Menguak Sejarah Jalan Braga, Ikon Fesyen Bandung Sejak Abad ke-19 Bandung 14 Agustus 2025

Menguak Sejarah Jalan Braga, Ikon Fesyen Bandung Sejak Abad ke-19
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        14 Agustus 2025

Menguak Sejarah Jalan Braga, Ikon Fesyen Bandung Sejak Abad ke-19
Tim Redaksi
BANDUNG, KOMPAS.com
– Di balik hingar bingar musik, deru kendaraan, dan derap langkah pejalan kaki, Jalan Braga di Kota Bandung, Jawa Barat, menyimpan kisah sebagai pusat fesyen di era Hindia Belanda.
Mulai populer sejak akhir abad ke-19, ruas jalan ini menjadi simbol gaya hidup kaum elite. Deretan butik pakaian, toko roti, hingga kafe menjelma sebagai wajah modernitas kala itu.
Simbol-simbol itulah yang kemudian mengukuhkan julukan Bandung khususnya Jalan Braga sebagai “Parijs van Java”. Sebuah ikon kemodernan yang membuat para saudagar kaya terpincut untuk berpakansi.
Menurut penulis sekaligus peneliti sejarah Atep Kurnia, Jalan Braga pertama kali ramai dikenal sebagai pusat niaga sejak 1894. Saat itu, Carl August (C.A.) Hellerman membuka toko pertama yang menjual sepeda dan senjata api di ruas jalan ini.
“Pertumbuhan Braga menjadi Winkelstraat (jalan perdagangan) atau Winkelbuurt (lingkungan perdagangan) yang nantinya memang ada kaitannya dengan mode dan bahkan sebutan Parijs van Java,” katanya saat dihubungi, Rabu (13/8/2025).
Saat itu, Jalan Braga masih sederhana. Aspal pun belum melapisi permukaan tanahnya, sementara pepohonan nan tinggi berjajar rapih di sisi kiri dan kanan, seolah menjadi peneduh bagi para pejalan kaki.
Lima tahun kemudian, pada 1899, kawasan ini ditetapkan sebagai permukiman warga Belanda dan Eropa lainnya di Bandung. Wilayahnya dikenal sebagai Kajaksaan Hilir dan Kajaksaan Girang.
Atep menuturkan, dari hasil penelusurannya, nama Braga kemungkinan besar berasal dari Toneelvereniging Braga, sebuah perkumpulan seni pertunjukan (tonil) di masa kolonial.
Meski begitu, ia mencatat, ada beragam versi lain mengenai asal-usul nama jalan legendaris ini.
“Disebut jalan Braga di mulut jalan dekat Jalan Asia Afrika atau De Grooten Post Weg ada bangunan yang menyatu dengan Gedung Concordia baru ada tahun 1882. Jadi seharusnya nama Jalan Braga baru digunakan setelah 1882,” kata Atep.
Seiring waktu, kata Atep, usaha Hellerman kian berkembang pesat. Memasuki awal abad ke-20, mulai bermunculan toko lainnya, dan di pelopori oleh dua pengusaha asal Belgia yakni Hagelstein, seorang penjahit pakaian terkenal, dan Coorde, pedagang permata.
Dari sinilah citra Braga sebagai pusat mode kian menguat. Bahkan istilah “Parijs van Java” pertama kali muncul pada 1904 yang diungkapkan oleh redaktur surat kabar Bintang Hindia.
“Karena Braga pusat niaga di antara barang yang di jual adalah pakaian atau mode. Sejak saat itu orang Eropa yang di Bandung sangat memperhatikan mode dan kiblatnya jelas di Paris,” ucap Atep.
Selain itu, istilah-istilah Perancis tentang mode pun mulai banyak diserap hingga akhirnya menjadi populer di kalangan orang-orang Eropa, mulai dari kata modiste untuk penjahit pakaian perempuan hingga nama toko seperti Mode Magazine.
Menurut Atep, pengaruh itu tidak hanya melekat pada warga Eropa yang tinggal di Bandung saja, tetapi juga memikat orang-orang pribumi.
“Parijs van Java bukan hanya berkait dengan orang-orang yang suka mode tapi juga dengan kebiasaan bersolek terutama untuk perempuan,” tuturnya.
Ia berpendapat, keberadaan Braga sebagai pusat fesyen dapat bertahan lama, salah satunya karena letaknya yang strategis di jantung kota.
Inilah yang kemudian menjadi magnet yang menarik beragam kalangan untuk datang, berbelanja, atau sekadar menikmati suasana.
Atep mencatat, pada periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dinamika pemilik toko di Braga berlangsung cepat. Dalam rentang waktu tersebut, sebuah toko bisa berganti kepemilikan dan komoditas.
“Kalau di jalan Braga itu nggak jauh dari perhiasan, pakaian, kendaraan kayak sepeda, motor, mobil yang lifestyle bertahan seiring berjalannya waktu,” katanya.
Ia menambahkan, di era Hindia Belanda, Jalan Braga adalah pusat perbelanjaan kelas atas, tempat kalangan elite dan
high society
berkumpul.
Status itu menjadikannya bukan sekedar jalan biasa, tetapi legenda yang bertahan dalam ingatan masyarakat Bandung hingga sekarang.
“Secara keletakan di jantung kota yang sangat strategis dan secara core bisnis tidak jauh dari niaga, dan fisiknya masih dipertahankan,” pungkas Atep.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.