Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mengenal Sungkem Tlompak, Tradisi Penghormatan Alam di Kaki Gunung Merbabu Yogyakarta 3 April 2025

Mengenal Sungkem Tlompak, Tradisi Penghormatan Alam di Kaki Gunung Merbabu
                
                    
                        
                            Yogyakarta
                        
                        3 April 2025

Mengenal Sungkem Tlompak, Tradisi Penghormatan Alam di Kaki Gunung Merbabu
Tim Redaksi
MAGELANG, KOMPAS.com –
Urat leher Alip menegang ketika suara beratnya melontarkan perintah agar tidak melupakan Tlompak, mata air di kaki
Gunung Merbabu
.
Tapi, konon, itu bukan kemauan Alip untuk berbicara.
Kondisi juru kunci belik itu sudah berbeda sebelum tradisi
Sungkem Tlompak
dimulai.
Dalam perjalanan menuju mata air, Alip mesti dipapah, bahkan digendong untuk menuruni anak tangga.
Upaya untuk menjaga kesadaran pria berusia 60-an itu dilakukan dengan menyelipkan sigaret ke mulutnya, kendati sempat diisap-embuskan, tetap saja buntu dan akhirnya lemas.
Alip langsung bertenaga penuh ketika ritual Sungkem Tlompak dimulai.
“Jangan melupakan pepunden ini. Lihat saja kalau lupa,” titahnya yang merujuk Tlompak.
Dia juga mendoakan limpahan rezeki dan keselamatan hidup bagi mereka yang menghormati Tlompak.
“Mungkin kemasukan Mbah Singo Barong,” kata Sujak (72), pemimpin upacara Sungkem Tlompak, mengenai kondisi Alip, Kamis (3/4/2025).
Singo Barong, bersama Silem Dalem dan Dewi Nawang Wulan, diceritakan menjadi sosok penunggu Tlompak yang berada di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kondisi mata air terlindungi rimbunnya hutan di lereng Gunung Merbabu. Air mengalir ke sembilan saluran yang masing-masing dipercaya punya khasiat tersendiri.
Masyarakat setempat dan sekitar memuliakan Tlompak dengan segala mitos yang melingkupinya.
Sujak, bernama asli Parto Wiyoto, selalu didapuk memimpin prosesi Sungkem Tlompak yang dimulai dengan perjalanan dari Dusun Keditan, Desa Pogalan, Pakis. Dengan pelbagai sesaji, dia merapal doa-doa kepada Semesta.
Sungkem Tlompak adalah ziarah ke mata air yang bermula dari situasi paceklik pada zaman lampau. Tradisi ini biasa dilaksanakan setiap tanggal 5 Syawal atau hari kelima Idulfitri.
Akan tetapi, 5 Syawal 1446 H jatuh pada Jumat (4/4/2025) yang kegiatannya akan bertabrakan dengan salat jumat. Sehingga tahun ini Sungkem Tlompak dimajukan satu hari.
Sujak menuturkan, Sungkem Tlompak harus dilakukan karena merupakan ungkapan syukur kepada leluhur atas kehidupan yang masih berlangsung. “Kalau tidak dilakukan, terjadi tulah sarik (mala) lewat apa saja. Bisa rezeki sulit sampai kecelakaan,” ungkapnya.
Sungkem Tlompak pun tetap digelar sewaktu pandemi Covid-19 merebak. Hanya saja, dia bilang, warga yang berziarah dibatasi dan mesti memakai masker.
Di tengah prosesi tersebut, ditampilkan pula tari prajuritan bernama Campur Baur. Sebelum beraksi, para penari membasuh muka dan perlengkapan tari dengan air di Tlompak usai ritual.
Singgih Arif Kusnadi (36), warga Dusun Gejayan, mengatakan Sungkem Tlompak merupakan bentuk penghormatan atas alam. Bahkan, masyarakat pantang untuk menebang pohon di area Tlompak karena sejumlah mitos yang menyelubunginya.
Dampak baiknya masyarakat memiliki kesadaran untuk menanam pohon di lingkungan mata air, misalnya, berupa pohon beringin.
“Tradisi ini mempunyai spirit ekologis,” ucap Singgih, pemimpin kelompok kesenian rakyat di desanya bernama Padepokan Wargi Budoyo.
Sungkem Tlompak ditengarai berawal saat kondisi gagal panen serta susah cari makan yang dihadapi warga Dusun Keditan.
Masyarakat kemudian menghelat syukuran memohon kepada Semesta supaya jauh dari mala. Selain berdoa, mereka juga menggelar pentas kesenian untuk menolak bala.
Tidak ada sumber tertulis yang menyebut waktu persis kali pertama tradisi tersebut digelar. Menurut penuturan sesepuh, Sungkem Tlompak sudah digelar sejak masa kolonialisme Belanda.
Singgih menyatakan, bagi warga sekitar lebaran sesungguhnya saat berlangsungnya Sungkem Tlompak. Pasalnya, hal itu juga menjadi ajang bersilaturahmi.
“Sungkem Tlompak ini menjadikan Dusun Gejayan dan Keditan seperti keris dan warangka atau sebaliknya,” cetusnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa