TRIBUNNEWS.COM – Paus Fransiskus menandai 12 tahun masa jabatannya sebagai pemimpin Gereja Katolik pada Kamis (13/3/2025).
Pada 13 Maret 2013, setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI, Kardinal Jorge Mario Bergoglio dari Argentina terpilih sebagai Paus baru.
Selama 12 tahun masa jabatannya, Paus Fransiskus dikenal karena belas kasih dan seruan perdamaian, Al Jazeera melaporkan.
Ia telah mereformasi pemerintahan Vatikan dan mengambil tindakan keras terhadap kasus pelecehan anak oleh pendeta.
Terhitung sudah empat minggu setelah Paus Fransiskus dirawat di rumah sakit akibat pneumonia ganda.
Ia dirawat di rumah sakit Gemelli di Roma sejak 14 Februari
“Paus telah menghabiskan malam yang tenang,” menurut pernyataan dari Vatikan.
Hasil rontgen dada mengonfirmasi adanya perbaikan pada kondisinya.
Dokter menyatakan kalau Paus Fransiskus tidak lagi di ambang kematian.
Meski demikian, kondisinya masih dipantau dengan cermat.
Lebih lanjut, masa jabatan Paus Fransiskus tidak lepas dari tantangan dan kritik, baik dari dalam Gereja maupun luar.
Diplomasi dan Aksi Internasional
Fransiskus melakukan 47 perjalanan ke luar negeri.
Selama kunjungannya, Paus memprioritaskan negara-negara dengan komunitas Katolik yang kecil atau terpinggirkan.
Ia terus menyerukan perdamaian di wilayah rawan konflik seperti Sudan, Gaza, dan Ukraina.
Pada November 2023, ia menyerukan penyelidikan mengenai tuduhan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
Sebagai putra imigran Italia di Argentina, Paus Fransiskus juga membela hak-hak migran dan mengkritik kebijakan deportasi massal Presiden AS Donald Trump.
Fransiskus juga seorang juru kampanye vokal untuk lingkungan hidup.
Dalam ensikliknya yang terkenal, “Laudato Si” (Semoga Engkau Selalu Terpuji), yang diterbitkan pada 2015, ia mendesak dunia untuk bertindak cepat terhadap perubahan iklim, dengan menekankan tanggung jawab negara-negara kaya.
Kasih Sayang, Keadilan Sosial, dan Reformasi Gereja
Sebagai seorang liberal, Paus Fransiskus berupaya membangun Gereja Katolik yang lebih inklusif.
Ia mendukung perubahan dalam aturan perceraian dan lebih terbuka terhadap anggota LGBTQ.
Keputusannya pada 2023 untuk mengizinkan pemberkatan pasangan sesama jenis dalam beberapa kasus sempat memicu kontroversi, terutama di Afrika dan Amerika Serikat.
Fransiskus juga telah melaksanakan reformasi mendasar di Kuria Roma, pemerintahan pusat Vatikan.
Reformasi tersebut mencakup desentralisasi kekuasaan, meningkatkan transparansi, serta memberikan peran lebih besar kepada kaum awam dan perempuan.
Pada 2022, ia mengesahkan konstitusi yang mengatur ulang departemen-departemen Vatikan.
Salah satu langkah utamanya adalah membersihkan keuangan Vatikan yang ternoda oleh skandal dan korupsi.
Fransiskus juga membentuk sekretariat khusus untuk ekonomi Vatikan pada tahun 2014, yang berupaya memberantas korupsi serta meningkatkan pengawasan terhadap investasi dan Bank Vatikan.
Dalam reformasi kelembagaannya, Paus Fransiskus juga melibatkan lebih banyak anggota awam, termasuk perempuan, dalam Sinode, badan diskusi Katolik yang melihat masa depan Gereja.
Beberapa keputusan penting, seperti perempuan diakon, akan diputuskan pada Juni 2025.
Tantangan dan Pertentangan
Meskipun banyak mendapat pujian atas reformasinya, Paus Fransiskus juga menghadapi kritik, terutama dari kalangan tradisionalis.
Beberapa menganggapnya bertindak tirani, terutama terkait kebijakan dan perubahan yang ia lakukan dalam Gereja.
Paus Fransiskus tetap melanjutkan misinya untuk mengubah Gereja Katolik menjadi lebih terbuka dan inklusif, meski tak lepas dari pertentangan keras dari beberapa pihak.
Perjuangan Paus Fransiskus Melawan Pelecehan Seksual di Gereja Katolik
Paus Fransiskus dihadapkan pada tantangan besar sejak awal masa jabatannya pada tahun 2013, yaitu pelecehan seksual oleh pendeta dan upaya penutupan kasus-kasus tersebut di seluruh dunia.
Salah satu momen penting dalam perjuangannya terjadi pada 2018 saat ia mengunjungi Cile.
Awalnya, Paus Fransiskus membela seorang uskup Cile yang dituduh menutupi kejahatan seorang pendeta.
Paus Fransiskus bahkan menuntut agar para penuduh menunjukkan bukti yang jelas.
Namun, setelah kritik yang keras, Paus Fransiskus mengakui telah membuat “kesalahan serius” dan meminta maaf atas tindakannya.
Ini adalah pengakuan pertama dari seorang Paus yang mengakui kesalahan dalam penanganan kasus pelecehan.
Sebagai langkah lanjutan, Paus memanggil semua uskup Cile ke Vatikan, dan mereka semua mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Pada tahun yang sama, Paus Fransiskus mencabut gelar kardinal dari Theodore McCarrick, seorang pendeta asal AS yang terbukti melakukan pelecehan.
Pada 2019, McCarrick juga kehilangan statusnya sebagai pendeta.
Tak hanya itu, Paus Fransiskus juga mengadakan pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendengarkan keluhan dari para korban pelecehan, dan berjanji untuk melakukan “pertempuran habis-habisan” melawan pelecehan oleh pendeta.
Sebagai langkah nyata, Vatikan membuka arsip gereja terkait pelecehan dan memperkenalkan pengadilan awam untuk kasus-kasus ini.
Paus Fransiskus juga mewajibkan pelaporan segala dugaan pelecehan seksual kepada otoritas Gereja untuk mencegah upaya penutupan kasus tersebut.
Meskipun sudah ada beberapa perubahan signifikan, aktivis seperti Anne Barrett Doyle mengkritik langkah-langkah Paus.
Dia mengatakan bahwa secara struktural, Gereja Katolik masih memiliki banyak masalah terkait transparansi, pengawasan eksternal, dan kurangnya sanksi tegas bagi pelaku, AFP melaporkan.
Anne menilai bahwa meskipun ada niat baik, gereja masih belum melakukan cukup banyak untuk memberantas masalah ini secara mendalam.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)