Meriahnya Gebyuran Bustaman, Tradisi Perang Air Khas Semarang Menyambut Bulan Ramadan
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com –
Suara riuh ratusan warga memenuhi lorong-lorong sempit Kampung Bustaman, Purwodinatan, Semarang Tengah, Kota Semarang, pada Minggu (23/2/2025).
Dengan wajah yang dihiasi beragam coretan cat, mereka bersiap membawa puluhan kantong plastik berisi air berwarna-warni untuk merayakan tradisi unik yang dikenal sebagai
Gebyuran Bustaman
.
Tradisi ini telah ada sejak tahun 1742 dan dipelopori oleh Kyai Bustam.
Prosesi Gebyuran Bustaman dimulai dengan memandikan lima anak yang mengenakan kain jarik.
Suara beduk menggema, menandakan bahwa
perang air
telah dimulai.
Warga saling lempar dan menyerang dengan kantong-kantong plastik berisi air.
Salah satu warga Bustaman, Eva Yulianti, mengungkapkan rasa antusiasme terhadap tradisi ini.
“Sepertinya lebih meriah di tahun ini. Saya tinggal di sini. Tadi sudah nyiapin air warna-warni yang dibungkus plastik,” kata Eva saat ditemui
KOMPAS.com.
Dia merasakan bahwa partisipasi warga luar Bustaman turut menambah kemeriahan tahun ini.
Hal senada disampaikan oleh Fauzi, warga Bustaman lainnya.
Menurutnya, Gebyuran Bustaman merupakan salah satu tradisi unik yang dimiliki Kota Semarang.
“Dari tahun ke tahun agendanya sama, tapi ramai ini. Semoga bisa lebih baik dari yang sebelumnya,” ujarnya.
Aulia Istiq Fani, seorang pengunjung dari Candisari, juga ingin merasakan pengalaman Gebyuran Bustaman.
“Pertama kali ikut Gebyuran Bustaman, padahal saya asli Semarang, tapi baru sekali ini,” ujarnya.
Aulia mengaku terpesona dengan tradisi perang air ini, yang tidak ia temukan di kampungnya atau daerah lain.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, Wing Wiyarso, menjelaskan bahwa tradisi ini awalnya dilakukan oleh Kyai Bustam bersama anak dan cucunya menjelang Ramadhan.
“Tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan dilestarikan oleh warga Kampung Bustaman. Meski sempat terhenti, sejak tahun 2012 Gebyuran Bustaman kembali bergeliat,” ucap Wing.
Dia menambahkan bahwa ada filosofi di balik tradisi ini.
“Kyai Bustaman mengingatkan umat muslim untuk senantiasa membersihkan diri menjelang bulan Ramadhan, sehingga bisa menjalankan ibadah puasa dengan khidmat dan sesuai dengan kaidah agama Islam,” jelasnya.
Wing berharap agar tradisi yang telah mengakar selama ratusan tahun ini dapat terus dilestarikan dan bahkan diusulkan menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
“Ini adalah salah satu bentuk
kearifan lokal
menjelang bulan Ramadhan dan bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain. Semua orang pasti senang hati. Tentunya ini upaya Kyai Bustam untuk mengangkat nilai-nilai Islam sebagai ibadah kita kepada Allah,” pungkas Wing.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Meriahnya Gebyuran Bustaman, Tradisi Perang Air Khas Semarang Menyambut Bulan Ramadan Regional 23 Februari 2025
/data/photo/2025/02/23/67bb157e20fd4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)