Negara: Belanda

  • Finalisasi RUU Pemindahan Napi Antar Negara, Menko Yusril: Akhir Tahun Sudah Dibahas DPR – Page 3

    Finalisasi RUU Pemindahan Napi Antar Negara, Menko Yusril: Akhir Tahun Sudah Dibahas DPR – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra melakukan finalisasi rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pemindahan narapidana antar negara. Menurut dia, finalisasi dilakukan adalah dengan menggabungkan dua RUU yang sudah didraft tahun 2016 tentang pemindahan narapidana dan pertukaran narapidana.

    “Jadi sekarang cukup kita tuangkan dalam satu rancangan undang-undang saja yaitu rancangan undang-undang tentang pemindahan narpidana antar negara,” kata Yusril saat jumpa pers di Hotel Grand Sahid Jakarta, Selasa (19/8/2025).

    Yusril menjelaskan, penggabungan dilakukan mengacu ke beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi sebelumnya, yaitu konvensi tentang transnational organized crime atau Konvensi Palermo yang mengamanatkan tentang masing-masing negara anggota peserta dari konvensi melakukan perjanjian tentang transfer of sentence person.

    “Jadi pemindahan orang-orang yang dijatuhi hukum pidana di situ juga ada kerjasama yang lain-lain terkait dengan masalah criminal matters dan karena kita sudah merasa mendesak untuk segera menyelesaikan RUU ini dan draft RUU ini sudah dibahas berkali-kali dan hari ini merupakan finalisasi,” jelas dia.

    Yusril memastikan, kementerian lintas sektor yang hadir hari ini seperti dari Kementerian HAM, Kementerian Luar Negeri, Kementerian PAN-RB, Sekretariat Negara, Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan yang lainnya sudah bersepakat dengan untuk difinalisasi dan diajukan ke DPR RI sebagai satu RUU usulan pemerintah.

    “Jadi nanti Sekretariat Negara akan melakukan sinkronisasi terakhir terhadap RUU ini yang kita harapkan pada akhir tahun ini, RUU ini sudah dapat dibahas dengan DPR RI,” harap Yusril.

    Teknis Pemindahan Narapidana Antar Negara

    Yusril menambahkan, finalisasi RUU dilakukan karena banyaknya permintaan dari negara sahabat yang meminta warganya dikembalikan dan dihukum di negara sendiri. Dia menyebut, ada tiga negara yang sudah mengajukan dan sudah selesai diproses dalam hal pemindahan narapaidana antar negara yaitu Australia, Filipina, dan Perancis.

    “Yang lain ada permohonan yang sedang kita bahas yaitu permohonan dari Pemerintah Inggris melalui Perdana Menteri Inggris menulis surat langsung kepada Pemerintah Indonesia dan kemudian juga ada permohonan dari Pemerintah Belanda, permohonan juga dari Pemerintah Kazakstan, juga Pemerintah Brazil dan juga ada permohonan Spanyol yang pada pokoknya mengajukan permintaan dari narapidana dan kita bahas satu demi,” janji Yusril.

     

  • 8
                    
                        Survei Litbang Kompas: Daftar Program Dedi Mulyadi yang Dinilai Penting oleh Warga Jabar
                        Bandung

    8 Survei Litbang Kompas: Daftar Program Dedi Mulyadi yang Dinilai Penting oleh Warga Jabar Bandung

    Survei Litbang Kompas: Daftar Program Dedi Mulyadi yang Dinilai Penting oleh Warga Jabar
    Editor
    KOMPAS.com – 
    Survei terbaru Litbang Kompas menyoroti persepsi publik terhadap berbagai program Pemprov Jawa Barat di bawah Gubernur Dedi Mulyadi dan Wakil Gubernur Erwan Setiawan.
    Hasil survei menunjukkan, beberapa program menuai respons beragam.
    Mayoritas warga tetap menilai sejumlah program Pemprov Jabar sebagai prioritas penting.
    Pembangunan ruang kelas baru (RKB) di sekolah-sekolah menempati urutan tertinggi, dengan 94,6 persen responden menilai penting.
    Program penyediaan listrik untuk masyarakat miskin (97,6 persen) dan perbaikan Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni) (97,9 persen) juga mendapat dukungan luas.
    Pembangunan infrastruktur jalan di Jawa Barat diapresiasi 97,2 persen responden, sementara program penanganan anak-anak nakal melalui pembinaan di institusi militer atau pendidikan khusus di barak militer mendapat persetujuan 96,2 persen.
    Program pembongkaran wahana pariwisata yang melanggar izin juga dianggap penting oleh 86,5 persen responden.
    Program lainnya yaitu larangan bagi seluruh SMA dan SMK untuk mengadakan study tour, di 71,9 persen menjawab penting dan 27,3 persen responden menilai program ini tidak penting.
    Pengaktifan kembali jalur kereta peninggalan era kolonial Belanda juga mendapat tanggapan beragam, dengan 25,5 persen menyatakan tidak penting dan dan 68,1 persen menyatakan penting.
    Begitu pula dengan pengaturan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB, 31,4 persen menilai tidak penting sementara 67,4 persen menganggap penting.
    Adapun pemangkasan anggaran hibah pesantren yang dinilai tidak penting oleh 30,4 persen responden dan 62,2 persen menyatakan penting.
    Metode penelitian survei melalui wawancara tatap muka ini diselenggarakan Litbang Kompas dari tanggal 1–5 Juli 2025.
    Sebanyak 400 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di Provinsi Jawa Barat.
    Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, “margin of error” penelitian +/- 4,9 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
    Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.
    Survei dibiayai sepenuhnya oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Serangan Siber Ini Malah Bikin Pengguna Jalan Jadi Senang

    Serangan Siber Ini Malah Bikin Pengguna Jalan Jadi Senang

    Jakarta

    Biasanya serangan siber membuat susah korbannya, namun apa yang terjadi di Belanda ini malah membuat pengguna jalanan menjadi senang.

    Pada 17 Juli lalu, terjadi serangan siber ke Public Prosecution Service di Belanda, yang mana pelakunya diduga berkaitan dengan Rusia dan China. Menariknya, target dari serangan ini adalah speed camera yang fungsinya memantau kecepatan kendaraan di jalanan.

    Berdasarkan laporan, ada belasan speed camera yang dimatikan dalam serangan siber tersebut. Dan, setelah serangan siber itu terjadi pun kameranya tidak bisa dinyalakan kembali.

    Ini artinya, di ruas jalan yang speed camera-nya dimatikan, pengendara mobil bisa melewati ruas jalan tersebut melewati batas kecepatan yang sudah ditentukan tanpa takut terkena tilang.

    Kamera yang terdampak itu beragam, dari yang terpasang secara permanen maupun kamera yang posisinya bisa dipindah-pindah, demikian dikutip detikINET dari Techspot, Minggu (17/8/2025).

    Setidaknya ada dua ruas jalan utama yang speed camera-nya terdampak, yaitu di jalan A dan N. Keduanya merupakan ruas jalan besar dengan lalu lintas yang padat.

    Menurut Service Central Processing Office (CVOM), speed camera itu terkadang memang dimatikan untuk sejumlah tujuan, termasuk perawatan dan inspeksi. Namun setelah dimatikan, kamera tersebut kini menjadi tak bisa dinyalakan kembali.

    Dari pernyataan ini bisa diasumsikan kalau sebenarnya target utama serangan siber itu bukanlah mematikan kamera, namun membuat kameranya tidak bisa dinyalakan kembali setelah dimatikan.

    Sistem yang menjadi target dari serangan siber itu berisi sejumlah data penting seperti kasus yang sedang diproses di pengadilan, investigasi polisi, dan data pribadi karyawan.

    Pada Juni 2025, National Cyber Security Centre (NCSC) mengeluarkan peringatan terkait celah keamanan zero-day Citrix NetScaler. Celah tersebut ditambal tujuh hari setelah peringatan dikeluarkan, dan Public Prosecution Service sempat mematikan sistemnya pada 17 Juli.

    Artinya si hacker punya waktu setidaknya tiga minggu untuk mengakses sistem tersebut, meski NCSC menyebut celah tersebut sudah dieksploitasi sejak awal Mei 2025.

    Sejumlah ahli menyebut peretasan ini mungkin ada kaitannya dengan insiden pesawat MH17 dengan rute Amsterdam – Kuala Lumpur, yang ditembak jatuh oleh Rusia pada 2014.

    Ada juga kemungkinan motif lain, yaitu penyelidikan polisi militer Belanda soal kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina.

    (asj/hps)

  • Kehilangan Menjadi Perlawanan: Dendam Kesumat Cut Nyak Dien Terhadap Belanda

    Kehilangan Menjadi Perlawanan: Dendam Kesumat Cut Nyak Dien Terhadap Belanda

    Saat berusaha merebut kembali wilayah VI Mukim di Aceh Besar dari Belanda, suami pertama Cut Nyak Dien gugur di medan perang. Kematiannya menjadi titik balik dalam hidup Cut Nyak Dien.

    Rasa kehilangan berubah menjadi api dendam yang tak pernah padam, dan menguatkan tekadnya untuk terus melawan penjajahan Belanda. Dari tragedi ini, lahir sosok pahlawan perempuan Aceh yang dikenal karena keberanian, strategi, dan semangat juangnya yang tak tertandingi.

    Ringkasan

  • Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus

    Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus

    Warga terjatuh saat mengikuti lomba memanjat pohon pinang di Semarak Kalimalang 2025 Jakarta Timur, Minggu (17/8/2025). Lomba yang diadakan dalam rangka menyambut HUT ke-80 RI diselenggarakan selama dua hari yaitu tanggal 16-17 Agustus 2025 dan diikuti ratusan peserta. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.

    Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 18 Agustus 2025 – 12:31 WIB

    Elshinta.com – Jika di banyak tempat perayaan 17 Agustus identik dengan lomba sederhana di halaman rumah atau lapangan, maka di Jakarta ada satu momen yang selalu dinanti yakni panjat pinang di Kalimalang. Tradisi yang telah melekat sejak puluhan tahun ini menjelma menjadi ikon perayaan kemerdekaan di ibu kota, menghadirkan ribuan warga yang rela berdesakan di bantaran sungai hanya untuk menyaksikan keseruan dan simbol perjuangan kolektif itu.

    Bukan sekadar lomba, panjat pinang Kalimalang telah menjelma menjadi pesta rakyat khas Jakarta yang tak tergantikan oleh event mana pun. Suasana 17 Agustus 2025 menegaskan reputasi itu. Sejak pagi, bantaran Kalimalang dipenuhi warga lintas usia.

    Di antara ragam lomba rakyat, sorak paling riuh pecah ketika giliran panjat pinang berlangsung dengan format khas Kalimalang yang berbeda, bukan memanjat tiang tegak, melainkan meniti batang pinang atau bambu yang dilumuri oli, dibentangkan melintang di atas aliran air.

    Setiap ada peserta terpeleset disambut tawa, setiap bangkit lagi dibalas tepuk tangan. Keriuhan ini dirawat oleh warga dan pemuda setempat. Tahun ini rangkaian hajat warga ini turut didukung Rampai Nusantara sebagai penyelenggara kegiatan 17-an, dengan hadiah puncak panjat pinang berupa dua sepeda sumbangan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Namun, inti pesona Kalimalang bukan pada hadiahnya, melainkan pada pengalaman kolektif yang mempertemukan orang asing menjadi sesama, sesama penonton, sesama penyemangat, dan sesama perayap licin di atas air. Semuanya untuk sehari merayakan kebersamaan tanpa sekat.

    Ketua Umum Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menggarisbawahi bahwa perayaan HUT RI di Kalimalang adalah tradisi rakyat yang kelestariannya dijaga dari tahun ke tahun. Ia menekankan makna yang sering luput dalam seremoni yaitu semangat persatuan dan gotong royong yang dihidupkan, bukan sekadar dikutip.

    Di Kalimalang, nilai itu tampak konkret. Kelompok peserta menyusun strategi, tubuh-tubuh menjadi pijakan, tangan saling mengangkat, dan yang jatuh kembali didorong untuk bangkit. Inilah kurikulum kebangsaan yang diajarkan tanpa papan tulis. Kemerdekaan sebagai hasil kerja bersama, bukan hadiah yang jatuh dari langit.

     

    De Klimmast

    Agar tradisi ini semakin kaya makna, penting melihat akar sejarahnya. Mayoritas kajian populer dan arsip media menyebut panjat pinang sebagai warisan dari masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, permainan memanjat tiang licin (dalam istilah Belanda sering dirujuk sebagai de klimmast) digelar dalam perayaan tertentu, dengan hadiah yang menggoda di puncak batang pinang, berupa barang-barang mewah bagi ukuran kala itu.

    Pada masa itu, panjat pinang mengandung ironi bahwa hadiah mengilap di atas, tapi jarak sosial di bawah. Setelah kemerdekaan, tradisi ini “diindonesiakan” dengan maknanya yang bertransformasi dari tontonan bernada sindiran menjadi perayaan kebersamaan.

    Batang licin berubah menjadi metafora jalan terjal bangsa, dengan hadiah di pucuk menandai cita-cita kolektif. Transformasi makna ini menjadikan panjat pinang relevan, bukan sekadar romantika masa lampau, melainkan wadah aktualisasi nilai gotong royong di ruang publik modern.

    Kalimalang memberi bab tambahan pada kisah itu. Di sini, panjat pinang bukan sekadar meniru pola vertikal yang umum, melainkan mengembangkan bentuk khas meniti “jembatan” licin di atas air. Kekhasan yang sudah terdokumentasi media sejak beberapa tahun lalu ini lahir dari kreativitas warga Cipinang Melayu dalam memanfaatkan lanskap sungai sebagai panggung.

    Tradisi air di Kalimalang juga memperkenalkan variasi lain seperti gebuk bantal. Namun ingat, di sini panjat pinanglah yang lebih tua dan menjadi poros identitas perayaan. Kesaksian tokoh lingkungan menyebut “Semarak Kalimalang” sudah ada sejak era 1930-an. Sempat jeda pada masa perang, dan dihidupkan kembali pada awal 1980-an.

    Kronologi lisan ini, meski perlu terus ditopang arsip tertulis, memperkuat kesan bahwa Kalimalang bukan fenomena musiman, melainkan warisan yang diwariskan antar-generasi.

    Kekuatan Kalimalang justru terletak pada cara komunitas memelihara tradisi. Tidak ada satu “pencetus” tunggal yang secara kredibel ditahbiskan sebagai penggagas. Tradisi ini lahir dari gotong royong pemuda dan warga, lalu tumbuh bersama dukungan kelurahan, perangkat RW, dan relawan, termasuk koordinasi keselamatan dengan dinas terkait saat pelaksanaan.

    Karena itu, setiap tahun Kalimalang terasa baru sekaligus akrab dengan formatnya yang sama; energi sosialnya selalu diperbarui. Di sinilah semua bisa melihat fenomena yang oleh sosiolog Emile Durkheim disebut “gejolak kebersamaan” bahwa momen ketika individu larut dalam emosi kolektif yang meneguhkan solidaritas.

    Bagi banyak orang Jakarta yang sehari-hari hidup dalam ritme kota yang terfragmentasi, Kalimalang adalah ruang rekat sosial yang langka.

     

    Inklusivitas Tinggi

    Keunikan lain Kalimalang adalah inklusivitasnya. Tidak ada tiket mahal, tidak ada pagar sosial. Warga sekitar menyatu dengan pendatang, bahkan wisatawan mancanegara kerap ikut mencoba peruntungan di atas batang licin.

    Tradisi ini menjadi magnet tahunan, menyaingi gegap-gempita panggung hiburan modern yang sering eksklusif. Justru karena diakses semua orang, panjat pinang Kalimalang memancarkan rasa kepemilikan yang seakan menyerukan bahwa “ini pesta kami, milik kami, dirayakan bersama”.

    Efek rambatnya pun nyata, UMKM lokal hidup oleh arus penonton, pedagang kaki lima kebagian rezeki, dan jejaring sosial warga melebar. Melihat semua itu, wajar bila banyak yang mengusulkan Kalimalang dimasukkan ke dalam kalender budaya resmi Jakarta dan diusulkan sebagai warisan budaya takbenda tingkat kota.

    Ini bukan sekadar memberi stempel “prestise”, melainkan memastikan keberlanjutan: penataan ruang bantaran, standar keselamatan, pelibatan komunitas, dokumentasi arsip, dan dukungan logistik lintas instansi. Jika ditata baik, Kalimalang dapat menjadi rujukan nasional untuk festival tradisi berbasis sungai, tanpa kehilangan jiwa rakyatnya.

    Pembelajaran dari kota-kota lain menunjukkan, ketika pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pelindung, bukan pengambil alih, tradisi justru tumbuh subur dan berdaya. Puncaknya, panjat pinang Kalimalang mengajarkan cara merayakan kemerdekaan yang mencerahkan dengan memadukan ingatan sejarah, kreativitas lokal, dan keberanian bersolidaritas.

    Di atas batang licin itu, kita melihat miniatur republik orang yang kuat merunduk agar yang di atas bisa melangkah, yang jatuh ditarik naik lagi, dan kemenangan dirayakan sebagai milik bersama. Tahun ini, hadiah sepeda dari Wakil Presiden menambah semarak, tetapi hadiah terbesar selalu sama: rasa bahwa kita masih punya ruang untuk menjadi Indonesia yang riang, berani, dan saling menopang.

    Mungkin itulah alasan sederhana mengapa panjat pinang Kalimalang selalu ditunggu warga Jakarta, berbeda dengan event lain yang datang dan pergi.  Panjat pinang Kalimalang bukan sekadar menambah daftar hiburan, melainkan menegakkan kembali cermin yang memantulkan siapa kita.

    Selama batang pinang itu terus dibentangkan di atas air, selama tawa dan sorak masih bercampur dengan cipratan sungai, selama tangan-tangan itu masih saling mengangkat, Kalimalang akan tetap menjadi kabar gembira yang bisa ditonton setiap 17 Agustus, sebuah janji kecil bahwa kemerdekaan selalu bisa dirayakan bersama.

    Sumber : Antara

  • Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo
                
                    
                        
                            Makassar
                        
                        18 Agustus 2025

    Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo Makassar 18 Agustus 2025

    Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo
    Tim Redaksi
    GORONTALO, KOMPAS.com –
    Berbeda dengan Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang yang megah dengan bangunan bertingkat, Kota Tua Gorontalo menyajikan pesona unik lewat jejeran arsitektur kolonial satu lantai yang masih bertahan kokoh hingga kini.
    Kawasan ini menjadi saksi bisu denyut sejarah Gorontalo sebagai kota nyaman di tepi Teluk Tomini.
    Bangunan tua ini bukan hanya milik pemerintah semata, juga banyak yang dimiliki masyarakat.
    Di kawasan 0 km, bangunan tua yang paling menonjol adalah gedung bekas rumah asisten residen Gorontalo.
    Bangunan beton ini menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang diperkirakan dibangun pada awal tahun 1900-an, di depannya, di sisi selatan terdapat plaza atau alun-alun yang luas.
    Di sisi timur dan barat alun-alun berjejer bangunan tua yang digunakan sebagai kantor, rumah dinas instansi, hotel. Sedangkan di sisi selatannya terdapat rumah sakit tentara yang dulunya adalah hotel, juga ada gereja tua.
    Semua bangunan tampak utuh dengan gaya arsitektur yang mewakili zamannya, era kolonial.
    “Secara morfologi sebaran bangunan tua di Gorontalo relatif paling utuh di Sulawesi,” kata Irfanuddin Marzuki seorang arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang banyak melakukan riset kota tua Gorontalo, Senin (18/8/2025).
    Sebaran bangunan tua ini tidak hanya di kawasan yang menjadi pusat pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang berada di sebagian Kelurahan Tenda dan Kelurahan Biawao, namun juga di daerah pinggirannya seperti di Kelurahan Ipilo, Biawu, dan Limba.
    Kota tua Gorontalo memiliki kekhasan tersendiri. Sangat berbeda dengan Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang atau Kota Tua Surabaya.
    Di Kota Tua Gorontalo, bangunan era kolonial hanya satu lantai, bukan gedung bertingkat seperti di kota besar yang menjadi bandar pada masa lalu.
    Meskipun bangunan hanya satu lantai, namun gaya arsitekturnya tidak kalah menariknya, demikian juga dengan sejarahnya.
    Bangunan-bangunan tua ini tidak hanya berdiri kaku diam, namun setiap bangunan mampu mengisahkan masa lalunya.
    Seperti bangunan kayu hitam bekas Hotel Velberg yang sekarang masih berdiri kokoh menjadi lokasi kuliner, hotel ini dibangun tahun 1900 oleh Henry Velberg seorang syahbandar Gorontalo.
    Hotel ini menjadi tempat menginap para pelaut yang kapalnya bersandar di dermaga pelabuhan tidak jauh dari tempat ini.
    Di era tahun 1960 hotel ini berubah nama menjadi hotel Melati dan dikelola oleh anak Henry bernama Fritz Velberg hingga tahun 1994.
    Usai Fritz wafat, pengelolaan bangunan itu dilanjutkan oleh anaknya bernama Alexander Velberg dengan bangunan baru yang berada di sampingnya, sekarang pengelolaannya sudah diteruskan generasi kelima keluarga Velberg, Januar Velberg.
    Tetamu Gorontalo pada masa lalu, terutama pembesar pemerintahan tidak hanya menginap, mereka juga dijamu dengan pesta dan dansa di Soceiteit Wilhelmina yang berada di seberang hotel Velberg, dipisahkan oleh alun-alun. Soceiteit Wilhelmina saat ini menjadi kantor militer.
    Permukiman lama di sekitar alun-alun ini juga dikenal sebagai Kampung Borogo atau Borgo, yang dihuni para ambtenaren, yaitu para pegawai negeri atau pejabat yang bekerja di pemerintahan Hindia Belanda.
    Sebaran bangunan era kolonial ini tidak hanya berpusat pemerintahan, kelurahan Ipilo juga menjadi kawasan yang banyak berdiri rumah-rumah bergaya indis.
    Rumah-rumah ini dulunya dihuni oleh para pembesar negeri atau saudagar kaya. Demikian juga dengan kawasan lain yang saat ini masih menyisakan tinggalan masa lalu.
    Pemanfaatan bangunan ini tidak semata untuk kantor atau rumah tinggal, sejumlah warga juga memanfaatkan untuk lokasi berniaga, seperti bangunan Kopi Tiam Ajama, sebuah legenda warung kopi masa lalu yang dikelola dari generasi ke generasi.
    Bangunan-bangunan tua ini bergaya indis, perpaduan selera eropa, bahan lokal, dan penyesuaian dengan iklim tropis yang hangat menjadi saksi bahwa daerah ini dulunya dihuni banyak bangsa, barat dan timur.
    Bahkan penamaan daerah atau toponimi sudah menunjukkan pengaruh banyak bangsa. Ada kampung Borogo, Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Bugis, hingga Kampung Tenda.
    Tenda adalah kata yang berasal dari Bahasa Portugis, menunjukkan bahwa Raja Gorontalo hanya mengizinkan pelaut Portugis menginap di sekitar pelabuhan dengan membangun tenda-denda, tidak boleh masuk ke wilayah lain.
    Tidak ada kemacetan dan hawa panas akibat pembuangan kendaraan yang berlalu lalang di Kota Tua Gorontalo, di Kota Gorontalo ini hanya dihuni penduduk 205.400 jiwa berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023.
    Sebuah kota kecil di tepi Teluk Tomini yang nyaman untuk dikunjungi dan ditinggali.
    Berkeliling di kota tua Gorontalo merupakan tantangan menarik, menikmati langgam arsitektur masa lalu dengan kisah dan sejarah setiap bangunan dan kawasan yang memikat, juga udara tropis yang bersih.
    “Kami selalu mengajak kaum muda untuk memahami kondisi Kota Gorontalo dengan tinggalan masa lalunya” kata Sri Sutarni Arifin Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah/Kota (PWK) Universitas Negeri Gorontalo.
    Ajakan Sri Sutarni bukan hanya untuk sebuah kesenangan semata, namun berharap para kaum muda mampu mempelajari dan meneliti kekayaan budaya Gorontalo ini.
    Dari pengenalan kota tua ini ia berharap tumbuh kesadaran logis untuk melakukan konservasi dan pengembangan untuk masa depan.
    Menurutnya kota ini tidak tiba-tiba hadir, namun melalui proses panjang dinamika sosial dan sejarah hingga menjadikan Kota Gorontalo sebagai kota terbesar di Teluk Tomini.
    Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di dunia yang berada di garis khatulistiwa, teluk ini dilingkari lengan daratan Sulawesi yang meliputi wilayah adminsitrasi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, dan menjadi salah satu pusat wisata bahari dunia dengan segi tiga terumbu karangnya yang terkenal.
    Meski awalnya hanya sebagai daerah pelintasan wisatawan mancenegara dari dari Pulau Bunaken ke Togean, namun seiring waktu objek wisata Gorontalo menjadi magnit tersendiri bagi para pelancong.
    “Saat di Gorontalo para wisatawan biasanya keliling kota, keluar hotel jalan kaki ke kota tua, kuliner dan belanja. Ada juga para bule demikian,” ujar Karim seorang pengemudi bentor, kendaraan khas Gorontalo.
    Seiring waktu dan perkembangan zaman, bangunan-bangunan tua ini terus bertahan di tengah keterbatasan pemiliknya menyediakan ruangan baru. Namun tidak semua mampu bertahan, ada yang dirobohkan untuk diganti dengan bangunan dan langgam arsitektur baru, ada yang dibongkar dan dibagi karena menjadi warisan.
    Sebelum semua banguna tua era kolonial ini hilang, selayaknya menyempatkan diri mengunjungi kota tua Gorontalo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Jakarta

    Seorang dosen senior mengatakan “Jangan panggil saya dengan Pak, cukup panggil saja dengan nama saya,” ujarnya dengan setengah memaksa. Namun seorang dosen muda menyahut “Waduh, maaf sepertinya permintaan itu sulit sekali bisa dilakukan… Pak.”

    Penggalan interaksi itu saya dapati secara langsung di kehidupan kampus, tidak lama ini. Kata sapaan Bapak atau Ibu untuk dosen yang lebih senior adalah hal yang lumrah saja, kadang juga diselipi dengan panggilan atas gelarnya.

    Namun apa yang ingin disampaikan dosen senior itu saya memahaminya–mungkin–sebagai ekspresi keinginan mendobrak relasi kuasa yang menurutnya tidak seharusnya. Bagi seorang dosen muda memanggil dengan sapaan Bapak atau Ibu kepada dosen senior, selain sebagai bentuk penghormatan juga merupakan sopan santun yang harus dijaga.

    Entah, saya sendiri belum memahami betul, apakah itu baik atau buruk sebagai iklim akademis di kampus. Tapi umumnya bagi masyarakat dengan adat ketimuran seringkali kita dengar “adab lebih utama dari ilmu”.

    Hal itu mungkin yang menjadi dasar bagi sebagian besar dosen, termasuk dosen muda untuk lebih menjunjung dan menjaga adab.

    Kisah Ben Anderson Soal Istilah ‘Bule’

    Saya jadi teringat dengan sebuah kisah dari seorang Indonesianis, Benedict Anderson (Ben), yang memberikan kontribusi kecil dalam bahasa Indonesia (tapi bertahan hingga kini). Ben mempopulerkan kata “bule”.

    Bagi sebagian orang mungkin sapaan itu adalah terdengar rasis. Faktanya justru sebaliknya, Ben hanya tidak suka seringkali dipanggail dengan sapaan “Tuan” oleh orang-orang Indonesia pada masa itu hanya karena warna kulitnya putih. Ia juga membenci ketika orang Indonesia terkesan menunduk-nunduk hormat kepadanya, hanya karena warna kulitnya.

    Bagi orang Indonesia yang baru bebas dari kolonialisme, pada masa itu sekitar 1960-an, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan memanggil “Tuan” kepada orang-orang kulit putih. Karena bagi orang Belanda, pada masa kolonial itu, keinginan untuk dipanggil “Tuan” karena merasa derajatnya yang lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia.

    Akhirnya Ben menemukan jalan keluar. Ia menyadari bahwa warna kulitnya sebenarnya bukan putih melainkan lebih mendekati warna merah muda kelabu. Akhirnya ia memberi tahu kawan-kawannya orang Indonesia, bahwa ia seharusnya dipanggil bule karena warna kulitnya mendekati seperti hewan albino yang biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai “bulai” atau “bule”.

    Dari sini kita memahami bahwa kata sapaan saja mengandung relasi kuasa. Ben hanya mencoba untuk membuat dirinya diterima sebagaimana adanya, sebagai dirinya tanpa embel-embel warna kulit.

    Saya memahami itu karena Ben seringkali adalah pendukung mereka yang tak diperhitungkan atau underdog.

    Pada masa kelam, Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun sebuah preliminary analysis yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah “Premimenary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia”, kurang lebih argumentasi awalnya adalah “percobaan kudeta” pada masa itu sebenarnya bisa dilacak pada konflik internal di tubuh militer sendiri, dan bukan PKI, sebagaimana yang luas tersiar pada masa itu.

    Karena bocornya dokumen tersebut Ben dicekal masuk ke Indonesia selama 27 tahun, dan ia baru bisa kembali saat Soeharto tumbang.

    Saya jadi teringat dengan kisah seorang pahlawan nasional, Sutan Syahrir. Ia adalah Perdana Menteri Indonesia pertama, termasuk orang yang secara aktif ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri maupun forum-forum internasional. Namun naas bagi Syahrir, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Syahrir seperti dikhianati oleh bangsanya sendiri.

    Berbeda dengan Syahrir, Ben wafat di Kota Batu sebelum akhirnya abunya di Larung di laut utara Jawa. Sementara itu, jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

    Demokrasi Masa Depan

    “Dimana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang” tulis William Liddle. Saya kira apa yang menjadi kalimat pembuka sebuah naskah orasi ilmiah yang pernah diberikan William Liddle, pada 2011 silam, masih sangat relevan dengan kondisi dunia hari ini, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah orasi ilmiah pada masa itu, muncul beragam perdebatan atasnya, dapat membacanya pada masa itu saya merasa beruntung.

    Gelombang otokrasi seperti merebak. Banyak negara mulai menunjukkan gejala apa yang disebutkan oleh Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive
    authoritarianism. Tanda-tandanya bisa banyak dan beragam, seperti adalah terjadi represi kepada pihak-pihak “oposisi” atau mereka yang mengkritik pemerintah.

    Penggunaan kekuasaan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan organisasi masyarakat sipil, tujuannya agar suara kritis tidak terdengar nyaring.

    Hukum digunakan sebagai senjata untuk mengadili lawan dan mengamankan kawan adalah tanda lainnya. Selain itu, mengamankan kursi mayoritas di parlemen menjadi bagian penting untuk memastikan setiap kebijakan berjalan lancar, serta membungkam suara sumbang. Dalih yang sering digunakan adalah sebuah bangsa yang besar butuh persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, koalisi gemuk adalah jalan yang pasti ditempuh.

    Namun sadarkah kita? Bahwa koalisi gemuk, bahkan ketiadaan oposisi, justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang keliru seringkali awalnya tidak datang awal meja-meja parlemen. Namun apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan-kekecewaan kita terhadapnya?

    Pernah suatu sore di akhir pekan dalam sebuah obrolan ringan seorang kawan dengan nada setengah bercanda menuturkan, “Demokrasi itu bikinan barat, nggak cocok buat kita.” Kawan lain ikut menyahut, “Lalu yang origin kita apa? Kerajaan atau monarki”, tiba-tiba suasana menjadi hening.

    Refleksi Kemerdekaan

    Menjelang hari kemerdekaan, pada 17 Agustus 2025, di pingir-pingir jalanan mulai menjamur penjual bendera dan umbul-umbul merah putih dengan beragam ukuran dan jenis. Kita Bersiap untuk merayakannya dengan beragam acara.

    Namun apakah hari kemerdekaan ini hanya akan kita maknai sebatas ritual pengibaran bendera, acara perlombaan, atau seremonial?

    Memang tidak salah merayakannya dengan cara demikian. Tapi mengingat usia republik yang sudah tidak lagi muda-80 tahun-upaya perayaan secara reflektif penting untuk dilakukan.

    Refleksi memungkinkan kita untuk meneropong jauh ke depan, sekaligus memaknai masa lalu secara kontemplatif. Karena berbagai persoalan bangsa hari ini, tidak muncul tiba-tiba, ia merupakan penjelmaan dari beragam artikulasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

    Dari Ben kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita harus menghilangkan puing-puing kolonialisme, termasuk neo-kolonialisme yang menjangkiti bangsa kita sekian lama. Ben menunjukkan seharusnya politik juga berpihak pada mereka yang tak dihitung, mereka yang lemah, atau mereka yang terpinggirkan.

    Selanjutnya dari Syahrir kita juga memahami, bahwa terkadang cinta dan ketulusan terhadap Republik tidak selalu berbalas sebagaimana mestinya, dan kita mesti siap dengan segala konsekuensi. Namun bagaimanapun kecintaan terhadap Republik tidak boleh luntur.

    Liddle menunjukkan kepada kita, meskipun demokrasi itu terkadang mengecewakan dan tidak seperti yang kita harapkan, namun langkah-langkah perbaikan atas mutu demokrasi harus selalu diupayakan. Karena melalui demokrasi pelbagai kepentingan dan pertisipasi warga negara menjadi dimungkinkan, serta demokrasi memungkinkan terwujudnya mekanisme perbaikan diri yang bisa terus tumbuh.

    Selanjutnya, ketidakjelasan oposisi dalam pemerintahan kita hari ini, bisa menjadi pertanda buruk. Karena ketiadaan mitra kritis pemerintah, parlemen hanya akan jadi tukang stempel bagi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak evidence-based policy atau lebih buruk lagi hanya didasarkan pada selera penguasa.

    Adakah jalan lainnya? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang pernah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya “Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics”. Setidaknya dalam demokrasi radikal, ‘perbedaan’ tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya berfungsi melalui adanya ‘perbedaan’.

    Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memainkan antagonisme dalam politik. Sehingga melaluinya demokrasi radikal perbedaan dalam politik “kita” dan “mereka” akan selalu tumbuh, dan dengan demikian demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

    Faris Widiyatmoko. Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

    (rdp/imk)

  • Dedi Mulyadi Sebut Tata Ruang di Jawa Barat Kacau

    Dedi Mulyadi Sebut Tata Ruang di Jawa Barat Kacau

    JAKARTA – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut tata ruang di Jabar saat ini mengalami kekacauan, karena mengadopsi pendekatan politik, bukan konservasi alam.

    “Perkebunan berubah menjadi kawasan tambang dan industri. Gunung pun kehilangan hutan dan laut kehilangan pantai akibat tata ruang yang kacau,” kata Dedi di Bandung, dikutip Antara, Sabtu, 16 Agustus.

    Dedi mengatakan tata ruang di Jabar saat ini tumpang tindih, seperti daerah yang menjadi destinasi wisata tapi juga berlangsung kegiatan pertambangan, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap tata ruang Jawa Barat.

    Pemprov Jabar, kata dia, berkomitmen mengatur tata ruang di Jawa Barat selaras dengan alam, sebagai upaya mencegah bencana alam.

    “Pada para pejabat, termasuk kepala desa, buatlah tata ruang yang menjauhkan dari musibah. Kalau mengeruk alam seenaknya akan ada musibah,” ujar dia.

    Ia mengatakan tata ruang yang selaras dengan alam bukan berarti meniadakan kawasan industri, permukiman, dan pembangunan lain.

    Namun kelestarian alam tetap harus dijaga, seperti hutan dan mata air.

    “Artinya, gunung indah, air mengalir jernih, sungai berkelok-kelok, pantai bersih, sawah terasering,” ucapnya.

    Dedi juga sempat mengungkapkan keresahannya terhadap tata ruang Jabar di hadapan DPRD Jabar, di mana kesalahan menata ruang telah menghilangkan kawasan hijau seluas 1,2 juta hektare.

    Hilangnya kawasan hijau paling luas terjadi di Bekasi dan Kabupaten Bogor. Perkebunan telah berubah menjadi kawasan pariwisata, permukiman, dan perhotelan.

    Mengetahui masalah tersebut, Dedi berencana mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah Jabar pada tahun ini.

    “Kalau tata ruangnya tidak diubah, maka kita akan dikepung bencana longsor dan banjir. Tidak aneh hari ini banjir tidak di daerah dataran, tetapi pegunungan,” kata Dedi.

    Ia menginstruksikan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk mendapatkan detail tata ruang Jabar yang telah dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda.

    Menurut dia, Hindia Belanda telah membuat tata ruang Jabar yang selaras dengan alam. Hal itu patut menjadi rujukan dalam merevisi tata ruang Jabar.

    “Tak akan bisa sama dengan zaman kolonial, tetapi kita dekatkan, jangan sampai kita kacau,” ucap Dedi.

  • Sejarah dan Gelora Semangat Kemerdekaan RI ke-80 dari RSUD Bayu Asih Purwakarta

    Sejarah dan Gelora Semangat Kemerdekaan RI ke-80 dari RSUD Bayu Asih Purwakarta

    Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bayu Asih Purwakarta sebenarnya merupakan rumah sakit ‘tua’. Karena, dibangun atas prakarsa dan kebutuhan warga masyarakat Purwakarta, yang pada hari Sabtu tanggal 18 Oktober 1930 pukul 09.00 WIB, diresmikan.

    Peresmiannya dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal Jhr. Mr. Dr. Andries Cornelis Dirk van de Graeff yang didampingi oleh Residen Hr. A. Sangster, Bupati Karawang di Purwakarta R.A.A. Soeriamihardja, Hr. Slotemaker de Bruine, Pendeta O.E. van der Brug, dr. W.J.L. Bake, dr. Wimmel dan dr. F.J. Bosman (Zend.Arts) dan Suster Kepala Zr. H. Hazewindus.

    Rumah sakit ini, berdiri di atas tanah seluas 5 hektar atau 50.000 m2 dan luas bangunan 5.000 m. Memiliki komponen pelayanan yang sangat mendasar. Yaitu, rawat jalan, rawat inap yang terdiri dari 7 (tujuh) bangsal (belum terbagi menjadi spesialistik), bengkel, apotik, sekolah juru kesehatan dan asrama.

    Ketika diresmikan pertama kalinya dalam Bahasa Belanda rumah sakit ini disebut Zendingsziekenhuis Bayoe Asih te Poerwakarta.

    Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bayu Asih Purwakarta (yang sekarang ini) dahulunya merupakan sebuah hospital yang sangat dibanggakan dan dibuat oleh Nederlandsche Zendings Vereeniging (Gevestigd te Rotterdam), Zendelingen Java te Poerwakarta) untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, diberi nama Bayoe Asih yang berarti “Pemeliharaan di dalam kekuatan derma pengasihan”.

    Pada saat itu, di Bayu Asih masih mempunyai sebuah Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang berada di bagian belakang rumah sakit yang dibuka sampai dengan tahun 1970-an.

    Bahkan Bayu Asih sudah mempunyai sekolah ini sejak masih jaman penjajahan kolonial Hindia Belanda, saat diresmikan oleh Gubernur Jenderal Jhr. Mr. Andries Cornelis Dirk van de Graeff pada tanggal 18 Oktober 1930.

    Salah seorang lulusannya adalah Mayor Tjilik Riwut (1918-1987) yang kemudian menjadi Laksamana (Marsekal) Pertama Titulair, yang kemudian hari menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat | Propinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya (1957-1966) dan akhirnya ditetapkan oleh Pemerintah RI menjadi Pahlawan Nasional.

     

  • Perpajakan dari Perspektif Ekonomi Politik

    Perpajakan dari Perspektif Ekonomi Politik

    Jakarta

    Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati memicu gelombang protes besar dari masyarakat. Meskipun pemerintah daerah akhirnya membatalkan kenaikan tersebut, desakan agar bupati mundur tetap bergulir, menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang tidak transparan dan membebani rakyat bisa mengancam jabatan politik.

    Dengan demikian, isu pajak bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga politik. Pajak adalah kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Ketika kontrak itu dilanggar-baik melalui ketidakadilan, korupsi, atau kebijakan yang salah-maka konsekuensinya bisa sangat fatal bagi pemerintahan.

    Presiden Prabowo Subianto sebaiknya segera mengambil langkah meredam gejolak rakyat. Isue ini sangat mudah menular ke daerah lain yang rakyatnya mengalami rasa ketidakadilan pajak serupa.

    Selanjutnya penting mewaspadai potensi isu pajak karena rawan ditunggangi kepentingan politik. Tujuan asli dari isu demo rakyat tersebut bisa hilang atau terdistorsi oleh telikung politik kepentingan.

    Dari Perspektif Ekonomi Politik diketahui metode menunggangi secara politik antara lain; (1). Pemanfaatan isue populer untuk kepentingan politik (2). Pengalihan fokus dengan menggeser isue dari tujuan semula (3). Penyisipan agenda tersembunyi yang tidak terlihat dibalik dukungan yang diberikan (4). Infiltrasi dan Kooptasi, menyusup ke dalam struktur kepemimpinan suatu kelompok atau gerakan untuk mengendalikan arahnya. (5). Polarisasi Isu yang dipolitisasi untuk menciptakan perpecahan.

    Pemerintah Presiden Prabowo harus ekstra hati-hati. Gerakan yang tadinya murni menuntut keadilan bisa berubah menjadi alat politik yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan agenda tersembunyi mereka.

    Perpajakan dari Perspektif Ekonomi Politik

    Dalam buku “Manual of Political Economy” karya Henry Fawcett, pajak dilihat sebagai instrumen penting bagi negara untuk menjalankan fungsinya. Fawcett, seorang ekonom klasik yang juga seorang politisi Inggris, menganalisis pajak dari sudut pandang ekonomi politik, dengan fokus pada prinsip-prinsip yang mendasari sistem perpajakan yang adil dan efisien.

    Fawcett mengadopsi dan mengolah prinsip-prinsip perpajakan “Canon of Taxation” yang pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776), dengan uraian : Pertama, Canon of Equality (Kanon Kesamaan): Fawcett menekankan bahwa setiap warga negara harus berkontribusi pada pembiayaan pemerintah secara proporsional sesuai dengan kemampuan mereka. Kedua, Canon of Certainty (Kanon Kepastian): Ketidakpastian dalam sistem pajak dapat menciptakan ketidakadilan dan membuka celah untuk korupsi. Ketiga, Canon of Convenience (Kanon Kemudahan): Sistem pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga pembayaran pajak dapat dilakukan dengan mudah oleh wajib pajak. Keempat, Canon of Economy (Kanon Ekonomi): Fawcett berpendapat bahwa sistem pajak yang efisien adalah sistem di mana biaya administrasi untuk mengumpulkan pajak tidak memakan sebagian besar dari pendapatan pajak itu sendiri.

    Fawcett tidak hanya membahas prinsip-prinsip teknis perpajakan, tetapi juga peran pajak dalam ekonomi. Pajak yang berlebihan dapat menghambat akumulasi modal dan mengurangi insentif untuk berinvestasi, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

    Dari perspektif ekonomi politik, hubungan antara negara dan warga negara tidak hanya sebatas transaksi ekonomi, tetapi juga mencakup aspek politik; Pertama, Pajak sebagai Alat Kekuasaan Negara: Pajak memberikan kekuatan finansial kepada negara untuk menjalankan fungsinya. Tanpa pajak, negara tidak akan memiliki sumber daya yang memadai untuk membiayai layanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Kedua, Pajak sebagai Alat Alokasi Sumber Daya: Dari sudut pandang ekonomi, pajak berfungsi untuk mengalihkan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meredistribusi kekayaan dari kelompok yang lebih kaya ke kelompok yang lebih miskin melalui program-program sosial dan layanan publik.

    Pajak Menurut Pemikir Islam

    Terdapat pemikiran tentang pajak dikalangan intelektual Muslim yang jadi basis pemikiran era dunia modern.

    (1). Ibnu Khaldun (1332 – 1406), dalam buku Muqaddimah memiliki pandangan tentang pajak : Pertama, Pajak sebagai Alat Pendorong
    Produktivitas, Bukan Hanya Sumber Pendapatan: Ibnu Khaldun tidak melihat pajak hanya sebagai cara pemerintah mengumpulkan uang. Pajak yang adil dan tidak memberatkan akan memotivasi masyarakat untuk bekerja, berdagang, dan berinvestasi. Hal ini pada akhirnya akan memperluas basis pajak dan meningkatkan pendapatan negara secara keseluruhan. Kedua, Kritik Terhadap Pajak yang Terlalu Tinggi: salah satu kontribusi terpenting Ibnu Khaldun dalam teori perpajakan adalah pandangannya tentang dampak negatif dari pajak yang terlalu tinggi. Ketika pajak terlalu tinggi, keuntungan yang diperoleh dari bekerja dan berbisnis akan berkurang drastis. Beban pajak yang berat dapat menghambat kegiatan ekonomi, perdagangan, dan investasi.

    Ketiga, Prinsip Keadilan dan Proporsionalitas: Ibnu Khaldun sangat menekankan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. Orang dengan penghasilan tinggi harus membayar pajak lebih tinggi, sementara orang dengan penghasilan rendah harus dikenakan pajak lebih rendah, atau bahkan dibebaskan. Keempat, Tahapan Perkembangan Pajak dan Keruntuhan Dinasti: Pada awal kekuasaan, dinasti biasanya menerapkan pajak yang rendah. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan semangat kerja, dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan negara yang besar. Seiring berjalannya waktu, penguasa cenderung hidup dalam kemewahan dan pengeluaran negara meningkat. Untuk menutupi defisit, mereka menaikkan tarif pajak. Pajak yang tinggi ini kemudian menekan aktivitas ekonomi, menyebabkan pendapatan negara menurun, dan akhirnya mempercepat keruntuhan dinasti.

    Ibnu Khaldun tentang pajak sangat maju pada masanya melihat hubungan yang kompleks antara pajak, produktivitas, dan stabilitas sosial-politik. Pandangannya tidak hanya relevan untuk sistem ekonomi Islam, tetapi juga menjadi dasar bagi banyak teori ekonomi modern.

    (2). Al Ghazali (1194-1258), pandangan dan pemikirannya mengenai keuangan negara dan pajak (kharaj) dapat ditemukan antara lain dalam buku Ihya’ Ulumuddin. Al Ghazali berpendapat bahwa idealnya, pendapatan negara harus bersumber dari zakat, sedekah, dan pendapatan lain yang diatur dalam syariat. Namun, dalam kondisi tertentu, Al-Ghazali memperbolehkan pemerintah untuk memungut pajak tambahan (dharibah) dari masyarakat muslim yang mampu, jika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak.

    Al-Ghazali sangat menekankan keadilan dalam pemungutan pajak. Pajak hanya boleh dipungut dari masyarakat kaya yang memiliki kelebihan harta, bukan dari fakir miskin.

    Secara ringkas, Al-Ghazali mengizinkan pajak sebagai solusi finansial saat darurat, asalkan diterapkan dengan adil, transparan, dan semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

    (3). Ibnu Taimiyah (1263-1328), uraian tentang pajak yang tercantum dalam buku “Al-Siyasah al-Shar’iyyah.” Pajak tambahan di luar sumber pendapatan negara yang sudah ditetapkan oleh syariat (seperti zakat, ghanimah, dan fai’) sebagai sesuatu yang haram. Selama sumber-sumber pendapatan ini dikelola dengan benar dan adil, kebutuhan negara harusnya sudah terpenuhi. Oleh karena itu, memungut pajak tambahan dari rakyat, terutama dari kaum Muslim, dianggap sebagai praktik yang tidak dibenarkan.

    Meskipun secara umum Ibnu Taimiyah menolak pajak tambahan (dharibah), namun bisa digunakan sebagai solusi terakhir dalam kondisi darurat dengan syarat-syarat yang sangat ketat untuk menghindari ketidakadilan dan kerusakan yang lebih besar.

    Penting untuk diketahui bahwa teori ekonomi modern oleh Arthur Laffer (1974) tentang pajak yang dikenal dengan Kurva Laffer yakni menurunkan tarif pajak justru dapat meningkatkan pendapatan pajak total, persis serupa dengan teori pemikir Islam Ibnu Khaldun 6 abad yang lalu.

    Praktik Pajak di Indonesia

    Kritik terhadap praktik pajak di Indonesia seringkali berfokus pada beberapa isu utama yang memengaruhi keadilan, efisiensi, dan kepatuhan wajib pajak; Pertama, Kompleksitas dan Ketidakpastian Regulasi,
    Sistem perpajakan di Indonesia sering dianggap terlalu kompleks, dengan peraturan yang terus berubah dan terkadang tumpang tindih.

    Kedua, Kesenjangan Kepatuhan dan Penegakan Hukum, kritikus menyoroti bahwa penegakan hukum masih lemah, terutama bagi wajib pajak besar dan korporasi, yang seringkali memiliki sumber daya untuk menghindari pajak.

    Ketiga, Ketidakadilan dan Beban Pajak, beban pajak lebih terasa bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sementara individu kekayaan besar bisa memanfaatkan celah hukum untuk mengurangi beban pajak mereka.

    Keempat, Kualitas Layanan dan Administrasi Pajak; Meskipun telah ada banyak perbaikan, kritik masih muncul mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh otoritas pajak. Proses birokrasi yang panjang, kurangnya transparansi, dan terkadang praktik korupsi atau pungli masih menjadi masalah. Kelima, Pemanfaatan Penerimaan Pajak: Masyarakat seringkali mempertanyakan efektivitas dan transparansi penggunaan dana pajak oleh pemerintah.

    Korupsi di kalangan pegawai pajak di Indonesia menjadi isu yang seringkali muncul dan merusak kepercayaan publik: Pertama, Sistem yang Memberi Peluang Korupsi, Sistem perpajakan di Indonesia, meskipun terus diperbaiki, masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum antara lain Interaksi Langsung antara Pegawai dan Wajib Pajak. Kedua, Tekanan dan Budaya Kerja: Faktor-faktor non-sistemik juga berperan besar dalam mendorong korupsi. Gaji pegawai pajak, meskipun tergolong tinggi, terkadang tidak sebanding dengan gaya hidup. Ketiga, Penegakan Hukum yang Lemah; Penegakan hukum yang tidak konsisten dan hukuman yang ringan juga berkontribusi pada seringnya kasus korupsi. Meskipun banyak kasus yang terungkap, hukuman yang dijatuhkan kadang tidak memberikan efek jera yang kuat.

    Konflik Akibat Pajak

    Bercermin dari sejarah, isu pajak memiliki potensi besar untuk meruntuhkan sebuah pemerintahan. Hal ini bisa terjadi karena pajak adalah salah satu bentuk hubungan paling fundamental antara pemerintah dan rakyatnya.

    Ketika hubungan ini rusak-misalnya, karena sistem pajak yang dianggap tidak adil, koruptif, atau membebani masyarakat-kepercayaan publik akan hilang, yang bisa memicu protes, pemberontakan, bahkan revolusi. Pertama, Pajak sebagai Simbol Ketidakadilan dan Penindasan; Pajak yang tidak adil sering kali menjadi simbol penindasan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat.

    Jika rakyat merasa bahwa mereka dipaksa membayar pajak yang tinggi, sementara pemerintah terlihat boros, korup, atau tidak memberikan layanan publik yang memadai, kemarahan publik akan memuncak.

    Kedua, Pemberontakan dan Revolusi Bersejarah; Sejarah mencatat banyak peristiwa penting di mana isu pajak menjadi pemicu utama keruntuhan atau perubahan drastis dalam pemerintahan: (a). Perang Belasting di Sumatera Barat (1908) terjadi di Nagari Kamang dan Manggopoh: Perlawanan rakyat terhadap kebijakan pajak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (disebut belasting) menunjukkan bagaimana kebijakan pajak yang dirasa menindas dapat memicu pemberontakan bersenjata. (b). Boston Tea Party (1773): Meskipun bukan pajak langsung yang meruntuhkan pemerintah Inggris, penolakan terhadap “Tea Act” yang dianggap sebagai pajak tanpa perwakilan (taxation without representation) menjadi pemicu utama Revolusi Amerika. (c). Revolusi Prancis (1789): Salah satu faktor utama meletusnya Revolusi Prancis adalah sistem pajak yang tidak adil. Beban pajak yang sangat berat hanya ditanggung oleh rakyat jelata (Kelas Tiga), sementara kaum bangsawan dan pendeta (Kelas Pertama dan Kedua) hampir bebas pajak. Kondisi ini, ditambah dengan krisis ekonomi, memicu kemarahan publik dan akhirnya menggulingkan monarki.

    Selain itu, di era modern, isu pajak juga bisa meruntuhkan pemerintahan, meskipun tidak selalu dalam bentuk revolusi bersenjata. Hal ini seringkali terjadi melalui krisis politik dan hilangnya kepercayaan publik. Misalnya Rencana kebijakan pajak yang diusulkan oleh Perdana Menteri Inggris Liz Truss (2022) untuk memotong pajak secara besar-besaran dianggap sebagai kebijakan yang tidak bertanggung jawab secara fiskal. Rencana ini memicu gejolak di pasar keuangan, nilai mata uang poundsterling anjlok, dan akhirnya menyebabkan ia mengundurkan diri setelah menjabat hanya selama 45 hari. Dengan demikian, isu pajak bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga politik.

    Pendapat Penulis

    Dari uraian di atas dapat dirangkum pendapat singkat:

    (1) Dari Perspektif Ekonomi Politik, masalah pajak melibatkan seluruh kepentingan rakyat. Pajak sebagai arena pertarungan antara kelas sosial yang berbeda. Apabila diperlakukan secara tidak adil maka akan mudah menyulut sentimen masyarakat secara ekonomi dan politik. Dengan demikian pemerintah jangan main-main dalam penerapan kebijakan pajak yang adil, berimbang, dan transparan.

    (2) Pengenaan pajak yang beragam pada sektor dinamis kehidupan rakyat, mestinya sebagai solusi terakhir. Pemerintah diharapkan lebih kreatif dalam mendulang sumber pendapatan lain. Di sisi pengeluaran pemerintah wajib memberantas “Korupsi 100%” dan penerapan efisiensi dalam gaya hidup berhemat aparatur negara agar lebih sederhana.

    (3) Pemerintah jangan menganggap enteng demo rakyat di Pati. Apalagi hanya menganggap sekedar “riak” bersifat parsial dan lokal. Dari perspektif ekonomi politik dapat diketahui kasus Pati potensial untuk ditunggangi kepentingan politik lain. Selain itu, eskalasi dapat saja meningkat lebih besar dan “ketok tular” ke daerah lain karena perasaan senasib akibat perlakuan pajak serupa. Pemerintah penting untuk segera meredam secara “holistik” dengan bijak sehingga dapat mengendalikan aspirasi masyarakat dengan baik.

    Penulis: Dr Iramady Irdja
    – Analis Ekonomi Politik
    – Mantan Pegawai Bank Indonesia

    (hns/hns)