Jakarta (ANTARA) – Kabut pagi masih menggantung di lereng Kintamani, Bali. Barisan pohon kopi yang hijau dan tumbuh rapi di lahan-lahan kecil milik warga bercampur dengan aroma tanah basah dan semerbak bunga jeruk yang tumbuh di sela-sela batang kopi arabika.
Dari sanalah, di ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut, secangkir kopi yang dinikmati jutaan orang di kota-kota besar memulai perjalanannya.
Setiap biji kopi dengan rasa segar, cenderung manis, dan aroma khasnya membuka banyak pengalaman, kenyamanan, dan harapan.
Bagi Niluh Ramiati (33), pagi bukan waktu untuk menikmati kopi, tapi untuk bekerja dengan biji-biji kopi itu.
Sejak matahari muncul di balik Gunung Batur, dia sudah duduk di depan tampah bambu dengan tangannya yang cekatan dalam memilah biji-biji kecil berwarna coklat muda satu per satu.
Niluh Ramiati adalah satu dari puluhan perempuan penyortir di bawah binaan Karana Global, mitra lokal Kopi Kenangan di Bali. Kelompok tani kecil di Kabupaten Bangli ini menjadi bagian di balik gemerincing biji kopi.
Ada banyak kisah tentang perubahan, di mana secangkir kopi bisa menjadi jembatan antara modernitas dan tradisi, antara kenyamanan kota dan ketekunan di kebun.
Bagi Niluh, tanah di Kintamani ini tak benar-benar istirahat. Tempat inilah yang menjadi tempat dirinya menyaksikan pagi hari dengan matahari yang menyapa lembut, disusul kabut yang turun sebelum sore.
Sebuah tempat pengolahan kopi yang menjadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat inilah menjadi pembelajaran bagi Niluh Ramiati dalam mengenal dunia kopi; mulai dari memetik, memilah, menjemur, hingga mengemas.
Bukan hanya soal pekerjaan ataupun rutinitas semata, melainkan bentuk perjuangan untuk tetap mandiri tanpa harus meninggalkan anak di rumah.
“Per kilo dibayar dua ribu rupiah. Biasanya bisa dapat lima puluh kilo setiap hari, jadi dapat Rp100 ribu,” kata Niluh sambil tersenyum kecil.
Angka itu mungkin terdengar kecil bagi sebagian orang, tapi bagi Niluh Ramiati, hasil kerjanya setiap hari adalah napas kehidupan untuk membantu menafkahi keluarga dan membiayai kebutuhan anak.
Dua kekuatan yang beriringan
Puluhan perempuan yang menggantungkan nasib dan harapannya di lahan Kintamani itu tak pernah khawatir dengan kehadiran mesin yang akan menggantikan pekerjaannya. Menyortir kopi bukan hanya pekerjaan, tetapi cara menjaga dapur tetap mengepul sambil bisa tetap dekat menjaga anak.
Selama dua tahun bekerja di sebuah sudut desa penuh ketenangan, Niluh Ramiati bermodalkan tangan dan matanya awas dalam membedakan mana biji kopi yang layak dan harus disisihkan.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
