Negara: Armenia

  • COP29, Negara-Negara Berjibaku Kumpulkan US Triliun untuk Pendanaan Iklim

    COP29, Negara-Negara Berjibaku Kumpulkan US$1 Triliun untuk Pendanaan Iklim

    Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara yang menghadiri KTT COP29 berupaya mencapai kemajuan mengenai cara mengumpulkan hingga US$1 triliun pendanaan iklim bagi kelompok paling rentan di dunia.

    Pembicaraan tersebut dilakukan ditengah  ketegangan politik yang membayangi perundingan itu dan mundurnya delegasi Argentina dari KTT tersebut yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan.

    Keberhasilan KTT iklim PBB tahun ini bergantung pada apakah negara-negara dapat menyepakati target pendanaan baru yang akan dilaksanakan setiap tahun oleh negara-negara kaya, pemberi pinjaman pembangunan, dan sektor swasta. Negara-negara berkembang membutuhkan setidaknya $1 triliun per tahun pada akhir dekade ini untuk mengatasi perubahan iklim, kata para ekonom dalam pembicaraan di PBB.

    Banyak negara mengatakan bahwa dana tersebut sangat penting dalam menetapkan tujuan iklim mereka yang ambisius menjelang COP30 2025 di Brasil. Namun, mencapai kesepakatan bisa jadi sulit pada pertemuan puncak tahun ini, karena suasana telah memburuk karena ketidaksepakatan publik dan pesimisme mengenai perubahan dalam politik global.

    Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden telah membuat peran Amerika Serikat di masa depan dalam perundingan perubahan iklim menjadi diragukan, dan ketegangan antara negara-negara maju dan berkembang telah muncul ke permukaan di panggung utama dan di ruang perundingan.

    “Para pihak harus ingat bahwa waktu terus berjalan,” kata Ketua Negosiator COP29 Yalchin Rafiyev pada konferensi pers dikutip dari Reuters, Jumat (15/11/2024).

    Target pemenuhan pendanaan tahunan sebelumnya sebesar US$100 miliar akan berakhir tahun ini. Namun negara-negara kaya baru memenuhi janji tersebut secara penuh mulai 2022.

    Sebuah laporan dari Independent High-Level Expert Group on Climate Finance mengatakan bahwa target angka tahunan perlu ditingkatkan menjadi setidaknya US$1,3 triliun per tahun pada 2035 jika negara-negara gagal mengambil tindakan sekarang.

    Di balik layar, para perunding sedang mengerjakan rancangan naskah, namun dokumen tahap awal yang diterbitkan oleh badan iklim PBB menunjukkan pandangan seputar perundingan masih sangat berbeda.

    Banyak negara Barat yang datang ke Baku enggan menjanjikan dana dalam jumlah besar. Kemungkinan penarikan Amerika Serikat dari kesepakatan pendanaan di masa depan akan meningkatkan tekanan pada para delegasi untuk mencari cara lain guna mengamankan dana yang dibutuhkan.

    Diantaranya adalah bank pembangunan multilateral dunia seperti Bank Dunia, yang didanai oleh negara-negara kaya dan sedang dalam proses reformasi sehingga mereka dapat memberikan pinjaman lebih banyak.

    Sepuluh negara terbesar mengatakan mereka berencana untuk meningkatkan pendanaan iklim mereka sekitar 60% menjadi US$120 miliar per tahun pada  2030, dengan setidaknya tambahan US$65 miliar dari sektor swasta.

    Zakir Nuriyev, ketua Asosiasi Bank Azerbaijan, mengatakan 22 bank di negaranya akan memberikan hampir US$1,2 miliar untuk membiayai proyek-proyek yang membantu transisi Azerbaijan ke ekonomi rendah karbon.

    Perpecahan

    Adapun, banyak pemimpin global yang memutuskan untuk tidak ikut serta pada Konferensi COP29. 

    Sejauh ini, COP29 lebih banyak  ditandai dengan perpecahan dibandingkan persatuan, salah satunya adalah mundurnya delegasi Argentina secara tiba-tiba pada hari Kamis (14/11/2024) mengikuti perintah dari Buenos Aires.

    Juru bicara kepresidenan negara tersebut mengatakan langkah tersebut akan memungkinkan Gerardo Werthein, menteri luar negeri yang baru, untuk menilai kembali situasi dan merenungkan posisinya.

    “Menteri menarik delegasi berdasarkan keseluruhan reformasi yang akan dilakukan menteri. Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan,” kata juru bicara Manuel Adorni pada konferensi pers di Buenos Aires.

    Presiden Argentina Javier Milei, yang sebelumnya menyebut pemanasan global sebagai hoaks, pekan ini dijadwalkan bertemu Trump, yang juga seorang penyangkal perubahan iklim.

    Ketika ditanya apakah Argentina akan menarik diri dari Perjanjian Paris, Ana Lamas, wakil menteri lingkungan hidup Argentina, yang memimpin delegasi negara tersebut di COP29, mengatakan negaranya hanya menarik diri dari COP29.

    Para pengamat mengkritik penarikan dana yang dilakukan oleh pemerintah sayap kanan Argentina, dan mengatakan hal itu dapat merugikan harapan negara tersebut dalam mengumpulkan dana tunai untuk perubahan iklim di masa depan.

    “Hal ini akan membuat Argentina, yang selama ini merupakan tokoh penting dalam bidang lingkungan hidup, terlihat kurang kredibel dan kurang dapat diandalkan di pasar internasional dan komunitas internasional,” kata Oscar Soria, ketua kelompok masyarakat sipil Top Social.

    Presidensi COP29 Azerbaijan menggambarkan hal ini sebagai masalah antara Argentina dan PBB.

    Seorang perunding dari negara maju mengatakan sejauh ini mereka belum melihat tanda-tanda bahwa negara lain akan mengikuti jejak Argentina dan keluar dari perjanjian tersebut.

    Sehari sebelumnya, Menteri Iklim Prancis Agnès Pannier-Runacher membatalkan perjalanannya ke COP29 setelah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menuduh Prancis melakukan kejahatan di wilayah luar negerinya di Karibia.

    Prancis dan Azerbaijan telah lama memiliki hubungan yang tegang karena dukungan Paris terhadap saingan Azerbaijan, Armenia. Tahun ini, Paris menuduh Baku ikut campur dan bersekongkol dalam kerusuhan di Kaledonia Baru.

    “Terlepas dari perselisihan bilateral apa pun, COP harus menjadi tempat di mana semua pihak merasa bebas untuk datang dan bernegosiasi mengenai aksi iklim,” kata komisioner iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra sebagai tanggapannya, dalam sebuah postingan di X.

    Hal ini menyusul pidato pembukaan Aliyev di konferensi tersebut yang menuduh Amerika Serikat dan UE bersikap munafik karena memberi kuliah kepada negara-negara mengenai perubahan iklim namun tetap menjadi konsumen dan produsen utama bahan bakar fosil.

  • Para Kepala Negara Absen di KTT Iklim COP29, Ada yang Undur Diri

    Para Kepala Negara Absen di KTT Iklim COP29, Ada yang Undur Diri

    Jakarta

    Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait perubahan iklim COP29 sedang berlangsung di Baku, Azerbaijan. Para pemimpin dunia, negosiator, pelobi dan LSM bertemu di sini, membahas perubahan iklim dan lingkungan hidup.

    Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan telah mengonfirmasi kehadiran mereka di COP29, menurut sumber PBB. Namun, sejumlah pemimpin dunia dan pejabat pemerintah telah menyatakan tidak akan menghadiri acara yang berlangsung 11-22 November 2024 ini. Siapa saja? Berikut daftar negara yang tidak hadir beserta alasannya, dikutip dari Euro News.

    Presiden Komisi Eropa

    Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen tidak hadir. Alasannya, Komisi Eropa sedang dalam fase transisi. “Presiden akan fokus pada tugas kelembagaannya. Von der Leyen saat ini tengah mempersiapkan masa jabatan keduanya yang akan dimulai pada 1 Desember,” kata juru bicara Komisi Eropa.

    Sementara itu, Uni Eropa diwakili oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel, Kepala Kebijakan Iklim Wopke Hoekstra, dan Komisaris Bidang Energi Kadri Simson.

    Presiden Prancis Emmanuel Macron

    Presiden Prancis Emmanuel Macron juga absen dari KTT ini. Kabarnya, alasannya karena pertemuan tersebut diadakan di Azerbaijan dan Prancis menolak menginjakkan kaki di negara itu.

    Hubungan antara kedua negara menegang sejak tahun lalu ketika Paris mengutuk serangan militer Azerbaijan terhadap separatis Armenia di wilayah Karabakh yang memisahkan diri.

    Kanselir Jerman Ola Scholz

    Pemimpin negara adikuasa Eropa lainnya juga tidak hadir, yakni Kanselir Jerman Olaf Scholz. Jauh hari sebelumnya, ia telah mengumumkan tidak akan menghadiri COP29 setelah koalisi yang berkuasa bubar.

    Semula, ia berencana menghadiri COP29, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu setelah runtuhnya pemerintahan koalisi tiga partai Jerman.

    Presiden AS ke-46 Joe Biden

    COP29 digelar beberapa hari setelah pemilihan umum di Amerika Serikat (AS), sehingga Joe Biden tidak hadir. Ini adalah tahun kedua berturut-turut ia tidak hadir dalam perundingan iklim global. Sebagai gantinya, delegasi AS dipimpin oleh John Podesta, penasihat senior presiden AS untuk kebijakan iklim internasional.

    Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva

    Setelah mengalami cedera kepala bulan lalu, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva membatalkan perjalanannya ke Baku. Negaranya akan menjadi tuan rumah COP30 di Belem tahun depan.

    Raja Charles III

    Raja Charles juga tidak menghadiri COP29 dikarenakan pemerintah Inggris memutuskan untuk tidak mengutusnya mewakili rakyat mengingat ia masih dalam masa pemulihan dari kanker. Namun Raja Charles III memiliki sejarah panjang dalam advokasi perubahan iklim dan telah menghadiri konferensi-konferensi PBB sebelumnya.

    Presiden Rusia Vladimir Putin

    Presiden Rusia Vladimir Putin juga tidak hadir, dan delegasi negaranya di COP29 akan dipimpin oleh Perdana Menteri Mikhail Mishustin. Ironisnya, Oktober lalu, duta besar Ukraina untuk Uni Eropa, Vsevolod Chentsov mengatakan bahwa masyarakat internasional harus menghindari perundingan tersebut jika Putin hadir.

    Pemimpin Kanada, India, China, Afrika Selatan, dan Australia

    Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden China Xi Jinping, Cyril Ramaphosa dari Afrika Selatan, dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese juga melewatkan konferensi iklim tahun ini. Namun alasan mereka absen tidak diketahui.

    Papua Nugini Protes dan Menarik Diri

    Pada Agustus tahun ini, Perdana Menteri Papua Nugini James Marape mengumumkan bahwa negara tersebut tidak akan menghadiri COP29 sebagai protes terhadap negara-negara besar karena kurangnya dukungan cepat bagi para korban perubahan iklim.

    Marape mengatakan, hal ini dilakukan demi kepentingan semua negara kepulauan kecil. Dikelilingi oleh lautan dan merupakan rumah bagi hamparan hutan hujan terbesar ketiga di planet ini, Papua Nugini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Wilayah ini dirusak oleh berbagai dampak seperti naiknya permukaan air laut dan bencana alam.

    (rns/fay)

  • Misteri Langit Bumi Berdengung Dibongkar Peneliti

    Misteri Langit Bumi Berdengung Dibongkar Peneliti

    Jakarta, CNBC Indonesia – Efek listrik dari badai petir tidak terbatas hanya di bagian atas atmosfer saja. Di dekat tanah, atmosfer Bumi juga berdengung dengan medan listrik kuat yang mempercepat partikel, melemparkan elektron dengan cara yang memaksa atom bersinar dengan sinar gamma.

    Dari puncak gunung di Armenia, para ilmuwan mengamati fenomena meteorologi misterius ini dari dekat.

    Di fasilitas sinar kosmik Laboratorium Sains Nasional Alikhanyan di Gunung Aragats, fisikawan Ashot Chilingarian dan rekan-rekannya telah berupaya memahami fenomena yang disebut Thunderstorm Ground Enhancements (TGE).

    Fenomena ini bisa menjadi bagian dari teka-teki dalam pemahaman tentang Alam Semesta fisik, dari badai petir di Bumi, hingga sinar kosmik yang menempuh jarak yang sangat jauh melintasi ruang angkasa.

    “Setiap hari, terjadi 40.000 badai petir. Banyak jaringan yang mendeteksi pelepasan atmosfer dan satelit dengan instrumen optik yang presisi memantau kilatan petir. Namun, ketika kami memulai penelitian TGE, tidak ada yang memantau fluks besar elektron mega-elektronvolt (MeV) yang membombardir planet kita dan ruang di atasnya,” kata Chilingarian, dikutip dari ScienceAlert, Rabu (30/10/2024).

    Para ilmuwan telah mendirikan jaringan detektor partikel SEVAN sepuluh tahun lalu untuk memantau TGE di Eropa Timur, Jerman, dan Armenia.

    Akselerator elektron dengan energi puluhan MeV mencakup volume yang sangat besar di atmosfer dan beberapa kilometer persegi di permukaan Bumi.

    “Fluks yang sangat besar ini disertai oleh kehidupan di Bumi melalui evolusi miliaran tahun dan tentunya memengaruhi semua aspek geospasial dan biosfer,” jelasnya.

    TGE terdiri dari medan listrik di atmosfer, yang dihasilkan oleh badai petir. Di dalam medan listrik ini, elektron dipercepat hingga kecepatan tinggi, yang mendekati kecepatan cahaya dalam ruang hampa atau kecepatan relativistik.

    Ini dikenal sebagai longsoran elektron lepasan relativistik, yang didorong oleh medan listrik baik ke tanah maupun ke atas ke atmosfer. Elektron inilah yang menghasilkan radiasi.

    Ketika elektron melambat tiba-tiba, dibelokkan oleh tabrakan dengan inti atom di atmosfer, hilangnya energi terwujud sebagai sinar gamma, suatu bentuk radiasi yang dikenal sebagai radiasi bremsstrahlung.

    Dengan menggunakan jaringan detektor, Chilingarian dan rekan-rekannya mengumpulkan data tentang badai petir di seluruh Eropa pada 2023. Mereka kemudian melakukan pengukuran terperinci terhadap elektron dan radiasi gamma yang terjadi selama 56 TGE intens yang mereka rekam.

    TGE paling intens sebagian besar terjadi dari Mei hingga Juli, dan yang paling kuat tercatat di Gunung Lomnický štít di Slovakia pada bulan Mei.

    Untuk satu kejadian ini, fluks partikel adalah 100 kali lipat dari tingkat normal saat cuaca cerah. Secara total, ada tujuh kejadian yang melampaui fluks saat cuaca cerah lebih dari 75 persen.

    “Kami mengukur fluks elektron yang stabil di permukaan Bumi, yang mencakup seratus ribu meter persegi. Beberapa mekanisme menyediakan stabilitas ini selama satu menit atau lebih,” jelas Chilingarian.

    “Berkas elektron besar muncul di awan badai, tempat struktur muatan berubah pada skala waktu kedua. Pelepasan atmosfer membunuh perbedaan potensial, tetapi fluksnya stabil. Sangat mengasyikkan untuk diukur,” imbuhnya.

    Anehnya, para peneliti juga menemukan bahwa medan listrik jauh lebih dekat ke tanah daripada yang mereka duga. Mereka mengukur kekuatan medan listrik yang kuat hingga 50 meter di atas tanah.

    “Penemuan ini mengejutkan para ahli meteorologi, yang tidak mempercayainya sampai kami menyajikan bukti yang lengkap,” kata Chilingarian.

    (dem/dem)

  • Pertemuan Kaukasus Selatan di Istanbul perkuat konektivitas regional

    Pertemuan Kaukasus Selatan di Istanbul perkuat konektivitas regional

    ANTARA – Pertemuan ketiga Platform Kerja Sama Regional Kaukasus Selatan 3+3 diadakan pada Jumat (18/10) untuk meningkatkan stabilitas, kemakmuran, dan konektivitas di kawasan tersebut, menurut Kementerian Luar Negeri Turki. Para menteri luar negeri negara-negara Kaukasia Azerbaijan dan Armenia, serta tiga negara tetangga mereka, Turki, Iran, dan Rusia, menghadiri pertemuan tersebut, yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan. (Ria Gracia Carolina Simanjuntak/ XHTV/Rayyan/Nabila Anisya Charisty)

  • Armenia Resmi Akui Negara Palestina

    Armenia Resmi Akui Negara Palestina

    Jakarta

    Pemerintah Armenia mengumumkan pengakuannya terhadap Negara Palestina. Armenia mengikuti sejumlah negara lainnya yang memberikan pengakuan terhadap Negara Palestina selama perang di Gaza. Armenia pun menyatakan bahwa negara tersebut menentang “kekerasan terhadap penduduk sipil.”

    Sejumlah negara telah mengakui Negara Palestina di tengah perang antara Israel dan Hamas, sehingga menuai kritikan keras dari para pejabat Israel.

    “Menegaskan komitmennya terhadap hukum internasional, kesetaraan bangsa, kedaulatan dan hidup berdampingan secara damai, Republik Armenia mengakui Negara Palestina,” demikian pernyataan pemerintah Armenia pada Jumat, dilansir kantor berita AFP, Jumat (21/6/2024).

    Armenia menambahkan bahwa mereka “benar-benar tertarik untuk membangun perdamaian dan stabilitas jangka panjang di Timur Tengah.”

    Armenia, yang dilanda konflik dengan negara tetangganya Azerbaijan selama beberapa dekade, mengecam tindakan militer Israel di Gaza.

    “Armenia menyesalkan penggunaan infrastruktur sipil sebagai tameng selama konflik bersenjata dan kekerasan terhadap penduduk sipil,” kata pemerintah Armenia dalam pernyataannya.

    Mereka juga menyesalkan Hamas atas “penyanderaan warga sipil” dan mengatakan pihaknya bergabung bersama komunitas internasional yang mendesak pembebasan para sandera.

    Pejabat senior Otoritas Palestina, Hussein Al-Sheikh, menyambut baik langkah tersebut.

    “Ini adalah kemenangan atas hak, keadilan, legitimasi, dan perjuangan rakyat Palestina untuk pembebasan dan kemerdekaan,” kata Al-Sheikh di media sosial.

    “Terima kasih, teman kami, Armenia.”

    Israel adalah pemasok senjata utama ke tetangga musuh bebuyutan Armenia, Azerbaijan. Kedua negara tersebut telah terlibat dalam sengketa wilayah selama puluhan tahun atas wilayah Nagorno-Karabakh yang direbut kembali oleh militer Azerbaijan tahun lalu dari kelompok separatis Armenia.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Rekor 120 Juta Orang Terpaksa Mengungsi Secara Global

    Rekor 120 Juta Orang Terpaksa Mengungsi Secara Global

    Jakarta

    PBB mengatakan pada Kamis (13/06) bahwa 120 juta orang hidup dalam status pengungsi paksa secara global antara awal tahun 2023 hingga Mei 2024.

    Data baru ini terungkap dalam laporan Tren Global oleh Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang menguraikan statistik yang melacak jumlah pengungsi, pencari suaka, pengungsi internal, dan orang-orang tanpa kewarganegaraan di seluruh dunia.

    Konflik mendorong migrasi besar-besaran

    “Diperkirakan 117,3 juta orang masih terpaksa mengungsi pada akhir 2023, terpaksa melarikan diri dari penganiayaan, konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan peristiwa yang sangat mengganggu ketertiban umum,” kata laporan itu.

    Pada Mei, 120 juta orang menjadi pengungsi secara global, hampir 10% lebih banyak dibandingkan angka pada 2022, yang mewakili sekitar 1,5% dari populasi dunia, kata UNHCR.

    “Konflik masih menjadi pendorong terbesar terjadinya pengungsian massal,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi kepada wartawan.

    “Kecuali terjadi pergeseran geopolitik internasional, sayangnya saya melihat angkanya terus meningkat,” tambahnya.

    “Tahun ini, selama 12 tahun berturut-turut, jumlah pengungsi dan orang terlantar meningkat: dari 114 menjadi 120 juta. Di balik angka-angka ini terdapat banyak tragedi kemanusiaan, yang hanya dapat diatasi dan diselesaikan dengan solidaritas dan tindakan bersama,” kata Grandi dalam sebuah postingan di X, sebelumnya Twitter.

    Dari Gaza, Sudan, hingga Myanmar

    Pertempuran di Sudan yang pecah pada April 2023, disebut-sebut menyebabkan salah satu “krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar di dunia” dengan lebih dari 6 juta orang terpaksa mengungsi pada Desember 2023.

    Sementara itu, UNHCR mengatakan bahwa perang yang sedang berlangsung di Gaza “telah menimbulkan dampak buruk terhadap warga sipil Palestina” dan hingga 1,7 juta orang atau lebih dari 75% penduduk telah mengungsi di wilayah Palestina.

    Menurut badan bantuan PBB untuk Palestina (UNRWA), terdapat sekitar 6 juta pengungsi Palestina yang saat ini berada di bawah mandat mereka, dengan 1,6 juta di antaranya berada di Jalur Gaza.

    Myanmar, Afganistan, Ukraina, Republik Demokratik Kongo, Somalia, Haiti, Suriah dan Armenia termasuk di antara negara-negara yang disebutkan di mana konflik dan kekerasan telah memaksa orang mencari keselamatan di tempat lain.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Negara mana yang diincar para pengungsi?

    Laporan tersebut menunjukkan bahwa 75% pengungsi dan migran menuju ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, berlawanan dengan persepsi bahwa sebagian besar pengungsi dan migran menuju ke negara-negara kaya.

    Namun laporan tersebut menyatakan bahwa setengah dari seluruh permohonan suaka baru, hanya diterima di lima negara dan sebagian besar diajukan di AS dengan jumlah 1,2 juta jiwa.

    Diikuti oleh Jerman dengan 329.100, disusul oleh Mesir, Spanyol dan Kanada.

    rs/gtp (AFP, DPA)

    (ita/ita)

  • Negara Mana Saja yang Tegas Menentang Israel, Apa Dampaknya?

    Negara Mana Saja yang Tegas Menentang Israel, Apa Dampaknya?

    Jakarta

    Tentara Israel pada Senin (06/05) memerintahkan warga Palestina meninggalkan wilayah bagian timur Kota Rafah di bagian selatan Jalur Gaza sebelum menggelar operasi militer.

    Melalui pesan teks, selebaran, dan unggahan di media sosial, militer Israel memerintahkan sekitar 100.000 orang untuk bermigrasi ke kamp-kamp di kota-kota tetangga, yaitu Khan Younis dan al-Mawasi.

    Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, telah memperingatkan Israel untuk menghindari serangan terhadap Rafah tempat perlindungan terakhir bagi satu juta lebih warga Palestina.

    ReutersPengungsi Palestina yang melarikan diri dari Rafah ke Khan Younis pada 6 Mei 2024.

    Sementara itu, semakin banyak suara dari komunitas internasional menyerukan agar Israel menghentikan serangan di seluruh wilayah tersebut.

    Beberapa negara bahkan telah mengambil langkah-langkah konkret menekan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, baik dengan memutus hubungan diplomatik, menangguhkan penjualan senjata, hingga menempuh jalur hukum internasional.

    Pekan lalu, Kolombia mengumumkan bahwa mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

    ReutersAsap mengepul setelah serangan Israel di Rafah, selatan Jalur Gaza pada 6 Mei 2024 di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok milisi Palestina Hamas.

    Dampak dari tindakan-tindakan ini bisa jadi “hanya bersifat simbolis”, ujar Yossi Mekelberg, seorang pengamat Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, sebuah lembaga konsultasi dan penelitian di London, kepada BBC News Mundo.

    “Namun, efek kumulatifnya terhadap isolasi diplomatik atau apa yang mereka sampaikan tentang Israel, dan bagaimana Israel melakukan perang adalah penting.”

    Ini bukan pertama kalinya Israel menghadapi kecaman dari negara-negara lain atas tindakannya di Gaza atau Tepi Barat.

    Namun, tekanan internasional tidak pernah sekuat sekarang, terutama mengingat skala kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Serangan ini merupakan aksi balasan Israel atas serangan Hamas pada 7 Oktober.

    Saat itu Israel mendapat serangan terburuk selama 75 tahun terakhir yang menewaskan 1.200 orang, dan juga 253 orang disandera.

    Israel merespons dengan sangat keras: lebih dari 34.000 orang tewas di Gaza sejak saat itu akibat serangan bom tentara Israel; 85% penduduk telah mengungsi dari rumah mereka; dan sekitar setengahnya atau sekitar 1,1 juta orang berada di ambang kelaparan, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Dengan latar belakang ini, kami akan menjelaskan negara mana saja yang telah memutuskan untuk mengambil tindakan nyata terhadap Israel.

    Memutus hubungan diplomatik

    Setelah perang pecah, dan seiring meningkatnya kehancuran di Gaza, sejumlah negara menarik duta besar mereka atau menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel.

    Negara-negara di wilayah Timur Tengah seperti Yordania, Bahrain dan Turki, memulangkan duta besar mereka. Aksi ini disusul oleh Chad dan beberapa negara di Amerika Latin, seperti Cile, Honduras, dan Kolombia.

    Mereka kini memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh dengan menangguhkan hubungan diplomatik. Langkah ini juga diikuti Bolivia dan Belize.

    Baca juga:

    Getty ImagesPresiden Kolombia Gustavo Petro mengumumkan pada tanggal 1 Mei bahwa ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

    “Hari ini umat manusia, di semua jalan, setuju dengan kami. Era genosida, pemusnahan seluruh bangsa di depan mata kita, di depan kemanusiaan kita, tidak dapat kembali,” kata Presiden Kolombia Gustavo Petro dalam pidatonya saat mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel beberapa waktu lalu.

    Enam bulan sebelumnya, pada 31 Oktober, juru bicara pemerintah Bolivia mengumumkan keputusan yang sama, dengan menggunakan kata-kata serupa.

    “(Bolivia) mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Negara Israel sebagai bentuk penolakan dan kecaman atas serangan militer Israel yang agresif dan tidak proporsional yang dilakukan di Jalur Gaza,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri, Freddy Mamani pada saat itu.

    Getty ImagesDi jantung Universitas California, Los Angeles (UCLA) salah satu kampus paling bergengsi di Amerika Serikat tengah berlangsung unjuk rasa menentang kondisi di Gaza saat ini.

    Dua minggu kemudian, Belize mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel karena “pengeboman tanpa pandang bulu yang tak henti-hentinya” di Gaza, karena Israel “terus-menerus” melanggar hukum internasional sejak 7 Oktober.

    Namun, apa arti pemutusan hubungan ini?

    Faktanya, tidak jelas. Tak satu pun dari ketiga negara ini yang memiliki pengaruh politik yang besar di Timur Tengah. Hubungan perdagangan dan diplomatik mereka dengan Israel sebelum krisis ini juga tidak banyak.

    Namun, Kolombia adalah mitra dagang terbesar kedua Israel di Amerika Latin, setelah Brasil.

    Kolombia dan Israel menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada tahun 2020. Angkatan Darat Kolombia menggunakan pesawat serta senjata Israel untuk memerangi kartel narkoba dan kelompok pemberontak.

    Namun untuk saat ini, perjanjian ini tampaknya tidak berpengaruh, dan Kementerian Luar Negeri Kolombia telah mengumumkan niatnya untuk “mempertahankan aktivitas masing-masing bagian konsuler di Tel Aviv dan Bogota”.

    ReutersPengunjuk rasa pro-Palestina berfoto di depan Mahkamah Internasional (ICJ) ketika hakim memutuskan putusan sela atas gugatan Afrika Selatan terhadap Israel

    Efek dari pemutusan hubungan diplomatik ini, bersifat “simbolis, dan menunjukkan rasa terisolasi dan perubahan sikap terhadap Israel,” demikian analisis Mekelberg.

    Namun, pakar dari Chatham House ini juga menunjukkan bahwa keputusan semacam ini biasanya memiliki muatan ideologis dan pengaruh politik dalam negeri.

    “Ini seperti yang terjadi di Brasil; dengan [mantan presiden Jair] Bolsonaro, yang dulu mendukung penuh Israel, tapi ketika sayap kiri kembali [berkuasa], kritik itu kembali muncul.”

    Memutus hubungan perdagangan

    Pekan lalu, Turki mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan semua perdagangan dengan Israel sampai pemerintah pimpinan Benjamin Netanyahu itu menerima “aliran bantuan kemanusiaan yang tidak terputus dan cukup” ke Gaza.

    Menurut menteri perdagangan Turki, “transaksi ekspor dan impor yang terkait dengan Israel, yang mencakup semua produk, telah dihentikan”.

    Perdagangan antara kedua negara mencapai Rp111,7 triliun tahun lalu.

    ReutersBenjamin Netanyahu menjawab dengan mengatakan Turki di bawah “kediktatoran kelam”.

    Turki adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui Israel pada tahun 1949. Namun hubungan bilateralnya memburuk dalam beberapa dekade terakhir.

    Episode paling menegangkan terjadi pada tahun 2010, ketika Turki memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.

    Saat itu, Israel menyerang enam armada kapal Turki di perairan internasional yang mencoba mencapai Gaza. Mereka menerobos blokade maritim yang diberlakukan Israel di wilayah tersebut.

    Serangan oleh militer Israel tersebut mengakibatkan tewasnya 10 aktivis pro-Palestina asal Turki.

    Hubungan kedua negara kembali membaik pada tahun 2016, namun kedua negara kembali mengusir duta besar masing-masing dua tahun kemudian karena konflik baru terkait pembunuhan warga Palestina di perbatasan Gaza.

    Getty ImagesPresiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengeraskan sikapnya terhadap Israel.

    Situasinya makin memburuk sejak 7 Oktober. Netanyahu dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan makin sering saling baku tuduh.

    Erdogan membandingkan pemimpin Israel seperti Hitler, Mussolini dan Stalin – dan menyebut Netanyahu “penjagal Gaza”.

    Sebaliknya, Netanyahu mengeklaim bahwa presiden Turki “mendukung pembunuhan masal dan pemerkosaan oleh Hamas, menyangkal genosida Armenia (dan) membantai orang-orang Kurdi di negaranya sendiri”.

    Penangguhan penjualan senjata

    Beberapa negara seperti Kanada, Italia, Jepang, Belgia dan Spanyol telah mengumumkan dalam beberapa bulan terakhir ini bahwa mereka akan menghentikan penjualan senjata ke Israel.

    Tetapi jika kita menganalisa keputusan-keputusan ini secara lebih rinci, kenyataan yang ada agak berbeda.

    Di Belgia, hanya wilayah Walloon yang memutuskan untuk menangguhkan penjualan mesiu ke Israel.

    ReutersSistem anti-rudal Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Gaza, seperti yang terlihat dari Ashkelon, pada 7 Mei 2024.

    Italia juga mengumumkan penangguhan ekspor senjata mulai 7 Oktober. Namun, menteri pertahanannya mengatakan tetap mengirim senjata ke Israel yang sudah dipesan sebelum tanggal tersebut, dengan jaminan senjata-senjata itu tidak akan digunakan di Gaza.

    Hal serupa juga terjadi di Spanyol, yang juga mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan pengiriman senjata dan kemudian diketahui bahwa mereka tetap mengirimkan amunisi. Namun, Madrid mengatakan bahwa senjata-senjata itu dimaksudkan untuk latihan militer.

    Situasi di Kanada juga serupa. Perdana Menteri negara itu, Justin Trudeau, mengumumkan bahwa kemungkinan perjanjian penjualan senjata baru dengan Israel ditangguhkan, tetapi tidak untuk perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.

    Di Jepang, sebuah perusahaan, Itochu Corporation yang menangguhkan kolaborasinya dengan produsen senjata Israel. Dan di Belanda, sebuah pengadilan memaksa negara itu untuk menghentikan penjualan pesawat militer ke Israel.

    Getty ImagesSebagian besar senjata yang diimpor Israel berasal dari Amerika Serikat dan Jerman.

    Namun, keputusan-keputusan ini sepertinya tidak akan berdampak pada serangan di Gaza.

    Lebih dari 95% impor senjata Israel berasal dari Amerika Serikat dan Jerman, yang tidak jelas memberikan tanda-tanda bahwa mereka akan menghentikannya.

    Dampak langkah penangguhan ini penjualan senjata “terbatas, karena Amerika Serikat dan Jerman-lah yang memasok sebagian besar senjata, sementara yang lain terutama mengirim komponen atau peralatan yang sangat spesifik yang mungkin bisa digantikan oleh yang lain, sehingga tidak akan mengubah apa pun,” kata Yossi Mekelberg.

    Pengadilan internasional

    Menghadapi serangan Israel di Gaza dan meningkatnya jumlah korban jiwa di wilayah tersebut, pada bulan Desember lalu, Afrika Selatan memilih strategi yang berbeda untuk mencoba menghentikan Israel: Afrika Selatan beralih ke peradilan internasional.

    Para pengacaranya mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, di mana mereka menuduh Israel melakukan genosida terhadap penduduk Palestina di Gaza, yang dibantah oleh negara Israel.

    Bagaimana dengan Indonesia?

    Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan Indonesia “secara moral dan politis” mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan atas dugaan genosida Israel di Gaza.

    “Namun secara hukum Indonesia tidak bisa ikut menggugat karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida dimana Indonesia bukan Negara Pihak,” ujar juru bicara Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal melalui pesan teks yang diterima BBC Indonesia.

    Baca juga:

    Getty ImagesMenteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola menjelaskan kasus yang diajukan negaranya terhadap Israel di Mahkamah Internasional.

    Pada bulan Januari, pengadilan, yang mengadili sengketa antarnegara, mengeluarkan keputusan sementara: memerintahkan Israel mengambil langkah-langkah mencegah tindakan genosida di Gaza. Tapi pengadilan tidak sampai menuntut Israel menghentikan serangan militer.

    “Israel muncul relatif tanpa cedera dari proses ini, tetapi fakta bahwa proses [pengadilan] ini terbuka, berarti Israel telah kalah dalam pertarungan,” kata Michael Oren, duta besar Israel untuk Amerika Serikat periode 2009-2013, kepada BBC.

    Namun, saat ini, ada kekhawatiran yang kuat di antara para petinggi Israel, terutama karena langkah-langkah yang mungkin diambil oleh pengadilan internasional lainnya.

    Kemungkinan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin politik dan militer Israel, termasuk Netanyahu sendiri, merupakan sumber ketegangan.

    EPA-EFE/REX/SHUTTERSTOCKPutusan pengadilan dibacakan oleh Hakim Joan E. Donoghue (kedua dari kiri) pada Jumat (26/01).

    ICC, yang memiliki wewenang untuk mendakwa dan mengadili individu atas kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan, telah menyelidiki tindakan Israel di wilayah pendudukan selama tiga tahun – dan, baru-baru ini, tindakan Hamas.

    Di masa lalu, ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin negara seperti Vladimir Putin dari Rusia, Muammar Gaddafi dari Libya, dan gerilyawan Uganda, Joseph Kony.

    Meskipun ICC belum mengkonfirmasi apa pun, ketika kepala jaksa penuntut mahkamah, Karim Khan, mengunjungi Israel dan Tepi Barat yang diduduki pada bulan Desember tahun lalu, ia menegaskan bahwa “semua protagonis harus mematuhi hukum kemanusiaan internasional”.

    “Jika Anda tidak melakukan hal ini, jangan mengeluh ketika kantor saya dipaksa untuk bertindak,” tambahnya pada saat itu.

    Mekelberg mengatakan: “Ke mana arahnya (keputusannya), saya tidak tahu, tetapi ini seharusnya mengirimkan pesan kepada Israel bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.”

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kerja Sama dengan Iran di Teluk Oman, India Ambil Risiko?

    Kerja Sama dengan Iran di Teluk Oman, India Ambil Risiko?

    Jakarta

    India menandatangani sebuah kontrak berdurasi 10 tahun untuk memperpanjang pengembangan dan pengoperasian pelabuhan Chabahar di Teluk Oman Senin (13/05) lalu.

    Perjanjian antara otoritas pelabuhan India dan Iran ini merupakan sebuah Langkah besar dalam ambisi jangka panjang India, untuk mengamankan rute transit bagi barang-barang India ke pasar-pasar di Iran, Afghanistan, Asia Tengah dan sekitarnya.

    Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani antara Indian Ports Global Limited (IPGL) dan Ports and Maritime Organization of Iran (PNO) ini, India akan menginvestasikan dana sebesar 370 juta Dolar AS (setara Rp5,897 triliun) untuk pengembangan dan pembiayaan pelabuhan tersebut.

    AS tegur India agar tak berbisnis dengan Iran

    Usai kesepakatan itu ditandatangani di Teheran, Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Vedant Patel, kepada para jurnalis mengatakan, “siapa pun yang mempertimbangkan kesepakatan bisnis dengan Iran” perlu “mewaspadai potensi risiko” dari sejumlah sanksi yang akan diterima.

    “Sanksi-sanksi AS terhadap Iran tetap berlaku dan kami akan terus menegakkannya,” tegas Patel.

    Merespons hal itu, Menteri Luar Negeri India S Jaishankar berkomentar bahwa AS telah “menghargai” “relevansi yang lebih besar” dari pelabuhan ini di masa lalu.

    Pada tahun 2018, AS membebaskan operasi pelabuhan ini dari sanksi, untuk memungkinkan aliran barang dan bahan bakar ke Afghanistan yang dilanda perang. Terminal tersebut telah menangani lebih dari 90.000 unit lalu lintas peti kemas dan 2,5 juta ton gandum serta bantuan lainnya untuk Afghanistan.

    Kesenjangan semakin membesar antara India dan AS

    Kepada DW, pakar kebijakan publik India, Hantie Mariet D’Souza mengatakan, kekhususan tentang bagaimana sanksi tersebut dapat berdampak pada operasi Chabahar masih belum jelas.

    “Sanksi AS dapat meminimalkan potensi penuh Chabahar sebagai pusat perdagangan,” ujar dia.

    “Namun, pilihan kebijakan luar negeri India yang tegas dalam perang Ukraina, impor minyak dan senjata dari Rusia, mendukung Junta militer Myanmar, dan berbisnis dengan Iran, di mana hal itu bertentangan dengan kebijakan Washington, dapat memaksa pemerintahan -Biden untuk memilih kebijakan yang berbeda terhadap New Delhi,” sambungnya.

    Perluasan Chabahar telah menjadi tujuan selama berpuluh tahun

    Minat India untuk mengembangkan pelabuhan Chabahar sejatinya sudah dimulai sejak tahun 2003, ketika sebuah “strategic road map” ditandatangani dengan Iran. Pelabuhan ini pertama kali dibuka selama perang Iran-Irak di tahun 1983.

    Kemudian di tahun 2016, India memulai perbaikan dermaga kargo dan terminal peti kemas. Pada tahun 2018, India mengambil alih operasi di Chabahar.

    “Proyek ini telah berjalan secara bertahap selama lebih dari dua dekade. Ada tekanan juga dari AS ketika sanksi diberlakukan pada pemerintahan Donald Trump di tahun 2018. Namun, India berhasil mendapatkan keringanan, dengan menjadikan Afghanistan sebagai alasannya,” kata Aftab Kamal Pasha, mantan Direktur Studi Teluk di Universitas Jawaharlal Nehru India, kepada DW.

    “Kami perlu menggarisbawahi otonomi strategis dan keyakinan bahwa negara ini tetap penting bagi politik AS di kawasan, terutama sebagai penangkal Cina,” tegas Pasha.

    India berniat mengekang hubungan Cina dan Pakistan

    Implikasi geopolitik dari ekspansi Chabahar menjadi jelas ketika melihat jarak 100 kilometer ke arah pesisir pantai dan melintas ke pelabuhan Gwadar di Pakistan.

    India ingin mengimbangi kemitraan Cina dengan Pakistan dan pengaruh Beijing yang semakin besar di wilayah Teluk Oman. India melihat posisinya sebagai kekuatan regional yang ditantang oleh pelabuhan Gwadar, bersama dengan kerja sama yang erat antara Cina dan Pakistan.

    Cina telah menginvestasikan miliaran dolar pada sejumlah proyek-proyek infrastruktur jalur perdagangan yang dikenal dengan sebutan “China-Pakistan Economic Corridor” di bawah program “Belt and Road Initiative”. Cina berinvestasi di pelabuhan Gwadar agar menjadi pintu gerbang Beijing ke pasar global melalui Samudra Hindia.

    Konflik berkepanjangan India dan Pakistan juga telah menyulitkan New Delhi untuk membangun rute transit yang aman ke pasar-pasar Iran, Afghanistan, Asia Tengah dan wilayah Teluk.

    Pakistan melarang transit darat untuk barang-barang India melintasi wilayahnya. Dengan menanamkan investasi tambahan buat memperluas Pelabuhan Chabahar, India memecahkan masalah akses ini dengan rute transit yang aman.

    Kepada DW, pengajar Senior Departemen Hubungan Internasional di Universitas Teheran, Foad Izadi mengatakan, “pendekatan proaktif India terhadap Chabahar” mencerminkan sebuah langkah yang diperhitungkan untuk menegaskan kehadirannya di kawasan tersebut dan “secara strategis mengimbangi pengaruh Cina”.

    Izadi lebih jauh mengatakan, ekonomi India yang berkembang memberikan banyak peluang bagi negara-negara di kawasan ini, di mana Iran setelah siap untuk memanfaatkannya sebagai titik transit penting menuju Asia Tengah dan Rusia.

    Jadi rute perdagangan baru ke Rusia lewat Iran?

    Jika diperluas, pelabuhan ini juga dapat dimasukkan ke dalam rencana North-South Transport Corridor (INSTC) atau Koridor Transportasi Utara-Selatan, sebuah rute jalan, kereta api dan laut yang telah disepakati India, Iran dan Rusia pada tahun 2022.

    Proyek tersebut direncanakan untuk menghubungkan Samudra Hindia dan Teluk Persia ke Laut Kaspia melalui Iran, dan berujung di Rusia.

    “Chabahar dan integrasi masa depannya dengan INSTC sangat penting bagi India, terutama Ketika prospek proyek India-Middle East-Europe Economi Corridor (IMEC) sedang suram,” ujar D’souza.

    Gulshan Sachdeva, seorang profesor di Sekolah Urusan Internasional Universitas Jawaharlal Nehru mengatakan kepada DW bahwa “penyertaan INSTC yang terhubung dengan Pelabuhan Chabahar akan menjadi penting” dari strategi jangka Panjang India untuk terhubung dengan lebih banyak pasar global.

    “Dengan perdagangan energi India-Rusia yang sangat besar, dan keterlibatan India yang terus meningkat di Kaukasus bagian selatan, khususnya ekspor pertahanan ke Armenia, INSTC dapat menjadi lebih layak,” ujar dia.

    Sachdeva menunjukkan, akibat perang Ukraina, menghubungkan negara-negara Eropa ke Rusia melalui INSTC mungkin tidak dapat dilakukan sekarang, tapi ada beberapa pilihan untuk menghubungkan mereka melalui Iran-Armenia-Georgia dan rute Laut Hitam.

    “Sanksi yang dijatuhkan oleh AS pada Rusia dan Iran telah membuat kerumitan, khususnya bagi perusahaan swasta yang memiliki hubungan dengan Barat. Namun, para pembuat kebijakan India bertekad untuk menemukan cara untuk menghadapi desain politik AS itu,” pungkas Sachdeva

    (mh/as)

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Presiden Iran Raisi Batal Temui Erdogan di Turki Buat Bahas Palestina

    Presiden Iran Raisi Batal Temui Erdogan di Turki Buat Bahas Palestina

    Jakarta, CNN Indonesia

    Presiden Iran Ebrahim Raisi tak hadir untuk menemui Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara pada Selasa (28/11).

    Dikutip dari AFP, Kantor Presiden Turki menyatakan Erdogan tak punya jadwal rapat di hari tersebut. Namun, mereka tak menerangkan lebih lanjut apakah kunjungan Raisi dibatalkan atau ditunda.

    Hingga saat ini, Iran belum secara resmi memberi pernyataan terkait tak ada pertemuan dengan Erdogan. Namun, media semi pemerintah, Tasnim, melaporkan kunjungan Raisi ke Turki “ditunda.”

    Mereka tak menyediakan informasi lebih jauh terkait alasan penundaan pertemuan antara Raisi dan Erdogan ini.

    Erdogan sebelumnya mengumumkan Raisi untuk pertama kali akan berkunjung ke Turki.

    “Presiden Iran Ebrahim Raisi akan mengunjungi kami pada tanggal 28 bulan ini,” kata Erdogan ke reporter.

    Rencana kunjungan ini menjadi sorotan di media Turki. Namun, tak ada konfirmasi atau laporan media pemerintah Iran soal lawatan Raisi.

    Erdogan merupakan salah satu pemimpin yang vokal mengkritik gempuran Israel di Gaza pada 7 Oktober lalu.

    Dia bahkan menyematkan Israel sebagai “negara teroris” dan menyebut kelompok yang didukung Iran, Hamas, sebagai “kelompok pembebasan”.

    Sejumlah pengamat menilai lawatan Raisi ke Turki untuk mengajak pemerintah Ankara memboikot Israel. Iran berulang kali menyerukan agar dunia memboikot hingga melancarkan sanksi ke pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

    “Iran berharap Turki mengakhiri secara langsung dan tidak langsung hubungan perdagangan dengan Israel,” kata pengamat Studi Iran di Istanbul, Hakki Uygur.

    Namun, Turki telah mengambil sikap untuk memisahkan masalah politik dan komersial.

    Rencana pertemuan Raisi dan Erdogan menjadi pembicaraan karena Turki-Iran memiliki hubungan yang kompleks.

    Turki disebut-sebut memberi dukungan ke kelompok yang berusaha menjatuhkan pemerintah Iran dan Suriah.

    Dukungan Turki ke Azerbaijan terkait sengketa Nagorno-Karabakh juga menyisakan kegelisahan yang mendalam bagi Iran.

    Iran khawatir kebangkitan Baku di wilayah Kaukasus dapat mendukung ambisi separatis etnis minoritas Azerbaijan di Iran.

    Iran juga cemas dengan usulan jalur perdagangan di sepanjang perbatasan utara antara Azerbaijan dan Turki yang berpotensi mempersulit akses mereka ke Armenia.

    (isa/pra)

  • Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jakarta

    Sejak Februari lalu, sebuah konsensus baru telah disepakati di Brussels: Uni Eropa perlu tumbuh lebih besar. Anggota-anggota Uni Eropa (UE) yang dulunya skeptis terhadap perluasan, kini mulai berpikir serius untuk menyambut calon-calon anggota baru seperti Ukraina, Moldova, dan negara-negara Balkan Barat lainnya ke dalam keanggotaan mereka.

    Pergeseran ini dipicu oleh invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. Sebelumnya calon-calon anggota EU harus melewati serangkaian reformasi politik dan rintangan hukum yang berat untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya Makedonia Utara yang sudah antre sejak tahun 2005, masih juga belum diterima jadi anggota EU.

    Saat ini, pola pikir telah berubah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang diplomat Uni Eropa: “Perluasan adalah sebuah kenyataan yang ada saat ini. Hal tersebut baru terjadi sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu.”

    Namun Brussels mempunyai pekerjaan rumah sendiri yang harus diselesaikan jika ingin konsensus politik ini berjalan lancar. “Sebelum melakukan pembicaraan yang realistis dengan negara-negara yang ingin bergabung, kita harus memikirkan seperti apa sebenarnya perluasan UE itu – dan sejauh itulah jadinya,” ujar diplomat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya itu mengatakan. DW.

    Memberikan keseimbangan kekuatan

    Pembicaraan soal perluasan EU telah dimulai. Awal bulan ini, sekelompok peneliti yang mendapat penugasan dari Prancis dan Jerman meluncurkan makalah yang penuh dengan gagasan tentang cara kerja dan jalan menuju ke arah itu. Thu Nguyen, seorang peneliti senior di bidang kebijakan dan Jacques Delors Center di Berlin, termasuk di antara mereka. Dia mengatakan kepada DW bahwa memikirkan kembali cara UE mengambil keputusan bisa menjadi tantangan politik yang paling besar.

    Daftar resmi negara-negara kandidat UE masih mengular: Ukraina, Moldova, Albania, Montenegro, Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, Serbia dan Turki. Georgia dan Kosovo juga dianggap sebagai “kandidat potensial”.

    Namun meski beranggotakan 27 negara, blok tersebut terkadang kesulitan mengambil tindakan. Langkah kebijakan luar negeri seperti memberikan sanksi kepada Rusia memerlukan dukungan bulat, yang berarti negosiasi kadang-kadang bisa memakan waktu berbulan-bulan karena negara-negara anggota harus memikirkan apa saja yang akan dilarang atau aset mana yang akan dibekukan.

    Di bawah sistem yang berlaku saat ini, Ukraina – dengan populasi lebih dari 40 juta jiwa – akan menjadi salah satu negara paling kuat secara politik di UE. “Semakin banyak negara anggota, semakin besar risiko adanya pemain veto yang menghalangi keputusan,” kata Nguyen.

    Oleh karena itu, Nguyen dan timnya menyarankan untuk menghapuskan suara bulat dan menghitung ulang jumlah suara mayoritas yang memenuhi syarat untuk memastikan UE yang lebih besar masih memiliki “kapasitas untuk bertindak.” Secara kontroversial, usulan tersebut juga akan mempersulit negara-negara besar seperti Prancis dan Jerman untuk memblokir kesepakatan.

    Namun reformasi seperti itu memerlukan perubahan undang-undang dasar blok, dan memerlukan dukungan dari negara-negara anggota yang akan kehilangan kekuasaan akibat perombakan tersebut. Dan, seperti yang diakui Nguyen, “suasana politik saat ini tidak terlalu mendukung perubahan perjanjian.”

    Sengketa gandum di Ukraina menunjukkan potensi peningkatan anggaran

    Lalu ada pertanyaan tentang bagaimana membagi dana UE untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang lebih dalam. Sebagian besar kandidat anggota UE yang saat ini antri, memiliki Produk Domestik Brutoo (PDB) per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara anggota termiskin di blok tersebut, Bulgaria – dan dengan sekitar sepertiga dari anggaran Brussels saat ini dialokasikan untuk subsidi pertanian, kedatangan negara besar di bidang pertanian, Ukraina, akan secara radikal mengubah pola distribusi dana subsidi yang ada saat ini.

    Bulan lalu, Polandia, Slovakia dan Hongaria mengumumkan rencana embargo sepihak terhadap gandum Ukraina, untuk melindungi produsen mereka sendiri dari potensi penurunan harga. Bagi mantan komisaris perdagangan UE, Phil Hogan, hal ini menyiratkan jalan yang sulit di masa depan.

    “Harus ada perubahan kelembagaan besar-besaran, perubahan anggaran besar-besaran, dan adaptasi kebijakan terhadap kenyataan baru,” kata Hogan kepada DW. “Ukraina adalah negara besar dengan kepentingan pertanian yang besar. Dan gagasan bahwa kita akan mampu mengatasi masalah Ukraina menjadi anggota dengan kebijakan pertanian Uni Eropa yang terintegrasi penuh, akan menjadi tantangan besar.”

    “Bahkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, terdapat sensitivitas seputar masalah perdagangan dengan Ukraina,” tambahnya. “Ketegangan antara Ukraina dan Eropa sehubungan dengan pertanian bukanlah hal yang baru – namun bisa Anda bayangkan tantangan seperti apa yang akan dihadapi para petani Eropa dalam konteks jika Balkan Barat dan Ukraina serta negara-negara lain menjadi bagian tak terpisahkan dari EU nantinya. “

    Namun, Hogan tetap berharap: “Saya sangat mendukung perluasan Uni Eropa dan memasukkan negara-negara Eropa yang mungkin tidak kita sukai ke dalam EU, ketimbang mereka berpaling ke kelompok Eropa lainnya yang tidak kita inginkan,” ujarnya secara terselubung mengacu pada pengaruh Rusia.

    “Politik adalah seni untuk mewujudkan apa yang mungkin terjadi dan saya berharap negara-negara anggota EU akan mengembangkan diri mereka sendiri dan warga negara mereka akan mengembangkan diri mereka untuk memastikan bahwa lingkungan kita berada dalam kondisi yang tidak terlalu tegang.”

    Berakhirnya persatuan yang semakin erat?

    Ada berbagai pertanyaan kecil mengenai berfungsinya UE yang lebih besar yang juga perlu dijawab: Berapa banyak lagi anggota parlemen yang akan masuk Parlemen Eropa? Berapa banyak lagi bahasa resmi UE yang ada? Bisakah setiap negara mempertahankan anggota Komisi Eropa yang berdedikasi?

    Mengingat permasalahan hukum dan politik yang mungkin terjadi di masa depan, beberapa pihak berpendapat sudah waktunya untuk memperluas definisi blok tersebut. Minggu ini, para pemimpin Eropa menuju ke Spanyol untuk menghadiri pertemuan ketiga Komunitas Politik Eropa (EPC). Dalam EPC, visi mengenai hubungan antarpemerintah yang lebih luas mulai terlihat.

    Pembentukan EPC digagas Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ketika ia pertama kali mengemukakan gagasan tersebut secara terbuka pada tahun 2022, Macron mengatakan, dibutuhkan waktu “puluhan tahun” bagi Ukraina untuk bergabung dengan UE, dan mengusulkan pembentukan kelompok baru yang “akan memungkinkan negara-negara Eropa yang demokratis” untuk “menemukan ruang baru bagi kerja sama politik dan keamanan.”

    Saat ini, EPC secara formal tidak lebih dari sekedar ruang diskusi, tanpa struktur, hak suara, atau perjanjian yang mapan. Namun ini adalah satu-satunya forum yang menyatukan komunitas luas yang beranggotakan 45 undangan. EPC mencakup semua negara dan kandidat UE, negara-negara kaya yang berada di luar blok tersebut seperti Swiss, Norwegia, dan Inggris, serta bahkan negara-negara yang tengah bertikai Armenia dan Azerbaijan. Rusia tidak ada dalam daftar tamu.

    Bagi Thu Nguyen dan rekan-rekan penelitinya, struktur yang lebih longgar ini dapat memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi jika UE gagal menyepakati rencana ekspansinya.

    Mereka menyarankan mungkin ada “lingkaran dalam” inti yang terdiri dari negara-negara UE yang terintegrasi erat, kemudian UE yang lebih luas, kemudian “anggota asosiasi” tingkat berikutnya yang menikmati beberapa manfaat terkait dengan pasar tunggal blok tersebut, dan “lingkaran luar” yang didasarkan pada EPC, yang menurut Nguyen “tidak akan mencakup segala bentuk integrasi dengan undang-undang UE yang mengikat… melainkan kerja sama berdasarkan pertimbangan geostrategis.”

    Siap untuk tahun 2030?

    Namun potensi pendekatan multicepat ini mungkin terbukti tidak populer, karena dipandang oleh sebagian orang sebagai hal yang menciptakan warga negara kelas dua di klub UE. Perdana Menteri Ukraina Dennis Shmyhal baru-baru ini mengatakan kepada media Politico bahwa negaranya “melakukan semua upaya maksimal untuk memastikan bahwa Ukraina akan menjadi anggota penuh Uni Eropa.”

    Komisi Eropa sering kali menegaskan, aksesi adalah proses yang berdasarkan prestasi dan tidak memiliki batas waktu. Namun, Presiden Dewan Eropa Charles Michel baru-baru ini menegaskan, blok tersebut harus siap untuk diperluas pada tahun 2030.

    Thu Nguyen juga mendukung target akhir dekade tersebut– namun ketika ditanya apakah target tersebut realistis, ia menjawab singkat: “Sulit untuk membuat prognosis.”

    “Ini adalah proses jangka panjang,” pungkas Nguyen. “Sementara kita masih berada di tingkat awal diskusi dan perdebatan.”

    ap/as

    (ita/ita)