Menyelami Pesona Pasar Loak Jatinegara, Surga Barang Bekas di Jakarta Timur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Gapura tua dengan cat memudar berdiri di mulut sebuah gang kecil di Jalan Jatinegara Timur II, Jakarta Timur.
Tulisan “Pasar Jembatan Item” masih terlihat samar di bagian atasnya. Di sekeliling gapura, ranting-ranting pohon besar menaungi jalan masuk menuju kawasan yang telah dikenal sebagai pusat penjualan barang bekas sejak puluhan tahun lalu.
Pasar Loak
Jatinegara, yang juga disebut Pasar Jembatan Item, mulai ada sejak era 1970–1980-an. Awalnya, pasar ini hanya berupa tempat berkumpulnya pedagang barang bekas keliling.
Kawasan pasar kini membentang dari Jalan Jatinegara Timur II hingga Jalan Bekasi Barat III, Kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara.
Pasar ini buka setiap hari pukul 04.00–18.00 WIB, dengan beberapa pedagang yang beroperasi selama 24 jam.
Begitu memasuki gang, suasana langsung berubah dari jalan umum menjadi lorong pasar yang padat.
Lapak-lapak berdiri rapat di kiri dan kanan, sebagian beratap terpal warna merah marun, biru, atau kuning yang sudah memudar, dan sebagian lainnya menempel pada dinding bangunan atau rangka seng sederhana.
Pedagang tampak duduk di bangku plastik atau lesehan sambil menata barang dagangan.
Tumpukan dinamo kecil, radio tua, alat elektronik bekas, helm, jam tangan, aksesoris ponsel, dan barang lain memenuhi meja kayu dan etalase sederhana.
Sebagian pedagang memilih menggelar dagangan di atas karpet lusuh atau terpal yang dilapisi papan kayu, membuat lorong semakin sempit.
Kegiatan jual beli berlangsung di tengah suara pedagang menawarkan harga, dentingan logam digeser, dan motor yang sesekali melintas di lorong. Alur pengunjung dan kendaraan bercampur, sehingga pergerakan di dalam pasar berjalan perlahan.
Di bagian dalam, lapak-lapak mulai menampilkan kategori barang yang lebih spesifik. Sebuah etalase kaca berisi teko tembaga, piring kristal, patung kayu, ornamen perunggu, vas keramik, hingga kursi ukir.
Terpal kuning dan biru menaungi area itu, membuat cahaya matahari masuk secara temaram.
Masuk lebih jauh, lorong semakin padat oleh pedagang pakaian bekas. Celana panjang, jaket, baju, dan tas menggantung berderet dari ujung ke ujung. Koper berbagai ukuran bertumpuk dan mendorong batas jalan.
Jalur untuk berjalan menyempit hingga pengunjung harus beriringan, memberi ruang bagi motor pedagang atau pembeli yang lewat.
Memasuki kawasan dekat Jalan Masjid, jalan mulai melebar. Pedagang menggelar barang langsung di atas terpal di depan bangunan masjid bercat krem.
Barang yang dijual semakin beragam, mulai dari sandal, sepatu, mainan anak, buku, peralatan rumah tangga, hingga pakaian bongkaran kontainer.
Pergerakan motor dan pembeli berlangsung tanpa henti, menciptakan ritme aktivitas yang konstan di area ini.
Supri (54), pedagang barang antik di kios semi permanen dekat Jalan Bekasi Barat III, sudah berjualan sejak belasan tahun lalu.
“Saya mulai tahun 2012 apa 2013-an. Jadi ya hampir dua belas tahun lah saya buka kios di sini,” ujar Supri saat ditemui
Kompas.com
, Rabu (10/12/2025).
“Kalau lagi rame, bisa satu sampai Rp 1.000.000 sehari. Tapi kalau sepi, paling Rp 100,000-200.000,” kata dia.
Menurut Supri, kerugian terjadi ketika barang rusak karena retak atau karat, atau ketika ia membeli barang yang ternyata palsu.
Sementara itu, Raden (39) membuka lapak gelaran di terpal dekat pintu masuk. Barang yang ia jual antara lain
charger
HP,
earphone
, jam tangan bekas, korek,
casing
HP, dan lampu kecil.
“Kurang lebih sebelas tahun. Awalnya ikut saudara bantu-bantu, lama-lama buka sendiri,” ujarnya.
Ia membeli barang dari grosir di Glodok atau pengepul barang bekas. Pendapatannya berkisar Rp 50.000–100.000 per hari dan dapat mencapai Rp 200.000 saat akhir pekan.
“Kalau hujan, bisa enggak dapat apa-apa. Barang elektronik kecil itu rentan rusak kalau kena air atau panas. Pernah juga ketipu beli jam tangan, ternyata mesinnya mati total,” jelasnya.
Pedagang lain, Putra (39) berjualan di lorong tengah pasar. Ia menyediakan celana jeans, jaket, tas, koper, dan pakaian bekas lainnya.
“Baru enam tahun. Dulu kerja ojek
online
, terus ikut saudara buka lapak pakaian, akhirnya saya terusin sampai sekarang,” ucapnya.
Barang dagangan ia beli dari sabutan kontainer impor, pengepul rumah pindahan, atau warga yang menjual koper dan tas bekas.
“Kalau rame bisa Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Tapi kalau sepi ya cuma Rp 100.000-200.000. Sekarang agak susah karena banyak yang beli
online
,” katanya.
Kerugian sering terjadi ketika koper yang dibeli ternyata rusak atau ketika pakaian basah karena hujan deras sehingga tidak laku dijual.
Reza Pradipta (27), seorang karyawan swasta di bidang desain interior, mengatakan bahwa ia rutin datang ke Pasar Jembatan Item untuk mencari kebutuhan proyek.
“Saya lagi nyari dekorasi rumah yang
vintage
,” ujarnya.
Ia datang dua minggu sekali untuk mencari teko tembaga, bingkai kayu, jam dinding tua, hingga kursi besi bekas.
“Barang-barang di sini banyak yang enggak ada di toko mewah. Harganya lebih terjangkau,” katanya.
Menurut Reza, pembeli harus teliti melihat kondisi barang. Ia pernah membeli radio tua yang ternyata tidak bisa digunakan.
Reza menilai pasar tetap dikunjungi karena variasi barang yang banyak dan karakter fisik barang yang tidak umum ditemukan di toko modern.
“Pasti masih dikunjungi banyak orang, termasuk saya sendiri akan selalu ke pasar ini,” tutur dia.
Ia berharap penataan pasar dapat sedikit diperbaiki agar lebih nyaman bagi pengunjung.
“Mungkin dari dulu tidak ada perubahan ya, bahkan pedagangnya semakin banyak dan tidak tertata,” ucapnya.
Ridhamal Barkah, kolektor barang antik, menilai bahwa kualitas barang yang dijual di Pasar Jembatan Item saat ini berbeda dibanding beberapa tahun lalu.
“Barang bagus itu tidak pernah ada digelar di lapaknya. Sudah banyak yang diserap pedagang
online
,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Namun, ia menilai Pasar Jembatan Item masih menarik bagi pembeli yang ingin mencari barang langsung di lapak.
“Orang yang pengen jalan-jalan sambil
hunting
biasanya ke sini (Jembatan Item) karena barangnya baru turun dari kerombak dan belum dijamah pedagang
online
,” katanya.
Ridhamal menilai bahwa pedagang pasar loak umumnya belum aktif berjualan secara
online
sehingga pasar fisik tetap menjadi pilihan bagi sebagian pembeli yang mengandalkan pemeriksaan langsung terhadap kondisi barang.
“Menurut saya sih ke depannya juga pasti ada masa depannya lah, karena memang kebanyakan pedagang di pasar loak itu rata-rata tidak main di
marketplace
atau di
online
,” ucapnya.
Ia berharap aktivitas perdagangan tetap ramai agar pilihan barang tetap beragam.
“Harapannya sih tetap rame ya makin banyak juga yang dagang Jadi makin seru,” kata dia.
Meski menghadapi tantangan seperti persaingan penjualan
online
dan kondisi lapak yang tidak seragam, aktivitas perdagangan di pasar ini masih berlangsung dan menunjukkan dinamika pasar barang bekas yang terus bergerak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Menyelami Pesona Pasar Loak Jatinegara, Surga Barang Bekas di Jakarta Timur Megapolitan 12 Desember 2025
/data/photo/2025/12/11/693a4e52a8deb.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)