Liputan6.com, Gunungkidul – Dalam harmoni budaya Jawa, rumah bukan sekadar tempat bernaung, melainkan ruang hidup yang penuh makna. Dari sekian banyak sudut, pawon (dapur) menjadi salah satu bagian yang paling kaya cerita dan nilai. Meski terkesan sederhana, ruangan ini adalah denyut nadi yang menghidupi seisi rumah.
Menurut, Heri Nugroho, Angggota DPRD yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Gunungkidul, Pawon bukan hanya dapur dalam pengertian teknis, melainkan juga tempat menyimpan, menyambung, dan merawat kehidupan. Secara bahasa, “pawon” berasal dari akar kata “awu” yang berarti abu. Dari kata ini terbentuk kata “pa-awu-an”, atau tempat abu, yang kemudian disingkat menjadi “pawon”. “Makna ini mencerminkan fungsinya yang paling dasar tempat membakar kayu untuk memasak, menghasilkan api dan abu, serta menghangatkan rumah,” kata Heri.
Namun, seperti halnya banyak konsep dalam budaya Jawa, pawon menyimpan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar tempat api menyala. Pawon dalam rumah tradisional Jawa biasanya terletak di bagian belakang rumah. Ruangan ini dibangun tanpa plester, dengan dinding bata merah atau anyaman bambu, serta lantai tanah atau semen kasar. Atapnya sering kali terbuat dari genteng tanah liat, dan di dalamnya nyaris tak ada pembatas. Ini adalah ruang terbuka, tidak sekadar fisik, tetapi juga sosial.
Di dalam pawon, Heri menyampaikan, terdapat tungku tanah liat atau kadang anglo dari besi, tempat kayu bakar disusun rapi untuk menyalakan api. Di atasnya dipasang wajan besi atau panci tanah liat, yang digunakan untuk memasak nasi, sayur lodeh, atau membuat jenang.
Pada sudut ruangan, ada tempat menyimpan lading, wajan, cobek, dan uleg-uleg, hingga peralatan memasak tradisional yang masih digunakan hingga kini. Langit-langit pawon sering digunakan sebagai tempat menggantung hasil panen, seperti jagung, ketela pohon, cabai, atau daun tembakau. Di tempat ini, bahan makanan dijemur perlahan oleh panas dari api yang terus menyala, sekaligus disimpan untuk masa-masa sulit. Pawon menjadi semacam lumbung mikro, simbol ketahanan pangan di level rumah tangga.
Namun lebih dari itu, lanjutnya, pawon adalah ruang kehidupan. Setiap pagi, aroma kayu terbakar dan kopi tubruk menyeruak dari pawon, mengiringi langkah anggota keluarga yang hendak memulai hari. Di sinilah, ibu-ibu memasak sambil berbincang dengan anak-anaknya. “Di sini pula, tetangga kerap datang, bukan untuk urusan penting, tetapi sekadar numpang menggoreng tempe atau menyeruput kopi,” ungkap Heri.
Dalam tradisi Jawa, pawon juga dipercaya sebagai tempat yang sakral. Beberapa mitos berkembang dari generasi ke generasi. Salah satu kepercayaan menyebut bahwa pawon adalah tempat yang dihuni oleh leluhur, sehingga harus dijaga kebersihannya dan tidak boleh digunakan sembarangan.
Bahkan, dalam keadaan tertentu, pawon dijadikan tempat menyiapkan air doa atau membuat jamu yang dipercaya membawa berkah. Letak pawon yang berada di belakang rumah bukan tanpa alasan. Ini mencerminkan nilai kerendahan hati. Api sebagai simbol energi dan kehidupan diletakkan di tempat tersembunyi, tidak dipamerkan. “Dalam falsafah Jawa, kekuatan yang sejati justru berada di balik layar, tidak memerlukan sorotan,” terang Heri.
Heri menambahkan, sebagai ruang sosial, pawon memainkan peran penting dalam membangun kebersamaan. Saat hajatan desa, pawon menjadi dapur umum tempat ibu-ibu bergiliran memasak. Mereka datang bukan hanya membawa bahan makanan, tetapi juga cerita, tawa, bahkan kadang keluh kesah. “Kebersamaan itu dibangun dari uap panas yang mengepul, dari kepulan asap yang membumbung bersama rasa gotong royong,” ujarnya.
Meski begitu, keberadaan pawon kini mulai tergerus zaman. Gaya hidup modern menggantikan pawon dengan dapur bersih, kompor listrik, dan peralatan instan. Anak muda kota lebih mengenal microwave daripada tungku. Pawon, dalam bentuk fisiknya, semakin langka pada saat ini. Heri menuturkan bahwa, hilangnya pawon bukan sekadar bergantinya alat memasak, melainkan bergesernya cara hidup, dari yang komunal menjadi individual, dari yang terbuka menjadi tertutup.
Namun harapan belum padam. Di beberapa desa wisata seperti Nglanggeran atau Bejiharjo, Gunungkidul, pawon dihidupkan kembali sebagai bagian dari atraksi budaya. Wisatawan diajak memasak dengan tungku, mengiris daun singkong, menanak nasi dalam kendil tanah liat. “Kegiatan ini bukan hanya pelestarian, tapi juga pembelajaran tentang nilai hidup yang terkandung dalam kesederhanaan, tapi lebih dari itu, pawon adalah tempat hidup menyala, merekatkan keluarga, menghidupi masyarakat, dan menyimpan nilai-nilai kebudayaan yang tak lekang oleh waktu,” pungkasnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5248371/original/023435400_1749606889-20250611_084533.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)