PIKIRAN RAKYAT – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua uji materiil Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), Selasa, 1 Juli 2025.
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Agenda sidang hari ini adalah perbaikan permohonan.
“Agenda persidangan pada sore hari ini adalah untuk penyampaian pokok-pokok perbaikan permohonan dari pemohon. Oleh karena itu supaya disampaikan bagian-bagian yang dilakukan perbaikan, tidak perlu disampaikan substansinya tapi cukup ditunjukkan saja kepada majelis bagian mana saya yang dilakukan perbaikan,” ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo membuka persidangan.
Uji materiil ini diajukan mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Tri Prasetio Putra Mumpuni dan teregister dengan nomor perkara 92/PUU-XXIII/2025.
Dalam persidangan, Tri memaparkan perbaikan mencakup pada penyempurnaan struktur dan sistematika permohonan, memperjelas identitas pemohon, kedudukan hukum atau legal standing, objek serta alasan pengujian, serta menyusun ulang petitum sesuai format substansi yang dapat diuji oleh Mahkamah.
Selanjutnya, Tri memperbaiki penguatan asas legal standing dan kedudukan konstitusional pemohon. Menurutnya, legal standing sebagai pemohon ditegaskan berdasarkan kedudukan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan mahasiswa.
Selain itu, ditegaskan juga melalui pembuktian terperinci bahwa pemohon mengalami kerugian konstitusional yang aktual, khusus, dan memiliki hubungan kausal yang jelas dengan keberlakuan normal Pasal 53 ayat (4) UU TNI.
Lebih lanjut, Tri mendeskripsikan kerugian dalam tiga dimensi yakni fisik dan psikologis, lalu sosial dan reputasional, serta potensial karir dan politik.
“Pemohon juga menambahkan preseden konstitusional bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki rekam jejak yang konsisten dalam mengakui legal standing mahasiswa sebagai pemohon dalam perkara pengujian undang-undang,” ucap Tri.
Mahasiswa Punya Legal Standing
Tri menyampaikan, mahasiswa punya legal standing untuk mengajukan uji materiil ke MK. Hal itu diperkuat di antaranya oleh perkara nomor 90/PUU-XXl/2023 tentang persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden dengan usia minimal 40 tahun yang diajukan mahasiswa dan dikabulkan oleh MK.
“Preseden ini menunjukkan bahwa Mahkamah tidak semata-mata mempertimbangkan status pekerjaan atau institusional pemohon, melainkan fokus pada kerugian konstitusional yang nyata, spesifik, dan relevan,” ucap Tri.
“Mahasiswa sebagai bagian dari warga negara memiliki hak dan kepentingan yang sah dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, dan supremasi konstitusi,” katanya melanjutkan.
Tri juga menguraikan dalil yang bersifat politik-konstitusional terkait proses legislasi yang menghasilkan norma a quo dilakukan oleh Panja DPR yang beranggotakan wakil-wakil rakyat dari dapil tempat tinggal Pemohon.
Ia menyebut, ketika legislator dari wilayah domisilinya menyetujui norma yang bertentangan dengan kepentingan konstitusional rakyat, maka terjadi apa yang disebut oleh Robert Dahl sebagai crisis of representation.
“Dalam situasi demikian, MK menjadi institusi terakhir yang dapat digunakan untuk mengoreksi ketimpangan relasi antara rakyat dan lembaga legislatif,” tutur Tri.
Selanjutnya, Tri menambahkan tentang kerangka berpikir norma Pasal 53 ayat (4) UU TNI. Meskipun secara literal tidak menyasar warga sipil seperti Pemohon, namun dalam realitas ketatanegaraan menurut Pemohon hal tersebut menciptakan struktur kekuasaan militer yang berdampak sistemik terhadap hak-hak sipil warga negara.
Petitum
Tri selaku pemohon memohon kepada yang mulia majelis Hakim MK untuk memeriksa dan mengadili perkara ini serta menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya Menyatakan bahwa Pasal 53 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pengaturan terhadap masa jabatan perwira tinggi bintang empat secara konstitusional, dengan menetapkan batasan yang tegas, akuntabel, dan melibatkan pengawasan lembaga legislatif serta kontrol sipil yang sah Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
“Atau apabila majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya,” ujar Tri.
Uji Konstitusionalitas
Sebelumnya, Tri menguji konstitusionalitas aturan perpanjangan batas usia pensiun perwira TNI yang termaktub dalam Pasal 53 ayat (4) UU TNI. Pasal ini berbunyi:
“Khusus untuk perwira tinggi bintang 4 (empat), batas usia pensiun paling tinggi 63 (enam puluh tiga) tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 (dua) kali sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”
Tri menilai, norma tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang Eksekutif. Sebab, tidak ada mekanisme kontrol atau pengawasan atas keputusan Presiden dalam memperpanjang masa dinas perwira tinggi bintang.
Menurutnya, norma itu melanggar asas due process of law dan transparansi, karena pemberian perpanjangan bersifat sepihak tanpa melibatkan persetujuan legislatif.***
