Liputan6.com, Yogyakarta – Upacara labuhan merupakan sebuah tradisi yang digelar dengan menyiapkan persembahan sesajen kepada roh halus yang mendiami suatu tempat. Upacara yang berkaitan dengan Keraton Yogyakarta ini digelar di beberapa titik yang dianggap sakral.
Nama labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung. Sesuai namanya, tradisi ini diisi dengan prosesi melarung atau membuang sesajen ke sungai atau laut sebagai bentuk persembahan kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat.
Mengutip dari laman Dinas Kebudayaan DIY, tradisi ini berawal di masa pemerintahan Panembahan Senopati. Demi mencari dukungan moril untuk memperkuat kedudukannya, ia meminta pertolongan sang penguasa Laut Selatan Kanjeng Ratu Kidul.
Panembahan Senopati kemudian membuat perjanjian kerja sama dengan Kanjeng Ratu Kidul agar bersedia membantu segala kesulitan Panembahan Senopati. Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati harus memberikan persembahan yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan.
Pada periode-periode berikutnya, upacara labuhan menjadi tradisi rutin di Kerajaan Mataram. Para raja Mataram pengganti Panembahan Senopati percaya bahwa Kanjeng Ratu Kidul hidup sepanjang masa, sehingga upacara labuhan terus dilestarikan. Tak hanya sebagai pemenuhan janji, tradisi ini sekaligus menjadi penghormatan atas ikatan perjanjian Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul.
Konon, jika kewajiban ini diabaikan oleh anak cucu Panembahan Senopati, maka Kanjeng Ratu Kidul akan murka. Kanjeng Ratu Kidul akan mengirim pasukan jin dan semua makhluk halus untuk menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan Mataram, termasuk menyebarkan penyakit maupun musibah.
Sementara itu, jika tradisi terus dipenuhi, maka Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat maupun Kerajaan Mataram. Bahkan, jika ada raja Mataram yang meminta bantuan kepadanya, Kanjeng Ratu Kidul dengan senang hati akan membantu.
Meski Kerajaan Mataram telah terbagi menjadi dua (Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta), tetapi kewajiban melaksanakan upacara labuhan masih terus dilakukan hingga kini. Dengan demikian, upacara labuhan yang telah menjadi warisan turun-temurun ini juga bertujuan untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan biasanya dilaksanakan sebelum hari penobatan Sri Sultan.
Upacara labuhan digelar di empat titik, Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih. Dahulu, tempat-tempat ini digunakan oleh raja-raja Mataram, terutama Panembahan Senopati, untuk bertapa dan berinteraksi dengan roh halus.
Tempat-tempat sakral tersebut dijuluki sebagai petilasan. Adapun jenis atau nama upacara labuhan yang dilaksanakan disesuaikan dengan nama tempat tersebut, di antaranya labuhan parangkusumo, labuhan merapi, labuhan lawu, dan labuhan dlepih khayangan. Sementara itu, terdapat upacara labuhan lain yang digelar di Keraton Yogyakarta, yakni labuhan dalem, labuhan alit, dan labuhan ageng.
Kata dalem dalam labuhan dalem digunakan untuk menyebut Sri Sultan. Disebut labuhan dalem karena upacara adat ini digelar atas kehendak Sri Sultan beserta para kerabat Keraton Yogyakarta.
Tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh keluarga raja. Sejak zaman kemerdekaan, waktu penyelenggaraan upacara labuhan adalah satu hari setelah upacara tingalan dalem, tetapi persiapannya dilakukan secara bersamaan.
Sementara itu, labuhan alit adalah upacara labuhan yang dilakukan di luar tahun Dal. Tradisi tahunan ini diisi dengan pelarungan benda-benda yang dibagi menjadi tiga bagian untuk dilabuh di tiga lokasi labuhan, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1226455/original/019970900_1462690456-20160508-Labuhan-parang-Kusumo-Boy-harjanto-1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)