Media Sosial dan Perundungan Jadi Pemicu Stres, Psikiater Ingatkan Pentingnya Berbaik Hati pada Diri Sendiri Surabaya 8 Agustus 2025

Media Sosial dan Perundungan Jadi Pemicu Stres, Psikiater Ingatkan Pentingnya Berbaik Hati pada Diri Sendiri
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        8 Agustus 2025

Media Sosial dan Perundungan Jadi Pemicu Stres, Psikiater Ingatkan Pentingnya Berbaik Hati pada Diri Sendiri
Tim Redaksi
MALANG, KOMPAS.com
– Tekanan kompetisi, gaya hidup, dan ekspektasi sosial yang kian tinggi menjadi pemicu stres di tengah masyarakat modern.
Di antara berbagai faktor tersebut, pengaruh negatif media sosial dan dampak destruktif dari perundungan (
bullying
) mengemuka sebagai ancaman paling berbahaya bagi kesehatan mental, terutama di kalangan anak muda.
Fenomena ini menjadi sorotan utama dalam seminar kesehatan mental bertajuk Stress Management, Stop Jadi Korban Overthinking! yang digelar oleh komunitas Indonesia Sehat Jiwa di Gedung Malang Creative Center (MCC), Kota Malang, pada Jumat (8/8/2025).
Ketua Indonesia Sehat Jiwa, Sofia Ambarini menyampaikan bahwa kampanye publik yang diikuti oleh 60 peserta dari berbagai latar belakang mulai dari pelajar, pekerja, dan ibu rumah tangga ini bertujuan sebagai langkah preventif.
“Tujuan utama kami adalah pencegahan bunuh diri. Untuk itu, mental yang kuat harus dibangun. Dengan adanya media sosial, orang menjadi lebih gampang membandingkan dirinya dengan yang lain. Tanpa ada tekanan dari manapun, dia sudah menekan dirinya sendiri,” kata Sofia, Jumat (8/8/2025).
Sofia mengungkapkan, dari berbagai kasus yang ditangani melalui program Pojok Curhat dari layanan rutin pihaknya, stres akibat perundungan merupakan yang paling berbahaya.
“Stres karena keluarga mungkin masih bisa diredam oleh ikatan keluarga yang kuat. Tetapi, stres akibat
bullying
tidak bisa diredam dengan cara itu. Dampaknya sangat merusak, terutama pada pelajar yang kemudian mengalami penurunan prestasi akademik dan kesulitan fokus,” katanya. 
Menjawab keresahan tersebut, Dokter Spesialis Jiwa dari Rumah Sakit Universitas Brawijaya, dr Kresna Septiandy Runtuk menekankan pentingnya berbaik hati pada diri sendiri (
self-compassion
).
“Kita sering lupa berbuat baik pada diri sendiri. Pikiran seperti ‘Aku bodoh’ atau ‘aku salah terus’ adalah bentuk penghakiman diri yang keras,” kata dr Kresna.
“Kita perlu mengubah pola pikir itu. Ganti dengan kalimat ‘Saya pantas mendapatkan kebaikan’ atau ‘Saya sedang belajar, sehingga tidak luput dari kesalahan’,” ujarnya.
Menurutnya, melawan perasaan negatif seperti kesedihan justru akan memperburuk keadaan.
Sebaliknya, masyarakat perlu belajar memberi ruang bagi setiap emosi untuk datang dan pergi.
“Saat menghadapi situasi sulit, terhubunglah dengan orang lain dan temukan kembali nilai-nilai baik dalam diri. Kehidupan memang tidak mudah, bukan berarti tidak indah. Teruslah berproses,” katanya.
Kenyataan pahit dari stigma dan tekanan sosial dirasakan langsung oleh salah satu peserta berinisial S.
Sebagai seorang pasien dengan diagnosis bipolar dan
borderline personality disorder
(BPD), ia berbagi pengalamannya.
Ia mengaku pernah mencoba bunuh diri sebanyak 4-5 kali karena tidak kuat menanggung beban pikiran akibat penilaian orang lain.
“Saya sering dibilang ‘alay’ karena harus minum obat setiap hari. Ada juga
body shaming
karena berat badan saya naik akibat pengobatan,” ungkap S.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.