Kombinasi gerakan dan musik yang membentuk Tari Likurai menjadi narasi utuh yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat NTT, sekaligus menjadi sarana pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi muda agar tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Dalam konteks modern, Tari Likurai telah mengalami berbagai transformasi tanpa menghilangkan identitas aslinya. Ia telah dipentaskan di berbagai panggung nasional dan internasional sebagai duta kebudayaan Indonesia Timur yang membanggakan.
Namun demikian, keberadaan tari ini juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pelestarian dan regenerasi. Perubahan pola hidup masyarakat, arus globalisasi yang masif, dan minimnya dokumentasi serta dukungan dari berbagai pihak membuat Tari Likurai perlahan mulai kehilangan tempatnya di hati sebagian generasi muda.
Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah konkret untuk merawat eksistensi Likurai, mulai dari integrasi dalam kurikulum pendidikan lokal, pelatihan berkala di sanggar-sanggar seni daerah, hingga promosi lewat media digital yang ramah generasi muda.
Pelestarian budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat yang mencintai kebhinekaan Indonesia. Dengan demikian, Tari Likurai tidak hanya akan menjadi catatan sejarah, tetapi tetap hidup dan berdenyut bersama zaman.
Tari Likurai bukanlah sekadar gerakan yang enak dipandang atau musik yang enak didengar, melainkan simbol nyata dari kehidupan, perjuangan, dan harapan masyarakat NTT. Ia adalah warisan yang sarat nilai, yang mengajarkan tentang keberanian dalam menjaga identitas, tentang kesetiaan terhadap akar budaya, dan tentang kebanggaan menjadi bagian dari bangsa yang beragam.
Saat kita menyaksikan Likurai ditarikan dalam upacara adat atau festival budaya, sesungguhnya kita sedang menyaksikan narasi panjang sebuah masyarakat yang dengan bangga berdiri di atas pijakan leluhur.
Maka dari itu, memahami Tari Likurai adalah memahami bagian penting dari jiwa Indonesia, dan melestarikannya adalah bentuk nyata cinta kita terhadap kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2254914/original/093822600_1529507578-20180620_141228_1_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)