Negara: Chad

  • Total Warga 39 Negara Dilarang Trump Masuk AS Mulai Tahun Depan

    Total Warga 39 Negara Dilarang Trump Masuk AS Mulai Tahun Depan

    Jakarta

    Amerika Serikat (AS) memperluas batasan bagi warga negara asing masuk ke negaranya. Terbaru, Presiden AS Donald Trump melarang 7 warga negara asing masuk ke Paman Sam, sehingga total menjadi 39 negara.

    Dilansir Deutsche Welle (DW), aturan itu tertuang dalam deklarasi yang diteken oleh Donald Trump. Dalam dokumen yang ditandatangani pada Selasa (16/12) waktu setempat, AS membagi kategori pembatasan dalam bentuk larangan total dan sebagian.

    Warga Negara yang Dilarang Total Masuk AS

    Warga negara yang dilarang total masuk AS adalah warga dari Suriah, serta negara-negara Afrika seperti Burkina Faso, Mali, Niger, dan Sudan Selatan.

    Pemerintahan Trump juga sepenuhnya membatasi masuknya orang-orang yang menggunakan dokumen perjalanan yang diterbitkan oleh Otoritas Palestina.

    AS sebelumnya telah melarang keras pemegang paspor Otoritas Palestina untuk memperoleh dokumen perjalanan mengunjungi AS untuk keperluan bisnis, pekerjaan, wisata, atau pendidikan.

    Warga negara Sierra Leone dan Laos, yang sebelumnya dikenai pembatasan perjalanan parsial, kini sepenuhnya dilarang masuk ke AS.

    Warga negara Afganistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman, sejak Juni 2025 telah dikenai larangan perjalanan penuh.

    Jika ditotal, ada 19 negara yang berada di bawah larangan perjalanan penuh, ditambah Otoritas Palestina.

    Larangan Secara Parsial

    Sebanyak 15 negara tambahan dimasukkan ke dalam daftar negara yang menghadapi pembatasan parsial, terutama dari kawasan Afrika sub-Sahara.

    Negara-negara Afrika tersebut adalah Angola, Benin, Pantai Gading, Gabon, Gambia, Malawi, Mauritania, Nigeria, Senegal, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe.

    Antigua dan Barbuda, Dominika, serta Tonga juga dikenai larangan parsial.

    Negara Burundi, Kuba, Togo, dan Venezuela tetap berada di bawah larangan perjalanan parsial yang sebelumnya telah diberlakukan sejak Juni 2025.

    Artinya, kini terdapat 19 negara yang berada di bawah larangan perjalanan parsial setelah AS pada Selasa (16/12) mencabut penangguhan parsial perjalanan bagi warga Turkmenistan.

    Siapa Saja Dibatasi Masuk ke AS?

    Pembatasan ini berlaku bagi orang-orang yang ingin mengunjungi AS, seperti turis, pelajar, dan pelaku perjalanan bisnis, hingga pihak yang ingin bermigrasi ke sana.

    Orang-orang yang telah memiliki visa, berstatus penduduk tetap sah di AS, atau memiliki kategori visa tertentu seperti diplomat atau atlet dikecualikan dari pembatasan ini.

    Pihak yang masuk ke AS dan dianggap melayani kepentingan AS juga dikecualikan dari pembatasan.

    Pemerintah AS menyatakan bahwa pembatasan terbaru ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.

    Alasan Trump Perketat Pembatasan

    Meskipun Donald Trump menjadikan pengetatan imigrasi sebagai salah satu pilar utama masa kepresidenannya, larangan perjalanan terbaru ini tampaknya dipengaruhi oleh sejumlah peristiwa baru-baru ini.

    Pemerintahan Trump pertama kali mengisyaratkan perluasan pembatasan perjalanan setelah penangkapan seorang warga negara Afganistan yang diduga terlibat dalam penembakan dua anggota Garda Nasional pada November 2025.

    Sejak penembakan tersebut, AS menghentikan seluruh keputusan terkait klaim suaka dan menangguhkan proses permohonan imigrasi dari 19 negara awal yang dikenai pembatasan perjalanan.

    Trump juga sempat mengancam akan melakukan aksi militer terhadap Nigeria pada awal November 2025. Dia mengklaim bahwa umat Kristen dianiaya di negara tersebut, tapi klaim ini kemudian dibantah oleh Nigeria.

    Terbaru, pada Sabtu (13/12), Trump bersumpah akan melakukan “pembalasan yang sangat serius” terhadap Suriah setelah dua tentara AS dan seorang penerjemah tewas akibat serangan yang diduga dilakukan oleh pelaku “ISIS”.

    Dalam pernyataannya, Gedung Putih mengaku sulit memverifikasi warga dari banyak negara yang terdampak pembatasan baru ini karena “korupsi yang meluas, dokumen sipil yang palsu atau tidak dapat diandalkan, hingga catatan kriminal”.

    Gedung Putih juga mengatakan bahwa beberapa negara memiliki tingkat pelanggaran izin tinggal yang tinggi atau menolak menerima kembali warga negaranya.

    Lihat juga Video ‘Imbas Tarif Trump, Perusahaan Teknologi AS Menuju Kebangkrutan’:

    Halaman 2 dari 2

    (lir/fas)

  • Trump Larang Warga dari 39 Negara Masuk AS Mulai 2026

    Trump Larang Warga dari 39 Negara Masuk AS Mulai 2026

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani sebuah deklarasi yang semakin membatasi masuknya warga negara asing ke kawasan Paman Sam.

    Dalam dokumen yang ditandatangani pada Selasa (16/12) waktu setempat, AS membagi kategori pembatasan dalam bentuk larangan total dan sebagian.

    Daftar negara yang dilarang total untuk masuk AS

    Suriah, serta negara-negara Afrika seperti Burkina Faso, Mali, Niger, dan Sudan Selatan kini dikenai larangan perjalanan total.

    Pemerintahan Trump juga sepenuhnya membatasi masuknya orang-orang yang menggunakan dokumen perjalanan yang diterbitkan oleh Otoritas Palestina.

    AS sebelumnya telah melarang keras pemegang paspor Otoritas Palestina untuk memperoleh dokumen perjalanan mengunjungi AS untuk keperluan bisnis, pekerjaan, wisata, atau pendidikan.

    Warga negara Sierra Leone dan Laos, yang sebelumnya dikenai pembatasan perjalanan parsial, kini sepenuhnya dilarang masuk ke AS.

    Warga negara Afganistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman, sejak Juni 2025 telah dikenai larangan perjalanan penuh.

    Daftar negara yang dilarang secara parsial untuk masuk ke AS

    Sebanyak 15 negara tambahan dimasukkan ke dalam daftar negara yang menghadapi pembatasan parsial, terutama dari kawasan Afrika sub-Sahara.

    Negara-negara Afrika tersebut adalah Angola, Benin, Pantai Gading, Gabon, Gambia, Malawi, Mauritania, Nigeria, Senegal, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe.

    Antigua dan Barbuda, Dominika, serta Tonga juga dikenai larangan parsial.

    Negara Burundi, Kuba, Togo, dan Venezuela tetap berada di bawah larangan perjalanan parsial yang sebelumnya telah diberlakukan sejak Juni 2025.

    Artinya, kini terdapat 19 negara yang berada di bawah larangan perjalanan parsial setelah AS pada Selasa (16/12) mencabut penangguhan parsial perjalanan bagi warga Turkmenistan.

    Siapa saja yang dibatasi masuk ke AS?

    Pembatasan ini berlaku bagi orang-orang yang ingin mengunjungi AS, seperti turis, pelajar, dan pelaku perjalanan bisnis, hingga pihak yang ingin bermigrasi ke sana.

    Orang-orang yang telah memiliki visa, berstatus penduduk tetap sah di AS, atau memiliki kategori visa tertentu seperti diplomat atau atlet dikecualikan dari pembatasan ini.

    Pihak yang masuk ke AS dan dianggap melayani kepentingan AS juga dikecualikan dari pembatasan.

    Pemerintah AS menyatakan bahwa pembatasan terbaru ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.

    Alasan Trump perketat pembatasan perjalanan ke AS

    Meskipun Donald Trump menjadikan pengetatan imigrasi sebagai salah satu pilar utama masa kepresidenannya, larangan perjalanan terbaru ini tampaknya dipengaruhi oleh sejumlah peristiwa baru-baru ini.

    Pemerintahan Trump pertama kali mengisyaratkan perluasan pembatasan perjalanan setelah penangkapan seorang warga negara Afganistan yang diduga terlibat dalam penembakan dua anggota Garda Nasional pada November 2025.

    Sejak penembakan tersebut, AS menghentikan seluruh keputusan terkait klaim suaka dan menangguhkan proses permohonan imigrasi dari 19 negara awal yang dikenai pembatasan perjalanan.

    Trump juga sempat mengancam akan melakukan aksi militer terhadap Nigeria pada awal November 2025. Dia mengklaim bahwa umat Kristen dianiaya di negara tersebut, tapi klaim ini kemudian dibantah oleh Nigeria.

    Terbaru, pada Sabtu (13/12), Trump bersumpah akan melakukan “pembalasan yang sangat serius” terhadap Suriah setelah dua tentara AS dan seorang penerjemah tewas akibat serangan yang diduga dilakukan oleh pelaku “ISIS”.

    Dalam pernyataannya, Gedung Putih mengaku sulit memverifikasi warga dari banyak negara yang terdampak pembatasan baru ini karena “korupsi yang meluas, dokumen sipil yang palsu atau tidak dapat diandalkan, hingga catatan kriminal”.

    Gedung Putih juga mengatakan bahwa beberapa negara memiliki tingkat pelanggaran izin tinggal yang tinggi atau menolak menerima kembali warga negaranya.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Muhammad Hanafi

    Editor: Prihardani Purba

    (ita/ita)

  • AS Kaji Perluas Larangan Perjalanan untuk 30 Negara

    AS Kaji Perluas Larangan Perjalanan untuk 30 Negara

    Washington DC

    Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk memperluas jumlah negara yang tercakup dalam daftar larangan perjalanan. Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, menyebut lebih dari 30 negara bisa masuk ke daftar larangan perjalanan ke AS.

    “Saya tidak akan menyebutkan jumlahnya secara spesifik, tetapi jumlahnya lebih dari 30 (negara), dan Presiden (Donald Trump) terus mengevaluasi negara-negara yang ada,” kata Noem dalam wawancara dengan Fox News, seperti dilansir Anadolu Agency, Jumat (5/12/2025).

    Dalam wawancara pada Kamis (4/12) itu, Noem mempertanyakan mengapa AS harus mengizinkan masuk orang-orang dari negara tanpa “pemerintahan yang stabil”, yang tidak dapat “menopang dirinya sendiri” atau membantu memeriksa individu-individu yang ingin masuk ke wilayah AS.

    Noem, dalam pernyataan sebelumnya pada Senin (1/12), mengatakan bahwa dirinya merekomendasikan “larangan perjalanan sepenuhnya untuk setiap negara terkutuk yang telah membanjiri negara kita dengan pembunuh, lintah darat, dan pecandu hak”.

    Belum diketahui secara jelas negara mana saja yang akan terdampak larangan perjalanan yang diusulkan Noem tersebut, atau kapan larangan perjalanan itu akan mulai diberlakukan. Kementerian Dalam Negeri AS (DHS) mengatakan kepada media terkemuka Inggris, BBC, bahwa mereka akan segera mengumumkan daftarnya.

    Perdebatan mengenai larangan perjalanan semakin intensif setelah Trump pada 28 November lalu mengancam akan menghentikan migrasi secara permanen dari “negara-negara dunia ketiga”.

    Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan kepada Fox News pada Senin (1/12) malam bahwa Trump telah mengumumkan larangan perjalanan beberapa bulan lalu untuk negara-negara “dunia ketiga dan negara gagal”.

    Dikatakan juga oleh Leavitt bahwa rekomendasi Noem akan “memperluas” larangan perjalanan tersebut hingga mencakup lebih banyak negara.

    Pemerintahan Trump, pada Selasa (2/12), mengumumkan penghentian sementara semua permohonan imigrasi, termasuk green card dan pemrosesan kewarganegaraan AS, yang diajukan oleh para imigran dari 19 negara non-Eropa, untuk alasan keamanan nasional dan keselamatan publik.

    Daftar negara yang terdampak kebijakan itu mencakup Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Yaman, Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

    Kebijakan baru ini menangguhkan permohonan yang tertunda, dan mewajibkan semua imigran dari negara yang ada dalam daftar itu untuk “menjalani proses peninjauan ulang yang menyeluruh, termasuk wawancara potensial dan, jika perlu, wawancara ulang, untuk menilai secara menyeluruh semua ancaman terhadap keamanan nasional dan keselamatan publik”.

    Memorandum resmi yang menguraikan kebijakan baru itu mengutip penembakan terhadap sejumlah anggota Garda Nasional AS di Washington DC pekan lalu, di mana seorang pria Afghanistan telah ditangkap sebagai tersangka. Satu personel Garda Nasional tewas, sedangkan satu lainnya luka parah.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Setop Permohonan Imigrasi dari 19 Negara, Siapa Saja?

    Trump Setop Permohonan Imigrasi dari 19 Negara, Siapa Saja?

    W

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghentikan sementara semua permohonan imigrasi, termasuk green card dan pemrosesan kewarganegaraan AS, yang diajukan oleh para imigran dari 19 negara non-Eropa.

    Penghentian sementara ini, seperti dilansir Reuters, Rabu (3/12/2025), didasari kekhawatiran Washington atas keamanan nasional dan keselamatan publik.

    Langkah penangguhan permohonan imigrasi ini diumumkan otoritas AS pada Selasa (2/12) waktu setempat, dan diberlakukan bagi orang-orang yang berasal dari 19 negara yang telah dikenai larangan perjalanan parsial pada Juni lalu.

    Kebijakan terbaru Trump ini semakin membatasi imigrasi — yang memang menjadi inti dari platform politik presiden AS tersebut.

    Daftar negara yang terdampak kebijakan ini mencakup Afghanistan dan Somalia.

    Memorandum resmi yang menguraikan kebijakan baru tersebut mengutip penembakan terhadap sejumlah anggota Garda Nasional AS di Washington DC pekan lalu, di mana seorang pria Afghanistan telah ditangkap sebagai tersangka. Satu personel Garda Nasional itu tewas, sedangkan satu lainnya mengalami luka parah.

    Trump, baru-baru ini, juga meningkatkan retorika soal warga Somalia, dengan menyebut mereka “sampah” dan mengatakan “kita tidak ingin mereka berada di negara kita”.

    Daftar negara yang menjadi target kebijakan terbaru itu termasuk Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Negara-negara itu sebelumnya menjadi target pembatasan imigrasi paling ketat pada Juni lalu, termasuk penangguhan sepenuhnya untuk masuk ke AS dengan sedikit pengecualian.

    Negara-negara lainnya yang masuk dalam daftar tersebut, seperti Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela, juga dikenai pembatasan parsial sebelumnya.

    Kebijakan baru ini menangguhkan permohonan yang tertunda, dan mewajibkan semua imigran dari negara yang ada dalam daftar itu untuk “menjalani proses peninjauan ulang yang menyeluruh, termasuk wawancara potensial dan, jika perlu, wawancara ulang, untuk menilai secara menyeluruh semua ancaman terhadap keamanan nasional dan keselamatan publik”.

    Memorandum resmi itu mengutip beberapa kejahatan terbaru yang diduga dilakukan oleh para imigran di AS, termasuk serangan terhadap tentara Garda Nasional.

    Sejak kembali menjabat pada Januari lalu, Trump secara agresif memprioritaskan penindakan imigrasi, mengerahkan agen-agen federal ke kota-kota besar AS, dan menolak pencari suaka di perbatasan AS-Meksiko. Pemerintahan Trump sering menyoroti desakan deportasi, namun kurang menekankan upaya untuk menangkal imigrasi ilegal.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Hentikan Migrasi dari ‘Negara-Negara Dunia Ketiga’ ke AS

    Trump Hentikan Migrasi dari ‘Negara-Negara Dunia Ketiga’ ke AS

    Jakarta

    “Saya akan menghentikan secara permanen migrasi dari semua negara dunia ketiga untuk memungkinkan sistem Amerika Serikat pulih sepenuhnya,” tulis Trump dalam unggahan tengah malam di platform media sosialnya, Truth Social, menggunakan istilah yang sudah usang dan dianggap ofensif untuk menyebut negara-negara berkembang secara ekonomi.

    Donald Trump juga menulis bahwa ia akan “mengusir siapa pun yang bukan merupakan aset bersih bagi Amerika Serikat” dan “mengakhiri semua tunjangan serta subsidi federal bagi nonwarga negara, mencabut kewarganegaraan para migran yang merusak ketenteraman domestik, serta mendeportasi warga negara asing yang menjadi beban publik, risiko keamanan, atau dinilai tidak sesuai dengan peradaban Barat.”

    Trump menulis bahwa kebijakan itu juga akan mencakup program visa khusus bagi warga Afganistan yang bekerja dengan AS di Afganistan sebelum Taliban kembali berkuasa.

    Peninjauan ulang penuh diperintahkan setelah serangan di Washington

    Unggahan tersebut, yang ditulis pada hari libur Thanksgiving di AS, muncul setelah pemerintahan Trump memerintahkan peninjauan penuh terhadap status penduduk tetap imigran dari 19 negara, menyusul serangan terhadap dua personel Garda Nasional AS di Washington, DC.

    Seorang warga Afganistan yang masuk ke AS pada tahun 2021 setelah bekerja dengan militer dan dinas intelijen Amerika di Afganistan telah ditangkap terkait penembakan pada hari Rabu (19/11) dekat Gedung Putih.

    Direktur Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS (USCIS), Joseph Edlow, mengatakan di X: “Saya telah memerintahkan pemeriksaan ulang secara penuh dan ketat terhadap setiap pemegang Green Card untuk setiap warga asing dari setiap negara yang dianggap menjadi perhatian.”

    Pemerintahan Trump pada hari Rabu (19/11) sudah menghentikan pemrosesan aplikasi imigrasi dari Afghanistan setelah penembakan tersebut.

    Afghanistan, Iran, Somalia, Libya, Yaman, Kuba, Venezuela termasuk dalam daftar negara

    Di antara negara-negara tersebut adalah Afghanistan, Iran, Somalia, Libya, dan Yaman, serta Kuba, Venezuela, Chad, dan Eritrea.

    Para kritikus memperingatkan bahwa kebijakan itu berisiko menghukum ratusan ribu penduduk tetap yang sah hanya berdasarkan kebangsaannya.

    Apakah peninjauan tersebut akan mengarah pada pencabutan status atau deportasi masih belum jelas. Dampak pernyataan Trump pada hari Kamis (20/11) terhadap peninjauan USCIS juga tidak jelas.

    Untuk saat ini, pemerintah menyebut langkah itu sebagai tindakan perlindungan yang ditujukan untuk keamanan nasional menyusul serangan di Washington DC.

    Pengetatan kebijakan imigrasi pemerintahan Trump

    Masa jabatan kedua Trump ditandai dengan dorongan kuat untuk menindak imigrasi Ribuan orang telah ditangkap oleh agen imigrasi federal dalam operasi yang menargetkan para imigran tanpa dokumen yang sah, dengan mereka yang dianggap “alien ilegal” kemudian dideportasi.

    Badan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) telah dikritik karena taktik yang dianggap keras, dengan agen-agen bersenjata lengkap dan mengenakan balaclava menyerbu orang-orang yang mereka tahan.

    Langkah-langkah tersebut banyak dikritik oleh kelompok hak asasi manusia yang berpendapat bahwa kebijakan Trump mengabaikan dan melanggar hak-hak manusia.

    Trump tampaknya tidak terpengaruh, dan dengan pernyataan terbarunya, ia terlihat mempertegas dan memperluas kebijakan imigrasinya.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Perang Menggila, 30 Juta Warga Sudan Butuh Bantuan

    Perang Menggila, 30 Juta Warga Sudan Butuh Bantuan

    Jakarta

    Lebih dari separuh penduduk Sudan saat ini membutuhkan bantuan kemanusiaan di tengah pertempuran yang melanda negara Afrika timur laut itu.

    Sejak pecah pada April 2023, perang antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF), telah menewaskan puluhan ribu orang. Perang tersebut juga telah membuat hampir 12 juta orang mengungsi, dan memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

    “Kami melihat situasi di mana lebih dari 30 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah tersebut setara dengan separuh penduduk Sudan,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Denmark, Charlotte Slente, setelah kunjungan ke wilayah perbatasan di negara tetangga, Chad.

    “Penderitaan yang kami saksikan sungguh tak terbayangkan,” ujar kepala NGO tersebut, dilansir kantor berita AFP, Sabtu (15/11/2025).

    Sudan memiliki populasi sekitar 50 juta jiwa pada tahun 2024, menurut Bank Dunia.

    Komentar pejabat NGO tersebut muncul setelah kunjungan ke daerah di Chad yang berbatasan dengan wilayah Darfur di Sudan bagian barat, yang belakangan ini dilanda pertempuran sengit.

    Kekerasan telah meningkat drastis dalam beberapa pekan terakhir. RSF menguasai kota penting El-Fasher — benteng terakhir tentara Sudan di Darfur — setelah pengepungan selama 18 bulan dan laporan kekejaman yang terus bertambah.

    “Ada pelanggaran yang melanggar semua hukum kemanusiaan internasional,” imbuh Slente.

    Slente mengatakan NGO tersebut telah melihat bukti pembantaian massal dan kekerasan seksual di Sudan.

    “Kami melihat penahanan, penculikan, pemindahan paksa, dan penyiksaan,” kata Slente.

    Ia menuduh komunitas internasional tidak berbuat cukup.

    Ia pun memperingatkan bahwa masih ada kota-kota lain yang masih dikepung dan tidak mendapatkan perhatian yang sama.

    Kota Babanusa, benteng terakhir tentara di negara bagian Kordofan Barat, telah dikepung selama beberapa bulan, begitu pula ibu kota negara bagian Kordofan Utara, El-Obeid, serta Kadugli dan Dilling di Kordofan Selatan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: UEA Dituding Menjadi Dalang Serangan Drone di Port Sudan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (ita/ita)

  • Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Bisakah Kekuatan Asing Hentikan Konflik di Sudan?

    Jakarta

    Tanpa dukungan eksternal, tidak ada satu pun pihak di Sudan mampu memperpanjang perang saudara yang tengah berlangsung.

    Konflik ini telah menjadikan negara tersebut sebagai lokasi salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Belakangan, terjadi pembunuhan massal serta kekejaman terhadap warga sipil Sudan di ibu kota regional Darfur, El-Fasher.

    Perang pertama kali meletus pada April 2023 ketika milisi lokal, yaitu pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan militer Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF), berselisih mengenai integrasi RSF ke dalam militer reguler.

    Akibat berlanjutnya pertempuran di Darfur, angka korban hanya bisa diperkirakan, tapi organisasi bantuan dan PBB memperkirakannya di atas 140.000 orang. Sekitar setengah dari 51 juta penduduk Sudan bergantung pada bantuan kemanusiaan. Kelaparan dan penyakit menyebar luas dan sebagian besar infrastruktur serta lahan pertanian negara itu telah rusak.

    Para pengamat mengatakan pemerintah Sudan yang diakui secara internasional di bawah jenderal Abdel-Fattah al-Burhan, yang juga memimpin SAF, mendapat dukungan dari Mesir, Turki, Rusia, dan Iran. Sementara, Mesir dan Arab Saudi membantah memberikan dukungan senjata kepada kelompok apa pun di Sudan. RSF dituding mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), tapi kemudian dibantah oleh UEA.

    “Hasil penelitian menunjukkan bahwa RSF memiliki sejumlah pemasok senjata dan bahan bakar selama perang, tetapi penyedia utama tetap UEA,” kata Hager Ali, peneliti di lembaga kajian German Institute for Global and Area Studies (GIGA), kepada DW.

    Agenda kontroversial UEA di Sudan

    UEA berkali-kali membantah mendukung RSF. Mereka menyebut tuduhan tersebut sebagai kampanye media oleh SAF dan menuntut permintaan maaf.

    Namun, PBB dan organisasi hak asasi manusia sering menemukan bukti pasokan militer dari UEA. Analis independen secara rutin menyimpulkan bahwa senjata dan amunisi yang digunakan RSF berasal dari UEA.

    “Materi tersebut mencakup drone buatan Cina yang canggih berikut senjata ringan, mesin berat, kendaraan, artileri, mortir dan amunisi,” ujar sumber dari US Defense Intelligence Agency dan biro intelijen Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kepada The Wall Street Journal.

    Pada Januari, ketika pemerintahan AS dipimpin Presiden Joe Biden, Paman Sam menjatuhkan sanksi kepada kedua pihak. Waktu itu, Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi terhadap tujuh perusahaan dari UEA dan menuduh mereka menyediakan senjata, pendanaan dan dukungan lain kepada RSF.

    Lebih jauh, laporan PBB Januari 2024 menyatakan bahwa milisi yang berpihak kepada Jenderal Libya Khalifa Haftar menggunakan jaringan penyelundupan yang sudah ada untuk memasok RSF dengan bahan bakar, kendaraan, dan amunisi.

    “Kami tahu bahwa UEA telah menyelundupkan senjata langsung melintasi perbatasan Libya ke Sudan, tetapi juga via Chad dan Uganda,” kata Ali.

    “Sebagai imbalannya, UEA, sebagai importir emas Sudan terbesar secara tradisional, memiliki kepentingan besar untuk menjaga aksesnya ke emas Sudan.”

    Bagi RSF, sumber daya emas Sudan yang kaya, yang sebagian besar berada di wilayah kekuasaannya, telah menjadi mata uang utama untuk membeli senjata dan menghindari sanksi.

    “Aman untuk diasumsikan bahwa senjata yang sekarang digunakan di Sudan bukan hanya dari sedikit penyedia tetapi senjata yang telah diselundupkan ke seluruh Sahel,” lanjut Ali, sambil menambahkan bahwa pengiriman senjata di medan perang sering dilakukan oleh Africa Corps, divisi Afrika dari kelompok mercenary (militer bayaran) Rusia Wagner yang telah berganti nama.

    Kepentingan lain di Sudan

    Mesir telah menjadi pendukung utama SAF dan mengakui pemerintahan Burhan sebagai pemerintahan resmi Sudan. Menurut tinjauan dari Institute of War, lembaga kajian independen, Mesir juga telah melatih pilot SAF dan menyediakan drone, kemudian hal ini dibantah Kairo.

    Mesir bertujuan menjaga konflik tetap di sisi Sudan dan berharap bisa mengembalikan jutaan pengungsi Sudan.

    Pendukung lain SAF adalah Iran, yang juga telah menyediakan drone. Teheran berharap mengamankan pangkalan angkatan laut di Laut Merah yang akan membantunya terus mendukung milisi Houthi di Yaman. Sudan diketahui telah menjadi pusat logistik bagi Houthi. Turki juga telah menyediakan drone dan misil untuk SAF. Kepentingan Ankara di sini adalah mengamankan aksesnya ke Laut Merah.

    Meski keterlibatan Rusia melalui Africa Corps atas nama RSF ada, Rusia memainkan peran yang relatif kecil di Sudan, menurut Achim Vogt, Direktur Friedrich Ebert Stiftung untuk wilayah Uganda dan Sudan.

    Bisakah ‘inisiatif Quad’ membantu?

    Menurut Vogt, keempat negara yang membentuk apa yang disebut “inisiatif Quad”, yakni AS, Mesir, Arab Saudi dan UEA, akan jadi negara yang bisa memberi pengaruh nyata di Sudan meskipun mereka punya aliansi berbeda dengan kedua pihak. Sasaran inisiatif ini adalah membuat peta jalan untuk mengakhiri perang atau setidaknya gencatan senjata kemanusiaan.

    Vogt mengatakan jika keempat negara ini bersatu, mungkin dengan dukungan negara Eropa, mereka bisa membawa kembali hukum humaniter internasional, mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia dan memperbaiki situasi kemanusiaan bagi warga sipil.

    Namun, pada 26 Oktober 2025, pembicaraan Quad di Washington yang ditujukan untuk membawa pihak yang bertikai bersama-sama menyepakati gencatan senjata tiga bulan, berakhir tanpa hasil. Pada hari yang sama, RSF merebut kontrol atas ElFasher dan meningkatkan pembunuhan massal serta kekejaman lainnya.

    “Mereka punya kepentingan ekonomi terkait ekspor emas dan pelabuhan Port Sudan, tetapi mereka sudah cukup jelas menyatakan bahwa mereka tidak tertarik ikut campur dalam apa yang mereka sebut konflik internal,” katanya.

    Bagi Laetitia Bader, Direktur Horn of Africa di Human Rights Watch, skala dan beratnya pelanggaran terbaru di dan sekitar El-Fasher sekarang memerlukan adanya “konsekuensi bagi pimpinan RSF dan para pendukungnya, khususnya Uni Emirat Arab, yang terus menyediakan dukungan… meskipun ada bukti jelas atas kejahatan,” ujarnya kepada DW.

    “Kami ingin melihat Dewan Keamanan PBB segera bergerak dengan sanksi terhadap pimpinan RSF,” kata Bader.

    “Kami menyerukan agar komunitas internasional memastikan ada akuntabilitas politik dan pidana.”

    Pada hari Jumat (31/10), menghadapi kemarahan internasional atas pembantaian dan kejahatan lainnya, RSF menangkap beberapa anggotanya sendiri. Namun, pengamat mengatakan kekejaman terus berlangsung.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

    Editor: Muhammad Hanafi dan Melisa Lolindu


    (ita/ita)

  • 2 Kelompok Warga di Chad Bentrok Rebutan Sumur Air, 33 Orang Tewas

    2 Kelompok Warga di Chad Bentrok Rebutan Sumur Air, 33 Orang Tewas

    Jakarta

    Bentrokan terjadi melibatkan dua kelompok warga di Chad. Bentrokan di negara yang berada di benua Afrika Tengah ini dipicu perebutan sumur air.

    Saluran televisi publik Chad, ONAMA, melaporkan bentrokan terjadi pada Selasa (4/11) waktu setempat. Pertempuran itu melibatkan dua komunitas dari provinsi tetangga, Bahr-El-Gazel dan Hadjer-Lamis, di bagian barat negara Sahel.

    “Perselisihan yang meletus akibat sebuah sumur yang diklaim oleh kedua komunitas mengakibatkan 33 kematian dan beberapa orang luka-luka,” kata seorang penasihat senior pemerintah Chad dilansir AFP, Kamis (6/11/2025).

    Otoritas keamanan setempat telah dikerahkan untuk meredam konflik. Beberapa menteri, pejabat senior daerah, dan satu kontingen tentara telah dikerahkan ke daerah tersebut.

    “Meskipun ada kehadiran pihak berwenang dan tentara, ketegangan tetap tinggi di lapangan,” kata seorang sumber lokal kepada AFP.

    Seorang tokoh politik senior mengatakan daerah tersebut pernah menghadapi insiden serupa pada tahun 1999 dan 2004. Bentrokan itu juga mengakibatkan puluhan korban.

    Kekerasan antarkomunitas umum terjadi di Chad, terutama di daerah pedesaan. Sebagian besar pertempuran dipicu oleh pertikaian atas tanah, air, dan ternak.

    Lihat juga Video: Momen Mencekam Bentrok Mahasiswa 2 Fakultas di UNM

    (ygs/isa)

  • Pembantaian Massal Gelagat Munculnya Genosida Baru di Sudan?

    Pembantaian Massal Gelagat Munculnya Genosida Baru di Sudan?

    Jakarta

    Laporan bahwa “korban sakit dan terluka dieksekusi secara kejam,” ditulis Koordinasi Komite Perlawanan Sudan (Sudanese Coordination of Resistance Committees), sebuah organisasi nonpemerintah, dua hari setelah Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) menguasai El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan.

    Menurut organisasi tersebut, para milisi RSF telah membunuh hampir semua orang atau membiarkan mereka mati di Rumah Sakit Al Saudi di kota itu.

    Citra satelit yang dianalisis Humanitarian Research Lab, Yale School of Public Health, mengonfirmasi bahwa sejak akhir pekan lalu muncul “kumpulan objek yang konsisten dengan ukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah kemerahan” di luar rumah sakit-rumah sakit di El-Fasher.

    Beberapa sumber menyebut hingga 2.000 warga sipil telah tewas dalam tiga hari terakhir. Laporan dari lapangan masih sulit diperoleh karena RSF mematikan komunikasi satelit bagi penduduk.

    Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri dari El-Fasher kepada DW pada hari Rabu (29/10) mengatakan, “RSF mengambil semua yang kami miliki, mereka bahkan menggeledah pakaian dalam kami dan meninggalkan kami tanpa apa-apa — tanpa uang, tanpa ponsel.”

    “Mereka melakukan uji coba militer terhadap orang-orang, dan jika mengetahui seseorang memiliki pengetahuan atau keterkaitan dengan urusan militer, mereka langsung dieksekusi,” tambahnya.

    Konflik Sudan: Apa yang perlu diketahui

    Pembunuhan massal terbaru ini merupakan eskalasi terbaru dari konflik Sudan yang meletus pada April 2023. Saat itu, Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) di bawah komando Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemeti, berselisih terkait integrasi milisi ke dalam angkatan nasional.

    Setelah merebut El-Fasher, kendali wilayah RSF kini mencakup Darfur dan sebagian selatan, sementara SAF menguasai ibu kota Khartoum serta wilayah utara dan tengah negara itu.

    Apa kata RSF?

    Organisasi kemanusiaan internasional menuntut RSF membuka koridor kemanusiaan bagi sekitar 177.000 orang yang tak bisa meninggalkan kota.

    “Dengan SAF mundur, terutama warga sipil yang mendukung SAF kini mencoba melarikan diri, RSF memiliki kepentingan untuk menghina SAF dengan melampiaskan kekerasan pada warga sipil,” ujar Hager Ali, peneliti di GIGA Institute for Global and Area Studies, Jerman, kepada DW. “RSF juga berusaha menakut-nakuti warga sipil agar patuh di wilayah yang mereka kuasai.”

    Pada Maret lalu, RSF dan kelompok bersenjata lain membentuk Sudan Founding Alliance (TASIS), dengan mandat membentuk “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan” untuk Darfur dan sebagian selatan. TASIS menegaskan di X (Twitter):

    “Kami menegaskan posisi kami mengecam segala pelanggaran dan bekerja terus-menerus untuk menghentikannya. Namun perlu diluruskan: banyak video pelanggaran di media sosial adalah rekayasa dari media gerakan Islam, tentara bayaran dari pasukan gabungan, dan lainnya.”

    Namun menurut Leena Badri, peneliti kebijakan Sudan, pernyataan itu tak lebih dari upaya TASIS “mendapat legitimasi politik untuk mendirikan struktur pemerintahan paralel mereka.”

    RSF: Akar kekerasan dan genosida

    Kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia(HAM) sepanjang konflik. Pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden menjatuhkan sanksi kepada kedua jenderal. RSF dituduh melakukan genosida dan pelanggaran HAM berat, sementara SAF dituduh menyerang warga sipil dan menghambat transisi demokratis.

    “RSF tidak lebih brutal daripada kekuatan lain di dunia. Namun perbedaannya adalah kebijakan mereka bersifat sistematis dan genosidial,” ujar Shayna Lewis, spesialis Sudan dan penasihat senior PAEMA, sebuah LSM di AS yang fokus pencegahan kekejaman.

    “Pembunuhan tanpa batas pasien dan staf medis di rumah sakit adalah modus operandi RSF,” tambahnya. RSF berkembang dari milisi Janjaweed yang terkenal dengan kekerasan ekstrem di Darfur antara 2003–2005, membunuh sekitar 300.000 warga sipil yang dianggap bukan Arab, melainkan Afrika.

    Posisi dunia Arab dan peran emas

    Para pengamat menekankan bahwa sekutu internasional dari pihak yang bertikai menentukan apakah perang Sudan berakhir atau berlanjut. RSF diduga mendapat dukungan senjata dari Uni Emirat Arab (UEA) melalui Chad. SAF mendapat dukungan Mesir dan Qatar, sementara Arab Saudi menyatakan netral.

    Darfur menjadi prioritas RSF, tidak hanya karena ini wilayah asal mereka, tetapi juga karena sumber daya penting seperti emas. Emas dibutuhkan untuk menghindari sanksi dan membeli senjata. Kedekatan Darfur dengan perbatasan Libya dan Chad memungkinkan RSF mengendalikan populasi sipil untuk mempermudah pengadaan senjata dan amunisi.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    Lihat juga Video: Serangan Bom-Penembakan di Sudan Tewaskan 127 Orang

    (ita/ita)

  • Horor 2 Ribu Warga Sudan Dikabarkan Dibantai Milisi RSF

    Horor 2 Ribu Warga Sudan Dikabarkan Dibantai Milisi RSF

    Jakarta

    Laporan mengenai kekejaman bermotif etnis di kota El-Fasher, Sudan barat, meningkat sejak kota itu direbut oleh kelompok milisi Rapid Support Forces (RSF). Dilaporkan bahwa kelompok tersebut telah membantai lebih dari 2 ribu warga sipil.

    Sekitar 260.000 warga sipil terjebak di El-Fasher, separuh dari mereka adalah anak-anak. Selama berbulan-bulan kota itu telah dikepung RSF dan terputus dari segala bentuk kontak dengan dunia luar. Kota itu akhirnya jatuh ke tangan RSF setelah lebih dari 18 bulan pengepungan yang brutal.

    Dilansir kantor berita AFP dan Al Arabiya, Rabu (29/10/2025), sekutu militer Sudan, Joint Forces, mengatakan pada hari Selasa (28/10) waktu setempat bahwa RSF “melakukan kejahatan keji terhadap warga sipil tak berdosa di kota El-Fasher, di mana lebih dari 2.000 warga tak bersenjata dieksekusi dan dibunuh pada tanggal 26 dan 27 Oktober, kebanyakan dari mereka adalah perempuan, anak-anak, dan lansia.”

    Kelompok-kelompok lokal dan LSM internasional sebelumnya telah memperingatkan bahwa jatuhnya El-Fasher dapat memicu kekejaman massal, kekhawatiran yang menurut kelompok pemantau Laboratorium Riset Kemanusiaan Universitas Yale menjadi kenyataan.

    Kelompok pemantau tersebut, yang mengandalkan intelijen sumber terbuka dan citra satelit, mengatakan kota itu “tampaknya sedang dalam proses pembersihan etnis yang sistematis dan disengaja terhadap komunitas Fur, Zaghawa dan non-Arab pribumi Berti melalui pemindahan paksa dan eksekusi mati.”

    Ini termasuk apa yang tampak seperti “operasi pembersihan dari pintu ke pintu” di kota tersebut.

    Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Senin lalu, disebutkan bahwa tindakan RSF “mungkin konsisten dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dapat meningkat ke tingkat genosida.”

    Pada hari yang sama, kepala hak asasi manusia PBB Volker Turk berbicara tentang meningkatnya risiko “pelanggaran dan kekejaman bermotif etnis” di El-Fasher.

    Kantornya mengatakan bahwa mereka “menerima banyak laporan yang mengkhawatirkan bahwa RSF sedang melakukan kekejaman, termasuk eksekusi mati.”

    Sementara itu, para aktivis pro-demokrasi mengatakan penduduk El-Fasher telah mengalami “bentuk-bentuk kekerasan dan pembersihan etnis terburuk” sejak RSF merebut kendali.

    Paramiliter ini memiliki rekam jejak kekejaman, telah menewaskan hingga 15.000 warga sipil dari kelompok non-Arab di ibu kota Darfur Barat, El-Geneina.

    Militer Sudan, yang telah memerangi RSF sejak April 2023, juga telah dituduh melakukan kejahatan perang.

    Lebih dari satu setengah tahun perang pengepungan menjadikan El-Fasher salah satu tempat terkelam dalam perang, yang oleh PBB disebut sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Pasokan makanan sudah lama tidak lagi masuk ke kota yang terletak sekitar 200 kilometer dari perbatasan dengan Chad di Provinsi Darfur itu. Menurut saksi mata, banyak orang kini bertahan hidup dengan memakan pakan ternak.

    Lihat juga Video: Serangan Bom-Penembakan di Sudan Tewaskan 127 Orang

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)