Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Musim Hujan Sawah Kerap Banjir, Petani “Food Estate” Kalteng Dibayangi Gagal Panen Regional 12 November 2024

Musim Hujan Sawah Kerap Banjir, Petani “Food Estate” Kalteng Dibayangi Gagal Panen
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        12 November 2024

Musim Hujan Sawah Kerap Banjir, Petani “Food Estate” Kalteng Dibayangi Gagal Panen
Tim Redaksi
PALANGKA RAYA, KOMPAS.com
– Petani “Food Estate” di
Kalimantan Tengah
(Kalteng) hampir selalu dibayang-bayangi oleh potensi gagal panen saat musim hujan tiba.
Itu karena air di petak-petak sawah para petani terus meninggi seiring dengan meningkatnya curah hujan.
Penanaman pun tak bisa dilakukan. Masalah ini lantas menyebabkan hasil panen tidak bisa diharapkan.
Petani dari Desa Pilang dan Desa Tajepan, dua lokasi “Food Estate” di Kalteng, membutuhkan solusi konkret dari pemerintah, terutama dalam memperbaiki sistem pengairan sawah. 
Sehingga saat musim hujan tiba, tidak menimbulkan kekhawatiran gagal panen di kalangan petani sawah di Kalteng.
Ketua Kelompok Tani Sei Hanau di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau Ardiyanto mengatakan, pipa yang dipasang lewat Program Optimalisasi Lahan (Oplah) untuk pengairan sawah, belum berfungsi maksimal.
“Ada kegiatan oplah, yang mana tanggul-tanggul sawah ditinggikan. Sebagian dipasang pipa untuk keluar masuknya air dari dan ke petak-petak sawah, tapi pada musim hujan begini kayaknya pipa itu tidak maksimal, air masih menggenangi petak sawah,” ungkap Ardiyanto kepada
Kompas.com
saat dihubungi via telepon, Selasa (12/11/2024).
Tingginya air menyebabkan petak sawah tidak memungkinkan untuk ditanami padi. Petani hanya bisa menanam di lahan-lahan yang berada pada dataran tinggi.
Meski sudah memasuki musim tanam, untuk sementara ini, pihaknya masih belum bisa menanam padi.

“Curah hujan yang tinggi sejak awal bulan ini membuat air menggenangi sawah kami, sehingga membuat kami tidak bisa menanam, tapi tidak tahu nanti bulan seterusnya seperti apa, kalau memungkinkan kami tetap menanam,” imbuh dia.
Tak hanya akibat curah hujan, genangan air di petak sawah mereka juga terjadi akibat banjir yang merupakan air kiriman dari daerah hulu sungai.
Mayoritas petani di Desa Pilang saat ini, lanjut Ardiyanto, tidak bisa menanam padi lantaran sawahnya digenangi air.
“Hampir semua petani, cuman mereka yang bisa menanam kebetulan berada di dataran tinggi,” ucapnya. Padahal, jadwal tanam mereka berada di bulan Oktober.
“Karena masalah banjir, harus menunda masa tanam, rencana awalnya Oktober, tapi mungkin menanam di November ini,” imbuh dia.
Musim hujan yang menyebabkan petak sawah banjir sangat berdampak besar bagi kegagalan panen petani di desa setempat.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, seiring dengan tingginya curah hujan dan belum maksimalnya sistem pengairan sawah, para petani bahkan tidak bisa panen.
“Tidak bisa panen di tahun 2023 karena sawah airnya tinggi, sudah terulang tiga kali begitu, ada yang sebagian sudah panen tapi tidak maksimal karena operasional lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat,” ungkapnya.
Pihaknya berharap agar sistem pengairan pada sawah-sawah di desa setempat diperbaiki. Mereka membutuhkan orang-orang pemerintahan yang mengerti masalah tersebut.
“Masalah terbesar kami air itu saja sebenarnya, pastinya membuat khawatir setiap musim hujan tiba,” tambahnya.
Halani, petani di Desa Tajepan, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, juga mengeluhkan masalah serupa. Seiring dengan masuknya Kalteng ke musim hujan pada November ini, sawah yang pihaknya kelola pun kerap tergenang air dengan volume tinggi.
“Setiap tahun air dalam tidak bisa diatur, kalau dalam, pipa pembuangan air tidak berfungsi, jadi tidak bisa ditanam, saat ini airnya sedalam lutut,” ujar Ketua Kelompok Tani Karya Sejahtera II ini, Selasa (12/11/2024).
Padahal, air di petak sawah idealnya setinggi 20 sentimeter atau satu jengkal tangan untuk bisa menanam padi di atasnya.
Halani menggarap lahan pertanian seluas 3 hektare. Deretan lahan pertanian yang dia garap termasuk dalam food estate.
“Sebagian petani yang lahan berada di dataran tinggi tetap bisa menanam, tapi yang rendah tidak bisa, kalau di lokasi kami banyak yang terendam, akhirnya tidak bisa menanam karena airnya dalam, kalau ada surut, bisa kami tanam.”
Jika musim hujan terjadi berkepanjangan, maka mereka terpaksa harus mengalami gagal panen. Sebab, ketika telah menyemai bibit, namun air yang ada di petak sawah tetap tinggi, mereka harus mengulang menyemai bibit kembali.
“Kalau dari perhitungan kami seharusnya mendapat untung paling tidak separuh, tapi ini pas-pasan, bahkan malah bisa rugi,” imbuh dia, menjawab kerugian yang dialami petani saat sawah tergenang air bervolume tinggi.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Kalteng, Sunarti, saat dikonfirmasi, masih belum memberikan respons sampai berita ini diturunkan.
Namun, saat dikonfirmasi sebelumnya, Sunarti menjelaskan bahwa dalam program ketahanan pangan “Food Estate” yang berganti nama menjadi Optimasi Lahan (Oplah), mereka menargetkan untuk memaksimalkan sistem irigasi persawahan.
“Proyek oplah ini salah satunya untuk menangani saluran irigasi supaya mendukung produksi pertanian,” ujar Sunarti ketika dikonfirmasi Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (15/10/2024).
Pihaknya menargetkan akan membangun 51 ribu saluran irigasi di setiap lahan pertanian pada wilayah-wilayah yang menjalankan proyek oplah. Dari 51 ribu target yang ditetapkan itu, lanjut Sunarti, sudah kurang lebih terdapat 45 ribu yang sudah terbangun.
“Itu kami bangun di 10 kabupaten, beberapa di antaranya Palangka Raya, Lamandau, Sukamara, semuanya ada,” tutur Sunarti.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.