Tim SAR Gabungan tak tinggal diam. Sejak Selasa, 2 September 2025, pukul 10.00 pagi, ketika Imanuel terakhir terlihat menyelam, operasi pencarian digelar tanpa henti.
Memasuki hari ketiga, Sabtu, 6 September 2025, upaya pencarian semakin intensif. Kepala Kantor SAR Pontianak, I Made Junetra, dengan suara yang berat namun penuh tekad, mengungkapkan detail operasi.
“Aqua Eye dan Echomap Livescope kami kerahkan,” ujarnya. Dua teknologi mutakhir yang biasanya dipakai untuk survei bawah air kini jadi senjata utama dalam misi kemanusiaan.
Aqua Eye, perangkat pemindai permukaan air berbasis drone dan sensor optik. Echomap Livescope, sonar real-time yang bisa memetakan dasar sungai hingga kedalaman ekstrem. Teknologi canggih, ya. Tapi tetap tak cukup melawan keganasan alam.
Arus Sungai Kapuas, kata Junetra, tak main-main. Deras. Tak terduga. Dan terus bergerak.
“Kami perluas area pencarian hingga enam nautical mile ke hilir,” tambahnya. Enam mil laut itu sekitar 11 kilometer dari titik tenggelam.
Bayangkan mencari satu tubuh manusia di sungai selebar ratusan meter, dengan arus yang terus menghanyutkan, di antara akar, batang kayu, dan endapan lumpur abadi.
Tapi tim SAR tak menyerah. Mereka tahu, setiap detik berharga. Setiap gelombang bisa membawa petunjuk. Atau justru mengubur harapan.
“Kami optimalkan hingga hari ketujuh,” tegas Junetra. Regulasi SAR memang memberi batas waktu. Tapi hati manusia? Tak mengenal batas.
Di balik seragam oranye, di balik peralatan canggih, ada manusia-manusia biasa yang berjuang melawan waktu, cuaca, dan kelelahan.
Mereka yang tak tidur demi secercah harapan. Mereka yang berdoa sambil memegang sonar. Mereka yang tahu, teknologi bisa gagal tapi tekad tak boleh padam.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5340159/original/051026900_1757148448-DSC_21865.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)