Mengapa Keluarga Murdaya Poo Pilih Borobudur untuk Kremasi, Bukan di Krematorium? Regional 17 April 2025

Mengapa Keluarga Murdaya Poo Pilih Borobudur untuk Kremasi, Bukan di Krematorium?
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        17 April 2025

Mengapa Keluarga Murdaya Poo Pilih Borobudur untuk Kremasi, Bukan di Krematorium?
Editor
MAGELANG, KOMPAS.com
– Rencana kremasi pengusaha nasional Murdaya Widyawimarta Poo di Dusun Ngaran II, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, menimbulkan pertanyaan. Mengapa lokasi itu yang dipilih, bukan di krematorium seperti umumnya?
Jawabannya terletak pada keyakinan agama dan tradisi dalam Buddhisme, yang hanya diterapkan untuk tokoh-tokoh tertentu dengan penghormatan khusus.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jawa Tengah, Tanto Soegito Harsono, menjelaskan bahwa keluarga
Murdaya Poo
memilih lokasi di Borobudur karena dekat dengan pusat spiritual umat Buddha, dan untuk melaksanakan ritual kremasi terbuka—sebuah bentuk penghormatan yang sangat sakral.
“Untuk agama Buddha, kremasi dengan kayu hanya untuk tokoh (terpandang) dan bhante karena ada tata caranya. Umat biasa kremasi mesin,” jelas Tanto saat mediasi di Kantor Sekretariat Daerah Magelang, Rabu (16/4/2025).
Dalam proses tersebut, jenazah akan dibakar dengan kayu cendana setinggi sekitar dua meter, dikelilingi batu untuk membatasi api, serta ditutup dengan tenda khusus untuk biksu dan umat yang ingin berdoa.
Abu jenazah nantinya akan dibawa ke Bogor, Jawa Barat, oleh pihak keluarga.
“Kami tidak pernah berencana untuk membangun krematorium,” tegasnya, menampik kekhawatiran warga soal pemanfaatan jangka panjang lahan.
Murdaya disemayamkan sejak 14 April hingga 6 Mei 2025 di Vihara Griya Vipasana Avalokitesvara Mendut, lokasi yang hanya berjarak beberapa kilometer dari rencana kremasi di Dusun Ngaran II, tepatnya di lahan milik istrinya, Siti Hartati Murdaya, dekat Graha Padmasambawa.
Lokasi tersebut dipilih karena nilai spiritual kawasan Borobudur dan koneksi personal keluarga Murdaya dengan lingkungan umat Buddha di sana.
Meski prosesi tersebut bersifat sekali pakai dan bukan pembangunan krematorium, sebagian warga Dusun Ngaran II menolak rencana tersebut. Mereka menyampaikan keberatan karena kremasi dilakukan di tengah permukiman.
“(Warga) menolak apapun bentuknya,” ujar Kepala Dusun Ngaran I dan II, Maryoto.
Warga mengkhawatirkan dampak asap, bau, hingga ketidaknyamanan sosial, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Mediasi antara warga, pihak keluarga melalui Walubi, dan Pemerintah Kabupaten Magelang berlangsung selama hampir empat jam, namun belum menghasilkan kesepakatan. Namun, Bupati Magelang Grengseng Pamuji berharap diskusi tetap berlanjut.
“Kalau belum ada (kesepakatan), dengan segala kerendahan hati, mari duduk bersama lagi,” ujarnya.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.