Merabuk Civil Courage
Oleh: Mohammad Farid Fad, MSi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo
SELEPAS riuh pengumuman resmi pemenang Pilkada 2024 oleh KPU, publik mulai menunggu kinerja dan menagih janji para pemenang kontestasi. Tak peduli apakah betul-betul memenangkan pertarungan melawan kontestan ataukah sekedar memusuhi kotak kosong. Terkhusus yang kalah, dalam kompetisi adalah hal yang lumrah.
Di lain kesempatan, Presiden Prabowo mulai mempertimbangkan soal reformulasi mekanisme pemilihan, yakni mengembalikan skema pemilihan lewat DPRD. Selain terkait efisiensi untuk menekan pengeluaran anggaran, juga menimbang ongkos politiknya yang tinggi.
Terlepas dari itu, yang harus disadari, data dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 (2019) menjadi 57 (2024). Dalam Pemilu, masyarakat kita dinilai hanya suka selebrasinya namun abai dengan rasionalitas demokrasi. Padahal gramatika demokrasi adalah otentisitas kehendak umum (volonte generale) yang dilandasi rasionalitas publik.
Nilai demokrasi mengalami resesi akut sebab dimaknai hanya persoalan angka survey elektabilitas. Pencitraan bisa mudah dipoles oleh dengusan para pengendors. Endorsement public figure menjadi madu elektoral. Tak pelak indicator numerikal menjadi urgen. Jumlah follower menjadi penentu “harga” diri. Tak segan dana segar digelontorkan sebagai pemenuhan hajat mendulang citra.
Suara Parau
Ruang publik yang semestinya penuh riuh kontestasi ide dan nilai menjadi wacana omon-omon janji yang hampa makna. Hal ini diperparah dengan ketimpangan kekayaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang telah menciptakan privilege dan dapat dipergunakan sebagai sumber daya politik. Mereka bisa saja cawe-cawe turut memengaruhi proses pembuatan kebijakan politik agar sejalan dengan kepentingannya (state capture).
Rumusannya sederhana, asal oligarki politik berkehendak, soal eksekusi semua mudah diatur. Sebaliknya, bila tidak berkenan, segenting apapun pertimbangannya akan tersingkir dengan pasti.
Suara-suara kritis semakin lama semakin parau. Ditimbun oleh isu-isu ad hoc yang diorkrestasi hingga siap berganti tema setiap saat. Kepekaan publik kian hari kian kebal rasa. Sensifitas kemanusiaan makin lama makin kebas.
Sipil Berdaya
Di antara kekuatan ekstra-parlemen yang bisa diharapkan ialah jejaring warga yang berdaya dengan menggalakkan civil courage. Hal ini bisa terjadi bila publik mulai bergerak meninggalkan kursi nyaman sebagai penonton demokrasi sembari mulai mengintervensi ruang publik dan menyatakan pendiriannya secara lugas dan otonom. Disinilah peran NU dan Muhammadiyah sebagai dinamo penggeraknya.
Tentu civil society berdaya yang dimaksud disini bukanlah seperti System der Bedurfnisse (Hegel) serta bukan preferensi nilai milik Walzer ataupun konsep asosiasi bebas warga dalam ruang publik-nya Habermas.
Bila meminjam logika Gramsci, bisa atau tidak terbentuknya masyarakat sipil yang berdaya sangat bergantung pada tersedianya ruang pertarungan ide atau gagasan.
Oleh sebab itu, ekosistem ini dapat tumbuh subur bila ranah percakapan sehari-hari tak jauh dari komunikasi politik sebagai bagian dari partisipasi warga. Di ruang-ruang social inilah civil courage perlu dipupuk secara aktif dan progresif. Akibatnya, daya kritis dan kreatif masyarakat akan terbuka dengan sendirinya.
Masyarakat yang terbaik (al-ijtima al-fadhil), menurut Al-Farabi, ialah masyarakat yang hidup bekerjasama dan saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat. Partisipasi rakyat juga menjadi elemen penting dalam pemikirannya.
Ia meyakini bahwa negara yang ideal (al-madinah al-fadhilah) bukan hanya institusi politik, tetapi juga ruang etis di mana individu dapat mengembangkan diri secara utuh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual demi kesejahteraan bersama. Menurutnya setiap individu memiliki peran sesuai kapasitasnya untuk berkontribusi dan bekerjasama dalam mewujudkan kebahagiaan kolektif.
Sokongan Media
Selain itu, salah satu instrumen demokrasi yang tak kalah penting adalah kekuatan media yang informatif dan independen. Jangan sampai media terpuruk seperti zaman Orde Baru yang mengerang dalam takut. Hanya menjadi perpanjangan tangan penguasa yang menjadikan informasi sebagai alat penggiringan opini publik.
Media yang sewajarnya sebagai ruang publik yang obyektif, bila disandera oleh kepentingan-kepentingan tertentu, bisa-bisa kehilangan independensinya. Ruang publik bisa terkikis, kemudian lapuk.
Perlu direnungkan bersama: berapa banyak durasi dan eksemplar info yang Anda konsumsi setiap hari? Bukankah sepatutnya berisi informasi-informasi kontemplatif yang sarat makna dan layak didiskusikan? Mengapa bersalin rupa menjadi kabar-kabar kriminal berlimpah yang hanya menimbulkan fobia dan menyajikan derita korban?
Independensi
Tak dipungkiri, info-info kriminalitas memang perlu dan bernilai berita, namun apa kedalaman fungsi, makna dan nilai guna info tersebut dalam peningkatan kualitas manusia ketika didialogkan ataupun diperdebatkan. Yang terjadi adalah the death of meaning.
Memilih sikap netral, independen dan obyektif dalam menghadapi potensi tekanan politik merupakan sebuah kemewahan tersendiri bagi media belakangan ini. Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (2007) menggambarkannya sebagai fenomena hiperrealitas, dunia kesemuan yang sengaja menyembunyikan atau mendistorsi citra realitas sesungguhnya.
Tak keliru bila yang terjadi adalah menelurkan kesadaran semu (false consciousness) politik semata. Bila tidak segera diantisipasi, maka akan mengakibatkan pemutarbalikan semiotika dan semantika politik. Dimana setiap fragmen nilai-nilai luhur dalam politik menjadi lenyap tak berbekas, terjerembab dalam kedangkalan.
Tentu hal ini perlu diingatkan sejak dini agar demokrasi kita tak hanya berhenti pada tataran prosedural, namun naik kelas menjadi demokrasi substansial. Disebabkan kehendak Tuhan (vox Dei) yang adiluhung tak bisa hanya ditera berdasar indikator numerikal belaka tanpa penghayatan rasionalitas publik. Wallahu a’lam bis shawab. (*)