Mahasiswi Surabaya Ubah Kantong Teh yang Mengandung Mikroplastik Menjadi Produk Dekorasi Bernilai Surabaya 10 Desember 2025

Mahasiswi Surabaya Ubah Kantong Teh yang Mengandung Mikroplastik Menjadi Produk Dekorasi Bernilai
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        10 Desember 2025

Mahasiswi Surabaya Ubah Kantong Teh yang Mengandung Mikroplastik Menjadi Produk Dekorasi Bernilai
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Jeanne Theresia Mintarja mendapatkan inspirasi yang tidak terduga dari keseharian keluarga yang gemar minum teh.
Mahasiswi Program Studi Desain dan Manajemen Produk, Fakultas Industri Kreatif Universitas
Surabaya
(FIK Ubaya) itu tergerak ketika mengetahui kantong
teh celup
ternyata mengandung
mikroplastik
.
Bahan yang kerap dibuang begitu saja tersebut justru dilihat sebagai peluang untuk diolah kembali menjadi produk
ramah lingkungan
.
“Ada info-info kalau kantong teh itu mengandung mikroplastik. Nah itu menjadi inspirasi utama yang jadi ide untuk bisa diolah. Karena tidak baikkan untuk lingkungan kalau langsung dibuang saja,” ujarnya kepada jurnalis termasuk Kompas.com, Selasa (9/12/2025) sore.
Dari kegelisahan itu lahirlah “Dipt”, brand yang diciptakan untuk rangkaian produk dekorasi berbahan dasar limbah kantong teh celup.
Nama yang dipilih karena memiliki arti “tercelup”, merujuk pada bahan utama yang selama ini dianggap tak berguna.
Produk-produk Dipt meliputi jam meja, lampu meja, catur, hingga tray atau alas multifungsi yang mengedepankan estetika sekaligus nilai keberlanjutan.
Selama proses panjang tersebut sudah dijalani sejak mengajukan judul pada semester lima.
Mahasiswi berusia 21 tahun itu menyebut penelitian dan pengembangan produknya berlangsung cukup lama, termasuk pengumpulan bahan hingga pengerjaan setiap produk secara satu per satu.
“Sudah lama sejak saya mengajukan judul semester 5 termasuk pengumpulan bahan sampai ke proses pembuatan produk satu per satu,” kata Jeanne Theresia Mintarja.
Tantangan terbesar justru muncul saat menentukan bentuk produk. Ia ingin karyanya tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga fungsional dan dapat diterima masyarakat luas.
“Yang paling susah pemilihan produknya sih karena saya memang fokusnya material karena sebagai tugas akhir.”
“Lalu bagaimana caranya produk ini bisa diterima sama masyarakat luas. Nah sulitnya di situ mau dibuat produk apa jam kah atau sesuatu yang bisa buat hiasan dengan karakteristik,” imbuhnya.
Apalagi minimnya referensi ilmiah mengenai pengolahan kantong teh membuat proses eksplorasi ini semakin menantang.
Ia berkali-kali gagal, terutama saat mencoba menyatukan material kayu dengan cetakan kantong teh. Namun, perlahan ia menemukan metode yang tepat.
Jeanne menjelaskan proses awal pembuatan dimulai dari pemilahan kantong teh berdasarkan warna, masih putih atau sudah coklat.
Kantong-kantong itu kemudian dihancurkan dengan blender menggunakan bantuan air, hingga menjadi bubur.
“Saya blender semua dengan bantuan air dan jadilah bubur yang dipilih mau jadi lembaran atau padatan.” 
“Kalau misal untuk padatan saya buat cetakan dulu lalu dipadatkan. Tapi kalau untuk lembaran saya buat sama seperti membuat kertas daur ulang,” tutur mahasiswa asli Surabaya itu.
Dalam pengembangannya, ia juga memanfaatkan bahan ramah lingkungan lain seperti guar gum sebagai perekat dan biovarnish agar permukaan produk tampak berkilau dan lebih tahan lama.
Sisa potongan kayu dari pengrajin mebel sekitar pun digunakan untuk memperkuat struktur produk.

So far
masih terfokus sama 3 produksi, alas atau tatakan yang bisa dipakai untuk alas apa saja, perhiasan dll, kemudian jam meja dan lampu meja.” 
“Jadi fokus 3 produksi itu dulu sambil ada variasi untuk estetikanya. Yang utamanya lebih ke home decor,” kata Jeanne.
“Selanjutnya dikembangkan untuk lebih ke warna karena kebanyakan saat ini warnanya masih coklat aja. Mungkin tambah warna makanan yang original,” imbuhnya.
Selanjutnya karya yang dihasilkan akan dipamerkan dan dijual perdana dalam skala kecil pada pameran tugas akhir tahunan FIK Ubaya, Grade X, yang digelar Januari 2026.
Meski begitu, ia tidak menutup kemungkinan produksinya diperluas secara masif.
Hanya saja, dengan pengerjaan yang masih sepenuhnya manual dan mengandalkan sinar matahari untuk pengeringan, ia memilih fokus meningkatkan kualitas terlebih dahulu.
“Karena proses yang cukup panjang saya banderol mulai 100.000-an tergantung bentuk dan alat apasaja,” pungkas siswa lulusan SMU Hendrikus.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.