Mitos Tradisi: Saparan Bekakak, Ritual Penyembelihan Boneka Pengantin untuk Tolak Bala

Mitos Tradisi: Saparan Bekakak, Ritual Penyembelihan Boneka Pengantin untuk Tolak Bala

Bekakak sebagai simbol utama dalam saparan bekakak bukan sekadar boneka pengantin tiruan. Pasangan pengantin ini juga melalui tahap prosesi layaknya pengantin pada umumnya yang diperinci dalam beberapa tahap, yakni midodareni bekakak, kirab temanten bekakak, penyembelihan pengantin bekakak, dan sugengan ageng.

Pelaksanaannya setiap Jumat dalam bulan Safar, yakni antara tanggal 10-20 pada pukul 14.00 WIB (kirab temanten bekakak). Sementara itu, penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00 WIB.

Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam, yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan utama saparan bekakak adalah proses pembuatan boneka pengantin yang membutuhkan waktu hingga delapan jam.

Bekakak laki-laki dan perempuan memiliki bentuk yang mirip seperti pengantin pria dan wanita pada umumnya lengkap dengan pakaian dan aksesori. Dua pasang pengantin bekakak masing-masing bergaya Solo dan Yogyakarta.

Proses pembuatannya diiringi dengan gejog lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama, yakni kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung, dan lain-lain. Usai beras ditumbuk, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, genderuwo, kembang mayang, dan ragam sesajen.

Sesajen yang disiapkan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak dan satu kelompok diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Selain itu, disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Sementara itu, pemilihan bulan Safar sebagai waktu pelaksanaan saparan bekakak berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa terkait bulan Safar yang dianggap sebagai bulan yang rawan musibah. Dengan demikian, saparan bekakak juga dilaksakan sebagai bentuk tolak bala untuk memohon keselamatan.

Penulis: Resla