PIKIRAN RAKYAT – Orang-orang di seluruh dunia semakin sedikit yang memiliki anak, dan ini bukan semata-mata karena mereka tidak menginginkannya.
Menurut temuan PBB, rata-rata tingkat kesuburan global kini turun hingga kurang dari setengah dari tingkatnya pada tahun 1960. Angka ini telah berada di bawah “tingkat pengganti” yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan jumlah penduduk di sebagian besar negara.
Di tengah penurunan bersejarah tersebut, hampir 20% orang dewasa usia reproduksi dari 14 negara di seluruh dunia menyatakan bahwa mereka kemungkinan tidak akan bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan, hal ini disampaikan dalam laporan yang dirilis minggu ini oleh United Nations Population Fund (UNFPA), badan PBB yang menangani kesehatan dan hak reproduksi. Namun, bagi sebagian besar dari mereka, penyebabnya bukan karena kemandulan yang menghalangi mereka untuk melakukan hal tersebut. Mereka menyebut berbagai faktor seperti keterbatasan finansial, hambatan dalam akses pelayanan kesehatan terkait kesuburan atau kehamilan, dan kekhawatiran terhadap kondisi dunia saat ini yang menjadi penghalang mereka dalam mewujudkan keputusan mereka sendiri terkait kesuburan dan reproduksi.
Seperti dilansir TIME, “Ada banyak orang di luar sana yang bersedia memiliki anak —bahkan lebih banyak dari yang mereka miliki saat ini— jika kondisinya memungkinkan. Dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan kesejahteraan dan jaminan sosial yang memungkinkan terciptanya keseimbangan kerja dan kehidupan, pekerjaan yang aman, pengurangan hambatan hukum, serta layanan kesehatan yang lebih baik,” kata Shalini Randeria, Presiden Central European University di Wina sekaligus penasihat eksternal senior dalam laporan UNFPA tersebut. Namun, menurut Randeria, kebijakan yang diterapkan sebagian pemerintah—seperti pemangkasan layanan Medicaid di AS atau pembatasan hak atas kesehatan dan otonomi reproduksi—merupakan langkah mundur bagi hak individu, sekaligus “kontraproduktif dari sudut pandang demografis.”
Dalam laporan tersebut, UNFPA bekerja sama dengan YouGov melakukan survei terhadap responden dari 14 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Afrika—wilayah yang secara keseluruhan mewakili lebih dari sepertiga populasi dunia.
“Ada kesenjangan antara jumlah anak yang ingin dimiliki seseorang dan jumlah anak yang benar-benar mereka miliki,” kata Randeria. “Bagi kami, penting untuk mencari tahu—dengan bertanya langsung pada mereka—apa yang menyebabkan kesenjangan itu.”
Faktor Finansial Jadi Hambatan Utama
Ilustrasi Seorang Pria Tidak Memiliki Uang freepik.com
Hambatan paling signifikan yang diidentifikasi para responden survei sebagai alasan mereka tidak memiliki jumlah anak yang diinginkan adalah faktor ekonomi: 39% menyebutkan keterbatasan finansial, 19% keterbatasan dalam ketersediaan perumahan, 12% kurangnya layanan pengasuhan anak yang memadai atau berkualitas, dan 21% pengangguran atau ketidakamanan kerja.
Harga semua jenis barang dan pelayanan telah naik dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Inflasi global mencapai tingkat tertinggi sejak pertengahan tahun 1990-an pada Juli 2022, menurut World Bank Group. Meskipun kini sudah menurun, level inflasi saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.
Meningkatnya biaya hidup telah berdampak besar pada perumahan dan pengasuhan anak. Di Amerika Serikat, contohnya, Departemen Keuangan menemukan bahwa harga rumah telah meningkat lebih cepat daripada pendapatan selama dua dekade terakhir, melonjak sekitar 65% sejak tahun 2000 jika disesuaikan dengan inflasi. Riset juga menunjukkan bahwa biaya pengasuhan anak di AS dalam beberapa tahun terakhir bahkan melampaui biaya perumahan atau kuliah bagi banyak keluarga.
Krisis perumahan saat ini berdampak luas di “semua wilayah dan negara,” menurut laporan Program Pemukiman Manusia PBB (UN-Habitat) tahun lalu, yang memperkirakan bahwa antara 1,6 miliar hingga 3 miliar orang di seluruh dunia tanpa akses perumahan yang layak.
Tantangan Akses Reproduksi dan Layanan Kesehatan
Ilustrasi Wanita Menatap Tes Kehamilan Negatif freepik.com
Orang-orang mengutip bahwa faktor lain yang menghalangi mereka untuk memiliki jumlah anak yang diinginkan, termasuk hambatan dalam akses terhadap teknologi reproduksi berbantu (seperti IVF, In Vitro Fertilization) dan ibu pengganti (surrogacy)
Sejumlah negara—termasuk Prancis, Spanyol, Jerman, dan Italia— telah melarang praktik ibu pengganti. Laporan UNFPA juga menunjukkan bahwa banyak negara membatasi atau bahkan melarang akses terhadap reproduksi berbantu dan ibu pengganti bagi pasangan sesama jenis. Di Eropa, contohnya, hanya 17 dari 49 negara yang memperbolehkan inseminasi medis bagi individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka, menurut laporan tersebut.
UNFPA mencatat bahwa, di tengah menurunnya angka fertilitas global, beberapa pemerintah mengambil “langkah-langkah drastis untuk mendorong kaum muda mengambil keputusan fertilitas yang sejalan dengan target nasional.” Namun, laporan tersebut menekankan bahwa “krisis yang sebenarnya” adalah “krisis dalam lembaga reproduksi—yaitu kemampuan individu untuk membuat pilihan bebas, terinformasi, dan tidak terkekang dalam segala hal mulai dari berhubungan seks, menggunakan kontrasepsi, hingga memulai sebuah keluarga.”
Menurut Center for Reproductive Rights, 40% perempuan di usia reproduksi di dunia hidup di bawah hukum aborsi yang ketat. Banyak negara—termasuk Brazil, Filipina, dan Polandia, di antara yang lainnya— memberlakukan pembatasan aborsi. Pada 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat mencabut putusan penting Roe v. Wade, yang menghapuskan hak konstitusional atas aborsi. Sejak saat itu, lebih dari selusin negara bagian di AS telah menerapkan larangan total atau pembatasan aborsi. Ada banyak laporan menyebutkan bahwa perempuan hamil ditolak mendapatkan perawatan kritis karena undang-undang tersebut, dan banyak perempuan mengaku tidak merasa aman untuk hamil di negara bagian yang melarang aborsi.
Meski semakin banyak perempuan di dunia yang kebutuhan perencanaan keluarganya telah terpenuhi, PBB menemukan bahwa sekitar 164 juta perempuan masih belum mendapatkan akses tersebut hingga tahun 2021, menurut laporan yang dirilis tahun 2022.
Selain menganggap akses terhadap perencanaan keluarga sebagai hak asasi manusia, PBB juga menekankan bahwa hal ini merupakan kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Ketakutan akan Masa Depan yang Tak Pasti
Ilustrasi Pasangan Menatap Cakrawala freepik.com
Sekitar 14% responden dalam laporan UNFPA mengatakan kekhawatiran mereka tentang situasi politik atau sosial, seperti perang dan pandemi, telah atau akan menyebabkan mereka memiliki anak lebih sedikit dari yang diinginkan. Sekitar 9% responden juga menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap perubahan iklim atau kerusakan lingkungan telah atau akan mempengaruhi keputusan mereka untuk memiliki lebih sedikit anak dari yang direncanakan.
Kekerasan dan konflik global meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Periode antara tahun 2021 dan 2023 tercatat sebagai masa paling penuh kekerasan sejak berakhirnya Perang Dingin, menurut World Bank Group. Jumlah korban tewas dalam konflik bersenjata dan jumlah konflik itu sendiri meningkat dalam satu dekade terakhir.
Kekerasan tersebut turut memicu pada meningkatnya pengungsian global selama bertahun-tahun: Lebih dari 122 juta orang di seluruh dunia terpaksa mengungsi, menurut laporan badan pengungsi PBB pada hari kamis, jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari jumlah yang tercatat satu dekade lalu.
Dampak pandemi global ini semakin terasa, bahkan belum menunjukkan tanda-tanda mereda karena Covid-19 terus menyebar, menghasilkan varian baru, dan berdampak pada jutaan orang dengan masa pemulihan yang bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Di luar Covid-19, wabah penyakit menular menjadi semakin umum terjadi—dan para ahli memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang risiko wabah meningkat menjadi epidemi dan pandemi akan semakin meningkat.
Dalam survei Program Pembangunan PBB tahun 2024, yang secara statistik mewakili sekitar 87% populasi global, sekitar 56% responden mengatakan mereka memikirkan tentang perubahan iklim harian atau mingguan. Sekitar 53% dari responden juga mengatakan mereka lebih khawatir tentang perubahan iklim sekarang dari tahun sebelumnya. 1/3 dari responden mengatakan bahwa perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup mereka.
“Saya ingin punya anak, tapi makin lama makin sulit,” kata seorang perempuan berusia 29 tahun dari Meksiko dalam laporan tersebut. “Hampir mustahil membeli atau menyewa tempat tinggal dengan harga terjangkau di kota saya. Saya juga tidak ingin melahirkan anak di masa perang dan kondisi planet yang memburuk jika itu berarti si anak harus menderita karenanya.” (Naomi Dongoran/PKL Polban) ***
