TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menyikapi keraguan yang muncul terkait revisi UU TNI, Markas Besar TNI kembali menegaskan kembali tujuan direvisinya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) tersebut.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi menegaskan TNI sangat menghormati dan mendukung penuh supremasi sipil serta menghargai demokrasi.
Bagi TNI, kata Kristomei, saran dan masukan kepada TNI dibutuhkan sebagai fungsi kontrol dalam reformasi sektor keamanan.
Hal itu disampaikannya dalam Webinar yang digelar ISDS bertajuk Tentang UU TNI – Kita Bertanya, TNI Menjawab pada Selasa (25/3/2025).
“Jadi yakin dan percayalah apa yang sedang dirumuskan oleh TNI adalah demi kebaikan bersama dan revisi UU TNI ini dibuat untuk mempertegas apa batasan-batasan yang bisa kami kerjakan. Bukan untuk perluasan wewenang. Sehingga kami tidak salah langkah, tidak salah dalam mengambil keputusan, dalam alam demokrasi dalam rangka supremasi sipil ini,” ucap Kristomei.
Ia juga menjelaskan keraguan yang muncul bahwa revisi UU TNI 34 tahun 2004 akan mengembalikan lagi dwifungsi ABRI tidaklah tepat.
Kristomei juga menyatakan tidak pernah ada niatan dari TNI untuk kembali ke sana.
“Seperti yang tadi saya sampaikan, misalnya berapa banyak sih generasi muda TNI saat ini yang pernah merasakan nikmatnya dwifungsi ABRI? Saya saja seorang Kapuspen TNI, saya lulusan Akademi Militer tahun 1997 tidak pernah merasakan nikmatnya apa itu dwifungsi ABRI,” kata Kristomei.
“Dan kami karena tidak pernah merasakan nikmatnya, ngapain kami kembali lagi ke masa lalu. Kami ingin jadi tentara profesional,” lanjutnya.
Oleh karena itu, kata dia, agar TNI menjadi tentara profesional sesuai dengan jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara profesional maka TNI perlu dilengkapi dengan persenjataan atau alutsista.
Selain itu, menurut dia, tentara juga perlu dipikirkan kesejahteraannya.
“Anggaran pertahanan harus dipikirkan sehingga bisa mencukupi untuk melatih, melengkapi perlengkapan dalam rangka kita melaksanakan operasi,” ujarnya.
“Jadi perubahan-perubahan dalam pasal 7 dalam tugas-tugas TNI, dalam pasal 47, tidak ada bahwa kita ingin untuk kembali mengaktifkan dwifungsi ABRI atau TNI,” pungkas dia.
Sebagaimana diketahui, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil menolak dan mengkritisi revisi UU TNI yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR pekan lalu.
Kelompok yang menolak dan mengkritik revisi UU TNI di antaranya khawatir kembalinya dwifungsi ABRI pada Orde Baru kembali berlaku saat ini.
Sejumlah pasal yang menjadi sasaran kritik antara lain terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil.