Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
Direktur Eksekutif Migrant Watch
SAYA
masih ingat jelas ketika kami, mahasiswa, turun ke jalan pada peristiwa 1998, menuntut reformasi.
Meski rakyat diliputi ketakutan terhadap sosok Soeharto yang memerintah dengan tangan besi, tuntutan reformasi itu menggaung kuat, lahir dari jeritan nurani rakyat yang lelah dan jenuh menghadapi otoritarianisme yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Menariknya, Presiden Soeharto saat itu mencoba merespons tuntutan reformasi dengan langkah simbolik.
Ia merombak beberapa posisi kabinet, mengundang tokoh nasional seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Emha Ainun Nadjib untuk berdialog, serta mengusulkan pembentukan Dewan Reformasi.
Pertanyaannya: apakah rakyat langsung percaya? Tentu saja tidak. Mayoritas menolak karena tidak percaya pada keseriusan langkah tersebut.
Rakyat tidak yakin reformasi bisa lahir dari tangan penguasa yang justru dianggap biang dari masalah itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama puluhan tahun mempertahankan status quo, tiba-tiba menjadi juru kunci reformasi?
Akhirnya, meski Soeharto mencoba tampil sebagai motor perubahan, rakyat justru semakin kencang menuntut agar ia turun. Reformasi hanya bisa berjalan tanpa campur tangan rezim Soeharto.
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, membuka jalan bagi perubahan yang sesungguhnya.
Sejarah membuktikan bahwa reformasi hanya bisa terjadi dari luar kekuasaan, bukan dari dalam kekuasaan.
Sejarah Reformasi 1998 masih menyisakan gema yang relevan hingga saat ini, khususnya dalam konteks agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Desakan agar institusi kepolisian direformasi telah lama bergema di ruang publik, seiring munculnya berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Namun, respons yang muncul justru mirip dengan pola lama: pemerintah membentuk Komite Reformasi, sementara Kapolri turut menginisiasi Tim Transformasi Reformasi Polri. Dari sisi logika publik, situasi ini tampak janggal.
Bagaimana mungkin institusi yang menjadi objek kritik sekaligus bertindak sebagai subjek yang mengatur arah reformasi?
Analogi yang sering muncul adalah ibarat seorang pasien sakit keras diminta meracik obat untuk dirinya sendiri, padahal ia belum tentu mengakui penyakit yang dideritanya.
Publik pun bertanya-tanya, apakah ini wujud keseriusan atau justru siasat untuk mereduksi tujuan reformasi Polri?
Dalam kerangka akademis, persoalan reformasi dapat dipahami sebagai dilema antara reformasi internal dan eksternal.
Reformasi yang sepenuhnya dilakukan dari dalam institusi kerap berakhir pada langkah-langkah
lips service
atau kosmetik, sekadar perubahan nomenklatur, pembentukan tim ad-hoc, atau slogan-slogan sementara yang tidak menyentuh akar persoalan.
Ketika Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri lewat Surat Perintah yang diteken pada 17 September 2025, reaksi publik muncul cepat dan beragam.
Polri menegaskan bahwa tim ini bukan untuk menggantikan Komite Reformasi bentukan Presiden, melainkan untuk mempercepat dan mengakomodasi proses reformasi.
Namun, banyak pihak menilai narasi itu sebagai upaya mereduksi urgensi reformasi. Dalam praktiknya, tim internal Polri berpotensi mengambil ruang inisiatif dan legitimasi, sekaligus menggeser perhatian publik dari kelemahan struktural hingga fokus pada evaluasi administratif semata.
Kecurigaan publik muncul dari beberapa faktor. Pertama, pembentukan tim internal dipandang sebagai strategi defensif: Polri tampak ingin menunjukkan bahwa mereka “sudah bergerak”, bahkan sebelum Komite Reformasi Presiden beroperasi.
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa narasi reformasi sedang direbut dan kritik publik dibingkai ulang sebagai bagian dari kontrol internal, sehingga tekanan eksternal, yang biasanya efektif, dapat dilemahkan.
Kedua, publik melihat risiko bahwa tim internal ini bisa menjadi alat legitimasi tanpa kejelasan sanksi atau implementasi nyata.
Evaluasi internal tanpa diikuti perombakan regulasi, revisi undang-undang, pemisahan kepentingan, atau pengurangan kewenangan yang rawan disalahgunakan, dapat membuat reformasi berhenti di level dokumen saja.
Ketiga, ada kekhawatiran bahwa tim internal dapat “membangkang” atau mengambil jarak dari arahan Komite Presiden, bahkan arahan Presiden sendiri, dengan alasan teknis-operasional, stabilitas organisasi, atau hambatan internal Polri.
Walaupun Polri membantah dan menyatakan tim bertujuan akselerasi dan akuntabilitas, publik tetap khawatir bahwa alasan tersebut menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.
Keempat, ketidakjelasan komposisi tim dan transparansi mandat memperkuat kecurigaan. Beberapa laporan menyebut tim sebagian besar terdiri dari internal Polri (perwira), sementara belum jelas seberapa besar ruang diberikan bagi unsur masyarakat sipil, akademisi, pegawai non-perwira, atau institusi pengawas eksternal.
Ketidakjelasan ini membuka kemungkinan tim bekerja dalam lingkup yang aman bagi institusi, bukan sebagai agen perubahan yang menantang struktur.
Publik pun mempertanyakan apakah tim transformasi internal ini akan berani menegakkan reformasi yang dapat “menyakiti” kepentingan internal Polri — misalnya memecat anggota bermasalah, membongkar sistem promosi tidak transparan, atau menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat secara tegas.
Di sisi lain, Polri dan pendukung reformasi internal menekankan bahwa tim ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi agar reformasi tidak berhenti pada jargon.
Tanpa kerja internal, reformasi dari luar bisa jadi sia-sia karena institusi sendiri tidak siap menghadapi lonjakan tuntutan, atau bisa terjadi konflik internal yang kontraproduktif.
Dalam perspektif teori kekuasaan, sulit membayangkan institusi yang begitu kuat rela melucuti kekuatan dirinya sendiri. Analogi klasiknya: tidak ada pemilik pistol yang menyerahkan pistolnya untuk ditembakkan ke kepalanya sendiri.
Lembaga yang memiliki privilese kekuasaan, wewenang hukum, dan monopoli kekerasan sah cenderung mempertahankan status quo. Reformasi internal sering berisiko melahirkan simulasi perubahan, bukan perubahan substansial.
Polri, sebagai institusi dengan struktur hirarkis ketat dan akses luas terhadap alat negara, menghadapi dilema tersebut.
Pembentukan tim internal justru mempertegas kecenderungan alami ini: alih-alih memfasilitasi transformasi, tim internal bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk menghindarkan institusi dari guncangan.
Dengan kata lain, reformasi internal sering bekerja sebagai strategi penundaan, bukan strategi perombakan.
Inilah alasan mengapa reformasi sejati memerlukan tekanan eksternal yang kuat, pengawasan independen, dan kesediaan politik dari pucuk kekuasaan.
Tanpa reformasi dari luar, setiap janji reformasi berpotensi redup menjadi jargon administratif yang aman bagi institusi, tetapi gagal menjawab keresahan rakyat.
Belajar dari negara lain memberikan pelajaran berharga bagi reformasi kepolisian yang akan dilakukan di Indonesia.
Di Hong Kong, lembaga kepolisian pernah dikenal korup dan kehilangan kepercayaan publik pada era 1960-an.
Pemerintah kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi independen yang benar-benar terpisah dari kepolisian.
ICAC tidak hanya berwenang menyelidiki kasus korupsi di luar kepolisian, tetapi juga menindak aparat kepolisian sendiri.
Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dapat dipecat, diproses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Dengan pengawasan eksternal yang tegas ini, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat dipulihkan.
Di Amerika Serikat, berbagai skandal polisi yang melibatkan diskriminasi rasial mendorong lahirnya Civilian Review Boards atau dewan pengawas sipil di sejumlah kota.
Dewan ini menampung laporan warga, melakukan investigasi independen, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah kota.
Walaupun efektivitasnya berbeda-beda di tiap kota, keberadaan mekanisme sipil menegaskan pentingnya kontrol eksternal dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pengalaman Afrika Selatan pasca-runtuhnya apartheid juga menarik. Reformasi kepolisian di sana tidak hanya soal pembenahan struktur, tetapi juga transformasi budaya.
Aparat yang terbukti bersalah diberhentikan atau dipindahkan, sementara pendidikan ulang dilakukan secara besar-besaran agar mereka meninggalkan mentalitas represif rezim lama dan mengadopsi nilai-nilai demokrasi.
Dalam beberapa kasus, anggota yang melanggar hukum diproses secara hukum. Hasilnya, meskipun belum sempurna, kepolisian di Afrika Selatan lebih diarahkan menjadi instrumen pelayanan publik, bukan alat politik.
Selain itu, beberapa negara mengambil langkah lebih tegas berupa pemecatan massal aparat kepolisian sebagai bagian dari reformasi institusi.
Di Georgia, Presiden Mikheil Saakashvili pada 2005 memecat sekitar 30.000 personel kepolisian, terutama dari kepolisian lalu lintas, untuk menanggulangi maraknya korupsi.
Pemerintah kemudian merekrut polisi baru, memberikan pelatihan intensif, dan meningkatkan gaji untuk membangun institusi yang lebih bersih dan profesional.
Di Peru, Presiden Ollanta Humala pada 2011 memecat sekitar dua pertiga jajaran petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian dan Kepala Satuan Pemberantasan Narkoba, sebagai langkah membersihkan institusi dari praktik ilegal dan penyalahgunaan wewenang.
Afrika Selatan, pada 2012, juga memecat Kepala Kepolisian Jenderal Bheki Cele terkait kasus korupsi penyewaan gedung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di tingkat tinggi.
Di Rusia, Presiden Vladimir Putin pada 2015 memecat lebih dari 1.000 petinggi kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Dari berbagai contoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa reformasi kepolisian yang efektif membutuhkan dua hal utama: pengawasan eksternal yang benar-benar independen, serta kesediaan internal untuk berubah melalui transformasi budaya, pendidikan, dan perombakan struktural, termasuk pemecatan aparat yang terbukti melanggar hukum, bahkan sampai level jabatan tinggi.
Reformasi tanpa langkah tegas ini berisiko hanya menjadi retorika tanpa perubahan substansial.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman tersebut. Reformasi Polri tidak cukup hanya dibicarakan dalam komite atau tim internal yang dibentuk pemerintah.
Diperlukan lembaga independen yang memiliki otoritas nyata untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian, bahkan menindak jika diperlukan.
Pada saat sama, Polri perlu melakukan transformasi internal melalui kurikulum pendidikan baru yang menekankan etika, pelayanan publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Restrukturisasi kelembagaan juga harus dilakukan agar Polri lebih fokus. Fungsi-fungsi yang tumpang tindih atau dapat diotomatisasi sebaiknya dipangkas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
Namun, masalahnya kini bukan hanya soal teknis reformasi, melainkan juga soal kepercayaan publik. Banyak kalangan curiga bahwa pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri tidak lebih dari strategi untuk meredam kritik.
Alih-alih menunjukkan keseriusan, tim ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar berniat berubah, atau hanya berusaha mengendalikan narasi reformasi agar tetap aman di bawah kendali mereka?
Kecurigaan ini wajar, sebab publik sudah terlalu sering disuguhi janji perubahan yang berakhir menjadi jargon.
Tanpa keterlibatan independen dari masyarakat sipil dan tanpa kesediaan menyerahkan sebagian kontrol kepada mekanisme eksternal, reformasi Polri akan sulit dipercaya.
Apalagi, jika reformasi hanya dijalankan melalui tim internal, besar kemungkinan hasilnya sekadar kosmetik. Terlihat rapih di permukaan, tetapi busuk di dalam.
Sejarah 1998 menunjukkan bahwa rakyat tidak akan percaya reformasi yang digerakkan penguasa yang mempertahankan status quo. Untuk Polri menjadi profesional dan memulihkan legitimasi, reformasi harus dilakukan dari tekanan eksternal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Negara: Georgia
-
/data/photo/2025/09/24/68d332ec029ef.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar? Nasional 26 September 2025
-

iPhone Akan Dukung Paspor Digital AS di Apple Wallet pada Akhir 2025
JAKARTA – Apple mengonfirmasi bahwa pengguna iPhone di Amerika Serikat segera dapat menambahkan paspor mereka ke dalam Apple Wallet.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya panjang Apple yang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun untuk menjadikan iPhone sebagai pengganti kartu identitas fisik, termasuk SIM dan paspor. Perusahaan juga telah mengajukan sejumlah paten terkait teknologi yang diperlukan.
Konfirmasi hadir setelah perubahan kecil pada catatan kaki di laman resmi fitur iOS 26. Sebelumnya, Apple hanya menyebut bahwa paspor AS akan tersedia melalui pembaruan perangkat lunak tanpa rincian waktu. Kini, catatan tersebut diubah menjadi: “Digital ID akan hadir akhir tahun ini dengan paspor AS saja.”
Meskipun tidak ada jadwal pasti, dengan sisa waktu kuartal terakhir tahun ini, dukungan untuk paspor digital diyakini segera hadir. Namun, Apple tidak lagi mencantumkan keterangan soal pembaruan perangkat lunak di laman tersebut.
Pembaruan iOS 26 saat ini sudah tersedia dalam versi beta pengembang, meski fitur dukungan paspor belum terlihat.
Sebelumnya, Apple sudah lebih dulu menambahkan dukungan SIM digital di iOS, dimulai dari negara bagian Arizona dan Georgia, lalu diperluas ke beberapa wilayah lain. Berbeda dengan SIM, paspor digital diperkirakan akan berlaku secara nasional begitu diluncurkan.
Modernisasi ini sejalan dengan tren paspor yang memang telah memiliki elemen digital. Berdasarkan paten yang diajukan Apple, implementasi paspor digital di iPhone akan dibuat lebih aman, termasuk dengan verifikasi identitas melalui autentikasi biometrik.
Dengan hadirnya dukungan paspor digital, iPhone semakin diposisikan sebagai dompet digital lengkap yang mampu menggantikan berbagai bentuk identitas fisik pengguna di masa depan.
-

Amoeba Pemakan Otak Tewaskan Belasan di India, Gimana Penyebarannya?
Jakarta –
Malam sebelum festival Onam di Negara Bagian Kerala, India, Sobhana (45) terbaring menggigil di dalam ambulans. Kondisinya nyaris tidak sadarkan diri ketika keluarganya melarikan Sobhana ke rumah sakit.
Beberapa hari sebelumnya, perempuan yang hidup dari berjualan jus buah di sebuah desa di Distrik Malappuram itu mengeluh pusing. Ia menduga akibat tekanan darah tinggi. Dokter meresepkan obat dan mengirimnya pulang.
Namun, kondisinya memburuk secara drastis: rasa tidak nyaman berubah menjadi demam, demam menjadi gemetar menggigil hebat, sampai akhirnya Sobhana meninggal dunia tepat ketika festival dimulai pada 5 September.
Setelah ditelusuri, penyebab kematian Sobhana rupanya disebabkan Naegleria fowleri lebih dikenal sebagai ameba atau amoeba pemakan otak yang masuk ke tubuh melalui hidung melalui air tawar.
Kasus ini rupanya cukup langka di Kerala, India sehingga kebanyakan dokter sukar mendeteksi karena tidak pernah menemui kasus semacam ini sepanjang karier mereka.
“Kami tidak berdaya untuk menghentikannya. Kami baru mengetahui penyakit itu setelah kematian Sobhana,” kata Ajitha Kathiradath, sepupu korban dan seorang pekerja sosial terkemuka.
Tahun ini, jumlah orang yang terdiagnosa infeksi ameba tersebut mencapai lebih dari 70 pasien dari usia tiga bulan hingga 92 tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 19 orang meninggal dunia.
Bagaimana ameba pemakan otak berkembang?
Organisme ini menyebabkan infeksi otak yang dikenal sebagai meningoensefalitis amoeba primer (PAM). Efek infeksinya pun hampir selalu fatal.
Ameba ini umumnya masuk melalui hidung, biasanya ketika seseorang berenang di air tawar, yang menjadi tempat hidup Naegleria fowleri. Setelah masuk ke dalam tubuh melalui hidung, ameba cepat merusak jaringan otak.
Sebagian besar dokter tidak pernah menemui kasus seperti ini seumur hidup mereka karena saking langkanya.
Hingga saat ini, hanya 488 kasus yang dilaporkan di seluruh dunia sejak 1962. Sebagian besar terjadi di Amerika Serikat, Pakistan, dan Australia. Sekitar 95% dari korban yang terinfeksi meninggal dunia.
Di Kerala, infeksi ameba ini mulai terdeteksi pada 2016. Saat itu, hanya satu atau dua kasus per tahun. Hingga baru-baru ini kasus tersebut mulai berakibat fatal.
Akan tetapi, tingkat kesembuhannya meningkat sejak tahun lalu. Penyakit akibat ameba ini ditemukan 39 kasus pada tahun lalu dengan tingkat kematian 23%.
Tahun ini, meski jumlah kasusnya lebih banyak mencapai 70 kasus, tapi tingkat kematiannya hanya sekitar 24,5%.
Naegleria fowleri atau ameba pemakan otak hidup di danau, sungai, dan mata air panas. (Universal Images Group via Getty Images)
Menurut para dokter, peningkatan jumlah kasus mencerminkan deteksi yang lebih baik dari kinerja laboratorium yang canggih.
“Kasus-kasus meningkat tetapi kematian menurun. Strategi pengujian agresif dan diagnosis dini telah meningkatkan kelangsungan hidup. Ini suatu pendekatan yang unik di Kerala,” ucap Aravind Reghukumar, kepala penyakit menular di Medical College and Hospital di Thiruvananthapuram.
Baca juga:
Deteksi dini memungkinkan pengobatan khusus, seperti kombinasi obat antimikroba dan steroid yang menargetkan ameba, yang dapat menyelamatkan nyawa.
Saat ini, ilmuwan telah mengidentifikasi sekitar 400 spesies ameba bebas, tapi hanya enam yang diketahui dapat menyebabkan penyakit pada manusia, termasuk Naegleria fowleri dan Acanthamoeba. Adapun kedua ameba ini dapat menginfeksi otak.
Di Kerala, laboratorium kesehatan masyarakat kini dapat mendeteksi lima jenis patogen utama, kata para pejabat.
Bagaimana upaya pencegahan penyebaran ameba pemakan otak di Kerala?
Pemerintah daerah juga telah memasang papan peringatan di sekitar kolam untuk melarang berenang atau mandi. Berlandasakan pada Undang-Undang Kesehatan Masyarakat, pemerintah juga berupaya menerapkan klorinasi rutin kolam renang dan tangki air disertai pengawasan yang ketat.
Akan tetapi, langkah klorinasi ini rupanya berpotensi mematikan habitat lain, seperti ikan misalnya. Di sisi lain, pengawasan tiap sumber air desa di negara yang berpopulasi lebih dari 30 juta orang ini tidak lah mudah.
Nebula NPPapan peringatan di kolam di Kerala yang melarang publik berenang setelah kematian seorang perempuan akibat meningoensefalitis amoebik.
Ketergantungan yang tinggi pada air tanah, baik melalui kolam dan sumur, di Asia bagian selatan, termasuk India, membuatnya sangat rentan tercemar ameba pemakan otak ini. Sebab ameba pemakan otak mudah berkembang biak di air tanah dan air tawar.
Kerala memiliki hampir 5,5 juta sumur dan 55.000 kolam. Jutaan warga mengandalkan sumur sebagai sumber air harian mereka dan menganggap sumur dan kolam sebagai tulang punggung kehidupan mereka, tanpa mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi.
“Beberapa infeksi terjadi pada orang yang mandi di kolam, bahkan dari kolam renang. Bisa juga tertular melalui pembilasan hidung dengan air yang merupakan ritual keagamaan,” kata Anish TS, seorang epidemiolog terkemuka.
Oleh karena itu, otoritas kesehatan masyarakat telah berusaha merespons dengan mengampanyekan klorinasi kolam pada 2,7 juta sumur di akhir Agustus.
Baca juga:
Para pejabat pun kini lebih menekankan pada kesadaran daripada pelarangan.
Masyarakat didesak untuk membersihkan tangki dan kolam secara rutin, menggunakan air hangat yang bersih untuk membersihkan hidung, menjauhkan anak-anak dari alat penyiram air di taman, dan menghindari kolam yang tidak aman.
“Ini adalah masalah yang sulit. Di beberapa tempat seperti tempat sumber air panas, papan peringatan dipasang untuk memperingatkan kemungkinan adanya amoeba dalam sumber air. Tapi tidak serta merta membuat warga mematuhinya,” kata Dennis Kyle, seorang profesor penyakit menular dan biologi seluler di Universitas Georgia, kepada BBC.
“Dalam lingkungan yang diawasi secara rutin, klorinasi bisa efektif mengurangi infeksi dan dapat menjangkau kolam renang hingga tempat pemandian,” ujarnya.
Apa ada hubungannya dengan perubahan iklim?
Para ilmuwan memperingatkan bahwa perubahan iklim memperkuat risiko infeksi.
Air yang lebih hangat, musim panas yang lebih panjang, dan kenaikan suhu menciptakan kondisi ideal bagi amoeba ini.
Menurut Profesor Anish TS, kenaikan suhu 1 derajat celsius saja bisa memicu penyebaran Naegleria fowleri di iklim tropis Kerala. Selain itu, polusi air menyediakan makanan bagi bakteri yang dikonsumsi oleh ameba.
Abhishek Chinnappa/Getty ImagesKerala memiliki hampir 5,5 juta sumur dan 55.000 kolam.
Dengan semua tantangan ini, Dr. Kyle Dennis, seorang profesor penyakit menular di University of Georgia, mencatat bahwa beberapa kasus di masa lalu mungkin tidak terdeteksi, sehingga ameba ini tidak diidentifikasi sebagai penyebabnya.
Ia juga menjelaskan bahwa kombinasi obat saat ini masih “sub-optimal” dan bahwa “kami tidak memiliki data yang cukup untuk menentukan apakah semua obat tersebut benar-benar membantu atau diperlukan”.
Kerala mungkin berhasil mendeteksi lebih banyak pasien dan menyelamatkan lebih banyak nyawa, tetapi pelajaran dari kasus ini tidak hanya berlaku di negara bagian tersebut.
Perubahan iklim dapat mengubah peta penyebaran penyakit, dan bahkan patogen paling langka pun mungkin dapat menyebar dalam waktu dekat.
(ita/ita)
-

Korsel Warning Bisa Jatuh dalam Krisis Bak 1997, Ada Apa?
Daftar Isi
Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Korea Selatan (Korsel) Lee Jae Myung menyatakan bahwa ekonomi negaranya bisa jatuh ke dalam krisis yang menyaingi krisis 1997. Ini jika pemerintah menerima tuntutan Amerika Serikat (AS) dalam perundingan perdagangan yang kini macet, tanpa adanya perlindungan pada dalam negeri.
Hal ini disampaikan dalam wawancara dengan Reuters, Senin (22/9/2025). Seoul dan Washington secara lisan telah menyepakati perjanjian perdagangan pada bulan Juli, di mana AS akan menurunkan tarif Presiden Donald Trump atas barang-barang Korsel sebagai imbalan atas investasi senilai US$ 350 miliar (sekitar Rp 5.811 triliun) dari Negeri Ginseng.
Namun, Lee mengatakan bahwa kedua negara belum menuangkan kesepakatan itu ke dalam dokumen resmi yang mengikat. Karena adanya perselisihan tentang bagaimana investasi tersebut akan ditangani.
“Tanpa currency swap (pertukaran mata uang), jika kita harus menarik US$ 350 miliar seperti yang diminta AS dan menginvestasikan semuanya dalam bentuk tunai di AS, Korsel akan menghadapi situasi seperti yang terjadi pada krisis keuangan 1997,” katanya melalui seorang penerjemah.
Dalam sebuah wawancara di kantornya pada hari Jumat, Lee juga berbicara tentang penggerebekan imigrasi besar-besaran AS yang menahan ratusan warga Korea. Termasuk hubungan Seoul dengan Korea Utara (Korut), China, dan Rusia.
Perundingan perdagangan dan pertahanan dengan AS, sekutu militer dan mitra ekonomi utama Korsel, membayangi kunjungan Lee hari ini ke New York. Di mana ia akan berpidato di Majelis Umum PBB dan menjadi Presiden Korsel pertama yang memimpin pertemuan Dewan Keamanan.
Skandal Hyundai
Bulan ini, pemerintahan Trump mengguncang Korsel dengan penangkapan lebih dari 300 pekerja warga negaranya di sebuah pabrik baterai Hyundai Motor di Georgia, AS. Pejabat federal AS menuduh mereka melakukan pelanggaran imigrasi.
Lee mengatakan bahwa warga Korsel secara alami marah dengan perlakuan “kasar” terhadap para pekerja, di mana pemerintahan Trump mempublikasikan foto mereka dalam belenggu. Korsel telah memperingatkan bahwa hal itu dapat membuat perusahaan khawatir untuk berinvestasi di Amerika Serikat.
Namun, dia mengatakan penggerebekan itu tidak akan merusak aliansi bilateral, memuji Trump karena menawarkan untuk membiarkan para pekerja tinggal. Lee mengatakan dia tidak percaya itu diarahkan oleh Trump, melainkan akibat dari penegakan hukum yang terlalu bersemangat.
“Saya tidak percaya ini disengaja, dan AS telah meminta maaf atas insiden ini, dan kami telah sepakat untuk mencari langkah-langkah yang masuk akal dalam hal ini dan kami sedang mengerjakannya,” katanya.
Sementara itu di New York, Kantor Lee mengatakan tidak ada rencana baginya untuk bertemu Trump. Bahwa perundingan perdagangan tidak ada dalam agenda kunjungan tersebut.
Kata AS
Menteri Perdagangan Howard Lutnick mengatakan Korsel harus mengikuti kesepakatan Jepang dengan AS. Dia mengatakan Seoul harus menerima kesepakatan itu atau membayar tarif, menggunakan penggambaran pemerintahan Trump tentang pemerintah asing yang membayar pungutan, padahal pungutan tersebut justru dibayar oleh importir AS.
Lee, ketika ditanya apakah dia akan mundur dari kesepakatan itu, mengatakan bahwa dia yakin antara sekutu dekat, kedua negara akan dapat mempertahankan rasionalitas minimum. Korsel sendiri memang telah mengusulkan jalur currency swap dengan AS untuk mengurangi guncangan investasi terhadap pasar lokal untuk mata uang won.
“Korea Selatan berbeda dari Jepang, yang mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS pada bulan Juli. Tokyo memiliki cadangan devisa lebih dari dua kali lipat dari Korea Selatan yang sebesar US$ 410 miliar (sekitar Rp 6.814 triliun), mata uang internasional yen dan jalur swap dengan Amerika Serikat,” kata Lee.
Seoul dan Washington telah menyatakan secara tertulis bahwa setiap proyek investasi harus layak secara komersial. Tetapi menyusun rinciannya terbukti sulit.
“Mencapai kesepakatan terperinci yang menjamin kelayakan komersial kini menjadi tugas utama-namun juga tetap menjadi hambatan terbesar,” tutur Lee.
“Proposal selama perundingan tingkat kerja tidak memberikan jaminan kelayakan komersial, sehingga sulit untuk menjembatani kesenjangan,”tambahnya.
Trump mengatakan bahwa investasi akan “dipilih” olehnya dan dikendalikan oleh AS. Ini berarti Washington akan memiliki kebijaksanaan atas di mana uang itu akan diinvestasikan.
Namun, penasihat kebijakan Lee, Kim Yong Beom, mengatakan pada bulan Juli bahwa Korsel telah menambahkan mekanisme pengaman untuk mengurangi risiko pembiayaan. Termasuk mendukung proyek-proyek yang layak secara komersial daripada memberikan dukungan keuangan tanpa syarat.
Lee mengatakan Korsel dan AS tidak setuju untuk meningkatkan kontribusi Seoul terhadap pertahanannya sendiri, yang didukung oleh 28.500 tentara AS di semenanjung Korea. Tetapi Washington ingin menjaga perundingan keamanan dan perdagangan tetap terpisah.
“Kita harus mengakhiri situasi tidak stabil ini sesegera mungkin,” katanya, ketika ditanya apakah perundingan bisa berlanjut hingga tahun depan.
Krisis Korea 1997
Sebelumnya di 1991, mata uang Korea Won, terdepresiasi secara signifikan dan anjlok ke titik terendah sepanjang masa, yaitu 1.995 won terhadap dolar AS. Lonjakan produk domestik bruto (PDB) per kapita dari hanya US$94 pada tahun 1961 menjadi lebih dari US$10.000 pada pertengahan 1990-an, terhenti mendadak pada tahun 1997.
Resesi besar muncul dipicu oleh jatuhnya mata uang Thailand bath terhadap dolar AS. Korsel menghadapi pukulan finansial yang parah akibat hilangnya kredibilitas karena investor asing menarik uang mereka dari Korea.
Di antara segudang faktor yang berkontribusi, penyebab utama gejolak keuangan nasional adalah meningkatnya defisit transaksi berjalan, kebijakan nilai tukar pemerintah, konglomerat Korea yang terlilit utang, dan bank-bank yang bergantung pada pinjaman luar negeri jangka pendek. Bisnis dan lembaga pemberi pinjaman yang terlalu percaya diri, termahjakan oleh pinjaman jangka pendek dari kreditor asing, terpapar risiko nilai tukar mata uang asing.
Kebijakan suku bunga tetap pemerintah, yang seharusnya menjaga nilai tukar won Korea terhadap dolar dalam kisaran tertentu untuk menghindari volatilitas ekstrem, gagal menahan arus keluar modal secara tiba-tiba akibat hilangnya kepercayaan investor asing. Runtuhnya patokan won Korea terhadap dolar mengakibatkan depresiasi nilai mata uang lokal yang signifikan.
Situasi ini pada gilirannya berarti pembayaran yang lebih besar dari pihak perusahaan dan perusahaan pinjaman yang terbebani dengan pinjaman luar negeri yang besar. Cadangan devisa pemerintah menyusut, turun dari sekitar US$30 miliar menjadi sekitar US$4 miliar pada Desember 1997, sementara utang luar negeri mencapai US$153 miliar.
Krisis keuangan ini berdampak luas di seluruh masyarakat Korea, menyebabkan gelombang kebangkrutan di antara perusahaan-perusahaan Korea dari berbagai skala. Bahkan raksasa industri seperti Samsung dan Hyundai terpaksa menerapkan langkah-langkah penghematan, termasuk pengurangan investasi dan PHK yang signifikan, dalam upaya memulihkan perekonomian mereka yang sedang terpuruk.
(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
-

Di Balik Rentetan Pencurian Buku Langka Miliaran Rupiah di Eropa
Jakarta –
Sejumlah perpustakaan di Eropa menjadi sasaran pencurian bernilai miliaran rupiah. Buku-buku langka dan berusia tua karya seniman dan sastrawan Rusia, seperti Alexander Pushkin dan Nikolai Gogol, raib.
Selama 18 bulan, sejumlah edisi karya klasik Rusia dan publikasi antik lainnya dalam bahasa Rusia dicuri dari belasan perpustakaan Eropa, dari Baltik dan Finlandia hingga Swiss dan Prancis.
Di beberapa tempat, modusnya mengganti buku-buku asli dengan salinannya. Di tempat lain, buku-buku itu diambil begitu saja dari perpustakaan, lalu tak pernah dikembalikan.
“Pencurian terbesar sejak Perang Dunia Kedua,” kata Prof Hieronim Grala dari Universitas Warsawa kepada BBC menggambarkan skala kejahatan tersebut kepada media.
Sebagai tanggapan, Europol – Badan Kerjasama Penegakan Hukum Uni Eropa membuka investigasi bernama Operasi Pushkin.
Operasi ini melibatkan lebih dari 100 petugas polisi yang menggeledah sejumlah properti di beberapa negara.
Sejauh ini sembilan tersangka telah dilacak dan ditangkap. Semuanya adalah warga negara Georgia.
‘Serasa menjadi penyihir’
Terpidana pencuri buku Beka Tsirekidze terlihat di sebelah kanan dengan kolase foto Nikolai Gogol, mengatakan kepada BBC bahwa ia merasa seperti ‘penyihir’ dengan buku-buku. (BBC)
Orang pertama yang ditangkap adalah Beqa Tsirekidze, 48 tahun. Ia diadili dan dihukum atas tiga kejahatan di dua negara yaitu Latvia dan Estonia. Kejahatan yang dilakukannya termasuk pencurian dari perpustakaan Tartu dan Tallinn.
Saat ini, Tsirekidze sedang menjalani hukuman tiga tahun tiga bulan di Estonia. Meski begitu, narapidana di sana diizinkan berbicara dengan jurnalis, termasuk Tsirekidze.
Atas dasar ini, BBC bisa berjumpa dengan Tsirekidze. Dalam pertemuan itu, ia menjelaskan keputusannya untuk terlibat dalam bisnis buku-buku antik untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan yang dijalaninya sejak 2008 adalah membeli, merestorasi, dan menjualnya kembali.
Ketika ditanya mengenai pendidikan formalnya terkait restorasi buku, ia mengatakan mempelajari semuanya melalui latihan.
“Saya seperti seorang penyihir dengan buku. Saya bisa memegang sebuah buku di tangan saya dan langsung tahu berapa nilainya dan berapa harga yang akan mereka bayar saat lelang,” katanya.
Sekitar delapan tahun berjibaku tanpa tertangkap basah, Tsirekidze berurusan dengan hukum untuk pertama kalinya pada tahun 2016.
Ia dihukum di Georgia karena mencuri buku-buku antik dari Museum Sejarah Tbilisi. Dia mengakui kesalahannya dan dia menerima hukuman percobaan.
BBCBuku-buku tua dan berharga cenderung hilang dari perpustakaan universitas karena pencuri menganggap buku-buku tersebut tidak akan terpantau selama berbulan-bulan
Enam tahun berselang, pada April 2022, terjadi lagi. Dua orang memasuki perpustakaan Universitas Tartu di Estonia, dan meminta untuk melihat delapan buku karya dua seniman dan satrawan Rusia abad ke-19 yaitu Alexander Pushkin dan Nikolai Gogol.
Baca juga:
Dengan bicara berbahasa Rusia, mereka menjelaskan kepada petugas perpustakaan bahwa mereka membutuhkan buku tersebut untuk adik laki-laki mereka yang sedang melakukan penelitian untuk studi lanjut di Amerika Serikat.
Tiga bulan kemudian, staf perpustakaan baru menyadari bahwa dua buku telah diganti dengan yang palsu. Catatan perpustakaan menunjukkan bahwa buku-buku tersebut terakhir kali diambil oleh dua orang yang datang pada April itu.
Para pustakawan kemudian bergegas memeriksa enam edisi buku klasik Rusia yang tersisa.
Setelah diperiksa dengan teliti, enam buku itu telah ditukar dengan salinan yang dibuat secara terampil dan terlihat asli karena memiliki stempel perpustakaan dan nomor inventaris.
Modus tiruan
Kejadian terjadi lagi pada Oktober 2023. Sepasang anak muda duduk di ruang baca Perpustakaan Universitas Warsawa. Mereka adalah pria bertopi bisbol hitam dan perempuan berambut merah.
Mereka sibuk membuka buku-buku tua, lalu pria muda itu mencium pipi pasangannya. Semua ini terpantau dari rekaman kamera pengawas di perpustakaan.
Rupanya, pria muda itu adalah putra Tsirekidze, Mate, dan wanita itu adalah istri Mate, Ana Gogoladze. Mereka berdua kemudian ditangkap dengan tuduhan mencuri buku-buku senilai hampir US$100.000 (sekitar Rp1,7 miliar) dari perpustakaan. Mereka pun dihukum.
Baca juga:
Universitas Warsawa menjadi sasaran karena memiliki koleksi banyak buku sebelum dan sesudah era Soviet. Koleksi buku-buku itu merupakan benda-benda yang secara ajaib selamat dari Pemberontakan Warsawa pada 1944, ketika gedung tempat disimpannya buku-buku ini dibakar.
“Kami adalah generasi yang paham betul bahwa seseorang pernah menyelamatkan buku-buku ini untuk kami,” kata Prof Hieronim Grala dari Universitas Warsawa kepada BBC.
Secara keseluruhan, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, 73 eksemplar buku langka senilai hampir US$600.000 (sekitar Rp10 miliar) dicuri dari perpustakaan. Beberapa pelaku pencurian hingga kini belum tertangkap.
“Ini seperti memecahkan permata dari sebuah mahkota,” kata Prof Grala.
BBCMate Tsirekidze dan Ana Gogoladze menargetkan Perpustakaan Universitas Warsawa
Kenapa modus ini sulit terendus?
Pelonggaran aturan yang memungkinkan penggunaan buku-buku langka dan buku-buku tua dari reformasi perpustakaan baru-baru ini diduga berperan meningkatkan jumlah pencurian, kata Prof Grala.
Meski memberi akses lebih besar pada para pembaca, tapi ternyata ini menjadi ujian bagi para pegawai perpustakaan.
Mereka tidak segera menyadari pergantian tersebut. “Ada kodenya, ada buku dengan ukuran yang sama, tidak ada celah di rak,” kata Prof Grala.
“Tidak diragukan lagi bahwa kelompok pencuri yang datang sejak awal [mengincar buku-buku tertentu] telah mempersiapkan dengan baik. Tampaknya, mereka telah membuat tiruan berkualitas tinggi,” ujar Prof Grala.
‘Stempel kecil sebagai penanda’
Umumnya, semua perpustakaan di seluruh dunia menandai buku dengan perangko atau stempel kecil sebagai penanda. Sebagai contoh, Rusia memiliki ciri khas “stempel yang kuat”, kata pakar dan kolektor buku langka, Pyotr Druzhnin.
Secara teori, penanda ini dapat memudahkan identifikasi pada buku yang dicuri, kata para ahli. Akan tetapi, ini tidak selalu dapat dijadikan pegangan mengingat perpustakaan kadang menjual buku-buku sebagai duplikat, seperti yang terjadi pada zaman Soviet, karena kurangnya ruang.
Selain itu, tutup atau bubarnya perpustakaan seperti yang terjadi pada banyak perpustakaan selama periode Perestroika juga mengakibatkan buku berstempel tersebar.
Baca juga:
Menurut Druzhinin, sulit untuk menentukan asal-usul buku-buku yang memiliki perangko dari abad ke-19 dan sebelumnya. “Jika perangko itu berasal dari abad ke-18 atau ke-19, kami tak tahu apa yang terjadi pada buku itu. Bagaimana ia tak lagi berada di perpustakaan, tak ada yang tahu.”
Walakin, stempel juga bisa dihilangkan secara kimiawi. Halaman lama dalam sebuah buku juga bisa diganti dengan yang baru, tapi menggunakan kertas lama. Jejak manipulasi ini sering kali hanya diketahui oleh para kolektor atau ahli.
Apa alasan pencurian buku langka terjadi?
BBCKadang-kadang, pencuri mengambil buku-buku dari perpustakaan dan tidak mengembalikannya
Maraknya pencurian buku klasik nan langka yang tersebar di sejumlah perpustakaan ini didorong harga yang tinggi dan akses mudah untuk memperolehnya.
“Bayangkan, setengah kilo emas senilai US$60.000 (sekitar Rp1 miliar) dijaga oleh 22 orang bersenjata. Dua buku senilai US$60.000 tergeletak di suatu tempat di sebuah perpustakaan di Eropa, dan dijaga oleh seorang perempuan tua. Bahkan sering kali tidak ada pengawasan video,” kata Tsirekidze kepada BBC dari penjara Estonia.
Pakar dan kolektor buku langka, Pyotr Druzhnin kemudian mencontohkan, warga negara Georgia, Mikhail Zamtaradze, yang juga dihukum setelah mencuri dan menjual buku-buku berharga dari Perpustakaan Universitas Vilnius di Lithuana pada Juni.
Zamtaradze mendaftar di perpustakaan dengan menggunakan dokumen palsu dan memesan 17 edisi langka yang sebagian besar di antaranya memiliki stempel kecil. Dia kemudian mengganti 12 buku dengan salinannya dan mengambil lima buku dari perpustakaan yang tidak dikembalikannya.
Nilai total buku-buku yang dicuri diperkirakan mencapai hampir US$700.000 (sekitar Rp11,7 miliar)
Baca juga:
Zamtaradze menyatakan di pengadilan bahwa ia telah mencuri buku-buku tersebut atas pesanan dari Moskow dan ia mengemas serta mengirimkannya dengan bus ke Belarusia. Untuk itu, ia menerima US$30.000 (sekitar Rp500 juta) dalam bentuk mata uang kripto.
Ia mengklaim salinan dan dokumen palsu juga dikirim kepadanya dari Moskow. Pelanggannya, kata Zamtaradze, adalah petinggi rumah lelang di Moskow.
Druzhinin menjelaskan, pembelian buku dari peminat buku mahal yang lingkupnya sempit ini bisa jadi sebagai tindakan patriotik. “Ini adalah momen bersejarah kembalinya buku-buku penting ke tanah air mereka,” katanya.
Namun, para ahli seharusnya tahu bahwa “ini bukan koleksi pribadi yang dijual,” katanya.
Ia pun memberi gambaran lonjakan buku-buku langka Rusia di pasaran pada periode 2022 dan 2024 yang bertepatan dengan memuncaknya gelombang kejahatan pencurian buku di Eropa.
Bagaimana peran rumah lelang?
BBCHanya karena sebuah buku memiliki stempel lama, bukan berarti buku itu telah dicuri dari perpustakaan, kata para ahli
Pernyataan Zamtaradze mengenai rumah lelang ini mengangkat lagi seberapa jauh peran tempat lelang dengan buku-buku langka ini.
Prof Grala menemukan empat publikasi terpisah dari Perpustakaan Universitas Warsawa yang dijual di rumah lelang LitFund di Moskow pada akhir 2022 dan 2023.
BBC kemudian mendapatkan tangkapan layar dari Prof Grala tentang situs lelang yang menampilkan buku-buku yang dimaksud. Kemungkinan buku-buku itu berasal dari koleksi perpustakaan.
Salah satu buku yang dilelang adalah The Tales of Ivan Belkin karya Pushkin, dengan stempel abad ke-19 yang terlihat jelas di foto-foto edisi tersebut.
Lot lain di lelang yang sama memiliki empat volume kumpulan Puisi Pushkin. Pada gambar pada laman rumah lelang, yang sekarang telah dihapus, cap universitas Warsawa juga dapat dilihat.
Direktur LitFund, Sergei Burmistrov, mengatakan lelang ini beroperasi sesuai undang-undang Federasi Rusia dan tidak menerima penjualan buku-buku yang memiliki stempel perpustakaan negara yang masih aktif.
Burmistrov menambahkan bahwa pemilik buku menandatangani kontrak dengan rumah lelang untuk mengonfirmasi asal-usul hukum buku yang diterima untuk dilelang.
Setiap buku kemudian diperiksa dengan cermat oleh ahli dari rumah lelang untuk memastikan tidak ada stempel atau tanda lain dari perpustakaan yang masih aktif.
Stempel lama tidak selalu menimbulkan kecurigaan. “Pada tahun-tahun pasca-revolusi, sejumlah besar buku dari perpustakaan kekaisaran Rusia didistribusikan ke seluruh dunia dan berakhir di banyak koleksi negara dan pribadi, sehingga buku-buku yang berakhir di koleksi pribadi beredar bebas di pasar dunia,” kata Burmistrov kepada BBC.
Prof Grala mengatakan kepada BBC bahwa masalah perangko lama memang rumit.
“Jika ada stempel bersejarah dari Perpustakaan Universitas Warsawa dan kode historisnya dipertahankan, ini dianggap sebagai artefak tersendiri. Karena tidak ada yang akan membubuhkan stempel baru atau kode baru. Stempel ini bertahan selama 200 tahun, mereka tidak akan dicap ulang,” katanya kepada BBC.
Sementara itu, Operasi Pushkin masih jauh dari selesai. Setidaknya satu tersangka sedang menunggu persidangan di Prancis karena mencuri buku-buku dari perpustakaan di sana.
Pihak berwenang meyakini bahwa masih banyak penjahat yang masih berkeliaran. Begitu pula dengan beberapa buku paling berharga di Eropa.
(ita/ita)
-

Terapkan Sistem Kerja 996, Bos Startup Ini Dikritik
Jakarta –
Sampai saat ini, bekerja keras bagai kuda masih berlaku di dunia startup, termasuk sistem kerja 996 walau mulai banyak ditentang. Daksh Gupta yang berusia 23 tahun, CEO asal India dari startup AI Greptile yang berbasis di San Francisco, menghadapi kritik karena mempromosikan budaya kerja enam hari seminggu dari jam 9 pagi hingga 9 malam itu.
Berbicara kepada The San Francisco Standard, Gupta menggambarkan etos perusahaannya sebagai tidak minum alkohol, tidak menggunakan narkoba, 9-9-6, angkat beban berat, lari jauh, menikah muda, mencatat waktu tidur, makan steak dan telur.
Lulusan Georgia Tech ini mengatakan kepada para kandidat karyawan bahwa bergabung dengan Greptile berarti harus siap menghadapi kehidupan yang tidak seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hari kerja seringkali berlangsung dari jam 9 pagi hingga 11 malam, hari Sabtu wajib masuk, dan terkadang termasuk hari Minggu.
Gupta membela aturan tersebut sebagai disiplin penting bagi startup awal, dengan mengatakan bahwa rutinitas 9-9-6 dapat mempersingikat kemajuan dari berbulan-bulan menjadi berminggu-minggu. Ia menambahkan bahwa intensitas seperti itu seharusnya tidak berlangsung lebih dari satu atau dua tahun, dan kemudian akan lebih fleksibel.
Ia pun mencari karyawan yang bersedia menerima jadwal tersebut, menyebutnya sebagai kunci bagi perusahaan untuk mencapai misinya. Menurutnya, ketika dua startup memiliki potensi yang sama, tim yang bekerja lebih keras dan lebih beruntung akan berhasil.
Budaya 996 pertama kali populer di China, dengan pendiri Alibaba, Jack Ma, sebagai pendukung utamanya. Perusahaan seperti ByteDance, JD.com, dan Huawei pernah mengadopsi praktik tersebut. Namun, praktik ini memicu reaksi keras sehingga belakangan dikurangi.
Para kritikus berpendapat bahwa filosofi Gupta berbenturan dengan fokus Gen Z pada keseimbangan kehidupan kerja, yang dibentuk oleh pengalaman generasi sebelumnya berjuang melawan kelelahan. Mereka juga mempertanyakan apakah intensitas seperti itu bisa berlangsung dalam waktu lama.
Gupta mendirikan Greptile tahun 2022 bersama Soohoon Choi dan Vaishant Kameswaran setelah mendapatkan investasi USD 100.000 dari miliarder Christopher Klaus. Perusahaan yang mengembangkan tool AI untuk peninjauan kode ini mengumpulkan dana awal USD 5,3 juta.
Dikutip detikINET dari VNExpress, Gupta mengatakan bahwa ia menanggung beban yang sama dengan timnya dan merupakan karyawan dengan gaji terendah meskipun menjabat sebagai CEO.
(fyk/fay)
-

Indonesia Tanpa Medali, Thailand Juara Umum Para Fencing World Cup 2025
SOLO – Thailand tak terbendung dan tampil sebagai juara umum Para Fencing World Cup 2025. Pada hari terakhir, Kamis, 18 September 2025, kejuaraan yang digelar di GOR Indoor Manahan, Solo, Thailand berhasil menambah dua medali emas. Sementara, Indonesia yang tampil di kandang sendiri gagal meraih medali
Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari Thailand yang mendominasi kejuaraan dunia cabang olahraga anggar kursi roda. Dari 10 atlet yang diturunkan, tidak ada satu pun yang menembus semifinal. Langkah atlet-atlet Indonesia terhenti di babak 8 besar dan babak 16 besar.
Kegagalan itu menunjukkan bila Indonesia tertinggal jauh dengan Thailand. Ini tidak terlepas dengan kevakuman di cabang olahraga tersebut selama lebih dari enam tahun.
Sebaliknya, Thailand yang memang spesialis cabang olahraga dengan kursi roda itu mampu mendominasi.
Bahkan mereka akhirnya bisa menjadi juara umum setelah meraih dua emas dari kelas female saber team dan female epee team. Di nomor itu, Thailand menurunkan Saysunee Jana, Duean Nakprasit dan Thitirat Pengprasittipong.
Di partai final kelas saber team, Saysunee Jana dkk. mengalahkan Georgia yang mengandalkan Nino Tibilashvili, Irma Khetsuriani dan Gvantsa Zadishvili. Sementara di kelas epee team, Thailand menang atas Britania Raya yang diwakili Gemma Colins dan Emily Holder.
Dengan hasil itu, Thailand total meraih empat medali emas, tiga perak dan empat perunggu. Disusul Hong Kong yang menjadi runner up dengan raihan tiga emas dan enam perunggu. Sementara, Korea Selatan yang menempati peringkat tiga mengantungi dua emas, dua perak dan enam perunggu.
Pelatih Thailand, Nunta Chantasuvannasin, mengatakan raihan medali memang sudah sesuai target. Ini yang menjadikan Nunta merasa puas dengan keberhasilan atletnya mencapai target.
“Kami senang dengan hasil ini dan tentu kami juga senang bisa bertanding di sini,” kata Nunta.
“Terima kasih kepada Indonesia yang telah menyelenggarakan turnamen ini. Semuanya membuat kami sangat nyaman. Venue bagus, fasilitasnya lengkap dan mereka juga memberikan kami makanan, minuman dan camilan,” ujar dia lagi.
Nunta menuturkan, Thailand siap memberikan dukungan penuh kepada tim Indonesia yang baru menghidupkan lagi cabang olahraga anggar kursi roda, setelah sempat vakum.
“Saya berharap Indonesia memiliki lebih banyak atlet kursi roda lagi. Kami dari tim Thailand akan membantu dan memberikan dukungan penuh. Tim Indonesia bisa datang dan kita bisa latihan bersama,” ujar Nunta.
Indonesia Tidak Target Medali
Terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) National Paralympic Committee Indonesia (NPC Indonesia), Rima Ferdianto, mengapresiasi keberhasilan Thailand yang mengungguli 16 negara lainnya.
“Thailand menjadi juara, seperti yang sudah kami perkirakan. Di Paralimpiade 2024 Paris saja mereka bisa mendapatkan tiga medali emas. Jadi kita tidak terkejut kalau Thailand bisa juara umum,” tutur Rima Ferdianto.
Terkait kegagalan Indonesia meski menjadi tuan rumah, Rima mengatakan Sri Lestari dkk. tidak diberikan target meraih medali. Kejuaraan ini menjadi ajang pembelajaran para atlet menuju ASEAN Para Games 2025.
“Dari ajang ini para atlet sudah mengetahui kualitas dari atlet-atlet juara Paralimpiade itu seperti apa. Mudah-mudahan ke depannya ada atlet kita yang bisa meraih prestasi di level Asia Tenggara terlebih dahulu. Selanjutnya secara bertahap ke Asia dan mudah-mudahan ada yang bisa berpartisipasi di Paralimpiade Los Angeles 2028,” kata Rima.
Sementara itu, Technical Delegate Para Fencing World Cup 2025, Udo Zielger, mengaku puas dengan penyelenggaraan kejuaraan di Kota Solo. Menurut Udo Zielger, pelaksanaan ajang yang berlangsung empat hari ini sudah melebihi ekspektasi dari World Para Fencing.
“Saya mendengar hal-hal yang sangat baik dari semua atlet tentang kompetisi ini, mulai dari venue, tata letak venue, transportasi, hotel hingga makanan. Kami sangat menghargai upaya Indonesia dalam mempersiapkan semuanya. Ini jauh melebihi dari apa yang kami harapkan,” ucap Udo Zielger.
Klasemen Akhir Perolehan Medali Para Fencing World Cup 2025
Negara | Emas | Perak | Perunggu
1. Thailand 4 3 4
2. Hong Kong 3 0 6
3. Korea Selatan 2 2 6
4. Jepang 2 1 2
5. Georgia 1 3 2
6. Perancis 1 1 1
7. Irak 1 0 0
8. Latvia 1 0 0
9. Jerman 0 2 1
10. Britania Raya 0 2 1
11. Spanyol 0 1 1
12. Polandia 0 0 2
13. India 0 0 1
14. Indonesia 0 0 0
15. Australia 0 0 0
16. Argentina 0 0 0
17. Amerika Serikat 0 0 0
-

Penipu Asal Israel Simon Leviev ‘Tinder Swindler’ Ditangkap di Georgia
Georgia –
Penipu asal Israel Simon Leviev (34) ditangkap di Georgia, Amerika Serikat (AS). Dia ditangkap terkait kasus penipuan cinta dan kejahatan finansial atas permintaan Interpol.
“(Dia) ditangkap di Bandara Batumi atas permintaan Interpol,” kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri AS Tato Kuchava kepada AFP, seperti dilansir AFP, Selasa (16/9/2025).
Pria dengan nama asli Shimon Yehuda Hayut itu terkenal setelah film dokumenter Netflix ‘The Tinder Swindler’. Film itu mengungkap pola penipuan cinta dan kejahatan finansial yang dilakukan pelaku.
Rentang tahun 2017 hingga 2019, Leviev diduga menggunakan aplikasi kencan Tinder untuk berpura-pura menjadi pewaris orang kaya. Dia menipu para perempuan agar memberinya sejumlah besar uang, yang tidak pernah ia kembalikan.
Leviev menjerat korban dengan skema ‘catfishing’, menciptakan persona palsu untuk memikat korban. Pelaku menipu korban dengan gaya hidup mewah yang palsu, pura-pura memiliki pengawal hingga jet pribadi yang membuat korban terpikat.
Film dokumenter Netflix, yang dirilis pada tahun 2022, menceritakan kisah beberapa korban Leviev.
Dalam film Netflix disebutkan Hayut atau Leviev “pada akhirnya menipu korban di Norwegia, Finlandia, dan Swedia dengan kerugian sekitar $10 juta.”
(lir/eva)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1738100/original/023493200_1539576435-P_1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
