Liputan6.com, Bali – Seluruh desa di Bali umumnya membuat ogoh-ogoh sebagai bagian dari tradisi Nyepi, namun ada satu pengecualian. Desa Adat Renon, Denpasar, telah berhenti membuat ogoh-ogoh sejak 1986.
Hal ini dikarenakan peristiwa mistis yang mengubah keyakinan masyarakat setempat. Larangan ini masih berlaku hingga kini dan menjadikan Renon sebagai satu-satunya desa di Denpasar yang tidak mengikuti tradisi pengarakkan ogoh-ogoh.
Mengutip dari berbagai sumber, awal larangan ini bermula dari peristiwa malam pengerupukan tahun 1986. Saat itu, pemuda Renon membuat ogoh-ogoh raksasa dengan wujud yang sangat menyeramkan.
Selama prosesi pengarakkan, ogoh-ogoh tersebut menunjukkan perilaku aneh. Beberapa warga melihat matanya berkedip, mendengar suara tangisan dari dalam patung, dan menyaksikan ogoh-ogoh bergerak sendiri tanpa campur tangan manusia.
Kejadian semakin mencekam ketika warga mulai mengalami kerasukan massal. Mereka terjatuh, menangis, dan berbicara dengan suara asing. Puncaknya terjadi di Pura Dalem saat upacara penyucian, di mana banyak orang melihat bayangan hitam besar muncul di langit desa.
Peristiwa inilah yang membuat tetua desa memutuskan untuk menghentikan tradisi pembuatan ogoh-ogoh. Pada 1996, seorang warga bernama I Wayan Suarta mencoba menantang larangan ini.
Dengan persetujuan sesepuh desa, ia mulai membuat ogoh-ogoh baru. Akan tetapi, tanda-tanda alam segera muncul.
Ular poleng (ular belang hitam-putih) terlihat di lokasi pembuatan ogoh-ogoh, dianggap sebagai pertanda buruk dalam budaya Bali. Ketika Suarta pergi ke pura untuk memohon izin, ia mengalami kerasukan.
Peristiwa ini semakin mengukuhkan keyakinan masyarakat bahwa larangan pembuatan ogoh-ogoh bukan sekadar mitos. Sejak saat itu, tidak ada lagi warga Renon yang berani melanjutkan tradisi ini.
Ogoh-ogoh merupakan patung raksasa yang melambangkan Bhuta Kala, simbol kekuatan alam semesta dan waktu. Pembuatan dan pengarakkan ogoh-ogoh sebelum Nyepi dimaksudkan untuk mengusir energi negatif.
Akan tetapi, di Renon, tradisi ini dianggap membawa dampak berlawanan setelah peristiwa 1986. Hingga saat ini, Desa Adat Renon tetap konsisten tidak membuat ogoh-ogoh.
Setiap tahun, warga merayakan Nyepi tanpa mengadakan pawai ogoh-ogoh seperti desa lainnya. Larangan ini telah menjadi bagian dari aturan adat yang dipatuhi turun-temurun.
Penulis: Ade Yofi Faidzun
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5177695/original/070951500_1743224506-hl2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)