Napas Terengah di Stasiun Kampung Bandan, Penumpang Berjuang Taklukan Tangga yang Curam
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Setiap hari, para penumpang KRL di Stasiun Kampung Bandan, Jl. Mangga Dua VIII No.16, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, harus naik turun tangga manual yang menjadi satu-satunya akses menuju peron atas dan bawah.
Di stasiun lama yang melayani rute ke Jakarta Kota, Tanjung Priok, Angke, Duri, hingga Bekasi dan Cikarang itu, fasilitas berupa lift maupun
eskalator
belum tersedia sejak pertama kali dibangun.
Pengamatan
Kompas.com
di lokasi, Selasa (9/12/2025), menunjukkan arus penumpang yang padat berpindah antarperon. Beberapa di antaranya terlihat terengah-engah setelah menjejaki puluhan anak tangga.
Di tengah kondisi tersebut, cerita para penumpang menunjukkan bahwa naik-turun tangga di stasiun ini menjadi perjuangan harian.
Santo (60), salah satu penumpang KRL, tampak menuruni tangga peron atas dengan perlahan.
Rambutnya yang sudah memutih terlihat jelas, sementara di tangannya ia membawa kantong plastik berisi beberapa barang belanjaan dari pasar.
“Kalau naik tangga di sini memang harus hati-hati. Saya ini sudah tua, otot-otot sudah beda,” katanya sambil tertawa kecil saat ditemui
Kompas.com
, Selasa.
Setiap hari, Santo berangkat dari
Stasiun Kampung Bandan
untuk menuju tempat kerjanya di Angke, Jakarta Barat. Ia mengaku sudah terbiasa dengan kondisi tangga, tetapi tubuhnya tidak lagi sekuat dulu.
“Tadi saya sampai harus pegangan kuat di tulang tepi tangga, biar nggak goyang,” ujarnya.
Menurut Santo, kondisi stasiun saat ini seharusnya sudah bisa diperbarui. Terlebih, ia pernah melihat beberapa lansia hampir jatuh.
“Kasihan yang sudah sepuh-sepuh. Kalau tersandung sedikit bisa bahaya,” katanya.
Meski demikian, ia tetap bersyukur masih bisa naik turun tangga seorang diri tanpa ada yang membantu.
“Tapi ya kalau bisa ada lift sih lebih bagus. Saya juga manusia, tenaganya ada batasnya,” ucapnya sambil melanjutkan langkah.
Penumpang lain, Bibah (63), berdiri di tepi peron bawah sambil memegangi pegangan besi. Napasnya masih tampak berat setelah menuruni tangga curam yang menghubungkan peron atas dan bawah.
Ia mengenakan kerudung biru muda, tas selempang kecil, dan tangannya masih sedikit bergetar.
“Dari dulu jalurnya begini terus, harus naik turun tangga tinggi,” ujarnya membuka percakapan.
Bibah mengaku sudah bertahun-tahun berangkat dari Stasiun Kampung Bandan, terutama ketika hendak ke rumah anaknya di daerah Duri, Jakarta Barat.
Saat ditanya apakah ketiadaan eskalator atau lift menyulitkannya, Bibah langsung mengangguk.
“Jujur saja iya. Saya kalau naik begini sering berhenti dulu karena napas suka pendek. Tangganya tinggi, banyak juga. Kalau lagi ramai tambah susah karena harus ikut arus orang,” kata dia sambil sesekali mengusap dahinya yang berkeringat.
“Kalau sendiri, saya lebih pelan jalannya. Kalau ada dia, ya lumayan dibantuin,” ucapnya.
Bibah mengenang momen ketika ia hampir kehilangan keseimbangan beberapa tahun lalu. Saat itu, kepadatan penumpang membuatnya terdesak di tengah arus naik.
“Pernah waktu itu kaki saya goyang, mau jatuh. Untung ada orang baik yang pegangin,” katanya.
Ia pun berharap agar stasiun menyediakan fasilitas ramah lansia.
“Kalau bisa dibangun eskalator bagus ya, Nak. Biar saya nggak ngos-ngosan tiap mau naik kereta,” ucapnya sambil tersenyum kecil meski lelahnya masih tampak jelas.
Setelah Bibah selesai bercerita, giliran putranya, Fauzi, yang menjelaskan bagaimana ia mendampingi sang ibu setiap kali berjalan di stasiun ini.
Fauzi tampak masih memegangi tas kecil ibunya sambil sesekali melihat ke anak tangga.
“Iya, kalau lewat Kampung Bandan memang harus ekstra hati-hati. Tangganya curam dan tidak ada fasilitas bantu, jadi mau enggak mau harus dituntun,” katanya.
Fauzi mengaku sudah hafal bagian tangga mana yang paling licin, curam, dan kapan waktu terpadat biasanya terjadi.
Ia selalu memilih jam-jam sepi agar ibunya tidak harus berebut jalur dengan penumpang lain. Pengalaman buruk pernah terjadi beberapa bulan lalu.
“Ibu sempat hampir terpeleset karena pijakan tangganya kecil dan licin saat hujan. Saya sampai panik waktu itu,” katanya.
“Makanya sekarang saya benar-benar perhatikan langkahnya, terutama kalau naik. Turun juga riskan, tapi naik itu lebih berat,” tutur dia.
Menurut Fauzi, kehadiran lift atau eskalator sudah menjadi kebutuhan mendesak.
“Minimal lift atau eskalator, terutama untuk lansia, ibu hamil, dan orang yang bawa barang berat. Apalagi ini stasiun transit, penumpangnya banyak. Kondisinya bertahun-tahun sama saja,” kata Fauzi.
Di sisi lain peron, tampak seorang perempuan muda bernama Wilya (29) menggendong anak laki-laki berusia dua tahun.
Ia baru saja turun dari peron atas menuju jalur bawah. Wajahnya tampak memerah akibat lelah.
“Iya, saya mau ke Jakarta Kota. Habis dari rumah saudara di Mangga Dua,” ujarnya sambil mengatur napas.
Wilya bercerita, ia harus naik dan turun tangga panjang sambil menggendong anaknya, Dafa (2).
Berat tubuh anaknya membuat keseimbangannya tidak stabil, dan itu terasa sangat melelahkan di tengah tangga curam.
“Tadi sempat berhenti di tengah tangga, pegangin besi. Berat ya, sesek juga napas jadinya,” ujarnya.
Ketika ditanya apa yang paling menyulitkan, Wilya langsung menunjuk ke arah tangga di belakangnya.
“Tangganya itu. Enggak ada eskalator, enggak ada lift. Sementara orang lain banyak yang buru-buru, jadi saya yang bawa anak harus lebih hati-hati,” kata Wilya.
Ia mengatakan bahwa fasilitas pendukung berupa lift akan sangat membantu, terutama saat membawa anak kecil.
“Kan banyak juga yang bawa anak, ibu hamil, atau orang tua. Tangga setinggi ini enggak ramah buat mereka,” ucapnya.
Wilya lalu membandingkan kondisi Stasiun Kampung Bandan dengan stasiun lain.
“Banyak stasiun sudah jauh lebih enak. Di sini masih sangat manual. Padahal pengguna ramai dan jadi jalur transit juga,” tutur dia.
Hanna (26) berdiri di tepi peron atas sambil memeriksa jadwal kereta ke Bekasi, Jawa Barat.
Meski usianya masih muda, ia mengaku tetap kewalahan ketika harus naik tangga tinggi di Stasiun Kampung Bandan.
“Saya muda saja capek. Apalagi yang bawa anak atau orang tua,” ujarnya.
Hanna menggunakan rute Kampung Bandan Manggarai untuk berangkat kerja. Baginya, naik tangga setiap hari bukan hanya melelahkan, tapi juga berisiko. Ia berharap perbaikan fasilitas bisa menjadi prioritas.
“Kalau stasiun lain saja bisa dibangun eskalator, harusnya di sini juga bisa. Penggunanya kan banyak,” kata dia.
Vice President Corporate Secretary KAI Commuter, Karina Amanda, menjelaskan bahwa KAI Commuter terus berupaya meningkatkan layanan melalui penyediaan fasilitas yang telah ada.
Fasilitas itu berupa
water station
,
payment gateway
, kartu disabilitas, pin ibu hamil,
commuter shelter bike
, serta layanan untuk pengguna prioritas.
Terkait fasilitas khusus berupa lift dan eskalator, Karina menyebut idealnya setiap stasiun memang memiliki akses ramah pengguna prioritas.
Namun, pengembangan infrastruktur dilakukan bertahap dan dikoordinasikan bersama Kementerian Perhubungan dan PT KAI.
Untuk rencana pembangunan eskalator atau lift di Stasiun Kampung Bandan, Karina menyarankan agar informasi lebih lanjut dikonfirmasi kepada Kementerian Perhubungan.
“KAI Commuter sebagai operator menjalankan layanan Commuter Line, sementara pengembangan infrastruktur berada dalam koordinasi pihak terkait,” ujar Karina saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa.
Selama fasilitas tersebut belum tersedia, pengguna prioritas dapat meminta bantuan petugas stasiun.
“Petugas siap membantu naik turun tangga atau kebutuhan lain di area stasiun,” kata Karina.
Pengamat transportasi Deddy Herlambang menilai keadaan Stasiun Kampung Bandan mencerminkan keterbatasan ruang dan usia bangunan.
“Kalau memang perlu, bisa dibangun
ramp
panjang untuk difabel. Tapi secara realistis sulit dikembangkan lagi karena stasiun ini warisan era Hindia Belanda. Kiri-kanan stasiun juga sudah padat penduduk,” jelas Deddy saat dihubungi.
Deddy menilai risiko bagi pengguna prioritas sangat tinggi.
“Lansia, ibu hamil, disabilitas mereka berisiko besar tidak kuat naik tangga manual,” ujarnya.
Ia menyebut regulasi saat ini memang mewajibkan stasiun baru memiliki lift dan eskalator. Namun, untuk stasiun lama seperti Kampung Bandan, kewajiban itu tidak berlaku.
“Lift dan eskalator tidak masuk standar SPM PM Nomor 63 Tahun 2019, jadi tidak wajib. Tapi kalau bisa dibangun, itu akan sangat membantu,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Napas Terengah di Stasiun Kampung Bandan, Penumpang Berjuang Taklukan Tangga yang Curam Megapolitan 10 Desember 2025
/data/photo/2025/12/09/69384a7e8ee71.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)