TRIBUNNEWS.COM – Supriyani, seorang guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, terbukti diperas oleh dua polisi.
Supriyani dimintai uang agar kasus dugaan penganiayaan yang sedang menjeratnya tidak dilanjutkan. Sebelumnya, dia dilaporkan telah memukul muridnya yang merupakan anak seorang polisi.
Saat ini Supriyani sudah mendapat vonis bebas. Sementara itu, dua polisi yang memerasnya, yakni Ipda MI dan Aipda AM, mendapatkan sanksi patsus dan demosi.
Berikut perjalanan kasus pemerasan ini.
Awal munculnya dugaan permintaan Rp50 juta
Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman, menceritakan asal-usul permintaan uang damai Rp50 juta.
Rokiman mengaku awalnya berupaya menggelar mediasi dengan pelapor, yakni Aipda WH selaku ayah korban.
“Tapi tidak membuahkan hasil, dalam artian masih minta waktu untuk berdamai,” kata Rokiman, Kamis, (24/10/2024).
Menurut Rokiman, Katiran (suami Supriyani) mendatangi dia guna menanyakan masalah yang membelit istrinya itu.
“Saya jawab nanti saya tanyakan ke Polsek,” kata Rokiman.
Rokiman selanjutnya datang ke Polsek Baito untuk menanyakan perkembangan kasus.
Di sana dia berjumpa dengan Kanit Reskrim. Dalam kesempatan itu, disampaikan belum ada titik temu antara pihak terduga pelaku dan pihak keluarga korban.
Guru Supriyani dan Kades Wonua Raya Rokiman. (Tribun Sultra)
Kata Rokiman, keluarga korban belum bisa memaafkan Supriyani dan masih meminta waktu.
Katiran kemudian kembali menemui Rokiman supaya bisa mempercepat proses kasus tersebut.
“Karena menyangkut beban di istrinya. Kemudian dari Bapak Katiran menyiapkan dana Rp10 juta,” ujar Rokiman.
Selanjutnya, Rokiman menyampaikan hal tersebut kepada Kanit Reskrim. Akan tetapi, keluarga korban tetapi belum bisa menerimanya atau berdamai dengan Supriyani.
“Setelah itu, Pak Kanit menyampaikan, ‘Belum mau, Pak. Kemudian saya kembali ke Bapak Katiran, berapa mampumu. Yang dia siapkan Rp20 juta,” ungkap Rokiman.
Meski jumlahnya sudah dinaikkan dua kali lipat, angka itu tetap belum bisa membuat keluarga korban berdamai. Sang kepala desa kembali menyambangi Polsek Baitu guna menanyakan kasus itu.
“Kemudian muncul tangan angka lima. Setelah itu saya tanya, ‘Ini lima apa, Pak?’. Lima ratus atau lima juta. Bukan, Pak, ini lima besar,” ucapnya.
Rokiman kembali menayakan angka lima itu dan dijawab lima puluh. Dia menyampaikan nominal 5Rp0 juta itu kepada Katiran atau suami Supriyani.
Akan tetapi, pihak Supriyani mengaku tidak bisa membayar hingga puluhan juta itu.
Salah satu kuasa hukum Supriyani, La Hamildi, buka suara mengenai uang Rp50 juta itu saat rapat dengar pendapat antara Supriyani dan DPRD Konawe Selatan.
La Hamildi mengatakan Kepala Desa Wonua Raya sampai tidak bisa tidur karena kasus itu.
“Karena seolah-olah angka Rp50 juta itu dari Pak Kades ini, padahal tidak,” kata La Hamildi.
Di sisi lain, pihak kepolisian sempat membantah perihal angka Rp50 juta tersebut.
Saat masih menjabat Kapolsek Baito, Ipda MI, mengklaim tidak mengarahkan ataupun meminta uang untuk mendamaikan keluarga korban dengan Supriyani.
MI juga mengaku tak mengetahui asal-usul permintaan uang Rp50 juta.
“Kalau yang 50 juta, saya tidak tahu sumbernya dari mana yang jelas itu bukan dari polisi,” katanya ketika dihubungi Tribun Sultra, Rabu, (23/10/2024).
Di sisi lain, Aipda WH, ayah korban, membantah telah meminta uang kepada Supriyani.
“Kalau terkait permintaan uang yang besarannya seperti itu (Rp50 juta) tidak pernah kami meminta, sekali lagi kami sampaikan kami tidak pernah meminta,” katanya.
Permintaan Rp2 juta
Selain disebut dimintai uang Rp50 juta, Supriyani juga dimintai Rp2 juta. Kabar mengenai uang Rp2 juta tersebut muncul setelah Supriyani ditetapkan menjadi tersangka.
Andre Darmawan, kuasa hukum Supriyani, menuturkan hal tersebut.
“Berapa, Rp2 juta, siapa yang minta, kapolsek, siapa saksinya Bu Supriyani dan Pak Desa, sudah diambil uangnya di rumahnya Pak Desa, berapa nilai uangnya Rp2 juta,” tutur Andre, dikutip dari TribunnewsSultra.com.
“Uangnya Ibu Supriyani Rp1,5 juta, ditambah dengan uangnya Pak Desa Rp500 ribu,” kata Andre.
Lalu, setelah kasus dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Konawe, Sulawesi Tenggara, Supriyani dimintai uang oleh oknum jaksa melalui perantara. Kata Andre, uang tersebut diminta supaya kliennya tidak ditahan.
“Saat di kejaksaan ditelepon oleh orang dari perlindungan anak, katanya pihak kejaksaan meminta Rp15 juta supaya tidak ditahan,” katanya.
Namun, Supriyani menjelaskan, tak memberikan uang tersebut karena sudah tak memiliki uang.
“Nah ini dari awal kita lihat seorang guru honorer dimainkan oleh jahatnya oknum aparat penegak hukum kita,” katanya.
Supriyani menjalani uji pengetahuan pendidikan profesi guru (UP PPG) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), hari Rabu (20/11/2024) (Tribun Sultra)
Tujuh polisi diperiksa
Sebanyak tujuh polisi kemudian diperiksa Propam Polda Sultra untuk mengungkap dugaan upaya pemerasan terhadap Supriyani.
Ketujuh polisi yang diperiksa adalah Kapolsek Baito, Kanit Reskrim Baito, Kanit Intel Polsek Baito (Pelopor), Kasat Reskrim Polres Konsel, Kasi Propam Polres Konsel, Kabag Sumda, dan Jefri mantan Kanit Reskrim Polsek Baito.
Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol. Iis Kristian, mengatakan Propam menemukan indikasi permintaan uang damai ke guru Supriyani.
“Dari keterangan-keterangan itu, Propam akan melanjutkan pemeriksaan kode etik terhadap oknum yang terindikasi meminta uang sejumlah Rp2 juta, yaitu oknum Kapolsek dan Kanit Reskrim Polsek Baito yang baru,” tuturnya.
Sementara itu, Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol. Moch Sholeh, menyatakan Kapolsek Baito, Ipda IM, dan Kanit Reskrim Polsek Baito, Aipda AM, terindikasi melakukan pelanggaran etik kepolisian.
“Jadi saat ini dua oknum anggota tersebut sementara kami mintai keterangan terkait kode etik.”
“Untuk sementara kami mintai pendalaman keterangan untuk dua personel ini,” bebernya, Selasa (5/11/2024), dikutip dari TribunnewsSultra.com.
Ipda IM dan Aipda AM dicopot
Setelah diduga melanggar kode etik, Ipda IM dan Aipda AM dicopot. Pencopotan dua personel itu berdasarkan surat perintah Polres Konawe Selatan Polda Sultra yang beredar pada Senin (11/11/2024).
Dari surat telegram tersebut, Ipda MI dimutasi sebagai perwira utama (pama) bagian SDM Polres Konawe Selatan.
Pengganti Ipda MI adalah Ipda Komang Budayana PS Kasikum Polres Konsel yang ditunjuk sebagai Pelaksana Harian (Plh.) Kapolsek Baito.
Sementara itu, pengganti Aipda AM adalah Aiptu Indriyanto. Indriyanto sebelumnya menjabat Ka SPKT 3 Polsek Palangga Polres Konsel.
“Iya sudah diganti dan ditarik ke Polres,” kata AKBP Febry Sam mengonfirmasinya, Senin (11/11/2024).
Menurut Febry, keduanya dicopot untuk menenangkan situasi di tengah masyarakat karena keduanya disebut terlibat dari kasus Supriyani.
“Jadi ini cooling down saja, sekarang jabatan mereka sudah kami ganti,” katanya.
Sebelumnya, Ipda MI dan Aipda AM menjalani pemeriksaan di Propam Polda karena terindikasi meminta uang Rp2 juta agar tidak menahan Supriyani.
Kapolri sampai turun tangan
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo turut menyoroti kasus dugaan pemerasan terhadap Supriyani.
Listyo bahkan “turun gunung” guna membantu menyelidiki kasus tersebut dengan cara menerjunkan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri atau Propam untuk menyelidikinya.
“Termasuk juga adanya isu permintaan dana Rp50 juta supaya tidak ditahan. Ini juga kami turunkan Propam untuk mendalami kemudian menjadi jelas apakah fakta seperti itu atau sebaliknya,” ujar Listyo saat rapat kerja bersama dengan Komisi III DPR RI secara virtual, Senin (11/11/2024).
Listyo mengklaim pihaknya sudah enam kali mencoba melakukan upaya mediasi. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kesepakatan.
“Beberapa waktu yang lalu mediasi juga difasilitasi oleh Bupati Konawe Selatan. Sebetulnya pada saat itu kedua belah pihak sudah sepakat berdamai. Namun, kemudian tersangka mencabut kembali kesepakatan damai. Ini juga tentunya hal yang mempersulit kita untuk diselesaikan secara restorative justice,” katanya.
Ipda IM dan Aipda AM terbukti meminta uang
Ipda MI dan Aipda AM menjalani sidang etik di Propam Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (5/12/2024).
Dalam sidang itu dinyatakan bahwa Supriyani terbukti dimintai uang Rp2 juta, sedangkan permintaan Rp50 juta tidak terbukti.
“Jadi yang terbukti itu yang Rp2 juta,” kata Kabid Humas Polda Sultra Kombes Pol. Iis Kristian, Kamis (5/12/2024), dikutip dari Tribun Sultra.
Iis mengatakan perihal uang Rp50 juta, kala itu Aipda AM tengah berada di pasar lalu mendengar pembahasan uang Rp50 juta.
“Kemudian dia menyampaikan kepada kepala desa, terkait kebenaran permintaan uang tersebut,” ujar Iis.
“Dari Aipda WH tidak tahu soal angka Rp50 juta, kemudian Pak Kapolsek juga tidak tahu. Jadi fakta persidangan Rp50 juta itu tidak, yang ada itu yang Rp2 juta,” katanya.
Sementara itu, Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol. Moch Sholeh, mengatakan Ipda M Idris telah mengakui perbuatannya meminta uang Rp2 juta kepada Supriyani dan keluarganya.
Uang itu bahkan diberikan kepada mantan Kapolsek Baito melalui perantara Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman.
“Iya Ipda MI mengakui sudah meminta uang itu kepada Supriyani,” kata Sholeh, Rabu (4/12/2024).
Dia mengungkapkan Ipda M Idris juga sudah mengakui uang Rp 2 juta dari Supriyani digunakan membeli bahan bangunan untuk Mako Polsek Baito.
“Uang kurang lebih Rp2 juta itu diterima untuk membeli bahan bangunan ruangan Unit Reskrim, seperti tegel, semen,” ujar Sholeh.
Sementara itu, menurut pengakuan Ipda MI, tidak ada dugaan permintaan uang Rp50 juta.
“Yang Rp50 juta itu tidak ada,” kata Sholeh.
Ipda IM dan Aipda AM disanksi
Atas tindakannya, Ipda MI dan Aipda AM dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus).
Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) memberi Ipda MI sanksi patsus selama tujuh hari, sedangkan Aipda AM selama 21 hari.
Sanksi itu berdasarkan putusan majelis hakim sidang etik karena keduanya melanggar kode etik Polri.
Kombes Sholeh mengatakan kedua polisi itu mulai menjalani patsus, Senin (9/12/2024).
“Karena yang bersangkutan ini tinggalnya di Konawe Selatan, kita mulainya hari Senin aja,” kata Sholeh di Polda Sultra, Kamis.
Dia berujar Ipda MI menjalani patsus di Polda Sultra, sedangkan Aipda AM di Polres Konawe Selatan.
“Kalau Ipda MI di Polda Sultra, untuk AM ada di Polres Konawe Selatan. Bisa kita tarik patsus di mana aja karena masih rumah polisi bisa di sini (Polda) bisa juga di Polres.”
“Tapi kemungkinan kita tarik ke Polda Sultra supaya lebih mudah pengawasannya.”
Sanksi yang diberikan kepada Ipda MI adalah patsus tujuh hari dan demosi satu tahun. Adapun Aipda AM disanksi patsus 21 hari dan dua tahun demosi.
Sholeh menyebut keduanya memiliki pangkat berbeda. Bagi perwira, kata dia, sanksi teguran sudah termasuk keras.
“Dari segi pangkat berbeda ya, dengan melihat fakta-fakta persidangan dengan yang bintara beda. Untuk level perwira itu dengan teguran aja sudah keras apalagi dipatsus,” kata Sholeh.
(Tribunnews/Febri/Mohay/Tribun Sultra/Laode Ari/Desi Triana)