Negara: Georgia

  • 5 Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB Pemegang Hak Veto

    5 Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB Pemegang Hak Veto

    Jakarta, CNN Indonesia

    Dewan Keamanan PBB mengadakan debat terbuka pertama yang khusus membahas terkait perang Hamas dan Israel pada Selasa (25/10).

    Dilansir dari Al Jazeera, hampir 90 negara ikut serta dalam debat terbuka, 30 diantaranya adalah menteri luar negeri dan wakil menteri.

    Mayoritas negara yang hadir menuntut adanya gencatan senjata dan penghentian serangan kepada warga sipil agar bantuan dapat disalurkan kepada warga Gaza.

    Dewan keamanan sendiri beranggotakan 15 negara dengan lima negara yang memiliki hak veto. Dewan Keamanan PBB kini menjadi sorotan setelah gagal menghasilkan resolusi untuk menghentikan kekerasan.

    Rusia dan Brazil menginisiasi resolusi sebagai respon terjadinya perang Hamas dan Israel. Namun, semua resolusi ditolak karena hak veto Amerika Serikat sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

    Berikut daftar negara anggota Dewan Keamanan PBB yang memegang hak veto.

    1. China

    China menjadi negara yang paling sedikit menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

    Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bergabung menjadi anggota tetap DK PBB pada akhir 1971. Sejak Tahun 1917 hingga 2019, China hanya menggunakan hak vetonya sebanyak 14 kali. Republik Tiongkok pertama kali menggunakan hak vetonya pada 13 Desember 1955 untuk menghalangi masuknya Mongolia ke PBB.

    Hal ini membuat penerimaan Mongolia sebagai anggota PBB tertunda hingga Tahun 1961. Mongolia akhirnya diterima setelah Rusia mengancam memblokir semua penerimaan baru anggota PBB.

    Dilansir dari situs China Power, beberapa veto China berkaitan dengan perang yang terjadi di Suriah dan Rusia.

    China memveto rancangan resolusi terkait gencatan senjata di Provinsi Idlib pada September 2019.

    Pada perang antara Hamas dengan Israel kali ini, China menggunakan hak vetonya bersama dengan Rusia terkait susunan resolusi DK PBB yang dirancang oleh Amerika Serikat, dikutip dari Reuters.

    2. Amerika Serikat

    Amerika sebelumnya telah memveto puluhan resolusi DK PBB yang mengkritik Israel. Total terdapat lebih dari 53 resolusi yang diveto oleh Amerika sejak 1972.

    Tindakan ini menunjukkan loyalitas Amerika dalam mendukung Israel. Dikutip dari Al Jazeera, Amerika menggagalkan resolusi yang mengutuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa, pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang ada sejak 1967, serta penyidikan terhadap pembunuhan pekerja Palestina oleh tentara Israel pada 1990.

    Pada perang Hamas-Israel kali ini, dirancang beberapa resolusi yang dirancang oleh beberapa negara.

    Dilansir dari Reuters, pemungutan suara atas rancangan undang-undang yang dibuat oleh Brazil sempat tertunda beberapa hari karena Amerika ingin menjadi perantara akses bantuan ke Gaza.

    Bersambung ke halaman berikutnya…

    3. Rusia

    Rusia menjadi anggota tetap DK PBB yang banyak menggunakan hak vetonya. Pada awal-awal pembentukan PBB, Rusia bertanggung jawab hampir semua veto.

    Seorang mantan Menteri Urusan Luar Negeri Rusia, Andrey Gromyko, bahkan mendapatkan julukan Tuan Nyet dan Vyacheslav Molotov karena sering mengajukan veto Soviet di masa Perang Dingin, dikutip dari Los Angeles Times.

    Setelah Uni Soviet terpecah dan menjadi Rusia, hak veto jarang digunakan. Hak veto baru kembali aktif digunakan Rusia pada abad ke-21 untuk menghalangi resolusi konflik yang melibatkan militer Rusia, termasuk Georgia, Suriah, dan Ukraina.

    Kali ini Rusia kompak dengan China memveto resolusi yang diajukan Amerika Serikat dan dipimpin oleh Moskow dalam menyikapi perang Hamas dan Israel.

    Rusia rencananya akan mengajukan proposalnya sendiri untuk mengupayakan gencatan secara segera, tahan lama, dan dihormati sepenuhnya.

    “Sudah jelas bahwa AS tidak ingin keputusan Dewan Keamanan PBB mempunyai pengaruh apapun terhadap kemungkinan serangan darat Israel di Gaza,” kata perwakilan Rusia, Vassily Nebenzia, dikutip dari France 24.

    4. Perancis

    Perancis dikategorikan sebagai negara yang hemat dalam menggunakan hak vetonya. Satu-satunya hak veto secara langsung digunakan Perancis pada 1976 untuk memblokir resolusi tentang pertanyaan kemerdekaan Komoro.

    Sebelumnya Perancis bersama dengan Inggris memveto resolusi terkait penghentian aksi militer Israel yang menyerang Mesir pada 1956 selama Krisis Suez.

    Perancis pernah dilanda kebimbangan menggunakan hak vetonya dalam konflik Irak pada masa pemerintahan Presiden Jacques Chirac. Jika tidak menggunakan hak vetonya, Perancis akan kehilangan banyak kekuatan negosiasinya di dewan keamanan. Akan tetapi, terdapat argumen bahwa penggunaan hak veto oleh Perancis akan menimbulkan kerugian yang tidak bisa diperbaiki lagi oleh PBB, dikutip dari The New York Times.

    Perancis juga belum menunjukkan tanda-tanda akan memveto resolusi yang diajukan oleh Amerika Serikat terkait perang Hamas dengan Israel beberapa saat lalu.

    5. Inggris

    Hampir serupa dengan Perancis, Inggris termasuk jarang menggunakan hak vetonya. Inggris mulai jarang menggunakan hak vetonya setelah Perang Dingin selesai.

    Keanggotaan tetap Inggris dalam DK PBB setelah negara ini lepas dari Uni Eropa. Namun, hampir mustahil bagi negara lain untuk mencabut hak veto Inggris karena hal ini berarti Piagam PBB perlu diamandemen, dikutip dari Reuters.

    Untuk mengubah Piagam PBB, harus ada persetujuan dari 193 anggota majelis umum dan lima anggota tetap.

    Pada perang Hamas-Israel yang sedang berlangsung, Inggris juga belum menunjukkan tanda-tanda akan memveto resolusi yang diajukan Amerika Serikat.

    Inggris sendiri saat ini menyatakan secara terbuka dukungannya kepada Israel. Inggris mengecam tindakan terorisme Hamas dan mengirimkan kapal perang kerajaan serta pesawat pengintainya ke Israel.

  • Kota Oakland AS Dukung Gencatan Senjata Penuh di Gaza

    Kota Oakland AS Dukung Gencatan Senjata Penuh di Gaza

    Jakarta, CNN Indonesia

    Dewan Kota Oakland, California, Amerika Serikat (AS), mengeluarkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata penuh di Jalur Gaza, Palestina, dari serangan Israel

    Dewan yang berlokasi di Kota California Bay Area ini memberikan suara 8-0 menyetujui mosi yang mendukung resolusi kongres untuk gencatan senjata permanen, bersamaan dengan bantuan kemanusiaan yang masuk tanpa batas ke Gaza, pemulihan layanan dasar, hingga pembebasan semua sandera.

    “Jumlah anak-anak yang terbunuh sejak 7 Oktober melampaui jumlah anak-anak yang terbunuh dalam konflik global selama empat tahun terakhir,” kata Presiden dewan Nikki Fortunato Bas, seperti dikutip Associated Press, Senin (27/11).

    “Saya benar-benar malu melihat bayi-bayi yang meninggal dunia. Gencatan senjata akan sangat penting untuk menyetop pembunuhan tersebut,” timpal anggota dewan Kevin Jenkins.

    Resolusi Dewan Kota Oakland ini diikuti oleh sekian ratus orang. Menurut laporan Associated Press, beberapa orang bahkan terlihat mengenakan syal keffiyeh Palestina, syal hitam-putih simbol perjuangan Palestina.

    Seruan gencatan senjata ini membuat Oakland bergabung dengan sejumlah kota AS lain, mulai dari Michigan hingga ke Georgia, yang mendesak hal serupa.

    Setidaknya tiga kota di Michigan dan Atlanta, serta Akron di Ohio, Wilmington di Delaware, dan Providence di Rhode Island, menyerukan gencatan senjata di Gaza.

    “Kami telah melihat adanya penargetan dan pembantaian terhadap warga sipil, fasilitas layanan kesehatan, rumah sakit, dan ambulans,” kata salah satu pembicara.

    “Diam dalam menghadapi penindasan dan genosida menurut saya bukanlah respons yang dapat diterima.”

    Selain itu, beberapa orang juga berpendapat warga Oakland tidak semestinya mendanai senjata untuk Israel. Uang itu, menurut mereka, bisa dialihkan untuk mengatasi masalah-masalah di dalam kota, seperti menyediakan perumahan bagi tunawisma.

    Sementara itu, resolusi Oakland menuntut gencatan senjata segera; pembebasan seluruh sandera; masuknya bantuan kemanusiaan tanpa batas ke Gaza; pemulihan makanan, air, listrik, dan pasokan medis ke Gaza; penghormatan terhadap hukum internasional; serta menyerukan resolusi yang melindungi keamanan bagi semua warga sipil yang tidak bersalah.

    Resolusi Oakland ini dirilis saat Israel dan Hamas tengah melakukan gencatan senjata sementara selama empat hari.

    Gencatan senjata itu disepakati atas hasil mediasi Qatar hingga Mesir. Mengikuti kesepakatan, Hamas telah melepaskan setidaknya 50 sandera Israel. Sebagai balasan, Israel akan membebaskan 150 tahanan Palestina.

    Gencatan ini berlaku mulai 24-27 November. Kini, gencatan itu diperpanjang selama dua hari hingga 29 November.

    (blq/pra)

  • Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jakarta

    Sejak Februari lalu, sebuah konsensus baru telah disepakati di Brussels: Uni Eropa perlu tumbuh lebih besar. Anggota-anggota Uni Eropa (UE) yang dulunya skeptis terhadap perluasan, kini mulai berpikir serius untuk menyambut calon-calon anggota baru seperti Ukraina, Moldova, dan negara-negara Balkan Barat lainnya ke dalam keanggotaan mereka.

    Pergeseran ini dipicu oleh invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. Sebelumnya calon-calon anggota EU harus melewati serangkaian reformasi politik dan rintangan hukum yang berat untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya Makedonia Utara yang sudah antre sejak tahun 2005, masih juga belum diterima jadi anggota EU.

    Saat ini, pola pikir telah berubah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang diplomat Uni Eropa: “Perluasan adalah sebuah kenyataan yang ada saat ini. Hal tersebut baru terjadi sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu.”

    Namun Brussels mempunyai pekerjaan rumah sendiri yang harus diselesaikan jika ingin konsensus politik ini berjalan lancar. “Sebelum melakukan pembicaraan yang realistis dengan negara-negara yang ingin bergabung, kita harus memikirkan seperti apa sebenarnya perluasan UE itu – dan sejauh itulah jadinya,” ujar diplomat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya itu mengatakan. DW.

    Memberikan keseimbangan kekuatan

    Pembicaraan soal perluasan EU telah dimulai. Awal bulan ini, sekelompok peneliti yang mendapat penugasan dari Prancis dan Jerman meluncurkan makalah yang penuh dengan gagasan tentang cara kerja dan jalan menuju ke arah itu. Thu Nguyen, seorang peneliti senior di bidang kebijakan dan Jacques Delors Center di Berlin, termasuk di antara mereka. Dia mengatakan kepada DW bahwa memikirkan kembali cara UE mengambil keputusan bisa menjadi tantangan politik yang paling besar.

    Daftar resmi negara-negara kandidat UE masih mengular: Ukraina, Moldova, Albania, Montenegro, Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, Serbia dan Turki. Georgia dan Kosovo juga dianggap sebagai “kandidat potensial”.

    Namun meski beranggotakan 27 negara, blok tersebut terkadang kesulitan mengambil tindakan. Langkah kebijakan luar negeri seperti memberikan sanksi kepada Rusia memerlukan dukungan bulat, yang berarti negosiasi kadang-kadang bisa memakan waktu berbulan-bulan karena negara-negara anggota harus memikirkan apa saja yang akan dilarang atau aset mana yang akan dibekukan.

    Di bawah sistem yang berlaku saat ini, Ukraina – dengan populasi lebih dari 40 juta jiwa – akan menjadi salah satu negara paling kuat secara politik di UE. “Semakin banyak negara anggota, semakin besar risiko adanya pemain veto yang menghalangi keputusan,” kata Nguyen.

    Oleh karena itu, Nguyen dan timnya menyarankan untuk menghapuskan suara bulat dan menghitung ulang jumlah suara mayoritas yang memenuhi syarat untuk memastikan UE yang lebih besar masih memiliki “kapasitas untuk bertindak.” Secara kontroversial, usulan tersebut juga akan mempersulit negara-negara besar seperti Prancis dan Jerman untuk memblokir kesepakatan.

    Namun reformasi seperti itu memerlukan perubahan undang-undang dasar blok, dan memerlukan dukungan dari negara-negara anggota yang akan kehilangan kekuasaan akibat perombakan tersebut. Dan, seperti yang diakui Nguyen, “suasana politik saat ini tidak terlalu mendukung perubahan perjanjian.”

    Sengketa gandum di Ukraina menunjukkan potensi peningkatan anggaran

    Lalu ada pertanyaan tentang bagaimana membagi dana UE untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang lebih dalam. Sebagian besar kandidat anggota UE yang saat ini antri, memiliki Produk Domestik Brutoo (PDB) per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara anggota termiskin di blok tersebut, Bulgaria – dan dengan sekitar sepertiga dari anggaran Brussels saat ini dialokasikan untuk subsidi pertanian, kedatangan negara besar di bidang pertanian, Ukraina, akan secara radikal mengubah pola distribusi dana subsidi yang ada saat ini.

    Bulan lalu, Polandia, Slovakia dan Hongaria mengumumkan rencana embargo sepihak terhadap gandum Ukraina, untuk melindungi produsen mereka sendiri dari potensi penurunan harga. Bagi mantan komisaris perdagangan UE, Phil Hogan, hal ini menyiratkan jalan yang sulit di masa depan.

    “Harus ada perubahan kelembagaan besar-besaran, perubahan anggaran besar-besaran, dan adaptasi kebijakan terhadap kenyataan baru,” kata Hogan kepada DW. “Ukraina adalah negara besar dengan kepentingan pertanian yang besar. Dan gagasan bahwa kita akan mampu mengatasi masalah Ukraina menjadi anggota dengan kebijakan pertanian Uni Eropa yang terintegrasi penuh, akan menjadi tantangan besar.”

    “Bahkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, terdapat sensitivitas seputar masalah perdagangan dengan Ukraina,” tambahnya. “Ketegangan antara Ukraina dan Eropa sehubungan dengan pertanian bukanlah hal yang baru – namun bisa Anda bayangkan tantangan seperti apa yang akan dihadapi para petani Eropa dalam konteks jika Balkan Barat dan Ukraina serta negara-negara lain menjadi bagian tak terpisahkan dari EU nantinya. “

    Namun, Hogan tetap berharap: “Saya sangat mendukung perluasan Uni Eropa dan memasukkan negara-negara Eropa yang mungkin tidak kita sukai ke dalam EU, ketimbang mereka berpaling ke kelompok Eropa lainnya yang tidak kita inginkan,” ujarnya secara terselubung mengacu pada pengaruh Rusia.

    “Politik adalah seni untuk mewujudkan apa yang mungkin terjadi dan saya berharap negara-negara anggota EU akan mengembangkan diri mereka sendiri dan warga negara mereka akan mengembangkan diri mereka untuk memastikan bahwa lingkungan kita berada dalam kondisi yang tidak terlalu tegang.”

    Berakhirnya persatuan yang semakin erat?

    Ada berbagai pertanyaan kecil mengenai berfungsinya UE yang lebih besar yang juga perlu dijawab: Berapa banyak lagi anggota parlemen yang akan masuk Parlemen Eropa? Berapa banyak lagi bahasa resmi UE yang ada? Bisakah setiap negara mempertahankan anggota Komisi Eropa yang berdedikasi?

    Mengingat permasalahan hukum dan politik yang mungkin terjadi di masa depan, beberapa pihak berpendapat sudah waktunya untuk memperluas definisi blok tersebut. Minggu ini, para pemimpin Eropa menuju ke Spanyol untuk menghadiri pertemuan ketiga Komunitas Politik Eropa (EPC). Dalam EPC, visi mengenai hubungan antarpemerintah yang lebih luas mulai terlihat.

    Pembentukan EPC digagas Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ketika ia pertama kali mengemukakan gagasan tersebut secara terbuka pada tahun 2022, Macron mengatakan, dibutuhkan waktu “puluhan tahun” bagi Ukraina untuk bergabung dengan UE, dan mengusulkan pembentukan kelompok baru yang “akan memungkinkan negara-negara Eropa yang demokratis” untuk “menemukan ruang baru bagi kerja sama politik dan keamanan.”

    Saat ini, EPC secara formal tidak lebih dari sekedar ruang diskusi, tanpa struktur, hak suara, atau perjanjian yang mapan. Namun ini adalah satu-satunya forum yang menyatukan komunitas luas yang beranggotakan 45 undangan. EPC mencakup semua negara dan kandidat UE, negara-negara kaya yang berada di luar blok tersebut seperti Swiss, Norwegia, dan Inggris, serta bahkan negara-negara yang tengah bertikai Armenia dan Azerbaijan. Rusia tidak ada dalam daftar tamu.

    Bagi Thu Nguyen dan rekan-rekan penelitinya, struktur yang lebih longgar ini dapat memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi jika UE gagal menyepakati rencana ekspansinya.

    Mereka menyarankan mungkin ada “lingkaran dalam” inti yang terdiri dari negara-negara UE yang terintegrasi erat, kemudian UE yang lebih luas, kemudian “anggota asosiasi” tingkat berikutnya yang menikmati beberapa manfaat terkait dengan pasar tunggal blok tersebut, dan “lingkaran luar” yang didasarkan pada EPC, yang menurut Nguyen “tidak akan mencakup segala bentuk integrasi dengan undang-undang UE yang mengikat… melainkan kerja sama berdasarkan pertimbangan geostrategis.”

    Siap untuk tahun 2030?

    Namun potensi pendekatan multicepat ini mungkin terbukti tidak populer, karena dipandang oleh sebagian orang sebagai hal yang menciptakan warga negara kelas dua di klub UE. Perdana Menteri Ukraina Dennis Shmyhal baru-baru ini mengatakan kepada media Politico bahwa negaranya “melakukan semua upaya maksimal untuk memastikan bahwa Ukraina akan menjadi anggota penuh Uni Eropa.”

    Komisi Eropa sering kali menegaskan, aksesi adalah proses yang berdasarkan prestasi dan tidak memiliki batas waktu. Namun, Presiden Dewan Eropa Charles Michel baru-baru ini menegaskan, blok tersebut harus siap untuk diperluas pada tahun 2030.

    Thu Nguyen juga mendukung target akhir dekade tersebut– namun ketika ditanya apakah target tersebut realistis, ia menjawab singkat: “Sulit untuk membuat prognosis.”

    “Ini adalah proses jangka panjang,” pungkas Nguyen. “Sementara kita masih berada di tingkat awal diskusi dan perdebatan.”

    ap/as

    (ita/ita)

  • Kenapa Langit Senja Berwarna Jingga?

    Kenapa Langit Senja Berwarna Jingga?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Langit sore seringkali memberikan pemandangan yang menakjubkan lewat kehadiran warna jingga yang menyembur dari arah Matahari terbenam. Fenomena apa yang memunculkan warna yang digilai penikmat senja ini?

    Kehadiran warna jingga atau oranye ini disebabkan oleh perbedaan ukuran pada partikel yang bertebaran di langit.

    Pakar cuaca dan iklim internasional terkemuka sekaligus Presiden American Meteorological Society (AMS) 2013 dan Direktur Program Ilmu Atmosfer Universitas Georgia (UGA) J. Marshall Shepherd menjelaskan langit biasanya berwarna biru pada siang hari dikarenakan fenomena bernama hamburan Rayleigh.

    Hamburan Rayleigh sendiri mengacu pada hamburan cahaya ketika cahaya melewati molekul udara. Fenomena ini dapat mengeluarkan hamburan cahaya hanya sekitar sepersepuluh dari total panjang gelombang cahaya, dikutip dari laman Georgia State University.

    Hal ini terjadi jika diameter partikel atmosfer lebih kecil dari panjang gelombang sinar yang berinteraksi. Partikel atmosfer ini meliputi nitrogen, oksigen, ozon, dan lain-lain.

    Dilansir dari Forbes, molekul di atmosfer lebih efektif menyebarkan panjang gelombang yang lebih pendek salah satunya gelombang “biru” ke segala arah sehingga itulah yang kita lihat.

    Berdasarkan panjang gelombangnya, gelombang cahaya tampak diurutkan sebagai berikut dari yang terpendek hingga yang terpanjang: ungu, indigo, biru, hijau, kuning, jingga, dan merah.

    Saat posisinya amat rendah di cakrawala kala terbenam, cahaya Matahari mesti lebih banyak lapisan lapisan atmosfer. Hal itu menyebarkan lebih banyak spektrum warna, termasuk ungu, biru, dan hijau meski tidak seragam.

    Warna apa yang tersisa? Ya, jingga dan merah. Itulah senja.

    Fisikawan menjelaskan fenomena ini masuk ranah hamburan Mie yang menghasilkan hamburan cahaya dengan gelombang lebih panjang, yakni gelombang jingga dalam cakupan yang tidak terlalu luas.

    Hal yang sama ketika suatu wilayah diselimuti asap, misalnya, akibat kebakaran hutan dan lahan. Partikel asap yang relatif lebih besar menyebarkan spektrum warna di luar jingga dan merah. 

    Alhasil, meski masih siang hari, kondisi di wilayah tersebut bisa tampak kejingga-jinggaan. 

    (lom/lth)