loading…
Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan Pemerhati dan Praktisi Konservasi Satwa Liar. Foto/istimewa
Dr. Dolly Priatna
Direktur Eksekutif Belantara Foundation Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Pemerhati dan Praktisi Konservasi Satwa Liar
BANYAK hasil studi menunjukkan pada beberapa dekade terakhir, luas dan kualitas hutan tropis di banyak negara di Asia terlah berkurang secara signifikan. Pemicu utamanya antara lain konversi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pembangunan infrastruktur (Lim et al., 2017; Chen et al., 2024), yang turut menyebabkan penurunan populasi satwa liar dan meningkatnya konflik manusia-satwa liar.
Intensitas konflik manusia-satwa liar yang terus meningkat dari waktu ke waktu juga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan, seperti menyebabkan rusaknya tanaman pertanian, hilangnya ternak, gagal panen, rusaknya bangunan rumah, bahkan dapat menyebabkan kematian baik pada manusia maupun satwa liar.
Lebih khusus lagi, interaksi negatif yang melibatkan satwa liar dilindungi yang terancam punah, seperti harimau dan gajah sumatra lebih sering terjadi di kawasan hutan yang berdekatan dengan desa-desa. Hal ini akan menumbuhkan persepsi negatif masyarakat terhadap keberadaan satwa liar di sekitar pemukimannya, misalnya satwa liar jadi dianggap sebagai hama atau musuh, yang pada akhirnya akan menurunkan dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi satwa liar.
Melihat fenomena-fenomena tersebut, perlu adanya upaya inovatif yang dapat menyeimbangkan kepentingan pembangunan ekonomi daerah, dengan kepentingan sosial dan lingkungan hidup, khususnya konservasi satwa langka yang dilindungi.
Merujuk pada definisi yang dikembangkan Sunarto et al. (2008), Better Management Practices (BMP) merupakan pedoman praktis untuk meningkatkan praktik pengelolaan kawasan usaha berbasis lahan dalam rangka melestarikan satwa liar yang dilindungi dan terancam punah, yang menjadi wahana untuk mencapai produk yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
BMP untuk konservasi satwa liar telah banyak dipelajari, dikembangkan, serta diterapkan di sektor perkebunan kelapa sawit sejak dua dekade lalu di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia (Maddox et al. 2007; Bateman et al., 2010). Demikian pula penerapannya pada sektor hutan tanaman industri (Sunarto et al., 2008; Wong et al., 2022) dan pertambangan (OCSP, 2009), sudah didorong penerapannya seiring dengan permintaan pasar saat ini terhadap produk-produk yang berlabel “hijau dan berkelanjutan”.
Beberapa komponen BMP yang dapat dikembangkan untuk mendukung konservasi satwa langka yang dilindungi di semua sektor industri berbasis lahan, antara lain mengidentifikasi dan mengelola kawasan HCV (High Conservation Value) atau NKT (Nilai Konservasi Tinggi), upaya mitigasi konflik manusia-satwa liar, restorasi dan perlindungan habitat, menerapkan praktik pembukaan lahan tanpa bakar, pengendalian hama terpadu, serta meminimalkan dan memanfaatkan limbah.
Contohnya, di perkebunan kelapa sawit yang dikelola produsen minyak sawit tersertifikasi berkelanjutan di Malaysia, mereka menggunakan berbagai metode dalam menerapkan BMP untuk memitigasi konflik manusia-gajah. Mereka memasang pagar kejut listrik (electric fencing), menanam tanaman pelindung (crop-guarding), menjalankan patroli, membuat parit anti gajah, memperbaiki desain pagar, translokasi, dan melakukan penggiringan, serta yang tidak kalah penting melakukan penelitian konservasi dan program penyadaran konservasi (conservation awareness).
Sementara itu, BMP mitigasi konflik manusia-gajah yang diterapkan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode MP2CE (Monitoring, Preventif, Penanaman, Pengendalian, dan Edukasi), yang dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan khususnya perusahaan berbasis lahan dan masyarakat lokal, guna mendorong upaya perlindungan dan pengelolaan gajah secara terpadu dan berkelanjutan.