Masyarakat Jawa percaya bahwa malam satu Suro bukanlah waktu yang tepat untuk menyambut kebahagiaan duniawi karena energi malam ini lebih cenderung berkaitan dengan hal-hal spiritual dan penyucian diri.
Menggelar pernikahan di malam satu Suro dianggap sebagai bentuk ketidakselarasan antara niat perayaan dengan energi kesunyian dan kekhusyukan malam tersebut.
Sebuah pernikahan yang dipaksakan pada malam satu Suro diyakini dapat membawa hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan rumah tangga, bukan karena malam itu sial, melainkan karena tidak selaras dengan nilai-nilai kebatinan yang dijunjung tinggi dalam tradisi Jawa.
Begitu pula dengan pindah rumah, yang dalam tradisi Jawa dianggap sebagai peristiwa besar yang memerlukan perhitungan matang dan restu spiritual. Melakukannya pada malam satu Suro dikhawatirkan akan mengganggu harmoni antara penghuni rumah baru dengan energi yang bersemayam di tempat tersebut.
Pantangan lainnya adalah larangan untuk berbicara keras, berteriak, atau membuat keributan pada malam satu Suro. Dalam budaya Jawa, suara yang keras tidak hanya mengganggu kenyamanan fisik, tetapi juga diyakini dapat mengusik makhluk-makhluk halus yang sedang bergentayangan atau melakukan perjalanan di malam yang penuh kekuatan spiritual ini.
Karena itulah, suasana malam satu Suro biasanya sunyi, penuh ketenangan, bahkan di beberapa desa, warga memilih untuk memadamkan lampu lebih awal sebagai bentuk penghormatan terhadap malam yang diyakini membawa dimensi spiritual tinggi.
Keheningan ini bukanlah bentuk ketakutan, melainkan wujud dari pengendalian diri, penghormatan terhadap yang tak terlihat, dan ikhtiar untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. Dalam keheningan itu pula, masyarakat diajak untuk merenung, menyucikan niat, serta mengingat kembali nilai-nilai kebajikan yang telah diwariskan oleh leluhur.
Tradisi-tradisi ini memang tidak lagi dipegang oleh semua lapisan masyarakat, terlebih di era modern yang kian rasional. Namun demikian, keberadaan pantangan malam satu Suro tetap menjadi warisan kultural yang kaya akan makna dan filosofi.
Ia mengajarkan manusia untuk memberi ruang bagi keheningan, untuk menahan diri dari kebisingan duniawi, serta untuk menghargai siklus waktu yang diyakini memiliki energi tersendiri. Pantangan-pantangan ini bukanlah larangan mutlak yang harus ditakuti, melainkan bentuk ajakan untuk hidup lebih sadar, lebih menghargai makna malam, dan lebih berserah pada kekuatan yang lebih tinggi.
Dalam konteks kekinian, mungkin kita tak lagi memaknai malam satu Suro secara mistik, namun esensinya tetap bisa diresapi: malam sebagai waktu untuk jeda, untuk pulang ke dalam diri, dan untuk menyambung kembali hubungan spiritual yang kerap terputus oleh kesibukan dunia.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5082411/original/036757500_1736234307-1736231482945_apa-itu-malam-satu-suro.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)