Mengenal Perjanjian Tertutup dalam Dunia Usaha yang Tidak Selalu Berdampak Buruk

Mengenal Perjanjian Tertutup dalam Dunia Usaha yang Tidak Selalu Berdampak Buruk

Jakarta, Beritasatu.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof Ningrum Natasya Sirait menjelaskan, perjanjian tertutup (exclusive dealing) tidak selalu berdampak buruk. Menurutnya, ada kalanya perjanjian tersebut justru memberikan manfaat positif bagi pelaku usaha dan tidak selalu mengarah pada persaingan usaha yang tidak sehat.

“Tidak semua perjanjian tertutup menimbulkan dampak anti-persaingan,” ungkap Prof Ningrum Natasya kepada awak media di Jakarta, Jumat (17/1/2025).

Prof Ningrum menjelaskan, perjanjian tertutup dapat meningkatkan skala ekonomi bagi masing-masing pihak dan mengurangi ketidakpastian dalam distribusi produk. Perjanjian ini juga berpotensi mendorong efisiensi dengan mengurangi biaya transaksi antara produsen dan distributor.

“Transaksi ini mencakup biaya monitoring, observasi, dan pengawasan yang biasa digunakan pelaku usaha untuk menjaga kestabilan distribusi. Dengan adanya perjanjian tertutup, pelaku usaha bisa lebih efisien karena biaya-biaya tersebut dapat ditekan,” lanjutnya.

Ningrum menambahkan, perjanjian tertutup juga dapat meningkatkan kepastian dalam menjalankan kegiatan usaha, sekaligus mengurangi perilaku distributor yang mengambil peluang arbitrase. Hal ini terjadi ketika distributor membeli produk dalam jumlah besar untuk dijual kembali ke pasar lain dengan harga yang berbeda, sehingga meraih keuntungan.

Namun, ia mengakui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian tertutup dianggap ilegal tanpa perlu membuktikan dampaknya. Meski demikian, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diharapkan menggunakan pendekatan rule of reason untuk membuktikan adanya dampak negatif yang mungkin timbul dari perjanjian tertutup tersebut.

“KPPU harus cermat dalam menangani kasus persaingan usaha tidak sehat yang berkaitan dengan perjanjian tertutup,” katanya.

Ningrum menjelaskan, teori foreclosure sering digunakan untuk menganalisis dampak perjanjian tertutup terhadap persaingan usaha. Teori ini fokus pada apakah tindakan tersebut menghalangi pesaing untuk memasuki pasar, sehingga berpotensi mengurangi persaingan sehat.

Jika hambatan yang ditimbulkan masih tergolong rendah dan masih memungkinkan pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar, maka tindakan tersebut tidak dianggap menghalangi persaingan. Dengan pendekatan rule of reason, KPPU dapat menilai apakah perjanjian distribusi tersebut menghambat akses pasar bagi pelaku usaha lain di tingkat distributor.

“Jika perjanjian distribusi menghasilkan efisiensi, seperti pengurangan biaya distribusi dan tidak merugikan konsumen terkait harga atau ketersediaan produk, KPPU sebaiknya mempertimbangkan dampak positif dari perjanjian tersebut,” tegasnya.

Ningrum mengingatkan, penting bagi pelaku usaha yang akan membuat perjanjian tertutup untuk selalu memperhatikan dampak positif dan negatif dari kesepakatan tersebut. Semakin besar dampak positif yang dihasilkan, semakin besar peluang untuk menciptakan efisiensi dalam kegiatan usaha yang tetap bersaing secara sehat.

“Sebaliknya, jika dampak negatif (efek anti-persaingan) lebih dominan, KPPU bisa membatalkan perjanjian tertutup setelah melalui proses penyelidikan dan pemeriksaan,” pungkasnya.