Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Mahasiswa Penggugat Presidential Threshold Klaim Tak Minat ke Politik

Mahasiswa Penggugat Presidential Threshold Klaim Tak Minat ke Politik

Sleman, CNN Indonesia

Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta penggugat syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengaku tak memiliki ketertarikan terjun ke dunia politik.

Meski berhasil mendorong penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden, nyatanya keempatnya mengaku langkah mereka maju ke Mahkamah Konstitusi adalah murni sebagai perjuangan akademis dan juga advokasi konstitusional.

Keempatnya juga membantah langkah mereka maju ke MK adalah demi memuluskan jalan pihak, kelompok atau relasi tertentu, khususnya menyangkut pencalonan presiden.

Salah satu penggugat, Enika Maya Oktavia yang merupakan mahasiswi prodi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka menjawab dengan tegas dirinya untuk saat ini sama sekali tak kepikiran untuk terjun ke dunia politik.

“Jawabannya adalah tidak, saya tidak mau jadi politisi. Mohon terima saya jadi budak corporate perusahaan,” kata Enika di Kampus UIN, Sleman, DIY, Jumat (3/1).

Enika mengaku dirinya adalah satu-satunya di keluarganya yang menempuh pendidikan hingga jenjang S1.

“Orangtua, kakak saya tidak paham hukum (tata negara), tidak ada yang berkaitan dengan politik. Rasa-rasanya saya tidak kuat kalau jadi politisi ya. Jawabannya kalau untuk saat ini tidak, tapi kalau ke depannya ternyata saya jadi ahli hukum tata negara atau politisi, saya kurang tahu, Wallahualam,” imbuhnya.

Rizki Maulana Syafei menjawab senada. Mahasiswa prodi HTN itu menyebut latar belakang keluarga yang tak bersinggungan dengan dunia politik.

“Tapi kalau pertanyaannya putusan (MK) ini sesuai harapan, bukan berarti kami ke depannya menjadi politisi. Tapi, tujuan utama kami mengajukan permohonan ini adalah memberi kesempatan luas bagi putra-putri Bangsa Indonesia yang mungkin jalurnya ingin menempuh langkah politisi. Jadi, hak-hak mereka yang beragama Islam maupun non-Islam punya akses mencalonkan jadi presiden, wakil presiden,” paparnya.

Tsalis Khoriul Fatna, mahasiswi HTN UIN Suka memastikan, ia dan rekan-rekan penggugat syarat ambang batas pencalonan semuanya satu visi.

“Kami satu visi, untuk background keluarga ya tidak ada satu pun yang berlatar belakang politik. Bahkan orangtua saya saja, presidential threshold itu apa masih belum tahu. Jadi mungkin saya tidak akan memproyeksikan ke sana,” katanya.

Faisal Nasirul Haq Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Suka bilang, dirinya justru ingin meniti karier sebagai seorang akademisi. Di satu sisi, keluarga nihil rekam jejak terjun ke dunia politik, ‘nyaleg’ dan lain sebagainya.

“Saya lebih senang meniti jalan akademisi,” tuturnya.

Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna adalah empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melayangkan gugatan soal presidential threshold ke MK.

MK pun akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa itu pada keputusan yang di yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1).

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif calon pemimpin mereka.

Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru membuat kecenderungan agar pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

Preferensi calon pemimpin

Dalam kesempatan ini, Enika dkk juga merinci soal argumennya bahwa sudah semestinya para hakim MK mempertimbangkan kerugian konstitusional yang dialami pemohon dengan berlakunya Pasal 222 UU 7/2017.

Menurut Enika, dengan berlakunya syarat ambang batas pencalonan presiden maka preferensi calon pemimpin yang diinginkan pemohon bisa jadi sulit terwujud.

“Semisal, saya ingin memilih calon presiden yang peduli pada isu perempuan atau isu-isu domestik. Kalau pilihannya hanya terkotak pada dua atau tiga partai besar saja, chance untuk adanya tokoh tersebut muncul sangat susah,” katanya.

Meski mulanya sempat diliputi rasa pesimis gugatan bakal dikabulkan, Enika dan rekan-rekan teguh berpikiran jika legal standing atau kedudukan hukum mereka mengajukan permohonan ke MK tak akan dipermasalahkan.

Enika bilang, sejak uji materi pertama hingga ke-32, MK tidak pernah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghapus angka presidential threshold.

Menurutnya, MK berpandangan, karena subyek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan peserta Pilpres adalah parpol, maka parpol pula yang memiliki legal standing untuk menguji konstitusionalitas ambang batas pencalonan.

Dalam argumennya, Enika dan rekan-rekan menyatakan masyarakat atau pemilih seringkali dianggap bukan selaku subjek, melainkan objek dalam pelaksanaan demokrasi. Ia kembali ke fakta setiap legal standing dari banyak gugatan terkait pemilu yang digugurkan di MK.

“Kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi yang seharusnya pendapatnya didengarkan. 32 putusan sebelum perkara kami itu sudah membuktikan bahwa masyarakat enggan adanya presidential threshold,” jelas Enika.

“Maka seharusnya DPR selaku perwakilan kita di parlemen itu memahami betul keinginan masyarakat. Bukan kemudian mengabaikan aspirasi. 32 putusan itu bukan angka yang kecil. Sekali lagi untuk legal standing-nya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan objek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan,” pungkasnya.

(kum/pta)

[Gambas:Video CNN]