Mapag Sri, Simfoni Sakral Petani Subang Menyambut Kehadiran Dewi Padi

Mapag Sri, Simfoni Sakral Petani Subang Menyambut Kehadiran Dewi Padi

Tradisi ini menggambarkan hubungan antara manusia dan alam yang bersifat timbal balik, harmonis, dan penuh rasa hormat. Masyarakat Subang percaya bahwa padi bukan sekadar tanaman pangan, tetapi memiliki ruh yang harus dijaga dan dihormati.

Kehadiran Dewi Sri menjadi simbol dari prinsip kesuburan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, Mapag Sri menjadi momen sakral untuk menyeimbangkan hubungan spiritual tersebut.

Lebih dari itu, upacara ini juga menjadi sarana mempererat ikatan sosial masyarakat, karena dilakukan secara gotong royong dan menyatukan semua lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial. Dalam suasana yang khidmat dan penuh makna, mereka bersama-sama mengamini doa yang dipanjatkan agar alam terus bersahabat dan memberi limpahan rezeki bagi generasi sekarang maupun mendatang.

Tradisi Mapag Sri juga kerap diiringi dengan berbagai pertunjukan seni tradisional yang mencerminkan kekayaan budaya Sunda. Tarian seperti Tari Ronggeng atau Tari Buyung, serta pertunjukan wayang golek atau calung, biasanya turut menyemarakkan rangkaian upacara.

Seni bukan hanya menjadi hiburan, tetapi juga medium untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual kepada masyarakat. Anak-anak diajak menyaksikan dan terlibat dalam prosesi ini agar kelak mereka tumbuh dengan rasa cinta terhadap budaya leluhur mereka sendiri.

Maka Mapag Sri bukan hanya menjadi bagian dari masa tanam dan panen, tetapi juga menjadi ruang edukasi budaya yang hidup, dinamis, dan terus berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah dan komunitas budaya pun mulai mengangkat kembali tradisi ini ke ranah yang lebih luas melalui festival budaya Mapag Sri yang terbuka bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Tujuannya jelas menjaga nyala tradisi agar tidak padam di tengah derasnya arus modernisasi. Mapag Sri bukanlah sekadar ritus warisan nenek moyang yang dilakukan secara turun-temurun, melainkan bentuk penghormatan mendalam terhadap siklus kehidupan yang terus berlangsung antara manusia, bumi, dan Tuhan.

Dalam kesederhanaan prosesi, terkandung pemahaman yang luhur tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan keselarasan hidup. Tradisi ini mengingatkan bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada seberapa besar rasa hormat kita kepada alam, serta bagaimana kita menjaga budaya dan spiritualitas yang menjadi akar dari identitas bangsa.

Maka setiap kali Mapag Sri digelar, kita seolah melihat bagaimana masyarakat Subang tidak sekadar menjemput Dewi Sri, tetapi juga menyambut kembali jati diri mereka sebagai bagian dari alam yang bijaksana dan penuh berkah.

Penulis: Belvana Fasya Saad