Akui Contoh Brasil, Prabowo: Kami Menjalankan Program Ambisius, Makan Bergizi Gratis
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com-
Presiden
Prabowo Subianto
mengakui bahwa program
makan bergizi gratis
(
MBG
) mencontoh program makan siang gratis untuk anak-anak sekolah Brasil yang disebut Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE).
Hal ini disampaikan Prabowo di hadapan Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva seusai pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Brazil Palácio do Planalto, Brasilia, Brazil, Rabu (9/7/2025).
“Kami dengan jujur mengatakan kami menjadikan program (PNAE) Anda sebagai
role model
dan kami saat ini menjalankan program ambisius makan siang bergizi gratis untuk anak-anak dan ibu hamil di Indonesia,” kata Prabowo, Rabu, dikutip dari
Antara
.
Prabowo kemudian menyatakan bahwa program MBG Berjalan sesuai sesuai target, yang mana target akhirnya ada 82,9 juta orang di Indonesia akan menerima makan bergizi gratis per harinya pada Desember 2025.
Sementara itu, program makan siang bergizi gratis untuk anak-anak sekolah di Brasil diterapkan sejak 1955 dan pada tahun ini program itu telah berjalan selama 70 tahun.
Di Brasil, program itu dibiayai oleh Badan Pembiayaan Nasional untuk Pengembangan Pendidikan (FNDE), lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan.
Program tersebut saat ini memberikan makan siang bergizi gratis kepada 40 juta anak-anak sekolah di 155.000 sekolah negeri di seluruh daerah Brazsil dengan anggaran mencapai 5,5 miliar BRL atau sekitar Rp16,3 triliun pada 2024.
Dalam pertemuan bilateral, kedua pemimpin membahas peningkatan kerja sama di berbagai sektor, antara lain, energi bersih, perdagangan dan investasi, pertahanan.
Prabowo dan Lula da Silva juga membicarakan isu-isu global terkait solusi damai antara Rusia-Ukraina dan solusi dua negara Israel-Palestina.
“Brasil adalah negara yang besar, dengan populasi yang besar dengan ekonomi yang kuat dan saya yakin akan memainkan peran lebih untuk memimpin dan saya pikir, kita harus menggabungkan upaya bersama, menggabungkan suara kita bersama untuk mereformasi (PBB dan tata kelola global) bersama negara-negara lain seperti India, Afrika Selatan, Mesir, Nigeria, Jerman, Jepang, dan Meksiko,” kata Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Negara: Afrika Selatan
-
/data/photo/2025/07/09/686e9c70a39b8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Akui Contoh Brasil, Prabowo: Kami Menjalankan Program Ambisius, Makan Bergizi Gratis Nasional 10 Juli 2025
-

Trump Umumkan Tarif Baru: Brasil Kena 50%, Irak-Libya 30%
Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melayangkan gelombang baru surat pemberitahuan tarif pada Rabu (9/7/2025) waktu setempat, termasuk bea masuk sebesar 50% untuk Brasil, salah satu tarif tertinggi yang diumumkan sejauh ini dan dijadwalkan mulai berlaku pada Agustus.
Dalam suratnya kepada Brasil yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (10/9/2025), Trump mengaitkan tarif tersebut dengan penanganan terhadap mantan Presiden Jair Bolsonaro, yang saat ini menghadapi dakwaan terkait dugaan upaya kudeta.
“Persidangan ini seharusnya tidak berlangsung. Ini adalah perburuan penyihir yang harus segera dihentikan!” tulis Trump dalam surat tersebut.
Selain Brasil, Trump juga menetapkan tarif 30% terhadap produk impor dari Aljazair, Libya, Irak, dan Sri Lanka. Sementara itu, Brunei dan Moldova dikenakan tarif 25%, dan Filipina sebesar 20%. Tarif ini sebagian besar sesuai dengan pengumuman awal Trump pada April lalu, meskipun tarif Irak diturunkan dari 39% dan Sri Lanka dari 44%.
Trump mulai mengirimkan surat pemberitahuan tarif sejak Senin (7/7/2025), menjelang tenggat waktu pekan ini bagi negara-negara mitra untuk menyelesaikan negosiasi dagang dengan pemerintah AS.
Dalam unggahan di media sosial, Trump menyatakan akan merilis setidaknya tujuh surat tarif pada Rabu pagi, dan tambahan tarif lainnya akan diumumkan pada sore hari.
Brasil menjadi negara pertama yang menerima surat pemberitahuan tarif dari Trump meskipun sebelumnya tidak masuk dalam daftar mitra dagang yang diumumkan saat peluncuran tarif balasan pada April lalu.
Surat kepada Brasil tersebut juga dinilai sebagai sinyal peringatan bagi blok negara berkembang BRICS, yang selama ini dipandang Trump sebagai ancaman terhadap dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global.
Brasil termasuk tidak biasa dalam daftar target tarif terbaru Trump, karena justru mencatat defisit perdagangan dengan AS, berbeda dengan mayoritas negara lain yang mencetak surplus besar terhadap Amerika.
Berdasarkan data Biro Sensus AS, sepanjang 2024 Brasil mengimpor produk dari AS senilai sekitar US$44 miliar, sementara ekspor Brasil ke AS tercatat sekitar US$42 miliar.
Brasil saat ini menempati posisi 20 besar mitra dagang utama AS. Dari tujuh negara lain yang disebut dalam pengumuman tarif Trump pada Rabu (9/7/2025), hanya Filipina, dengan nilai ekspor ke AS mencapai US$14,1 miliar tahun lalu, yang masuk ke dalam daftar 50 mitra dagang utama AS.
Sementara itu, nilai impor gabungan dari enam negara sisanya pada 2024 kurang dari US$15 miliar, dengan Irak, pengekspor utama minyak mentah, menyumbang sekitar separuh dari total tersebut.
Saat ditanya mengenai dasar penetapan tarif dalam sebuah acara di Gedung Putih, Trump menjelaskan bahwa perhitungannya berdasarkan akal sehat, defisit perdagangan, sejarah hubungan dagang selama bertahun-tahun, dan angka-angka mentah.
“Mereka didasarkan pada fakta yang sangat, sangat substansial, serta juga sejarah masa lalu,” ujarnya.
Sejauh ini, peringatan tarif tambahan dari Trump belum terlalu mengguncang pasar keuangan, dengan pelaku pasar lebih fokus pada keputusan Trump untuk memperpanjang tenggat waktu penerapan tarif balasan hingga 1 Agustus 2025.
Langkah ini memberikan ruang tambahan bagi mitra dagang untuk menyelesaikan pembicaraan dan awalnya sempat menimbulkan keraguan di Wall Street soal keseriusan Trump dalam mengeksekusi ancaman tarifnya.
Namun, Trump memperkuat komitmennya pada Selasa (8/7/2025) dengan menyatakan bahwa semua pembayaran akan jatuh tempo dan wajib dibayarkan mulai 1 Agustus 2025 dan tidak ada perpanjangan untuk tarif yang berlaku per negara.
Saat ditanya oleh wartawan tentang dasar perhitungan tarif terhadap negara mitra, Trump menjawab bahwa itu berdasarkan akal sehat, defisit perdagangan, catatan hubungan dagang selama bertahun-tahun, dan data mentah.
Dia menambahkan, tarif tersebut didasarkan pada fakta yang sangat substansial, termasuk juga sejarah masa lalu.
Adapun, Trump juga meningkatkan tekanan terhadap dua mitra dagang utama. Uni Eropa disebut bisa segera menerima tarif sepihak meski negosiasi masih berlangsung, sementara India akan dikenakan tambahan tarif 10% karena keterlibatannya dalam blok negara berkembang BRICS, yang menurut Trump mengancam dominasi dolar AS sebagai mata uang global.
Selain itu, Trump juga melontarkan ancaman tarif sektoral. Dia mengusulkan tarif hingga 50% terhadap produk tembaga, yang mendorong harga logam tersebut melonjak hingga 17% di New York pada Selasa, rekor lonjakan harian. Dia juga mengancam akan mengenakan tarif setinggi 200% untuk impor farmasi, kecuali produsen obat global memindahkan produksi mereka ke AS dalam waktu satu tahun.
Gelombang surat tarif dan ancaman baru ini menandai babak terbaru dari agenda perdagangan Trump yang sarat gejolak, memicu volatilitas pasar dan kekhawatiran di kalangan konsumen, pelaku usaha, serta mitra dagang terkait dampaknya terhadap arus perdagangan dan stabilitas ekonomi global.
Trump pertama kali mengumumkan rencana tarif balasan ini pada 2 April 2025. Namun, setelah reaksi pasar yang negatif, dia menurunkan tarif menjadi 10% selama periode negosiasi selama 90 hari yang seharusnya berakhir pada Rabu (9/7/2025) sebelum akhirnya diperpanjang tiga pekan.
Adapun surat tarif yang dikirimkan Trump pada Senin sebelumnya menyasar negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Afrika Selatan, Indonesia, Thailand, dan Kamboja. Sebagian besar tarif tersebut konsisten dengan pengumuman awal Trump.
Meski Trump mempromosikan surat pemberitahuan tarif ini sebagai bentuk kesepakatan, perjanjian yang berhasil dia capai sejauh ini dengan Inggris dan Vietnam belum mencakup seluruh aspek perdagangan dan menyisakan banyak ketidakjelasan.
Sementara itu, Trump juga telah mencapai kesepakatan gencatan dengan China untuk menurunkan tarif dan memperlancar arus impor mineral penting.
-

QRIS modal RI terlibat dalam pembayaran lintas batas BRICS
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Ekonom: QRIS modal RI terlibat dalam pembayaran lintas batas BRICS
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Rabu, 09 Juli 2025 – 16:29 WIBElshinta.com – Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai modal kuat Indonesia untuk terlibat dalam pembentukan pembayaran lintas batas BRICS.
Pemimpin BRICS melalui Leaders’ Declaration pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Brasil, menginstruksikan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral, sesuai kewenangannya, untuk melanjutkan pembahasan mengenai Inisiatif Pembayaran Lintas Batas BRICS.
“Indonesia punya modal kuat. Bank Indonesia aktif diskusi, dan teknologi QRIS sudah terhubung dengan Singapura, Malaysia, Thailand,” kata Direktur China-Indonesia Desk Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Zulfikar menyampaikan bahwa bila para pemimpin BRICS telah menginstruksikan untuk melanjutkan pembahasan pembayaran lintas batas, maka Indonesia—khususnya Bank Indonesia—berpeluang untuk ikut berperan aktif dalam membangun sistem pembayaran lintas batas yang cepat, terjangkau, efisien, dan berbasis mata uang lokal.
Indonesia, berbekal kesuksesan implementasi QRIS, ucap Zulfikar, bisa memimpin pilot interoperabilitas, sebuah uji coba awal untuk memastikan bahwa sistem atau teknologi dari berbagai pihak bisa saling terhubung dan bekerja sama secara lancar.
Sistem pembayaran menggunakan QRIS telah berlaku di Thailand, Malaysia, Singapura. Indonesia juga sedang mengincar implementasi di Jepang, Korea Selatan, China, hingga Arab Saudi.
“Indonesia siap berperan sebagai model integrasi QR code-based & ambil bagian di pilot dan skema interoperabilitas BRICS DCMS (Decentralized Cross-border Messaging System),” ucapnya.
BRICS merupakan akronim dari lima negara pendirinya, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Presiden Prabowo Subianto hadir pada KTT BRICS 2025 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada 6-7 Juli—event pertama Indonesia sejak resmi menjadi anggota pada Januari 2025.
KTT BRICS menghasilkan Leaders’ Declaration yang terdiri dari enam sub bagian, yakni Penguatan Multilateralisme & Reformasi Tata Kelola Global; Perdamaian & Keamanan; Ekonomi, Perdagangan & Keuangan; Iklim & Transisi Energi; Teknologi & AI; serta Pembangunan Sosial & Budaya.
Sumber : Antara
-

Mengapa Trump Begitu Takut pada BRICS?
Jakarta –
Presiden AS Donald Trump kembali mempertegas sikap kerasnya terhadap BRICS, aliansi negara-negara berkembang dengan ekonomi besar seperti Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Ia memperingatkan bahwa dorongan kelompok ini untuk melemahkan dominasi dolar AS mengancam supremasi ekonomi Amerika.
Bertepatan dengan pertemuan tahunan para pemimpin BRICS di Rio de Janeiro, Trump pada Minggu (05/7) bersumpah akan memberlakukan tambahan tarif sebesar 10 persen terhadap negara manapun yang mendukung kebijakan “anti-Amerika” dari blok tersebut. Ancaman itu menambah tekanan di tengah tarif-tarif lain yang sudah diterapkan atau masih direncanakan.
Penangguhan tarif selama 90 hari yang diberlakukan pemerintahan Trump akan berakhir pada Rabu (9/7). Menurut Gedung Putih, surat pemberitahuan soal tarif impor baru sudah dikirim ke puluhan negara.
Ancaman terbaru Trump memang lebih kecil dibanding ancaman tarif 100 persen yang ia lontarkan pada Januari lalu terhadap negara-negara yang ia anggap “bermain-main dengan dolar”. Namun ia tetap bersikeras bahwa posisi dolar sebagai mata uang cadangan dunia harus dipertahankan.
Dalam satu dekade terakhir, BRICS telah tumbuh dari empat menjadi sepuluh anggota, termasuk Indonesia yang bergabung pada Januari. Arab Saudi juga tercantum sebagai anggota, meskipun hingga kini belum secara resmi mengonfirmasi statusnya. BRICS juga memiliki sembilan negara mitra, dan puluhan negara lainnya berada dalam antrean untuk masuk.
Blok ini sering disebut sebagai alternatif G7 versi Cina, dan kini mencakup seperempat ekonomi global serta hampir separuh populasi dunia.
Diversifikasi dari dolar, tapi belum ada pengganti yang nyata
Dalam beberapa waktu terakhir, BRICS semakin gencar mendorong perdagangan antaranggota menggunakan mata uang lokal, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada dolar.
Setelah terkena sanksi dan tarif dari Barat, Rusia dan Cina memimpin gerakan yang disebut dedolarisasi. Keduanya telah menyelesaikan sejumlah transaksi energi menggunakan rubel dan yuan. Sementara itu, India sejak 2023 membayar minyak murah dari Rusia dalam yuan, rubel, bahkan dirham dari Uni Emirat Arab.
“India bersama Brasil mencoba menyeimbangkan narasi anti-Barat dari BRICS yang saat ini didominasi Cina dan Rusia,” ujar Garcia-Herrero, yang juga menjabat Kepala Ekonom Asia Pasifik di bank investasi Prancis, Natixis.
Situs resmi BRICS mencatat bahwa dari total perdagangan global senilai sekitar 33 triliun dolar AS (sekitar Rp537,9 kuadriliun) pada 2024, hanya sekitar 3 persen atau 1 triliun dolar (sekitar Rp16,3 kuadriliun) yang berasal dari perdagangan antar-anggota BRICS.
“Mayoritas perdagangan dunia masih diselesaikan menggunakan dolar dan mata uang utama lainnya,” kata ekonom Herbert Poenisch kepada DW. “Butuh waktu dan kerja keras untuk menggulingkan dominasi itu.”
Dolar AS masih digunakan dalam 90 persen transaksi global dan menyumbang 59 persen dari cadangan devisa dunia. Karena itu, sejumlah ekonom menilai dedolarisasi masih merupakan ancaman jangka panjang yang belum terlalu mendesak.
Mereka percaya bahwa setiap alternatif dari BRICS akan terganjal oleh kontrol modal terhadap yuan, volatilitas rubel, dan keraguan sejumlah anggota untuk benar-benar meninggalkan dolar.
BRICS tumbuh cepat tapi belum menghasilkan capaian berarti
Dengan bergabungnya Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia, serta makin dekatnya negara-negara mitra baru seperti Aljazair dan Malaysia, BRICS jelas sedang berada dalam fase ekspansi cepat.
Banyak negara tertarik bergabung karena alasan praktis: mereka ingin dunia yang lebih multipolar dan tidak sepenuhnya dikuasai negara-negara Barat. BRICS dianggap bisa memperkuat posisi negara-negara Belahan Bumi Selatan (Global South) di kancah internasional.
Negara-negara yang khawatir terkena sanksi Barat seperti Iran dan Rusia berharap BRICS dapat membantu melindungi perekonomian mereka lewat BRICS Pay dan BRICS Bridge, dua sistem yang dirancang sebagai alternatif sistem pembayaran Barat seperti SWIFT.
Sementara itu, negara-negara seperti Ethiopia dan Mesir berharap mendapat akses pembiayaan pembangunan tanpa syarat politik yang biasa melekat dalam bantuan dari negara Barat. Namun, ancaman terbaru dari Trump bisa membuat mereka berpikir ulang.
“Sekarang, bergabung dengan BRICS jadi punya konsekuensi,” kata Garcia-Herrero kepada DW. “Itu bisa membuat sebagian negara, terutama yang berpendapatan rendah, jadi ragu.”
Meski jumlah anggota meningkat dan janji-janji ambisius terus diumbar, BRICS masih kesulitan mewujudkan agenda-agenda besarnya. Blok ini tidak memiliki struktur kelembagaan yang solid dan masih terbelah oleh konflik geopolitik internal, terutama antara India dan Cina.
Upaya membangun institusi keuangan tandingan juga masih berjalan hati-hati dan dalam skala terbatas. New Development Bank (NDB), yang disebut sebagai penantang Bank Dunia, sejauh ini baru menyetujui pinjaman sebesar 39 miliar dolar (sekitar Rp635,7 triliun). Sebagai perbandingan, Bank Dunia telah menggelontorkan pinjaman lebih dari 1 triliun dolar (sekitar Rp16,3 kuadriliun).
Para pemimpin BRICS mulai menyadari bahwa memperluas keanggotaan tidak otomatis memperluas pengaruh. Tanpa visi strategis yang jelas, koordinasi yang lebih erat, dan solusi yang nyata, sejumlah pengamat menilai BRICS berisiko menjadi sekadar klub simbolik daripada kekuatan yang mampu mengubah sistem global.
“Trump seharusnya belum perlu terlalu khawatir,” ujar Poenisch. “BRICS masih dalam tahap awal, dan menjembatani berbagai perbedaan prioritas di antara para anggotanya akan sangat sulit.”
Perbedaan ideologis sulit dijembatani
Meskipun terdapat banyak perbedaan, para pemimpin BRICS tetap mengambil sikap tegas terhadap kebijakan tarif Trump saat pertemuan di Brasil. Dalam deklarasi yang dirilis pada Senin 07/6), para pemimpin mengecam sanksi sepihak dan tarif proteksionis meski tidak menyebut nama Trump secara langsung. Mereka memperingatkan bahwa kebijakan semacam itu “mendistorsi perdagangan global” dan melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Awalnya hanya forum ekonomi, agenda BRICS kini juga mencakup isu-isu seperti tata kelola kecerdasan buatan (AI), perubahan iklim, dan kesehatan global. Mereka juga mengecam konflik-konflik bersenjata.
Deklarasi tersebut menyebut serangan terhadap Iran bulan lalu sebagai “pelanggaran hukum internasional”, tanpa menyebut AS atau Israel. Mereka juga menegaskan kembali dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dan mengecam penggunaan “kelaparan sebagai senjata” di Gaza.
Deklarasi itu tidak mengkritik Rusia secara langsung namun mencerminkan kehati-hatian karena Rusia adalah anggota penuh. Namun, mereka mengecam serangan Ukraina terhadap infrastruktur di wilayah Rusia dan menyerukan “penyelesaian damai yang berkelanjutan”.
Para pemimpin BRICS juga kembali menyatakan komitmen mereka terhadap multilateralisme, penghormatan terhadap hukum internasional, serta reformasi Dewan Keamanan PBB, termasuk dukungan agar Brasil, India, dan satu negara Afrika mendapat kursi tetap.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara
Editor: Prhardani Purba dan Rahka Susanto
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Indonesia Kena Tarif 32%, Lebih Tinggi Dibandingkan Malaysia hingga Vietnam
Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menetapkan tarif impor baru terhadap 14 negara, termasuk Indonesia.
Dari kawasan Asia Tenggara, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tarif tertinggi, yakni 32%, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (25%) dan Vietnam (20%).
Kebijakan tarif baru ini diumumkan langsung oleh Trump melalui akun TruthSocial pada Selasa (8/7/2025). Tarif akan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.
Dalam surat resminya, Trump menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan menciptakan perdagangan yang adil dan seimbang bagi Amerika Serikat.
“Meskipun demikian, kami telah memutuskan untuk bergerak maju bersama Anda, tetapi hanya dengan perdagangan yang lebih seimbang, dan adil,” tulis Trump dalam pernyataannya.
Jika dibandingkan dengan sesama anggota Asean, tarif untuk Indonesia terbilang cukup besar. Tarif yang diterapkan kepada Indonesia lebih besar dibandingkan tarif untuk Malaysia yang sebesar 25% dan Vietnam yang hanya 20%.
Myanmar dan Laos dikenakan tarif lebih tinggi dari Indonesia, masing-masing 40%. Sementara itu, tarif untuk Thailand dan Kamboja masing-masing sebesar 36%.
Sebagian besar negara mendapat sedikit penurunan tarif dibandingkan dengan bea yang diumumkan pada awal April lalu. Secara terperinci, tarif impor Laos turun dari 48% menjadi 40%; Myanmar dari 44% menjadi 40%; Kamboja dari 49% menjadi 40%;
Sementara itu, tarif impor untuk Vietnam mendapat pemangkasan tajam dari 46% menjadi 20% usai mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Di sisi lain, tarif untuk Malaysia naik dari sebelumnya 24%.
Berbeda dengan Vietnam dan Inggris yang berhasil mencapai kesepakatan dagang dengan AS, Indonesia belum menunjukkan progres serupa. Hal ini turut mempengaruhi kebijakan tarif AS terhadap produk Indonesia.
Trump mengingatkan bahwa tarif ini bisa saja meningkat bila negara-negara tersebut memberlakukan tarif tambahan terhadap barang dari AS.
“AS akan menambahkan besaran kenaikan tersebut di atas tarif dasar 25%,” tegasnya.
Adapun, Trump menegaskan penerapan tarif ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan perdagangan yang adil antara negara mitra dagang dengan Amerika Serikat.
Dia menerangkan bahwa surat yang dikirimkan AS ini tetap mencerminkan kekuatan dan komitmen hubungan perdagangan AS terhadap negara-negara tersebut.
AS juga setuju untuk terus bekerja sama dengan mitra dagang, meskipun memiliki defisit perdagangan yang signifikan dengan berbagai negara.
“Meskipun demikian, kami telah memutuskan untuk bergerak maju bersama Anda, tetapi hanya dengan perdagangan yang lebih seimbang, dan adil,” terangnya.
Trump mengundang berbagai negara untuk tetap berpartisipasi dalam ekonomi Amerika Serikat, sebagai pasar utama dunia saat ini. Kendati demikian, tak dipungkiri, setelah bertahun-tahun untuk membahas hubungan dagang AS dengan Indonesia dinilai tak adil karena menyebabkan defisit mendalam.
Ancaman Tarif Tambahan
Di tengah eskalasi tarif global ini, Trump juga mengalihkan sorotan ke negara-negara berkembang anggota BRICS yang sedang menggelar pertemuan puncak di Brasil.
Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara BRICS yang dinilai menjalankan kebijakan “anti-Amerika”.
“Tarif tambahan sebesar 10% akan dikenakan secara individual terhadap negara-negara yang mengambil langkah kebijakan yang berlawanan dengan kepentingan Amerika,” ungkap seorang sumber yang mengetahui kebijakan tersebut.
Kelompok BRICS terdiri atas Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, serta anggota baru seperti Indonesia, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Masih Diupayakan
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto menuturkan, pemerintah masih mengkaji terkait dengan keputusan Trump untuk tetap menerapkan tarif 32% terhadap produk-produk yang mereka impor dari Indonesia.
Bambang menyebut pemerintah juga belum mengambil keputusan dalam menyikapi keputusan Presiden AS itu lantaran tim negosiator yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, juga saat ini tengah dalam perjalanan ke Negeri Paman Sam itu.
“Harapannya tuntutan kita bisa dipenuhi. Di bawah 32%, cuma itu tim masih bekerja untuk itu,” ujarnya kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Saat ditanya mengenai apa yang menyebabkan negosiasi antara pemerintah Indonesia dan AS, Bambang mengaku yang paling mengetahui ihwal tersebut adalah tim negosiator yang dipimpin Menko Airlangga itu.
“Selama ini [yang mengetahui] itu timnya Pak Airlangga Hartarto,” ujar Purnawirawan TNI AU itu.
-

Trump Pastikan Negara BRICS Kena Tarif Tambahan 10%
Jakarta –
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memastikan negara anggota BRICS akan dikenakan tarif tambahan 10%. Trump menilai BRICS terbentuk untuk merugikan AS, terutama menjatuhkan kekuatan nilai tukar dolar AS.
Trump dengan keras menyampaikan tidak akan membiarkan dolar AS lenyap dari dunia. Ia bertekad untuk terus membuat dolar AS menjadi standar keuangan dunia.
“BRICS dibentuk untuk mendegradasi dolar kita dan mencopotnya sebagai standar, dan tidak apa-apa jika mereka ingin memainkan permainan itu, tetapi saya juga dapat memainkan permainan itu. Kita menghilangkan peran dolar sebagai mata uang cadangan dunia, ini seperti kalah dalam perang, perang dunia yang besar. Kita tidak akan menjadi negara yang sama lagi,” tegas dia, dikutip dari Reuters Rabu (9/7/2025).
Ancaman tarif tambahan untuk anggota BRICS memang telah disampaikan oleh Trump pada Minggu (6/7) waktu setempat. Hal ini disampaikan dalam rapat kabinet di Gedung Putih.
“Siapa pun yang tergabung dalam BRICS akan segera mendapatkan tarif 10%. Jika mereka adalah anggota BRICS, mereka harus membayar tarif 10% dan mereka tidak akan lama menjadi anggota,” ucapnya.
Para pemimpin negara BRICS mengkritik tidak langsung terhadap kebijakan militer dan perdagangan AS. Seperti Perdana Menteri India Narendra Modi pada hari Selasa menyatakan ketidaksetujuannya atas keputusan Trump.
“Kami tidak setuju dengan pernyataan presiden AS yang mengisyaratkan bahwa ia akan mengenakan tarif pada negara-negara BRICS,” katanya di Brasilia.
Sebagai informasi, BRICS merupakan organisasi antarpemerintah dengan empat negara anggota pendiri, yakni Brasil, Rusia, India, dan China. Organisasi ini menggelar pertemuan puncak pertama pada 2009.
Anggota BRICS terdiri dari 11 negara, dengan tambahan anggota seperti Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Indonesia resmi bergabung sebagai anggota BRICS pada Januari 2025. Indonesia menjadi anggota ke-10 setelah Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Indonesia telah menjejakkan kaki sebagai anggota baru BRICS. Hal ini ditandai dengan kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Rio de Janeiro pada Minggu (6/7/2025) waktu setempat.
Dalam pertemuan itu, para pemimpin BRICS menyepakati arah baru kerja sama, termasuk memperdalam kolaborasi ekonomi, perdagangan, dan keuangan. Bagi Indonesia, agenda ini menjadi momentum penting untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Tonton juga “Ancaman Tambahan Tarif 10% dari Trump untuk Anggota BRICS” di sini:
(ada/ara)
-

Trump Getok Tarif 32%, Pemerintah Minta Cool-Jangan Panik
Jakarta –
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32%. Trump telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Presiden Prabowo Subianto dan menyebut tarif tersebut akan berlaku 1 Agustus 2025.
Tarif tersebut tetap berlaku meski Indonesia telah mengupayakan negosiasi perdagangan, termasuk dari sektor energi dengan Negeri Paman Sam. Hal ini pun langsung direspons oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung.
Indonesia sebelumnya menawarkan mengimpor minyak mentah (crude) dan LPG dari AS demi menyeimbangkan neraca dagang kedua negara. Saat dikonfirmasi apakah rencana tersebut batal seiring dengan tarif baru AS, Yuliot menyebut proses negosiasi masih berlangsung.
“Ini kan Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) kan masih mengupayakan. Jadi kan kita sudah menawarkan untuk balance, itu dari sisi energi kan sekitar US$ 15 miliar. Jadi kita lihat saja itu bagaimana keputusan akhirnya,” katanya saat ditemui di Le Méridien, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).
“Jadi kita lihat kebijakan dari Presiden Trump kira-kira bagaimana. Untuk beberapa negara kan sudah ditetapkan, sudah disampaikan sama beliau sendiri, ya termasuk Indonesia. Jadi kita juga relatif harus cool juga menanggapi kondisi seperti ini,” tambah Yuliot.
Pekan lalu, Yuliot menyebut pemerintah Indonesia menyiapkan anggaran sebesar US$ 15,5 miliar atau sekitar Rp 249,5 triliun (kurs Rp 16.100) untuk belanja produk energi dari AS. Dana itu akan dipakai membeli LPG hingga minyak mentah.
Saat dikonfirmasi apakah ada komoditas energi lain yang bakal dibeli, hal itu masih menunggu keputusan Airlangga. Diketahui Airlangga saat ini terbang ke Negeri Paman Sam usai Presiden AS Trump mengumumkan bahwa Indonesia akan terkena tarif 32% pada 1 Agustus
Namun, Yuliot menegaskan pemerintah tidak akan mengimpor produk Liquefied Petroleum Gas (LPG). Ketersediaan komoditas itu di dalam negeri dinilai sudah cukup, bahkan Indonesia mampu mengekspor ke luar negeri.
Lalu untuk produk BBM, Yuliot menyebut perlu melihat kondisi yang ada, mengingat adanya tren peningkatan produksi BBM dalam negeri. Selain itu faktor teknis seperti jarak antara AS dan Indonesia juga perlu dipertimbangkan.
“Minyak mentah dan LPG. Untuk BBM, ini kan kita juga melihat kondisi yang ada. Jadi untuk BBM itu kan ada peningkatan produksi dalam negeri. Ini ya berapa ini untuk produksi di kilang dalam negeri, ya kemudian berapa yang harus kita impor,” tuturnya.
Meskipun ia tak menutup kemungkinan Indonesia tetap akan mengimpor BBM dari AS. Adapun volume impornya belum bisa diketahui.
“Ya (ada kemungkinan impor BBM), tapi ini kita lihat kemungkinan supply dari situ dulu (dalam negeri). Tapi kalau untuk crude untuk LPG ya kita sudah berbicara dengan beberapa perusahaan,” tutupnya.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa Pemerintah akan terus mengedepankan upaya negosiasi dan dialog konstruktif guna menjaga keberlanjutan akses pasar internasional. Menurut Agus, pihaknya tetap mengutamakan kepentingan dan daya saing industri dalam negeri.
“Pemerintah akan terus membuka ruang negosiasi dengan Amerika Serikat, untuk menemukan solusi yang seimbang dan berkeadilan,” ujar Agus dalam keterangan tertulis, Selasa (8/7/2025).
Saat ini berbagai strategi solusi tengah disiapkan oleh pemerintah, baik dalam bentuk liberalisasi tarif, penguatan regulasi teknis, peningkatan kepatuhan industri terhadap standar internasional, hingga optimalisasi kerja sama teknis bilateral dan multilateral.
Ia menambahkan, mundurnya pemberlakuan tarif baru dari AS akan memberikan ruang untuk pemerintah mencapai kesepakatan baru dalam tarif resiprokal AS. Agus lalu menyampaikan optimistismenya terkait industri nasional yang tangguh dan adaptif.
“Saat ini bukan saatnya panik, melainkan saatnya bekerja lebih smart dan teknokratis. Kita perkuat kapasitas industri dari hulu ke hilir, perbaiki data dan sistem pelacakan (traceability), serta pastikan seluruh aktor rantai pasok memahami arah kebijakan global yang terus berkembang,” jelasnya.
Kendatipun, produk-produk manufaktur Indonesia masih akan lebih berdaya saing dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Sebagai contoh untuk produk tekstil dan alas kaki Indonesia masih akan lebih bersaing dengan tekstil dan alas kaki asal Bangladesh yang akan dikenakan tarif resiprokal sebesar 35%.
Selain itu, produk makanan olahan kita akan juga lebih bersaing dibanding Thailand yang akan dikenakan tarif sebesar 36% di AS. Di sisi lain, Indonesia akan terus meningkatkan kualitas dan daya saing dengan negara-negara BRICS, misalnya Afrika Selatan yang akan dikenakan tarif sebesar 30%.
Tonton juga “Pemerintahan Trump Yakin Kebijakan Tarif Bikin Untung Rp 1.600 T” di sini:
(ily/fdl)
-

Soal tarif AS tetap 32 persen, Menperin terus upayakan ruang negosiasi
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. (ANTARA/HO-Kemenperin)
Soal tarif AS tetap 32 persen, Menperin terus upayakan ruang negosiasi
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Selasa, 08 Juli 2025 – 15:48 WIBElshinta.com – Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa Pemerintah akan terus mengedepankan upaya negosiasi dan dialog konstruktif guna menjaga keberlanjutan akses pasar internasional, sembari tetap mengutamakan kepentingan dan daya saing industri dalam negeri.
Hal tersebut disampaikan Menperin merespons Amerika Serikat melalui Executive Order-nya telah mengumumkan besaran tarif resiprokal kepada negara-negara mitranya, termasuk Indonesia yang tetap dikenakan tarif sebesar 32 persen mulai 1 Agustus 2025.
“Pemerintah terus membuka ruang negosiasi dengan Amerika Serikat, untuk menemukan solusi yang seimbang dan berkeadilan,” kata Agus Gumiwang di Jakarta, Selasa (8/7).
Menperin menambahkan bahwa berbagai strategi solusi tengah disiapkan oleh Pemerintah, baik dalam bentuk liberalisasi tarif, penguatan regulasi teknis, peningkatan kepatuhan industri terhadap standar internasional, hingga optimalisasi kerja sama teknis bilateral dan multilateral.
“Dengan mundurnya pemberlakuan tarif baru AS, akan memberikan ruang untuk pemerintah untuk mencapai kesepakatan baru dalam tarif resiprokal AS,” katanya.
“Saat ini bukan saatnya panik, melainkan saatnya bekerja lebih smart dan teknokratis. Kita perkuat kapasitas industri dari hulu ke hilir, perbaiki data dan sistem pelacakan (traceability), serta pastikan seluruh aktor rantai pasok memahami arah kebijakan global yang terus berkembang,” lanjutnya.
Lebih lanjut, produk-produk manufaktur Indonesia masih akan lebih berdaya saing dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sebagai contoh untuk produk tekstil dan alas kaki Indonesia masih akan lebih bersaing dengan produk serupa asal Bangladesh yang akan dikenakan tarif resiprokal sebesar 35 persen.
Selain itu, produk makanan olahan domestik akan juga lebih bersaing dibanding Thailand yang akan dikenakan tarif sebesar 36 persen di AS.
Di sisi lain, Indonesia akan terus meningkatkan kualitas dan daya saing dengan negara-negara BRICS, misalnya Afrika Selatan yang akan dikenakan tarif sebesar 30 persen.
Kemenperin juga mendorong agar pelaku industri tetap semangat dan tidak kehilangan fokus, karena Pemerintah akan terus mendampingi dan memfasilitasi kebutuhan industri agar dapat terus bersaing, bertransformasi, dan berinovasi dalam kerangka ekonomi berkelanjutan.
“Kunci kita adalah sinergi dan ketangguhan. Kita tetap buka peluang dialog dengan mitra luar negeri, tapi kita juga perkuat rumah kita sendiri. Pemerintah bersama dunia usaha dan asosiasi akan terus berjalan beriringan menghadapi tantangan ini,” kata Menperin.
Dikatakan dia, dengan pendekatan yang tenang, cermat, dan berbasis data, Pemerintah meyakini bahwa setiap tantangan dapat diubah menjadi peluang bagi penguatan struktur industri nasional dan perluasan pengaruh produk domestik di pasar global.
Sumber : Elshinta.Com
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3337093/original/010245400_1609328702-20201230-Rupiah-Ditutup-Menguat-2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rupiah Perkasa Buntut AS Kenakan Tarif Impor Tinggi ke 14 Negara Asia dan Afrika – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada Selasa, 8 Juli 2025. Rupiah ditutup menguat 34 poin terhadap Dolar AS, setelah sebelumnya sempat melemah 40 poin di ilevel Rp 16.205 dari penutupan sebelumnya di level Rp 16.239.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.200 – Rp 16.250,” ungkap pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Rupiah menguat meski di tengah kekhawatiran pasar tentang meningkatnya kemungkinan perang dagang yang meluas, menyusul pengumuman Presiden AS Donald Trump tentang surat perdagangan yang dikirim ke Korea Selatan dan Jepang, yang menetapkan bea atas barang dan produk.
Ibrahim menyoroti, potensi perang dagang berlanjut setelah Trump mengumumkan tarif 25% untuk semua produk impor asal Korea Selatan dan Jepang yang dikirim mulai 1 Agustus mendatang.
“Sentimen risiko memburuk saat pasar bersiap menghadapi batas waktu tanggal 9 Juli, ketika Amerika Serikat (AS) diperkirakan secara resmi memberi tahu mitra dagang tentang tarif baru yang berpotensi setinggi 70%, yang menargetkan lebih dari 100 negara,” papar Ibrahim. Trump juga merilis serangkaian surat yang menguraikan tarif perdagangan yang lebih tinggi pada beberapa negara Asia dan Afrika.
Tarif tinggi ini termasuk 25% pada Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Kazakhstan, bea masuk 30% pada Afrika Selatan, bea masuk 32% pada Indonesia, pungutan 35% pada Bangladesh, dan pungutan 36% pada Thailand. Adapun data ekonomi AS yang kuat memicu taruhan bahwa Federal Reserve tidak akan memangkas suku bunga dalam beberapa bulan mendatang.
“Ancaman tarif Trump juga memacu beberapa permintaan untuk greenback, di tengah kekhawatiran bahwa pungutan tersebut akan bersifat inflasi bagi ekonomi AS,” tambah Ibrahim.
/data/photo/2025/07/08/686cd4c2542f7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)