Mengapa "Rojali" Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja? Megapolitan 27 Juli 2025

Mengapa "Rojali" Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juli 2025

Mengapa “Rojali” Pilih Nongkrong di Mal meski Tidak Belanja?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com 
– Fenomena “
Rojali
” alias rombongan jarang beli di pusat perbelanjaan terus jadi sorotan, termasuk di Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Meski sering kali diidentikkan dengan pengunjung yang hanya berjalan-jalan tanpa belanja, banyak dari mereka justru merasa mal adalah ruang nyaman untuk rehat dari penatnya hidup di kota besar.
Bagi pengunjung seperti Roshi (25) karyawan swasta asal Malang, mal bukan hanya tempat mencari barang, tapi juga zona aman untuk perempuan.
“Sekarang jadi perempuan itu harus waspada banget kalau di ruang terbuka. Kalau di mal lebih nyaman, lebih aman juga,” kata Roshi saat ditemui
Kompas.com
tengah bersantai di lantai 3A Grand Indonesia, Minggu (27/7/2025).
Senada, temannya Rani (22) menganggap mal sebagai tempat cuci mata sekaligus terapi mental usai kerja seminggu penuh.
“Lihat barang lucu, lihat orang-orang
happy,
kita jadi ikut
happy
juga. Kalau cocok, nanti balik lagi,” kata dia.
Fenomena ini bukan sekadar soal enggan belanja. Banyak pengunjung merasa keberadaan mal mengisi kekosongan ruang publik yang seharusnya dimiliki kota.
Sebagian besar dari mereka datang bukan karena konsumtif, melainkan karena butuh ruang aman.
Meski mengapresiasi ruang hijau seperti Hutan Kota GBK, ia menyebut ruang publik terbuka sering kali tidak menjamin kenyamanan, apalagi privasi.
“Kalau mal itu ada AC, tenang, enggak terlalu terbuka, dan yang penting di mal lebih aman,” ujar Rani.
Sementara penjaga toko optik di Grand Indonesia, Arlo (27) membenarkan bahwa tren pengunjung hanya melihat tanpa membeli makin masif di 2025.
“Dulu orang ke optik itu pasti beli. Sekarang banyak yang nyoba-nyoba, bahkan ada yang cuma bikin konten,” ujar dia.
Arlo bekerja di bidang retail sejak 2017 dan merasakan penurunan penjualan hingga 30 persen dalam dua tahun terakhir.
“Dulu bisa 80 persen yang datang itu beli. Sekarang tinggal 50-60 persen,” imbuh dia.
Diketuai Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan, fenomena Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan, namun bisa menjadi gejala sosial akibat tekanan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
“Kelompok atas juga mulai menahan konsumsinya,” ujar dia, Jumat (25/7/2025).
BPS belum memiliki survei khusus tentang Rojali. Namun, data Susenas Maret 2025 menunjukkan kenaikan angka setengah pengangguran di perkotaan dan peningkatan harga bahan pokok telah mempersempit ruang konsumsi rumah tangga bawah.
“Rojali bisa jadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan. Jangan cuma fokus ke angka kemiskinan, tapi juga lihat stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah,” kata Ateng.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.