Liputan6.com, Semarang – Terungkapnya korupsi hingga ratusan triliun, membuka ruang diskusi penerapan hukuman mati. Kasus korupsi Pertamina, PT Timah, dan PT Antam, mencerminkan keresahan publik yang kian memuncak.
Banyak yang kemudian mengusulkan penerapan hukuman mati untuk menimbulkan rasa takut dan efek jera.
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menilai persoalan tersebut bukan hanya soal lemahnya pelaksanaan aturan, tetapi juga desain sistem yang kerap dimanipulasi oleh politisi korup dan kekuatan finansial oligarki.
Ada pula yang mengusulkan penerapan hukuman mati ini bagi juga berlaku para aparat penegak hukum (APH). Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat Hukum, juga KPK.
“Hukuman mati, misalnya untuk penegak hukum, mungkin memberi efek jera sementara. Akan tetapi jika tanpa perbaikan sistem, korupsi akan terus berulang,” kata Prof Henry Indraguna SH MH.
Menurutnya, kasus-kasus Mega korupsi seperti Jiwasraya, Pertamina, PT Timah, PT Antam menunjukkan pola bahwa pelaku utama di level atas sering lolos, sementara “pion” yang menjadi pelaksana justru dijadikan tumbal.
Menuri tindakan menempatkan hukum di bawah politik, memungkinkan pemilik modal besar atau oligarki hitam mendanai politisi untuk melindungi kepentingan mereka.
“Selalu ada wacana, siapapun yang menduga justru malah diminta membuktikan. Padahal rakyat tak punya wewenang untuk membuktikan. Tak punya wewenang memeriksa saksi, bahkan tak punya akses untuk melakukan investigasi,” katanya.
Ada Covid-19 Klaster TILIK di TEMANGGUNG
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5006692/original/079762600_1731655182-cara-hukuman-mati-di-indonesia.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)