Jakarta, CNN Indonesia —
MIND ID memproyeksikan harga emas naik pada 2025 seiring dinamika pasar global dan kebijakan ekonomi yang diambil sejumlah negara.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo menyampaikan hal ini dalam acara MIND ID Commodities Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (26/11).
“Ini pasarnya 3-2 bulan. Kalau nyanyi-nyanyinya sampai akhir tahun ya mungkin nggak akan banyak berubah. Tapi kalau outlook sih ke depan kemungkinan akan naik kalau emas Copper,” ujar Dilo.
Kenaikan juga ia prediksi terjadi pada nikal. Ia memang memproyeksikan harga nikel stabil hingga akhir tahun ini di kisaran US$ 16 ribu per ton.
Tapi pada tahun depan, harganya berpotensi kenaikan. Menurut Dilo, kenaikan harga nikal akan dipicu suplai nikel dunia yang menurun akibat tingginya biaya produksi di sejumlah negara seperti Australia dan Filipina.
“Kalau harga LME-nya itu US$16 ribu terus dijadikan nickel-mite atau ferronickel kira-kira kan sekitar US$13.500. Nah kalau misalnya di kita cash cost-nya masih US$11 ribu, artinya kita masih creating profit. Masalahnya Australia nggak bisa, mereka sudah US$14 ribu mati. Nah begitu Australia nickel-nya mati, suplai berkurang,” jelasnya.
Selain imbas penurunan pasokan, Dilo kenaikan harga nikel juga akan ditopang pertumbuhan sektor properti di India yang mulai agresif.
Pertumbuhan itu akan menjadi penyeimbang atas penurunan sektor properti di Tiongkok. Hal ini katanya, akan membuka peluang bagi komoditas nikel untuk tetap diminati, tidak hanya untuk ekosistem baterai kendaraan listrik (EV), tetapi juga sektor konstruksi sehingga membuat harganya naik.
“Jadi untuk EV masih ada growth. Property memang sempat di China ada penurunan tapi di balance sama di India property-nya udah mulai lebih agresif. Jadi ini tadi nih yang saya pikir untuk komoditas nikel kan nggak harus semuanya ke EV. Tapi juga bisa ke properti kayak untuk timeless, untuk barang-barang yang seperti itu,” katanya.
Namun, sektor EV global menunjukkan pertumbuhan yang melambat akibat proteksi perdagangan dari beberapa negara besar.
“Tadinya pertumbuhannya maunya lebih besar, tapi karena beberapa negara melakukan proteksi-proteksi, harapan pertumbuhannya nggak sesuai dengan yang diharapkan,” pungkas Dilo.
(lau/agt)