabat sebagai Menteri Keuangan.

    “Tugas pertama Sadewa sebagai Menteri Keuangan adalah meyakinkan investor, baik domestik maupun asing, bahwa transisi kekuasaan akan berjalan mulus. Namun, hal ini jelas bukan tanpa tantangan,” tulis ekonom OCBC, Lavanya Venkateswaran dalam berita tersebut.

    Sementara itu, media asal Singapura, Channel News Asia (CNA) dalam artikel berjudul ‘Indonesian Finance Minister Sri Mulyani Removed as Prabowo Reshuffles Cabinet Following Weeks of Protests’  menyoroti profil dan latar belakang pendidikan Purbaya.

    Purbaya memiliki gelar master dan doktor di bidang ekonomi dari Universitas Purdue. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai kepala eksekutif perusahaan pialang milik negara Danareksa Securities.

    Selain itu, CNA juga menyoroti reshuffle dilakukan setelah aksi demonstrasi besar-besaran, yang salah satunya berujung pada penjarahan rumah Sri Mulyani.

    “Selama beberapa aksi protes di akhir Agustus, penjarah menyerbu rumah Sri Mulyani di Tangerang Selatan, kota tetangga ibu kota Jakarta,” tulis media tersebut.

    Selain itu, CNA juga menyoroti masa jabatan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang bekerja di bawah tiga presiden.

    “Dia mendapat banyak pujian atas reformasi sistem perpajakan serta perannya dalam menakhodai perekonomian terbesar di Asia Tenggara melewati berbagai krisis, termasuk pandemi Covid-19 dan krisis keuangan global,” demikian kutipan artikel tersebut.

    Sementara itu, South China Morning Post juga ikut menyoroti pergantian Sri Mulyani sebagai Menkeu. Media asal Hong Kong ini menyebut pergantian ini berisiko memicu guncangan baru bagi ekonomi RI yang tengah dilanda gelombang aksi protes keras terhadap pemerintah.

    SCMP mengatakan keputusan ini langsung mengguncang pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang semula sempat menguat berbalik melemah 1,3% hingga penutupan. Rupiah non-deliverable forward (NDF) satu bulan juga merosot 0,7% ke 16.516 per dolar AS.

    SCMP menyoroti reputasi Sri Mulyani yang selama hampir 14 tahun menjadi simbol kredibilitas fiskal Indonesia.

    ”Sri Mulyani telah memimpin kementerian keuangan Indonesia selama hampir 14 tahun dari 20 tahun terakhir, sebuah simbol kredibilitas fiskal bagi tiga presiden, yang secara luas dipuji karena telah membantu Indonesia mendapatkan peringkat kredit layak investasi,” tulis SCMP.

  • Jakarta duduki peringkat ke-17 kota dengan transportasi terbaik

    Jakarta duduki peringkat ke-17 kota dengan transportasi terbaik

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyampaikan Jakarta menempati peringkat ke-17 dari 50 kota terbaik di dunia dalam bidang transportasi publik pada 2025, menurut lembaga survei internasional Time Out.

    “Jakarta sekarang ini dari 50 kota, 18 ribu responden yang disurvei, kita berada di nomor 17. Di ASEAN, kita hanya kalah dari Singapura, lebih baik dari Kuala Lumpur, Manila, maupun Bangkok,” kata Pramono saat ditemui di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin.

    Menurut dia, capaian itu membuktikan Kota Jakarta semakin diperhitungkan secara global, terutama dalam penyediaan sarana publik.

    Dia pun berharap peringkat tersebut terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.

    “Mudah-mudahan dengan ini kita bisa lebih baik, bukan lagi ranking 17, tapi bisa lebih tinggi lagi,” ujar Pramono.

    Berikut 19 Kota dengan Transportasi Umum Terbaik berdasarkan Survei Internasional Time Out 2025:

    1. Hong Kong, SAR

    2. Shanghai, China

    3. Beijing, China

    4. Abu Dhabi, UEA

    5. Taipei, Taiwan

    6. London, Inggris

    7. Wina, Austria

    8. Seoul, Korea Selatan

    9. Mumbai, India

    10. Doha, Qatar

    11. Delhi, India

    12. Singapura, Singapura

    13. Zurich, Swiss

    14. Brighton, Inggris

    15. Edinburgh, Inggris

    16. Oslo, Norwegia

    17. Jakarta, Indonesia

    18. Warsawa, Polandia

    19. Tallinn, Estonia

    Dalam survei itu, disebutkan moda transportasi umum tersibuk di Jakarta adalah bus, dengan tingkat persetujuan 79 persen.

    Bus Transjakarta beroperasi di jalurnya sendiri (busway) di jalan-jalan di ibu kota. Layanan tersebut menawarkan pilihan paling terjangkau bagi warga setempat untuk berkeliling kota.

    Selain bus Transjakarta, ada pula Mikrotrans, yaitu bus berukuran sedang yang melayani antarhalte busway.

    Kemudian, terdapat sejumlah opsi transportasi berbasis rel, yakni MRT (mass rapid transit) dan LRT (light rail transit) yang membantu mengurangi kemacetan di ibu kota, serta kereta komuter yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • China Pakai Protokol COVID-19 untuk Hentikan Penyebaran Chikungunya

    China Pakai Protokol COVID-19 untuk Hentikan Penyebaran Chikungunya

    Jakarta

    Selama hampir dua bulan, pejabat kesehatan di China selatan telah mengobarkan perang terhadap nyamuk, menghidupkan kembali taktik top-down dengan pedoman nol-Covid negara itu.

    Sejak Juli, provinsi Guangdong sendiri telah melaporkan lebih dari 10.000 kasus demam chikungunya, penyakit virus bawaan nyamuk yang sebagian besar beredar di daerah tropis. Foshan, sebuah pusat manufaktur di Guangdong yang padat penduduknya, telah menjadi kota di China yang paling terpukul, mencatat lebih dari 600 infeksi baru per hari pada puncaknya, lebih dari total gabungan 519 kasus yang dilaporkan di seluruh daratan China dari tahun 2010 hingga 2019.

    Diberitakan NBC News, wabah chikungunya yang belum pernah terjadi sebelumnya mendorong pihak berwenang China untuk mengadopsi strategi penahanan yang mirip dengan kebijakan nol-Covid yang ketat di negara itu – pendekatan “mendeteksi dan menghilangkan”.

    Untuk mengekang penyebaran, pekerja dikirim untuk menyemprot insektisida di daerah yang terkena dampak beberapa kali sehari. Pemerintah juga mewajibkan pasien yang dicurigai untuk segera melaporkan kasus mereka dan mematuhi mandat karantina.

    “Dalam dunia yang berubah dengan cepat ini, penyakit menular dapat menyebar dengan sangat cepat,” kata Jasper Chan, seorang profesor mikrobiologi klinis dan infeksi di Universitas Hong Kong.

    Pakai protokol COVID-19

    Demi menghentikan penyebaran, otoritas lokal telah meminta pekerja akar rumput untuk menyebarkan insektisida di jalan-jalan dan membersihkan genangan air yang tergenang tempat nyamuk berkembang biak. Klinik dan rumah sakit telah menyiapkan tempat tidur anti nyamuk untuk mengisolasi pasien, dan penduduk telah didesak untuk memasang jendela layar dan menyalakan kumparan nyamuk di rumah.

    Orang-orang dan organisasi di China terikat oleh hukum untuk mengikuti instruksi dari pejabat kesehatan dalam menahan virus. Kegagalan untuk mematuhi dapat menyebabkan peringatan, denda, dan bahkan tanggung jawab perdata.

    Beberapa telah mengkritik kampanye pemerintah sebagai berlebihan yang mengingatkan pada kontrol kesehatan masyarakat era Covid, sementara yang lain memuji tindakan cepat dan berskala besar.

    “Sangat menyenangkan melihat akumulasi sampah lama selama bertahun-tahun dihapus,” tulis seorang pengguna di RedNote, sebuah platform media sosial Cina yang mirip dengan Instagram. “Tapi agak terlalu banyak untuk membuang bahkan mangkuk air kucing. Itu adalah kasus klasik dari pendekatan satu ukuran yang cocok untuk semua.”

    Kontrol ketat China telah mengekang wabah tersebut. Pada 25 Agustus, Foshan mencatat kasus harian baru di bawah 50 selama sembilan hari. Pejabat kesehatan mengumumkan bahwa kota berpenduduk lebih dari 9 juta orang telah mengakhiri respons darurat kesehatan masyarakatnya, yang berlangsung selama sekitar satu bulan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Wabah Chikungunya di Jawa Barat: 6000 Orang Terjangkit”
    [Gambas:Video 20detik]
    (kna/kna)

  • Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital Nasional 8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
    Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
    FENOMENA
    yang merebak di ruang publik Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, memperlihatkan bagaimana dinamika politik kini tidak lagi sekadar berkutat pada ruang rapat parlemen, ruang sidang pengadilan, atau jalan-jalan kota yang penuh demonstran, tapi juga muncul sebagai konten digital yang dikonsumsi, dibagikan, dan diperdebatkan secara masif.
    Ketika gagasan politik dirangkum dalam simbol sederhana berupa angka, warna, dan infografis lalu beredar cepat melalui ponsel jutaan orang, kita menyaksikan kelahiran bentuk artikulasi politik baru.
    Tidak hanya di Indonesia, fenomena serupa telah terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat dengan tagar
    #BlackLivesMatter
    , Hong Kong dengan
    Umbrella Movement
    , hingga Eropa dengan
    Fridays for Future.
    Semua menghadirkan satu pola yang semakin jelas: politik tidak lagi sekadar proses formal institusional, melainkan juga performa visual dan naratif yang dirancang agar cocok dengan logika algoritme media sosial.
    Kasus 17+8 Tuntutan Rakyat yang meledak di Indonesia adalah contoh paling mutakhir, di mana 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun dengan ringkas, tapi resonan, dikemas dalam warna pink yang lembut, namun penuh makna, dan dipopulerkan oleh influenser digital yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis politik.
    Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi, hubungan antara estetika digital dengan substansi politik, dan sejauh mana masyarakat bisa bergantung pada gerakan berbasis viralitas untuk menyelesaikan problem struktural yang dalam.
    Masalah yang tersirat dari semua ini adalah bagaimana politik sebagai praksis kolektif kini menghadapi tantangan ganda.
    Di satu sisi, keberhasilan gerakan
    digital-first
    menunjukkan bahwa partisipasi rakyat masih sangat hidup, bahkan justru menemukan ruang ekspresi baru di luar kanal formal.
    Di sisi lain, keterbatasan struktur, kerapuhan organisasi, dan risiko superfisialitas mengintai, sebab logika media sosial cenderung lebih menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dibagikan ketimbang argumentasi panjang yang penuh nuansa.
    Di sinilah problem konseptual muncul: apakah gerakan yang lahir dari viralitas dapat bertahan melampaui siklus trending?
    Apakah politik yang disajikan sebagai konten mampu menembus sistem hukum, kebijakan, dan birokrasi yang penuh resistensi?
    Pertanyaan semacam ini membawa kita pada dilema epistemologis dan normatif yang mengingatkan pada perdebatan lama tentang peran opini publik dalam demokrasi.
    Jürgen Habermas, dalam karya monumentalnya tentang ruang publik, menekankan pentingnya diskursus rasional yang terbentuk dalam arena komunikasi.
    Namun, pada era media sosial, yang kita hadapi bukan sekadar diskursus rasional, melainkan banjir konten yang mencampuradukkan opini, emosi, dan simbol.
    Teori-teori tentang gerakan sosial membantu kita memahami transisi ini. Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol, dalam analisisnya tentang jaringan komunikasi, menggambarkan bahwa kekuatan masyarakat kini terletak pada kemampuan membentuk jaringan horizontal yang mem-
    bypass
    institusi formal.
    Konsep
    networked movement
    menjelaskan mengapa gerakan tanpa pemimpin tunggal, tanpa organisasi mapan, tetap bisa meluas cepat karena jaringannya bersifat desentral.
    Zeynep Tufekci, peneliti asal Turki-Amerika, juga menekankan hal serupa dalam kajiannya tentang protes digital.
    Ia menunjukkan bahwa kekuatan viralitas bisa menciptakan mobilisasi masif dalam waktu singkat, tetapi tanpa kapasitas organisasi yang kokoh, gerakan tersebut rentan kehilangan arah setelah momen awal.
    Persis di sinilah kita melihat paradoks. Gerakan 17+8 di Indonesia mampu menggalang dukungan luas hanya dalam hitungan hari. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ia bisa bertahan lebih lama dan menghasilkan perubahan struktural nyata?
    Jika kita menggeser pandangan ke ranah filsafat politik, kita menemukan refleksi yang memperkaya analisis ini.
    Alexis de Tocqueville, ketika menganalisis demokrasi Amerika pada abad ke-19, sudah menyinggung tentang bahaya tirani mayoritas dan ketidakstabilan opini publik yang cepat berubah.
    Pada masa kini, fenomena itu menemukan bentuk digitalnya: opini publik yang viral dapat menjadi basis legitimasi sesaat, tetapi tidak selalu membawa konsistensi kebijakan.
    Hannah Arendt, dengan fokusnya pada ruang publik sebagai arena tindakan politik, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam bertindak kolektif.
    Tanpa kesinambungan, tindakan politik mudah memudar. Refleksi ini menyoroti bahwa politik sebagai konten menghadapi tantangan menjaga keberlanjutan, bukan hanya menciptakan ledakan viral sesaat.
    Studi kasus dari berbagai negara memperlihatkan pola yang mirip. Di Amerika Serikat,
    #BlackLivesMatter
    lahir dari pengalaman diskriminasi rasial dan kekerasan polisi, lalu menjadi gerakan global melalui visual dan hashtag.
    Di Hong Kong,
    Umbrella Movement
    pada 2014 memperlihatkan bagaimana simbol sederhana—payung kuning—mampu menjadi ikon perlawanan terhadap Beijing.
    Di Swedia, Greta Thunberg memulai
    Fridays for Future
    dengan aksi personal yang difoto dan dibagikan, lalu berkembang menjadi protes iklim global.
     
    Di dunia Arab, gelombang
    Arab Spring
    berawal dari unggahan di media sosial yang kemudian menyulut revolusi.
    Di Indonesia, gerakan
    #ReformasiDikorupsi
    pada 2019 memperlihatkan kekuatan mahasiswa memobilisasi protes melalui visual digital.
    Semua ini mengajarkan bahwa viralitas adalah katalis, tetapi tidak otomatis menjamin hasil politik.
    Jika kita menganalisa lebih dalam, yang menjadi kekuatan utama gerakan digital adalah kemampuan menciptakan narasi singkat, mudah diingat, dan bersifat simbolik.
    17+8 adalah contoh sempurna: angka 17 dan 8 bukan hanya jumlah tuntutan, tetapi juga resonansi dengan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
    Warna pink bukan sekadar pilihan estetis, tetapi juga strategi membedakan diri dari warna-warna protes tradisional yang keras. Pink menyampaikan kesan empati, kelembutan, dan keterlibatan emosional yang lebih luas.
    Simbolisme ini sejalan dengan analisis semiotik Roland Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda-tanda visual dapat mengkristal menjadi mitos sosial.
    Barthes menulis bahwa mitos bukan kebohongan, melainkan cara tertentu dalam memberikan makna, dan dalam konteks ini pink menjadi mitos baru tentang perlawanan yang inklusif.
    Namun, di balik daya tarik simbolik, ada juga keterbatasan struktural. Tufekci menulis bahwa gerakan digital cenderung “mudah naik, mudah turun.”
    Tidak adanya organisasi mapan membuat mereka cepat meluas, tetapi juga cepat memudar. BLM bertahan lebih lama karena memiliki jaringan komunitas yang sudah lama ada di Amerika.
    Fridays for Future
    bertahan karena terhubung dengan isu global yang berkelanjutan. Sementara
    Umbrella Movement
    mengalami keterpecahan karena represi keras dan perbedaan strategi internal.
    Pertanyaannya, apakah 17+8 akan mengalami hal sama? Apakah ia akan menemukan struktur baru yang menghubungkan viralitas digital dengan advokasi hukum, perubahan kebijakan, atau bahkan lahirnya partai politik baru?
    Implikasinya bagi demokrasi sangat signifikan. Di satu sisi, gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih peduli, bahwa demokrasi tidak mati, dan bahwa rakyat menemukan cara kreatif menuntut keadilan.
    Di sisi lain, ada risiko bahwa pemerintah hanya melihat gerakan ini sebagai “tren medsos” yang bisa dibiarkan padam dengan sendirinya.
    Ada pula risiko bahwa partai politik justru akan meniru strategi ini untuk tujuan pencitraan, sehingga gerakan rakyat direduksi menjadi gaya kampanye. Hal ini menimbulkan dilema antara substansi dan performa.
    Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulasi, mengingatkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan simbol sering kali lebih kuat daripada realitas itu sendiri.
    Politik sebagai konten bisa jatuh dalam jebakan simulasi, di mana performa digital lebih penting daripada hasil nyata.
    Di sinilah muncul kemungkinan solusi. Gerakan berbasis konten digital perlu mencari cara agar tidak hanya berhenti pada viralitas.
    Salah satunya adalah menjembatani antara dunia digital dan dunia formal: tuntutan yang viral harus diterjemahkan ke dalam advokasi hukum,
    judicial review,
    lobi parlemen, atau pembentukan jaringan sipil yang lebih kokoh.
    Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
    Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.
    Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau
    Fridays for Future
    yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.
    Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.
    Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.
    Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.
    Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.
    Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.
    Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.
    Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.
    Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.
    Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.
    Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.
     
    Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.
    Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.
    Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.
    Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.
    Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.
    Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.
    Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.