TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex atas status pailit mereka. Dengan putusan ini, status pailit Sritex telah berkekuatan hukum tetap.
“Amar putusan, tolak,” tulis laman Kepaniteraan MA.
Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit pada Senin (21/10/2024) lalu. Putusan dijatuhkan atas permohonan yang diajukan PT Indo Bharat Rayon.
Berdasarkan sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang, pemohon yang merupakan debitur, menyebut termohon yaitu Sritex, telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
Kemudian, pemohon meminta Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi) dibatalkan. Pemohon meminta para termohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Atas putusan itu, Sritex mengajukan kasasi atas putusan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Sebelum dinyatakan pailit oleh pengadilan, perusahaan yang sudah berjalan selama 36 tahun itu mengalami kesulitan keuangan sejak tahun lalu hingga utangnya menumpuk.
Berdasarkan laporan keuangan per September 2023, total liabilitas perusahaan tercatat US$1,54 miliar atau Rp23,87 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS).
Namun, kata Koordinator Serikat Pekerja Sritex Grup, Slamet Kaswanto masih ada peluang melalui upaya ‘Going Concern’ meski kasasi ditolak MA. Ia menilai solusi ‘Going Concern’ sangat penting untuk menyelamatkan operasional perusahaan dan nasib ribuan karyawan.
Serikat pekerja mendesak agar status ‘Going Concern’ segera diberlakukan. Dikutip dari buku ‘Hukum Kepailitan: Rapat-rapat Kreditor karya Elyta Ras Ginting ‘going concern’ merupakan istilah yang biasa digunakan di bidang akuntansi yang berkaitan dengan laporan keuangan (financial statement) suatu perusahaan (entity) yang dibuat oleh akuntan publik secara profesional.
Para ahli pada umumnya sependapat bahwa keadaan ‘going concern’ dalam praktik bisnis digunakan sebagai parameter dalam memperkirakan kemampuan suatu entitas untuk mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu, biasanya 1 tahun ke depan.
Masih bersumber pada buku yang sama, meskipun tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”), dalam praktik pengurusan dan pemberesan harta pailit, keadaan going concern dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan pilihan untuk melikuidasi jika harta pailit debitur telah insolven
Elyta Ras Ginting dalam buku yang sama mengutip Michael C. Dennis dalam artikel “The Going Concept and The Auditor’s Opinion Letter” mengemukakan ada 9 indikator yang dapat dijadikan acuan bagi para akuntan untuk tidak memberikan opini going concern jika ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Arus uang kas minus
2. Mengalami kerugian secara terus menerus
3. Menurunnya penjualan dan permintaan secara signifikan
4. Tidak dapat membayar utang kepada kreditur separatis
5. Telah melanggar kesepakatan perjanjian pinjaman
6. Adanya kewajiban yang belum jatuh tempo yang harus dilaksanakan pembayarannya
7. Terjadi pengembalian produk secara massal (Major products recalls);
8. Perusahaan mendapat sanksi pajak (Taxs liens placed on the business);
9. Perusahaan sedang digugat secara hukum atas pelanggaran hak personal dari seseorang yang dilakukan oleh perusahaan (Law suits filed against the company in particular personal injury suit).
Dengan demikian, Elyta Ras Ginting menjelaskan bahwa going concern value suatu usaha dalam praktik bisnis tidak dapat diperkirakan, akan tetapi hanya mungkin diketahui dari hasil audit keuangan yang dilakukan oleh seorang ahli atau auditor yang dalam memberikan opini mengenai going concern, berpatokan pada rasio-rasio keuangan dari usaha tersebut.
Penerapan prinsip going concern biasanya dilakukan oleh kurator mencakup evaluasi kelayakan operasional, penyusunan laporan keuangan, pengungkapan ketidakpastian, penilaian aset dan kewajiban.
Manajemen perusahaan juga harus mengevaluasi kemampuan perusahaan untuk terus beroperasi dalam jangka waktu yang dapat diperkirakan ke depan. Jika ada keraguan tentang kelangsungan hidup perusahaan, manajemen harus mengungkapkan hal tersebut dalam laporan keuangan.